Aku tidak tahu kapan kembali ke hotel. Yang kutahu, ini sudah masuk waktu Subuh dan aku bangun di atas kasur empuk. Pandangan ini menelisik sekitar yang cahayanya tidak terlalu terang, Mas Danu tengah terlelap di sofa dengan kedua tangan terlipat di dada. Ah iya, aku ingat ini di mana. Ini kamar hotel tempat kami menginap. Mungkinkah aku tertidur saat di taman? Memalukan, Manda!Aku begitu beruntung punya kakak seperti Mas Danu. Namun, saat teringat apa yang terjadi semalam, kembali dada ini terasa sesak. Apakah keputusanku sudah benar? Atau ini hanya tipu daya syetan yang suka akan perceraian? Entahlah. Aku segera bangkit untuk mengambil wudu. Saat keluar dari kamar mandi, kudapati suara dering ponsel yang tidak begitu nyaring. Itu suara alarm yang biasa kusetel setiap hari. Kucari dalam tas, tapi tidak ada. Kutajamkan pendengaran dan mengikuti arah suara. Ponselku ada di balik bantal Mas Danu. Gegas kuraih ponsel itu dan mematikan alarmnya. Saat baru saja kumatikan alarm, notifik
Aku terus menunduk dan memakai tudung jaket saat keluar dari kamar hotel. Malu pastinya harus jalan berdua dengan perempuan jadi-jadian. Meskipun begitu, mata ini sesekali melirik ke sekitar, setiap orang yang kami lewati menatap aneh dan banyak juga yang menertawakan. Akan tetapi, Mas Danu dengan percaya diri justru berjalan melenggak-lenggok seperti layaknya perempuan. Bahkan, dia tidak segan menyapa orang-orang dengan gaya lemah gemulai. Sampai di lobi, taksi yang kami pesan pun sudah menunggu. Tak perlu basa-basi, kami langsung masuk dan sama-sama menghela napas lega. Kemudian, kami tertawa puas tanpa peduli si sopir yang kulihat mencuri-curi pandang dari kaca spion di atasnya. "Pantes nggak, Nda?" tanya Mas Danu di sela derai tawa. "Banget, Mas. Tapi, malunya juga kebangetan. Nggak lagi-lagi, deh!" sahutku sambil sesekali tertawa juga, lalu membuka tudung jaket dari kepala. Hanya beberapa menit berselang, taksi pun berhenti di depan sebuah toko pakaian. Aku pun langsung turu
Saat sinar sang raja siang mulai terik, Mas Danu mengajak makan siang. Setelah menurunkan layang-layang, kami menuju satu tempat makan yang masih ada di dalam areal Pantai Ancol. Rasa lapar memang sudah membuntuti sejak tadi, tapi saat beberapa makanan terhidang di depan mata, aku justru enggan menyentuhnya. Perut ini kembali berulah dengan rasa mual. "Ayo, makan! Kamu nggak akan kenyang dengan lihatin makanan aja," tegur Mas Danu yang sudah melahap nasi dengan ayam goreng. Aku menggeleng, lalu mendorong piring di hadapan agar menjauh. Aku lapar, tapi sungguh, perut rasanya tidak ingin diisi. "Mau disuapi?" tanya Mas Danu dan langsung mengangsurkan satu sendok nasi dengan lauk ke mulutku. "Enggak, Mas. Mas Danu aja yang makan, aku minum ini aja." Kuambil satu gelas jus alpukat di meja, lalu meneguknya pelan menggunakan sedotan. "Oke, tapi habiskan." Mas Danu lantas melanjutkan makan. Aku mulai merasa sungkan dengan Mas Danu. Meskipun dia kakakku, tidak mungkin aku merepotkannya
Hah? Aku? Merampok hati kakak sendiri? Aneh sekali Mas Danu itu. "Ogah, Mas! Mending rampok dompet Mas Danu aja, buat jajan cilok di alun-alun," jawabku. "Ambil semua! Tahu, kan, di mana dompetku?" sahut kakakku itu sambil tetap melihat ke depan. Kami berdua terus berdebat hingga sampai rumah. Seperti kebiasaan dulu, kami tidak akan berhenti saling menjawab hingga obrolan awal menguap dan menjadi candaan tak berarti. Namun, aku merasa sedikit aneh karena Ayah dan Ibu yang tiba-tiba diam. Padahal, tadi kami tertawa bersama. Aku langsung diantar Ibu masuk ke kamar dan menyuruhku beristirahat. Untuk beberapa hari ke depan, dokter masih menyarankanku untuk bedrest hingga jadwal kontrol berikutnya. Aku menurut dan mencoba untuk tidur karena memang tadi kami pulang selepas Magrib. Meskipun administrasi sudah diurus siang hari, aku masih harus menunggu hingga dokter yang menangani melakukan pemeriksaan terakhir di sore hari. Jadi, malam begini kami baru sampai rumah. Aku mendengar suar
Aku terbangun dengan perasaan yang sangat tenang. Entah kenapa, setelah salat istikharah sebelum tidur tadi, sebuah mimpi indah hadir. Aku bersama seorang laki-laki yang wajahnya tampak samar. Dia tengah menggendong bayi dan aku menggoda bayi itu hingga tertawa. Mungkinkah itu Mas Arsya? Allah ... apa ini pertanda agar aku lebih bersabar dan memperbaiki pernikahan yang baru seumur jagung? Bismillah, aku akan mencoba ikhlas dan menjalani apa yang takdir tetapkan. Aku memejam sejenak, lalu menarik napas panjang seraya beristigfar. Semangat, Manda! Kubuka mata kembali dan bersamaan dengan itu, aroma menggugah selera membuatku mengingknkan makanan itu. Namun, saat aku keluar dari kamar, hanya mendapati suasana sepi. Mata ini pun mencari keberadaan jam dinding. "Baru jam sepuluh?" Mataku membulat. Berarti, aku tadi hanya tertidur selama satu jam? Kalau begitu, pasti Ayah, Ibu, dan Mas Danu sudah tidur. Lalu, aroma martabak telur tadi itu apa? Tidak mungkin ada masalah dengan indra penc
PoV ArsyaBoleh dibilang, aku laki-laki plin-plan, tapi semua yang terjadi memang membuatku harus mementingkan keselamatan Manda. Sejak kecelakaannya dengan Arumi dan kutahu dia sedang hamil, rasa takut kehilangannya makin besar. Namun, caraku untuk menyelamatkannya adalah dengan menyakitinya. Hal seperti itu memang sering dilakukan untuk mengecoh musuh. Saat orang yang kita sayangi tidak kita pedulikan, saat itu musuh lengah untuk menyerangnya karena merasa percuma, target tidak akan berpengaruh karena yang menjadi korban bukanlah orang yang disayangi. Jujur, aku tidak tega melihat Manda tersiksa batin. Namun, aku tidak ada pilihan lain dan tidak mungkin melibatkannya dalam masalah. Bukan menjadi sok pintar dan bisa menyelesaikan masalah sendiri, tapi keselamatan Manda lebih penting. Aku selalu menuruti apa mau Jihan. Hanya saja, kepura-puraannya berhubungan dengan Adam memang membuatku terkecoh. Apalagi, Adam yang cenderung pendiam itu seperti membela Jihan. Dan rupanya, laki-lak
Ayah langsung masuk ke kamar saat aku dan Mas Arsya tiba di rumah. Beliau seperti enggan melihat kehadiran Mas Arsya. Untungnya, masih ada Ibu yang menyambut meskipun terlihat terpaksa. Suasana sangat canggung. Aku juga bingung apakah Ayah bisa luluh lagi. Namun, sepanjang perjalanan tadi, aku dan Mas Arsya sudah berbicara banyak dan kami akan berjuang bersama untuk mendapat restu orang tua, terutama restu dari Mama Mertua dan Ayah Husni. "Ajak suamimu ke kamar, Nak. Kalian istirahatlah, sudah larut malam," ucap Ibu lembut seraya tersenyum kepadaku. "Mas Danu?" Aku menoleh ke arah pintu yang akan dikunci oleh Ibu. "Nanti juga pulang, nggak usah dipikirin." Ibu lantas masuk ke kamar setelah mengunci pintu dan mengambil kuncinya. Ya, mungkin Mas Danu membawa kunci cadangan. Aku kemudian mengajak Mas Arsya masuk ke kamar dan menyuruhnya istirahat. Dia terlihat begitu lelah. Wajah tegasnya sedikit lesu.Laki-laki berkemeja putih itu duduk di tepi tempat tidur, lalu menarik tanganku h
Aku membantu Ibu memasak untuk sarapan setelah Mas Arsya beranjak untuk mandi. Kali ini Ibu menyiapkan bahan untuk membuat sayur lodeh. Makanan itu salah satu kesukaan Ayah. Biasanya akan dimakan dengan ikan tongkol goreng. Namun, kali ini Ibu justru menyiapkan ikan nila. Aku diminta merapikan meja makan sementara Ibu tinggal memastikan sayurnya matang. Tak lama, Mas Arsya datang, dia sudah terlihat tampan. Baju milik Mas Danu untungnya pas di tubuhnya. "Nak, panggil ayahmu di kebun. Kita sarapan sama-sama!" perintah Ibu. Aku langsung meninggalkan meja makan dan Mas Arsya mengikuti. Dia menahanku di pintu yang menghubungkan dapur dengan kebun saat akan menghampiri Ayah. Dia ingin mengobrol dengan Ayah, agar lebih dekat. Memang, dulu sebelum kamu menikah, Mas Arsya hanya beberapa kali bertemu Ayah. Saat melamarku, saat memberikan berkas numpang nikah, dan saat pernikahan kami. Tidak ada kata apel malam minggu ataupun sekadar membuat image baik di mata calon mertua. Semua terjadi san