Keesokan paginya, Sekar terjaga dan tidak mendapati suaminya di dalam kamar. Yang ia ingat, semalam ia masih tidur dengan Wira.
Setelah puas melampiaskan hasratnya, Wira terlelap begitu saja. Sementara Sekar berusaha mengais hatinya yang hancur berkeping-keping, hingga jatuh tertidur karena lelah.
Sekar awalnya ingin mencari. Namun urung karena ia yakin kalau Wira pasti ada di kamar Amara.
Dengan kondisi tubuh yang masih lemah, Sekar tetap berupaya untuk bangun membereskan kamar itu sebelum ia berangkat ke sekolah—untuk mengabdikan ilmunya kepada anak-anak SD yang sangat ia cintai.
Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi saat Sekar keluar dari kamar. Masih ada waktu untuk menyiapkan sarapan untuknya dan suaminya, seperti yang biasa ia lakukan sebelum berangkat bekerja.
Namun, lagi-lagi kedua matanya terbelalak melihat dapur dan ruang makan yang sangat kotor, dengan sisa kantong belanjaan dan bekas makanan siap saji yang tergeletak begitu saja.
Sekar tidak akan pernah terbiasa dengan pemandangan semacam ini.
Ia melirik arloji di tangannya. Tidak akan sempat jika harus membereskan semua itu terlebih dahulu.
Alhasil, ia pun hanya menyingkirkan sebagian, membuatkan kopi untuk Wira, lalu menyuguhkannya di atas meja makan.
Sebelum Sekar meninggalkan rumah, ia melangkah menuju pintu kamar Amara, mengetuk pintu itu dengan lembut sebanyak tiga kali, namun tidak ada jawaban apa pun di dalam.
Dengan sangat hati-hati, Sekar menarik gagang pintu, membuka daun pintu itu sedikit dengan harapan suaminya sudah terjaga dan ia ingin pamit mengajar.
Namun, yang ditemuinya adalah Amara dan Wira tanpa kain sehelai pun tampak berpelukan di atas ranjang. Kamar itu sangat amat berantakan. Lingerie dan beberapa bekas makanan tergeletak begitu saja di atas lantai.
Sekar menghela napas, mencoba menahan air mata yang hampir saja tumpah. Ia tutup kembali pintu kamar itu. Ia raih ponselnya lalu ia ketikkan sebuah pesan untuk Wira.
Mas, aku berangkat dulu. Maaf kalau aku tidak sempat membersihkan dapur. Aku sudah buatkan kopi dan sandwich untukmu. Aku letakkan di atas meja makan. Assalamualaikum…
Usai mengirim pesan itu, Sekar pun melangkahkan kakinya keluar rumah. Ia masuk ke dalam sebuah citycar mini yang ia beli dengan uang tabungannya sendiri, lalu melajukan mobil berwarna merah itu menuju salah satu SD IT tempat ia mengabdikan diri dan ilmunya selama ini.
***
Pukul sembilan pagi.
Wira terjaga. Ia raih ponselnya dan pria itu pun terkejut melihat jam yang terpampang di layar ponselnya. Ini sudah sangat telat, harusnya ia bangun lebih awal dan sudah berada di kantornya pagi ini.
“Amara, bangun! Aku sudah telat. Aku harus segera ke kantor sebab jam sepuluh nanti ada rapat penting yang harus aku hadiri,” ucap Wira panik.
“Hhmm….” Hanya sebuah gumaman yang keluar dari bibir Amara.
“Amara, siapkan aku sarapan,” ucap Wira.
“Kamu bisa siapin sendiri ’kan, Mas? Aku capek banget. Atau kamu beli aja deh. Kamu hati-hati aja ya.”
Amara menguap, lalu menarik selimut dan menutupi tubuh polosnya dengan selimut.
Wira hanya bisa mendesah. Ia pun turun dari ranjang, lalu melangkah meninggalkan kamar itu menuju kamar Sekar.
Namun kakinya merasa tidak nyaman, sebab beberapa kali menginjak bungkusan snack yang tergeletak begitu saja di atas lantai.
Karena waktu sudah mepet, Wira pun tidak memedulikan. Ia dengan cepat masuk ke dalam kamar Sekar dan pemandangan yang sangat kontras pun terasa di sana.
Kamar Sekar sangat rapi, bersih dan wangi. Pakaian kerja Wira pun sudah disiapkan oleh Sekar di atas ranjang.
Wira tidak sempat berpikir lagi. Dengan cepat ia masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan diri dan bersiap ke kantor.
Sebelum meninggalkan kamar, ia menatap layar ponselnya, berniat menghubungi atasannya untuk memberi alasan kenapa ia bisa terlambat. Namun pesan dari Sekar menarik perhatiannya.
Wira membaca pesan itu, berdecak sesaat lalu segera menghubungi atasannya.
Sebelum benar-benar meninggalkan rumah, Wira menoleh ke meja makan. Ada secangkir kopi yang pastinya sudah dingin di sana. Di samping cangkir kopi, ada sebuah wadah tertutup yang isinya mungkin sandwich yang sudah disiapkan oleh Sekar.
Namun, Wira tidak menyentuh kedua benda itu. Ia benar-benar harus segera ke kantor, mengabaikan sarapan yang sudah disiapkan oleh Sekar.
Langit Jakarta mulai memerah saat mobil yang ditumpangi Wira, Raka, dan Suryo memasuki halaman rumah. Jam baru menunjukkan pukul tiga sore, namun suasana rumah sudah tampak hidup. Bau cat menyambut dari balik pagar, bercampur dengan semilir angin sore yang membelai lembut wajah mereka. Beberapa pekerja tukang tampak sibuk merampungkan bagian luar rumah yang masih dalam proses pengecatan, menambahkan nuansa rumah yang sedang dibenahi demi menyambut lembaran baru dalam kehidupan mereka.Sekar membuka pintu lebih dulu, disusul Dian yang melambaikan tangan dari ruang tamu."Assalamualaikum!" seru Raka antusias, berlari kecil sambil membawa miniatur katalog ranjang dari toko perabotan."Waalaikumsalam, Sayang!" Sekar menyambut dengan pelukan hangat, menunduk dan mengecup kening putranya yang kini terlihat sangat semangat. "Seru ya, hari ini?""Seruuuu banget, Ma! Tadi Raka pilih sendiri ranjang buat kamar Raka. Papa sempat enggak setuju, tapi akhirnya Raka menang!" jawabnya penuh semangat.
Usai menikmati sarapan lezat yang disiapkan dengan penuh cinta, Wira pun bersiap pergi ke toko perabotan bersama Raka dan ayahnya—Suryo. Raka terlihat sangat antusian. Ia sudah mengenakan setelan kaos warna maroon bergambar dinosaurus kesukaannya."Papa, hari ini kita jadi beli kasur dan lemari, kan?" tanyanya sambil memasang tali sepatu.Wira tertawa pelan. "Jadi dong. Udah rapikan. Kalau sepatunya sudah terpasang dengan benar, kita langsung berangkat."Setelah semuanya siap, Wira, Raka dan Suryo pun duduk manis di dalam mobil, melaju menuju pusat toko perabotan dan properti ternama di bilangan Jakarta Selatan. Raka duduk di kursi belakang, menempelkan wajahnya ke jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang. Hari itu ia terlihat lebih dewasa dari biasanya, mungkin karena ia merasa akan memiliki ruang pribadinya sendiri untuk pertama kalinya.Sesampainya di toko, Raka langsung menarik tangan papanya. "Papa, lihat! Yang ini keren banget! Ranjangnya ada lampu di bawahnya. Keren
Aroma tumisan bawang putih dan lada hitam menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Sekar berdiri di depan kompor, mengenakan apron biru muda yang dulu sempat dibelikan Wira tapi tak pernah sempat ia pakai. Di sampingnya, Wira tengah sibuk mengaduk kuah sup udang sambil sesekali mencuri pandang ke wajah istrinya yang terlihat begitu tenang pagi ini."Kamu yakin ini garam, bukan gula?" tanya Wira sambil mengangkat sendok kecil dan mencicipi kuah sup.Sekar menoleh dengan senyum menggoda. "Itu garam, Pak Koki. Tapi kalau kamu mau sup udang rasa kue ulang tahun, silakan tambahkan gula sekalian. Kalau perlu tambahkan keju dan cokelat."Wira tertawa. Tawanya ringan dan jujur, seperti laki-laki yang sedang menikmati kebahagiaan kecil yang selama ini dirindukannya."Lucu ya," ucap Sekar sambil membalik stik daging di atas wajan. "Dulu, waktu aku bangun pagi buat masak, kamu masih meringkuk di kasur. Kadang aku udah selesai masak pun kamu masih belum bangun."Wira terkekeh, lalu melirik ke arah jam
Langit pagi di Depok tampak cerah. Matahari baru saja muncul dari balik pepohonan, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat. Di halaman rumah kecil itu, suara koper yang digeser dan tawa ringan Raka mengiringi keheningan pagi. Hari ini, Wira mengajak Sekar dan Raka untuk kembali ke Jakarta. Menempati kembali rumah yang dulu pernah mereka tinggali, sebelum semuanya runtuh karena pengkhianatan dan luka.Wira berdiri di depan pintu, memandangi aktivitas kecil keluarganya. Sekar tengah melipat pakaian terakhir, memastikan tak ada yang tertinggal. Sementara Raka sibuk memeriksa mainan-mainan yang akan dibawa. Matanya berbinar, meskipun raut wajahnya tampak menyimpan haru."Kita beneran pindah ke Jakarta, Ma?" tanya Raka lirih, memeluk boneka dinosaurusnya erat.Sekar menunduk, mengusap kepala anak itu lembut. "Iya, Sayang. Kita akan tinggal di rumah Raka lagi. Rumah yang dulu pernah mama tinggali berdua sama papa, sebelum Raka lahir ke dunia. Tapi sekarang, kita mulai dari awal. Dengan hati
Fajar belum menyingsing sempurna ketika Raka terbangun dari tidurnya. Kamar itu masih gelap, hanya diterangi cahaya samar dari lampu malam di sudut ruangan. Namun, matanya langsung terbuka lebar, tidak karena mimpi buruk atau suara gaduh, melainkan karena kehangatan yang luar biasa menyelubunginya. Di sisi kanan tidurnya, ada Mama Sekar. Di sisi kiri, ada Papa Wira. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka terbangun di antara dua orang yang paling ia cintai dalam satu ranjang yang sama.Ia menatap wajah Wira dengan mata berbinar, lalu menoleh pelan ke arah Sekar. Mulut mungilnya tersenyum kecil. Tangannya yang kecil terulur, menyentuh pipi Wira, lalu pipi Sekar. Gerakan lembut itu membuat keduanya menggeliat pelan dan membuka mata."Mama... Papa... Raka sayang banget sama Mama dan Papa..." bisiknya lirih namun penuh makna.Sekar tersenyum mengantuk, matanya masih setengah terbuka. "Sayang Mama juga, Nak..."Wira yang mulai sadar, menoleh dan menatap ana
Beberapa hari setelah Wira menyampaikan niatnya kepada orang tua dan melamar Sekar untuk kedua kalinya kala itu, segalanya bergerak cepat, namun dalam suasana yang tenang dan penuh pertimbangan. Bukan lagi seperti dua orang muda yang terburu-buru oleh nafsu dan ego, kali ini Wira dan Sekar melangkah dengan kepala dingin dan hati yang terlatih oleh luka.Mereka sepakat: tidak perlu pesta besar. Tak perlu gaun pengantin mewah, panggung pelaminan, apalagi daftar undangan panjang. Mereka hanya ingin saksi, doa, dan keberkahan. Pernikahan kali ini bukan untuk dunia, tapi untuk memperbaiki takdir yang sempat retak. Ijab kabul akan dilangsungkan di ruang tamu rumah Sekar di Depok, sederhana, hangat, dan sakral.Selama beberapa hari, mereka sibuk mengurus dokumen. KTP, KK, surat pengantar RT/RW, hingga surat rekomendasi dari KUA. Sekar sempat merasa gugup saat mendatangi kantor kelurahan. Petugas mengenalnya dan menatapnya penuh tanya. Tapi ia sudah siap. Ia tidak merasa harus menjelaskan apa