Kelvin berlari menghampiri saat aku masih di halaman rumah. Bocah laki-laki itu langsung memeluk kakiku dan menangis. Aku pun berjongkok untuk menyamakan tinggi dengannya, lalu mencium kedua pipinya.
Aku merasa nyaman saat berdekatan dengan Kelvin. Mungkin karena kerinduan terhadap Arumi dan itu bisa sedikit terobati saat bersama Kelvin. Kugendong anak tampan itu, membawanya menuju mobil Pak Adam yang suara mesinnya masih terdengar."Sudah siap?" tanya Pak Adam saat aku dan Kelvin sudah duduk di sisi kiri kemudi."Siap, Om!" seru Kelvin semangat.Saat mobil mulai melaju perlahan, Mas Arsya tiba-tiba mengadang di depan mobil. Apa -apaan dia? Itu sangat bahaya kalau saja Pak Adam tidak sigap menginjak rem.Pak Adam pun keluar dan dua laki-laki dewasa itu bicara cukup serius. Bisa kulihat dari sorot mata keduanya. Namun, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.Setelah beberapa saat, Pak Adam kembali dan langsung melajukan mobil dengan kecepatan sedang, meninggalkan Mas Arsya yang berdiri di depan gerbang rumah. Ingin sebenarnya bertanya apa yang Mas Arsya katakan kepada Pak Adam, tapi aku sungkan."Arsya itu lucu, ya? Cemburunya berlebihan," ucap Pak Adam tiba-tiba."Hah? Maksud, Bapak?" sahutku spontan."Jangan panggil bapak! Aku bukan atasanmu lagi, Amanda. Panggil Adam saja." Bukannya langsung menjawab, dia justru mempermasalahkan panggilan."Oh, iya, Mas Adam," kataku ragu."Mas Adam? Lumayanlah, daripada dipanggil bapak. Laki-laki masih muda, single, dipanggil bapak itu sebenarnya aneh, tapi kalau di tempat kerja, nggak masalah." Adam sedikit menyombongkan diri."Maksud, Bapak! Eh, Mas Adam tadi apa? Mas Arsya cemburu bagaimana?" tanyaku mengingatkan apa yang dia bicarakan tadi.Adam justru terkekeh, lalu berkata, "Arsya mau ikut tadi."Hah? Aku melongo tidak percaya. Masa' iya Mas Arsya meminta hal itu? Apa dia cemburu? Kurasa tidak. Bukankan masih ada Jihan yang menemani dia di rumah? Lalu, untuk apa mau ikut denganku dan Adam?Aku sepertinya juga harus mempersiapkan diri. Aku akan menuntut cerai sebelum Mas Arsya menikahi Jihan. Rasanya tidak sanggup jika harus menyaksikan pernikahan laki-laki yang kucintai, sementara aku masih menjadi istrinya."Ehm, Pak ... eh, Mas Adam. Kalau saya mau bekerja di daycare lagi, apa masih bisa?" tanyaku memecah keheningan."Loh, memangnya kenapa? Bukankah nafkah dari Arsya sudah lebih dari cukup?" Dia justru balik bertanya."Saya kangen Arumi, Pak. Kemarin saat saya seharian di daycare, rasanya rindu itu sedikit terobati. Saya—" Ah, sial! Mata ini langsung berkaca-kaca saat mengingat Arumi."Kapan pun kamu mau, kamu bisa datang ke daycare. Yang penting, Arsya mengizinkan. Itu saja," jawab Adam dan membuatku sedikit lega.Mungkin kalau memang aku dan Mas Arsya sudah resmi akan bercerai, aku akan bercerita agar diperbolehkan bekerja di daycare lagi.***Sekitar pukul sembilan, kami sampai di kebun binatang. Kelvin begitu gembira diajak ke tempat yang tentunya bisa menambah pengetahuannya. Pun, bisa bermain sepuasnya karena memang ada arena bermain khusus bersama beberapa binatang yang jinak.Bocah itu berlarian sesuka hati karena tempat ini tidak terlalu ramai. Selain weekend, tentu orang-orang masih sibuk dengan pekerjaan ataupun sekolah. Jadi, kebun binatang ini serasa milik pribadi.Adam dan Kelvin juga menaiki beberapa hewan tunggangan. Ada unta, gajah, dan kuda. Saat di areal khusus kuda, Adam memaksaku ikut merasakan mengunggangi hewan gagah itu. Namun, aku ingat jika sedang hamil dan takut jatuh, sehingga terus menolak permintaannya."Ayolah, Amanda! Ini nggak semenakutkan yang kamu pikir. Sama aku, deh. Nggak akan jatuh," paksa Adam."Enggak, Mas. Aku takut jatuh," tolakku lagi.Adam pun menyerah, sehingga dia menjnggangi kuda bersama Kelvin. Sementara aku duduk memperhatikan dari kursi tunggu pengunjung.Menjelang siang, tubuhku mulai lemas. Sejak pagi, aku belum makan dan sudah berjalan cukup jauh mengelilingi kebun binatang. Kaki rasanya mulai kebas dan entah kenapa, aku merasakan keram di bagian perut bawah.Aku langsung mencari tempat duduk dan membungkuk sambil menekan perut. Sementara Adam dan Kelvin terus berjalan tanpa menyadari keadaanku.Aku takut terjadi sesuatu dengan kandungan yang masih begitu muda. Namun, jika aku mengatakan kondisi ini kepada Adam, rasanya juga berat. Bisa saja dia langsung bercerita kepada Mas Arsya."Amanda? Kamu kenapa?" Adam sudah duduk di sampingku bersama Kelvin di pangkuannya."Sakit perut, Mas," jawabku dengan suara tertahan."Sakitnya bagaimana? Mau ke toilet? Atau ... astaga! Apa karena kamu belum makan?" Adam justru mengoceh sendiri."Keram ini, Mas. Sakit banget," keluhku. Keringat pun mulai menetes dari sekitar dahi.Adam mulai terlihat bingung. Dia meminta Kelvin untuk duduk diam di sampingku, sementara laki-laki itu pergi mencari bantuan.Allah, jaga anakku ....Beberapa saat kemudian, Adam datang menggunakan mobil milik kebun binatang. Mereka lalu membawaku menuju pintu keluar tempat ini. Kemudian, kami berpindah ke mobil Adam dan laki-laki itu langsung melesatkan kendaraannya menuju rumah sakit terdekat. Akhirnya, Adam tahu kehamilanku karena dokter mengira dialah suamiku."Kenapa kamu nggak bilang kalau sedang hamil? Apa Arsya belum tahu? Kalau tahu, dia pasti melarangku membawamu tadi."Aku justru terisak dan tidak sanggup bicara. Ini masalah rumah tangga yang seharusnya tidak diumbar. Namun, aku juga tidak mungkin membiarkan Adam mencari tahu dari Mas Arsya."Nggak pa-pa kalau kamu nggak mau cerita, tapi aku harus menghubungi Arsya. Kata dokter, kamu harus dirawat. Maaf, karena aku dan Kelvin, kamu jadi seperti ini. Untung kandunganmu baik-baik saja. Kalau tidak, akh pasti akan sangat merasa bersalah," ucapnya panjang lebar."Jangan beritahu Mas Arsya! Aku nggak mau dirawat, aku mau pulang." Kulepas paksa jarum infus yang menempel di punggung tangan. Darah pun menetes dari bekas tusukan jarum itu.Adam akhirnya mengantarku pulang setelah berdebat cukup panjang dan harus meyakinkan dokter jika aku ingin dirawat jalan saja. Pun, aku mengikatnya untuk berjanji agar tidak mengatakan apa pun kepada Mas Arsya nantinya. Namun, sebelumnya, aku harus diinfus lagi dan menghabiskan satu botol cairan infus.Kelvin sudah nyenyak di jok belakang mobil sedan mewah ini. Kasihan juga bocah itu. Karena aku, harinya yang seharusnya menyenangkan menjadi berantakan.Sampai di rumah, aku segera masuk dan langsung menuju kamar. Aku harus mengikuti kata dokter untuk bedrest. Adam juga banyak berpesan sebelum pergi tadi. Aku harus banyak makanlah, minum obat dan vitaminlah, jangan stress, dan banyak lagi. Bahkan, baru saja aku menjatuhkan diri di tempat tidur, notifikasi pesan W******p terdengar beruntun. Setelah kulihat, beberapa pesan berderet dari nomor Adam.***Ketukan pintu kamar ini lambat laun menjadi gedoran. Suara Mas Arsya pun terdengar seperti orang panik. Aku yang tadinya tidur nyenyak, harus terganggu dan terpaksa bangun.Kaki ini melangkah perlahan menuju pintu, lalu membuka kuncinya. Saat pintu terbuka, Mas Arsya terlihat menghela napas."Kamu nggak pa-pa? Tadi, kata Adam, kamu sempat dibawa ke rumah sakit. Kamu drop lagi? Kenapa malah ngunci pintu? Kalau ada apa-apa gimana? Sampai jam segini, kamu juga belum makan malam. Pasti belum minum obat juga," cerocos Mas Arsya yang justru membuatku bingung."Apa, sih? Aku nggak pa-pa, kok. Cuma kecapekan aja tadi, jalan jauh banget di kebun binatang," sanggahku dengan nada ketus.Melihat Mas Arsya yang seperti itu, hati ini justru bertambah sakit. Untuk apa dia memberikan perhatian saat akan ada perempuan lain yang menggeser posisiku nanti?"Ya sudah, makan dulu sekarang," ajaknya dan langsung kutolak. Kemudian, aku langsung menutup pintu kamar lagi untuk kembali tidur."Amanda!"Seketika, tubuh ini membeku saat Mas Arsya kembali memanggil namaku. Air mata pun luruh bersama separuh jiwa yang melenguh.Kenapa laki-laki itu seperti mempermainkanku? Ada kalanya perhatian kecil dia berikan, tapi selang beberapa saat, rasa sakit kembali dia hunjamkan sangat dalam hingga aku kesulitan bernapas."Buat apa Mas Arsya memikirkan aku makan atau tidak? Bahkan, akan lebih baik aku menyusul Arumi, bukan? Itu yang Mas Arsya inginkan, bukan?" kataku dengan sesegukan."Buka pintunya sekarang, atau aku dobrak!" Suara Mas Mas Arsya meninggi.Aku yang masih berdiri bersandar pintu, mulai merosot ke lantai. Bayangan saat Arumi terkapar di tengah jalan dengan bersimbah darah kembali membuat rasa bersalah menggebu. Aku menangis kian keras mengingat anak manis itu pergi dengan cara tragis."Arumi!" Aku berteriak histeris sambil memeluk lutut. "Maafkan bunda ...."Suara gaduh di depan pintu pun berhenti dan aku makin puas menangis. Apa Mas Arsya tidak tahu kalau aku juga tersiksa karena kehilangan Arumi? Dia terus menyalahkan tanpa mau tahu keadaanku.Kutenggelamkan wajah di antara lurut sambil memejam. Ini begitu menyakitkan."Amanda."Panggilan pelan disertai sentuhan di puncak kepala membuatku mendongak. Mas Arsya berjongkok di depanku. Apa ini hanya halusinasiku saja? Namun, sentuhannya begitu hangat terasa."Maafkan aku, Nda. Aku terlalu memikirkan diri sendiri tanpa peduli kalau kamu juga menderita karena kepergian Arumi."Tidak! Aku tidak salah lihat dan ini bukan halusinasi. Mas Arsya benar-benar ada di depan mata. Sekilas aku melirik ke arah jendela, rupanya terbuka.Dengan keras aku langsung mendorong bahu laki-laki di hadapan hingga ia terjungkal. Entah kenapa, aku tiba-tiba membencinya. Aku sedang tidak ingin melihat wajahnya."Pergi! Pergi!" teriakku dengan napas menderu. Dada ini naik-turun cukup cepat.💗💗💗Kejadian semalam membuatku sedikit lega karena bisa meluapkan emosi yang bercokol di hati selama dua bulan terakhir. Aku juga melakukan gerakan tutup mulut sejak semalam. Aku benar-benar tidak membuka mulut kecuali saat berwudu. Lemas memang tidak bisa dielakkan karena aku sama sekali tidak makan ataupun minum sejak kemarin. Vitamin dan obat dari dokter juga belum berkurang. Berbaring di tempat tidur menjadi hal paling kubutuhkan saat ini meskipun beberapa kali harus ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat dan saat akan menyucikan diri. Beriak angin yang menggoyangkan tirai terdengar begitu merdu. Kolase indah dari sinar mentari pagi kian menambah rasa tenang yang kuinginkan. Dua kotak jendela terbuka itu memberikan aroma pagi yang menyejukkan. Ya, hampir sama seperti hidupku. Jika angin dan sinar matahari tidak berkolaborasi, maka hanya akan menghasilkan bencana. Tidak akan ada hujan, tidak akan ada sejuk, juga tidak akan ada pelangi. Saat aku sendirian seperti i
"Yah, Bu, itu sepertinya temen kerja saya datang. Saya pamit dulu sebentar. Titip Manda, ya." Mas Arsya masuk ke kamar, lalu dia keluar membawa kunci mobil. Sebelum meninggalkan rumah, dia sempat menciun tangan Ayah dan Ibu, serta mencium keningku. Sangat jelas dia berbohong kali ini kepada Ayah dan Ibu. Aku tahu siapa orang yang mengucap salam tadi. Dia Jihan dan Mas Arsya pergi dengan perempuan itu tanpa peduli perasaanku. Baiklah, dia sukses menjadikanku mainan. Setelah Mas Arsya pergi, aku justru leluasa bermanja dengan Ibu. Ayah yang melihat pun hanya geleng kepala. Beliau tahu bagaimana aku jika sudah bertemu dengan Ibu. Kami seperti tidak bisa terpisahkan. "Kalau sudah ketemu kamu, Ayah disisihkan," gerutu Ayah. Beliau kemudian menyalakan televisi dan pas sekali acara favoritnya, sepak bola. "Hayo, Ayah jagoin mana?" tanyaku menggoda. "Indonesia, dong!" jawabnya antusias. "Oke, yang menang, dapet ciuman dari Ibu!" se
Saat Mas Arsya sudah tidur, aku memulai rencana, yaitu mengecek ponselnya. Ya, bisa dibilang lancang, tapi sebelum kami bersitegang, Mas Arsya tidak pernah bermain kucing-kucingan. Bahkan, terkadang dia yang menyuruhku untuk membalaskan pesan di ponselnya. Sama sekali tidak ada yang dia tutupi. Aku mendekat pada sofa tempat Mas Arsya tidur, lalu mengambil ponselnya yang ada di samping bantalnya. Syukurlah, kata sandi ponselnya masih sama seperti dulu, tanggal ulang tahun Arumi. Setelah kunci layar terbuka, tujuan pertamaku adalah aplikasi Whatsapp. Semoga bisa kutemukan sesuatu dari chat di dalamnya. Pesan dari Jihan ada di deretan paling atas. Tanpa pikir panjang, kubuka pesan perempuan itu. Pada pesan terakhir, terpampang kalimat manja dari Jihan yang berisi ucapan selamat malam diikuti emoticon cium begitu banyak. Hati yang awalnya kukuatkan, rupanya sangat rapuh. Napas ini tiba-tiba sesak dan air mata pun menetes tanpa kuperintah. Dengan gemetar, aku men-scroll laman pesan Mas
"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanyaku setelah kami memasuki area parkir apartemen. "Kamu ikut saja," jawabnya santai setelah motor berhenti. Aku pun turun dan Adam membenarkan posisi parkir sepeda motorku. Setelah itu, dia menarik tanganku perlahan. Terpaksa aku mengikutinya karena ingin tahu apa yang akan dia bicarakan. Namun, aku mulai ragu saat Adam membawaku masuk lift dan dia menekan angka lima belas. "Nggak, aku nggak bisa ikut." Kutekan lagi tanda buka hingga lift yang hampir tertutup kembali terbuka. Namun, kondisi yang cukup sepi dan tidak ada orang lain di lift, membuat Adam leluasa. Dia dengan cepat menarik tanganku, lalu menahan tubuh ini dengan satu tangan dan satu gangan yang lain digunakan untuk membekap mulutku. Kemudian, dia menggunakan siku untuk menekan tombol lift. Kotak besi ini pun membawa kami ke lantai lima belas.Aku mulai ketakutan. Adam seperti penculik yang sangat lihai. Siapa dia sebenarnya? Bukankan dia berasal dari keluarga kaya? Namun, kenapa dia har
Aku rasanya kembali hidup setelah mendengar cerita Mas Arsya tadi siang. Namun, beberapa hal masih membuatku ragu untuk percaya sepenuhnya. Dia masih belum menceritakan tentang isi pesan Whatsapp dengan Jihan yang begitu mesra. Apa iya pesan seperti itu hanya untuk mengecoh Dokter Fahira? Aneh, bukan? Jika ditilik, mana mungkin orang lain yang jarang bertemu akan mengecek pesan Whatsapp pribadi. Bahkan, aku saja jarang membuka ponselnya. Namun, aku tidak mau banyak bertanya karena pastinya jawabannya akan membela diri. Dengan hubungan yang cukup membaik ini, akan kugunakan untuk mencari tahu sendiri. Aku sekarang sendirian di apartemen yang tidak terlalu besar. Jika aku perkirakan, mungkin luasnya hanya sekitar enam kali enam meter persegi. Hanya ada ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan, satu kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Bukan masalah besar kecilnya tempat ini, hanya saja, aku merasa seperti tahanan. Entah kenapa, dia juga tidak mengizinkanku kembali ke rumah saja. Satu
"Kita mau ke mana, Mas?" tanyaku saat mobil memasuki areal bandara. "Katamu mau pulang? Aku akan antar kamu pulang." Mas Arsya tersenyum seraya tangannya mengusap pelan puncak kepalaku. Aku pun diam, mencoba mencerna sendiri arti kata pulang bagi Mas Arsya. Dia menggandeng tanganku menuju bagian dalam bandara. Jemari tangan kanannya menyatu dengan jemari tangan kiriku. Entah kenapa, rasanya seperti ada sengatan yang membuat tubuhku lebih rileks.Mas Arsya membeli dua tiket ke Jogja. Sekarang, aku baru tahu jika Mas Arsya ingin membawaku pulang ke tempat kelahiranku. Apa dia ingin mengembalikanku kepada Ayah dan Ibu? Pantas saja saat aku ingin makan mi ayam, dia tidak terlalu peduli. Pun saat aku bilang tidak jadi menginginkan makanan itu, dia tidak mempermasalahkan. Rupanya, Mas Arsya sedang mengejar penerbangan terakhir ke Jogja, pukul setengah sembilan malam. "Ayo, kita ke ruang tunggu," ajaknya sambil meraih tangan kiriku. Aku bergeming, menatapnya penuh tanya. Namun, laki-lak
"Cukup, Mas! Hentikan!" teriakku. Melihat laki-laki yang aku sayangi terluka, rasanya aku ikut merasakan sakitnya. Meskipun kekecewaan terhadap Mas Arsya masih begitu besar, cintaku untuknya juga tak kalah besar. "Buat apa kamu belain dia, Nda?!" teriak Mas Danu. Matanya benar-benar berkilat amarah. "Aku nggak belain siapa-siapa, Mas. Aku cuma minta berhenti pakai kekerasan. Tolong," kataku lirih, tapi harusnya orang-orang di ruangan ini masih bisa mendengar. Mas Danu tidak mendengarkanku dan justru kembali akan memberikan pukulan kepada Mas Arsya. Aku sontak menarik kausnya, tapi gagal. Mas Danu dengan beringas menyerang Mas Arsya yang sama sekali tidak melawan. Aku menangis melihat kejadian yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ayah dan Ibu yang mencoba melerai pun kalah dan tidak didengar. Entah kenapa Mas Danu bisa semarah itu. "Mas Danu, cukup!" teriakku sambil berusaha menarik tangannya. "Ini untuk sakit hati yang kamu berikan untuk Manda!" ucap Mas Danu berang. Dia
"Bukannya ada Mas Adam? Kenapa harus nyusahin Mas Arsya, sih? Kan, Mas Adam yang calon suaminya," jawabku ketus. Tidak tahu kenapa, aku sangat kesal dengan pasangan itu. "Loh, Manda? Arsya mana?" Suara Adam melunak. Padahal, saat dia mengira yang mengangkat telepon adalah Mas Arsya, ucapannya seperti tidak ada etika. Langsung tembak tanpa basa-basi dan urusan Jihan seperti sangat penting. "Mas Arsya lagi sakit, kenapa?" Lagi aku menjawab tak acuh. "Ya sudah, maaf kalau mengganggu." Adam pun mengakhiri panggilan. Terserah saja. Malas sekali, saat aku dan Mas Arsya sedang ingin memperbaiki hubungan, justru ada pengganggu. Aku masih saja curiga dengan Adam dan Jihan. Apa benar mereka akan menikah? Kalau iya, kenapa semua urusan harus melibatkan Mas Arsya? Fokusku justru pada chat mesra antara Mas Arsya dan Jihan. Yang satu itu akan terus menghantuiku meskipun Adam dan Jihan sudah menikah.Ah, hampir saja aku tenggelam dalam lamunan kalau Mas Arsya tidak menyentuh lenganku. "Ayo, pul