Aku buru-buru berlari ke toilet dan terpaksa harus melewati meja tempat Mas Arsya dan Dokter Fahira. Semoga saja mereka tidak mengenali karena aku sudah menggerai rambut dan menutupkan ke sisi wajah yang bisa saja mereka lihat.
Sampai di toilet, aku benar-benar mengeluarkan isi perut meskipun hanya air. Aku memang belum makan sejak pagi dan kini tersisa rasa pahit di lidah."Kamu masih mau mengelak, Nda?"Aku sontak menoleh. Dokter Fahira sudah berdiri di samping cermin dengan kedua tangan bersedekap. Aku bergegas membasuh muka setelah berkumur."Kamu di sini juga, Ra? Kok, aku nggak lihat tadi?" Aku tersenyum meskipun terpaksa. "Aku duluan, ya. Lagi makan sama temen," pamitku sembari melangkah menuju pintu. Namun, dokter itu menahan lenganku."Kamu hamil, Nda. Jujur sekarang, atau aku panggil Arsya ke sini?" ancamnya dan membuatku sedikit takut."Bu Dokter yang cantik dan baik hati, aku hamil atau enggak, itu bukan urusanmu. Paham?" kataku setenang mungkin.Setelahnya, aku keluar dari toilet dan berjalan biasa. Bahkan, sengaja kulewati Mas Arsya sambil menatap laki-laki itu. Dia langsung berdiri saat aku sampai di dekat mejanya dan menghalangi langkahku.Mungkin dia tidak menyangka jika aku bisa keluar dari rumah dan bersikap biasa saja. Aku tersenyum, lalu kembali melangkah tanpa bicara satu patah kata pun. Namun, langkah ini harus kembali terhenti karena panggilan Dokter Fahira."Kamu atau aku yang akan mengatakannya kepada Arsya?"Kaniya pun menoleh ke arahku. Dia pasti bingung dengan apa yang terjadi. Bahkan, semua pengunjung rumah makan ini menjadikanku fokus mereka.Berpikir, Amanda! Tidak mungkin aku membiarkan Dokter Fahira mengatakan kehamilanku kepada Mas Arsya di depan umum seperti ini.Aku membalik badan. Dokter perempuan itu sudah berdiri di hadapan Mas Arsya. Aku pun menghampiri mereka tanpa ragu. Mas Arsya tampak bingung dan kami sama-sama menoleh hingga pandangan kami bertemu beberapa saat."Kemarin Jihan, sekarang Dokter Fahira. Sebenarnya, siapa yang akan jadi maduku, Mas?" sindirku.Dua pasang mata di hadanku langsung melotot.Tak peduli, aku langsung menghampiri Kaniya, lalu mengambil tas dan langsung menuju kasir. Setelah membayar, aku langsung berlari menuju daycare untuk mengambil motor. Namun, kendaraan yang berlalu lalang begitu banyak dan menyulitkanku untuk menyeberang, hingga tiba-tiba mobil yang sangat kukenal berhenti di hadapan.Mas Arsya turun dari pintu bagian kemudi, lalu mendekat dan menarik tanganku. Dia memaksaku masuk ke mobil setelah dia membuka pintu bagian kiri. Kemudian, mobil pun melaju perlahan setelah dia sudah duduk di bangku kemudi."Siapa yang mengizinkanmu keluar rumah? Kamu masih tanggung jawabku dan kamu masih sa—" Mas Arsya tiba-tiba diam. Apa mungkin dia mengkhawatirkan keadaanku? Entahlah.Aku diam tanpa menjawab dan memilih membuang pandang ke kiri."Kamu denger nggak aku ngomong?" ucapnya sedikit lebih keras. Namun, tetap kuabaikan."Amanda!"Aku tersentak. Pertama kalinya Mas Arsya menyebut namaku sejak kepergian Arumi. Aku pun menoleh ke arah laki-laki yang sedang menyetir itu. Pandangan yang tadinya begitu jernih, berubah buram."Terima kasih karena Mas Arsya masih mengingat namaku. Bolehkah aku mendengar Mas memanggil namaku lagi?" Air yang menggenang di pelupuk mata, akhirnya tumpah. Hati ini begitu riskan dengan apa pun yang berhubungan dengan Mas Arsya.Akan tetapi, suasana berubah dingin kembali karena diamnya laki-laki yang sedang menyetir itu. Sementara aku harus kembali jatuh di kubangan kecewa.Aku tidak akan memberitahu tentang kehamilan sebelum Mas Arsya mengakui pentingnya aku dalam hidupnya tanpa kehadiran anak.***Aku mengurung diri sejak sampai di rumah. Namun, rasa lapar sudah tidak bisa ditahan lagi. Kalau bukan karena anak dalam perut ini, aku akan memilih kelaparan saja.Tengah malam aku akhirnya keluar dari kamar dan mencari makanan di dapur. Selagi Bi Narti dan Mas Arsya tidur, aku tidak akan terlalu malu. Untungnya, masih ada sayur kentang di atas kompor dan beberapa potong ayam goreng di dalam tudung saji, juga nasi yang masih cukup banyak di pemanas nasi.Aku makan dengan lahap karena seharian merasakan mual dan ditambah masalah tadi siang. Rasanya begitu melelahkan."Ternyata, bukan cuma kucing yang ngambil makanan diam-diam."Suara Mas Arsya membuatku menghentikan gerakan. Dia tiba-tiba duduk di kursi sebelahku dan menarik piringku, lalu dia menyantap makanan yang masih ingin kumakan dengan santainya.Aku mengerutkan dahi, bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah. Apa mungkin Dokter Fahira sudah mengatakan sesuatu kepadanya?"Kenapa? Nggak ikhlas ini aku makan?" Dia menunjuk makanan di piring."Ma–maaf," kataku, lalu bangkit dari duduk.Aku memang ingin Mas Arsya kembali seperti saat awal kami menikah, tapi melihatnya sekarang, aku justru curiga. Adakah yang dia sembunyikan lagi? Tapi apa?"Apa nggak ada kata selain maaf? Kamu terlalu sering mengucapkannya." Dia berdecak. "Ambilkan minum," perintahnya kemudian karena aku tidak merespons."I–iya." Aku terlalu gugup.Setelah mengambilkan minum, aku kembali ke kamar. Debar jantung ini begitu mengganggu. Semudah itu cintaku berkobar lagi hanya karena Mas Arsya berbicara tanpa amarah. Aku rindu dia yang dulu. Sungguh.***Menjelang siang, sebuah pesan W******p masuk dari nomor yang tidak kukenal. Namun, setelah melihat isi pesannya, aku tahu siapa dia. Pak Adam memintaku untuk membantunya di daycare. Katanya, Kelvin mencariku dan tidak mau diasuh oleh semua pegawai daycare. Bocah itu tantrum dan terus menangis.Aku yang masih bergelung selimut, masih enggan untuk bangun. Setelah salat Subuh tadi, aku memang kembali tidur. Rasanya malas untuk sekadar turun dari tempat tidur.[Maaf, Pak. Saya nggak bisa.]Satu balasan akhirnya kukirim. Namun, beberapa detik kemudian, pesan dari Pak Adam kembali masuk.[Saya mohon, Amanda. Hanya hari ini saja. Saya nggak tahu gimana nenangin Kelvin. Tolong ....]Mata yang masih begitu berat, terpaksa kubuka dan mengamati jam yang berada pada layar ponsel bagian atas. Pukul tujuh lebih lima menit.Kuletakkan ponsel di kasur, lalu beranjak ke kamar mandi. Sesekali aku menguap karena memang masih mengantuk.Selepas dari kamar mandi, ponselku berdering. Dengan malas kulihat siapa yang melakukan panggilan. Rupanya Pak Adam. Kubiarkan panggilannya dan berjalan ke arah jendela. Saat menyibak tirai, tampak Mas Arsya dengan kaus hijau dan celana training sedang berolahraga di halaman.Aku berpikir sejenak. Tumben sekali laki-laki itu ada di rumah jam segini. Biasanya, dia pergi pagi-pagi sekali dan pulang larut malam saat weekend sekalipun. Namun, kali ini dia benar-benar aneh."Heh! Perempuan jangan lelet. Sini, olahraga!" seru Mas Arsya ke arahku.Apa maksudnya? Dia mengajakku olahraga? Benarkah? Apa dia amnesia? Ataukah kepalanya habis terbentur batu?"Cepat kemari!" Kini, Mas Arsya melambaikan tangan."Iya, iya ...."Aku yang tadinya hampir melompat kegirangan, harus menelan kecewa lagi. Jihan terlihat berlari dari arah pintu rumah mendekati Mas Arsya. Sepagi ini dia sudah ada di rumah ini?Sepertinya, aku memang harus menyiapkan hati dan mental untuk menyaksikan pernikahan Mas Arsya dengan Jihan. Dan untuk anak dalam rahim ini, Mas Arsya akan menjadi yang paling akhir mengetahuinya.Kututup lagi tirai jendela dan bergegas mengambil ponsel. Aku menyetujui permintaan Pak Adam untuk datang ke daycare. Saat di sana, semua bebanku seakan-akan hilang.Mandi dan berdandan sederhana sudah. Aku tinggal berangkat menuju daycare, tapi aku lupa satu hal. Motorku masih tertinggal di sana. Lalu, bagaimana aku ke sana? Huh, malas sekali kalau harus memesan taksi.Aku duduk di tepi tempat tidur, lalu men-d******d dulu aplikasi ojek online. Aplikasi yang lama memang sudah tidak pernah kugunakan semenjak menikah, sehingga kuhapus. Namun, belum selesai mengunduh aplikasi bergambar motor itu, telepon masuk dari Pak Adam. Sedikit terpaksa, aku pun mengangkatnya."Assalamu'alaikum, Amanda," sapanya sopan."Wa–waalaikumsalam, Pak." Aku menjawab sedikit gugup."Saya sudah di depan rumahmu, kamu keluar, ya. Aku tunggu di mobil saja," ungkapnya dan itu membuatku sangat terkejut."Tapi, Pak. Saya—""Motormu masih di daycare, kamu mau naik apa? Makanya saya jemput," ucapnya menyela perkataanku."Saya bisa naik taksi, Pak," jawabku kemudian."Kelvin nggak bisa nunggu. Dia ikut di mobil sama saya. Saya juga sudah minta izin dengan Arsya."Alasan terakhir Pak Adam membuatku menyerah. Jika ada Kelvin, aku tidak akan terlalu sungkan. Ini memang bukan kali pertama aku menunpang mobil bos itu, tapi kali ketiga. Pertama, saat asam lambungku naik dan masih menjadi karyawannya, Pak Bos membawaku ke klinik. Kedua, saat mengantar Arumi ke kantor Mas Arsya. Pak Adam memang sangat dekat dengan suamiku, mereka adalah teman semasa kuliah.Mas Arsya sudah berdiri di hadapan saat aku membuka pintu. Dia memperhatikanku dari atas sampai bawah. Kemudian, tiba-tiba saja dia mengusap bibirku dengan saputangannya."Nggak usah tebal-tebal kalau pakai lipstik. Mau godain Adam, hm?" ucapnya seperti menyindir."Maaf, aku izin untuk pergi hari ini. Dan sepertinya, aku juga akan kembali bekerja," kataku sebelum berlalu menghindari tatapan intimidasi dari Mas Arsya."Tunggu!" teriak Mas Arsya saat aku hampir sampai di luar.Aku menghentikan langkah, lalu menoleh."Ah, tidak! Pergilah!" ucapnya sambil mengibaskan tangan kanan.Laki-laki satu itu sangat menyebalkan!PoV ArsyaAku tidak pernah menyalahkan Manda dengan sikapnya yang kadang kala seperti anak kecil. Itulah dia apa adanya. Sekali, dua kali, tiga kali dikecewakan, dia masih bisa bersabar. Semua terbongkar sudah kenapa dia begitu marah saat aku menunda kepulangan dari Kalimantan selama beberapa hari lagi. Semua orang merahasiakan sesuatu dan baru sekarang aku mengetahui kejadian sebenarnya. Afkar sempat demam tinggi dan mengalami kejang sehingga dirawat selama satu hari di rumah sakit. Kemungkinan karena anak itu tidak bisa jauh dariku terlalu lama. Padahal, saat itu baru dua hari aku pergi. Ya, kekecewaan Manda bukan karena egois, tapi dia marah karena itu berhubungan dengan Afkar. Mama menceritakan betapa Manda kebingungan karena harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit sampai sepuluh kali dalam sehari. Syifa yang rewel karena belum pernah jauh dari sang bunda dan Afkar yang terus mencariku. Sementara Syifa tidak mungkin dibawa ke rumah sakit. "Kenapa nggak ngabarin aku, Ma? Aku
PoV ArsyaBayu terperangah saat aku membuka tudung kepala dan kacamata hitam. Dia beringsut mundur dan tampak gugup. Namun, dia juga tidak lari. Mungkin, dia kaget dengan keberadaanku."Ba–bapak kenapa bisa di sini?" tanyanya terbata-bata. "Siapa dia, Pak Bayu? Apa perlu saya—""Diam! Dia adalah Pak Arsya, pemilik Jaya Properties!" seru Bayu kepada laki-laki bertubuh besar yang ada di belakangku. Semua orang yang ada dan melihat kejadian ini, terdengar berkasak-kusuk. Kebanyakan mereka menghujatku karena mengira sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembelian tanah korban kebakaran. Aku lalu menghubungi Damar. Dia bilang, sudah selesai membeli semua barang dan memastikan sampainya barang-barang itu di pengungsian. Sekarang, dia sedang menuju ke tempatku berada. Aku kini justru dikepung warga yang tidak terima dengan harga pembelian tanah mereka. Sementara Bayu berhasil lolos dengan tipu dayanya. Kebanyakan menyalahkanku dan meminta pembatalan pembelian."Saya memang pemilik p
PoV ArsyaKalau orang bilang, pasti aku dan Damar itu seperti surat dengan perangko yang menempel terus ke mana pun. Di Kalimantan ini, Damar pun ikut denganku dan kali ini, tanpa Edo yang bisanya menjadi pelengkap tiga sekawan. Edo sedang ada pertemuan dengan klien lain di Jakarta. Dia juga orang sibuk. Sampai di Kalimantan, aku dan Damar langsung menuju hotel terlebih dahulu karena pertemuan dengan Pak Hamdan sudah dijadwalkan selepas makan siang. Sementara saat ini, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Satu kamar aja, nggak apa-apa, kan, Mar? Tapi, aku ambil tempat tidurnya yang dua," kataku setelah memesan kamar. "Saya, sih, nggak apa-apa, Pak. Cuma, apa Bapak nyaman satu kamar sama sopir?" jawab Damar dengan kalimat tanya juga. Mendengar itu, aku justru tertawa. "Kamu masih makan nasi, kan?" "Iya, Pak. Memangnya kenapa? Tadi, saya juga sudah sarapan." Damar berbicara seperti tidak paham dengan ucapanku. "Ya sudah, berarti aku aman. Soalnya, teman satu kamarku bukan
PoV ArsyaDamar berhasil membawa Kasih, istri dari korban di apartemen yang membuat namaku buruk di mata publik. Acara konferensi pers ini juga dihadiri beberapa wakil dari pihak kontraktor, termasuk Pak Alif Nurdiansyah selaku pemilik perusahaan kosntruksi itu. Memang proyek apartemen itu sudah berlangsung lebih dari dua tahun, sejak sebelum aku mengenal Pak Zaidan. Kasih tidak bisa lagi memberikan tuduhan di depan banyaknya kamera yang merekam kami. Dia juga akhirnya mau menerima jalan damai yang aku dan Pak Alif tempuh dengan memberikan jaminan penghidupan yang layak untuk calon anaknya yang masih dalam kandungan hingga lulus jenjang perguruan tinggi. Aku juga memberinya pekerjaan sebagai staff marketing dengan jam kerja bebas karena memperhitungkan kondisinya yang tengah mengandung. Aku memberinya posisi itu karena dia rupanya lulusan SMK dan mempunyai ijazah D3 Managemen Pemasaran. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak bisa melanjutkan jenjang S1 dan dia kesulitan mendapat peke
PoV ArsyaSatu masalah selesai, datang lagi masalah baru. Lelah sudah pasti, tapi selama Manda selalu di sisi, semuanya terasa lebih mudah. Dia selalu mendukungku dalam segala hal yang masih dalam koridor kebaikan. Aku sangat beruntung memilikinya. dengan ancaman perempuan yang suaminya menjadi korban kecelakaan di apartemen. Namun, aku tidak ingin Manda ikut kepikiran dengan masalah itu. Apalagi, berita di media elektronik dan sosial yang simpang siur. Aku sebenarnya tidak takut dengan berita miring yang beredar. Namun, tuduhan tentang korupsi dana yang membuatku tidak habis pikir. Aku yang menggelontorkan dana untuk pembangunan apartemen itu dan lahan pun milikku, mana mungkin aku membuat buruk nama sendiri? Pengacara perusahaan pun memberiku support untuk tetap tenang. Juga semua karyawan yang percaya sepenuhnya denganku. Akan tetapi, banyak juga yang membuat namaku makin dituding buruk. Mereka yang merasa tersaingi dengan pesatnya peningkatan perusahaanku tentunya. Aku memijat-
PoV ArsyaBerita tentangku dengan Galuh rupanya tersebar di media sosial. Apalagi, foto saat awalnya aku duduk di sebelah Galuh, sempat tersebar. Memang sebelumnya aku tidak terlalu peduli duduk bersebelahan dengan perempuan itu, tapi karena mulai ada tanda-tanda tidak beres, aku pun bertukar tempat dengan Damar. Siapalah aku yang sampai menjadi incaran pemburu berita? Apa istimewanya juga meliput tentangku? Bahkan, menyebarkan berita hoax yang bisa saja membuat kehidupanku menjadi kacau. Untungnya, Manda bisa berpikir positif dan tidak langsung menuduhku macam-macam. Saat anak-anak sudah tidur lagi, Manda memperlihatkan berita tentangku di akun Instagram miliknya. Cukup viral juga. Namun, yang membuat geram itu caption yang dituliskan "Pemilik Jaya Properties Berlibur ke Belitung dengan Putri Bungsu Pemilik Lahan yang sedang Digarap menjadi Resort di Pelabuhan Ratu." Jelas salah total apa yang diberitakan. Aku ke sana hanya untuk bisnis dan pemilih lahan resort itu bukan lagi ayah
PoV ArsyaSelepas Subuh, aku sudah berangkat ke Bandara karena Manda justru memaksaku pergi ke Belitung. Dia tidak lagi mempermasalahkan kesibukanku sejak semalam. Setelah kami sama-sama melepas rindu, dia tiba-tiba memberiku izin. Sebenarnya, aku justru takut jika dia seperti itu. Manda seperti menganggap dirinya tidak penting bagiku. Aku bertekad dalam hati akan mengambil libur setelah urusan di Belitung selesai. Lagi pula, nanti sore, aku sudah kembali lagi ke Jakarta. Aku ke sana juga tidak sendiri. Edo dan Damar aku paksa ikut. Sebagai asisten pribadi, Damar sangat dibutuhkan karena dia juga berperan sebagai sekretarisku. Sekitar pukul delapan pagi, aku dan yang lain sampai di bandara Pulau Belitung. Kami pun langsung menuju tempat pertemuan dengan klien yang dijadwalkan pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam lagi untuk kami menyiapkan presentasi. Aku juga harus membaca ulang proposal yang dikirimkan oleh pihak klien lewat email kepada Edo. Satu orang yang berada di ant
PoV ArsyaManda makin sibuk mengurus Afkar dan Syifa. Untungnya, kami tinggal bersama Mama dan masih ada Resti sehingga dia tidak terlalu kelelahan. Meskipun begitu, tuan putri kecil kami tidak pernah absen mengajak bergadang sampai usianya sekarang sudah tiga bulan. Dia bahkan sudah bisa diajak bercanda dan mulai belajar tengkurap. Untuk hadiah kunci saat itu, Manda tidak menolak, tapi hadiahnya malah aku yang memakai. Apa lagi, mobil yang dulu kacanya pecah, sudah kujual karena membuat trauma. Kemudian, mobil yang satunya, aku biarkan dibawa oleh Damar. Kasihan saja kalau dia harus bolak-balik pakai motor untuk pulang dan pergi. Jadi, biar dia sekalian yang merawat mobilku dan saat dia datang, aku tinggal berangkat. Tidak perlu memanaskan mesin dulu. "Hari ini jadwal imunisasi Syifa, Mas. Minggu lalu, Mas Arsya udah janji mau anter, loh," ucap Manda saat aku sudah siap akan pergi ke kantor. Aku menatapnya bingung. Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku benar-benar lupa dengan
Hari ini, akikah untuk Syifa dilaksanakan. Rumah Mama dan Papa ditata begitu meriah sehingga penuh dengan tamu yang kebanyakan adalah teman kerja dan keluarga besar. Aku bersyukur karena banyak yang datang dan ikut mendoakan putri kecilku. "Mas, bekas jahitannya nyeri."Mendengar keluhan Manda itu, aku bergegas membawanya ke kamar. Dia pasti kelelahan dan terlalu banyak bergerak saat acara. Syifa pun aku minta kepada Mama untuk dibawa masuk. Apalagi, untuk proses akikah, memang sudah selesai. Tinggal makan bersama saja dengan para tamu. Untungnya, Sofyan juga ada di acara ini dan dia kuminta untuk memeriksa Manda. Katanya, tidak ada apa-apa, hanya kemungkinan karena terlalu banyak bergerak saja. Sofyan lalu menyuruh untuk memberikan obat pereda nyeri saja setelah memastikan Manda makan."Nak Arsya keluar saja. Biar Ibu yang jagain Manda sama Syifa. Para tamu nyariin tadi." Ibu ikut masuk ke kamar ini dan mengambil alih piring berisi makanan yang akan aku berikan untuk Manda. "Iya, S