"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanyaku setelah kami memasuki area parkir apartemen. "Kamu ikut saja," jawabnya santai setelah motor berhenti. Aku pun turun dan Adam membenarkan posisi parkir sepeda motorku. Setelah itu, dia menarik tanganku perlahan. Terpaksa aku mengikutinya karena ingin tahu apa yang akan dia bicarakan. Namun, aku mulai ragu saat Adam membawaku masuk lift dan dia menekan angka lima belas. "Nggak, aku nggak bisa ikut." Kutekan lagi tanda buka hingga lift yang hampir tertutup kembali terbuka. Namun, kondisi yang cukup sepi dan tidak ada orang lain di lift, membuat Adam leluasa. Dia dengan cepat menarik tanganku, lalu menahan tubuh ini dengan satu tangan dan satu gangan yang lain digunakan untuk membekap mulutku. Kemudian, dia menggunakan siku untuk menekan tombol lift. Kotak besi ini pun membawa kami ke lantai lima belas.Aku mulai ketakutan. Adam seperti penculik yang sangat lihai. Siapa dia sebenarnya? Bukankan dia berasal dari keluarga kaya? Namun, kenapa dia har
Aku rasanya kembali hidup setelah mendengar cerita Mas Arsya tadi siang. Namun, beberapa hal masih membuatku ragu untuk percaya sepenuhnya. Dia masih belum menceritakan tentang isi pesan Whatsapp dengan Jihan yang begitu mesra. Apa iya pesan seperti itu hanya untuk mengecoh Dokter Fahira? Aneh, bukan? Jika ditilik, mana mungkin orang lain yang jarang bertemu akan mengecek pesan Whatsapp pribadi. Bahkan, aku saja jarang membuka ponselnya. Namun, aku tidak mau banyak bertanya karena pastinya jawabannya akan membela diri. Dengan hubungan yang cukup membaik ini, akan kugunakan untuk mencari tahu sendiri. Aku sekarang sendirian di apartemen yang tidak terlalu besar. Jika aku perkirakan, mungkin luasnya hanya sekitar enam kali enam meter persegi. Hanya ada ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan, satu kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Bukan masalah besar kecilnya tempat ini, hanya saja, aku merasa seperti tahanan. Entah kenapa, dia juga tidak mengizinkanku kembali ke rumah saja. Satu
"Kita mau ke mana, Mas?" tanyaku saat mobil memasuki areal bandara. "Katamu mau pulang? Aku akan antar kamu pulang." Mas Arsya tersenyum seraya tangannya mengusap pelan puncak kepalaku. Aku pun diam, mencoba mencerna sendiri arti kata pulang bagi Mas Arsya. Dia menggandeng tanganku menuju bagian dalam bandara. Jemari tangan kanannya menyatu dengan jemari tangan kiriku. Entah kenapa, rasanya seperti ada sengatan yang membuat tubuhku lebih rileks.Mas Arsya membeli dua tiket ke Jogja. Sekarang, aku baru tahu jika Mas Arsya ingin membawaku pulang ke tempat kelahiranku. Apa dia ingin mengembalikanku kepada Ayah dan Ibu? Pantas saja saat aku ingin makan mi ayam, dia tidak terlalu peduli. Pun saat aku bilang tidak jadi menginginkan makanan itu, dia tidak mempermasalahkan. Rupanya, Mas Arsya sedang mengejar penerbangan terakhir ke Jogja, pukul setengah sembilan malam. "Ayo, kita ke ruang tunggu," ajaknya sambil meraih tangan kiriku. Aku bergeming, menatapnya penuh tanya. Namun, laki-lak
"Cukup, Mas! Hentikan!" teriakku. Melihat laki-laki yang aku sayangi terluka, rasanya aku ikut merasakan sakitnya. Meskipun kekecewaan terhadap Mas Arsya masih begitu besar, cintaku untuknya juga tak kalah besar. "Buat apa kamu belain dia, Nda?!" teriak Mas Danu. Matanya benar-benar berkilat amarah. "Aku nggak belain siapa-siapa, Mas. Aku cuma minta berhenti pakai kekerasan. Tolong," kataku lirih, tapi harusnya orang-orang di ruangan ini masih bisa mendengar. Mas Danu tidak mendengarkanku dan justru kembali akan memberikan pukulan kepada Mas Arsya. Aku sontak menarik kausnya, tapi gagal. Mas Danu dengan beringas menyerang Mas Arsya yang sama sekali tidak melawan. Aku menangis melihat kejadian yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ayah dan Ibu yang mencoba melerai pun kalah dan tidak didengar. Entah kenapa Mas Danu bisa semarah itu. "Mas Danu, cukup!" teriakku sambil berusaha menarik tangannya. "Ini untuk sakit hati yang kamu berikan untuk Manda!" ucap Mas Danu berang. Dia
"Bukannya ada Mas Adam? Kenapa harus nyusahin Mas Arsya, sih? Kan, Mas Adam yang calon suaminya," jawabku ketus. Tidak tahu kenapa, aku sangat kesal dengan pasangan itu. "Loh, Manda? Arsya mana?" Suara Adam melunak. Padahal, saat dia mengira yang mengangkat telepon adalah Mas Arsya, ucapannya seperti tidak ada etika. Langsung tembak tanpa basa-basi dan urusan Jihan seperti sangat penting. "Mas Arsya lagi sakit, kenapa?" Lagi aku menjawab tak acuh. "Ya sudah, maaf kalau mengganggu." Adam pun mengakhiri panggilan. Terserah saja. Malas sekali, saat aku dan Mas Arsya sedang ingin memperbaiki hubungan, justru ada pengganggu. Aku masih saja curiga dengan Adam dan Jihan. Apa benar mereka akan menikah? Kalau iya, kenapa semua urusan harus melibatkan Mas Arsya? Fokusku justru pada chat mesra antara Mas Arsya dan Jihan. Yang satu itu akan terus menghantuiku meskipun Adam dan Jihan sudah menikah.Ah, hampir saja aku tenggelam dalam lamunan kalau Mas Arsya tidak menyentuh lenganku. "Ayo, pul
Hari ketiga setelah Mas Arsya terluka, wajahnya sedikit membaik. Paling tidak, beberapa luka lebamnya sedikit pudar. Meskipun kami lebih banyak saling diam, setidaknya situasi di sini lebih tenang. Tidak ada Jihan, Adam, ataupun Dokter Fahira. Pagi ini, aku menemani Ibu di kebun. Aku memetik daun bayam, sedangkan Ibu memetik cabai dan tomat. Kami akan memasak sayur bayam dan membuat sambal. Untuk gorengannya, Ibu sudah membeli beberapa papan tempe dan ayam potong. "Bu, ini buah apa?" tanyaku menunjuk tanaman dalam pot yang sudah berbuah. Seperti hasil cangkok sehingga meskipun belum terlalu besar, tanamannya sudah bisa berbuah. "Itu cermai, Nak. Ayahmu yang beli sebulan lalu. Manis buahnya, cobain aja," sahut Ibu yang masih sibuk memetik cabai. Aku yang penasaran, langsung berjongkok di hadapan tanaman itu dan memetik buah mungil yang sudah berwarna kekuningan. Ibu benar, rasanya manis sekali. Aku bahkan tidak ingin berhenti memakannya. Satu buah, dua buah, tiga buah ... ah, sudah
Aku meninggalkan Mas Danu yang tadi pamit ke toilet. Kemudian, menyusul Kaniya dan Adam yang sedari tadi menjadi fokusku di dalam studio bioskop. Kenapa mereka bisa jalan berdua? Bergandengan tangan, mesra pula? Aku terus membuntuti mereka sampai areal foodcourt. Tanpa pikir panjang, aku duduk di kursi yang satu meja dengan mereka. Kaniya tersenyum lebar saat melihatku, tapi tidak dengan Adam. Kaniya langsung memelukku dan berkicau layaknya burung. Pertanyaan beruntun keluar dari mulut mungilnya sampai aku kebingungan bagaimana menjawabnya. Sementara aku dan Kaniya sedang melepas rindu, terlihat Adam justru merogoh saku celana. Dia mengeluarkan ponsel. "Jangan hubungi Mas Arsya atau siapa pun!" gertakku seraya menatap tajam ke arah Adam. Kaniya menyentak, menyebut namaku sambil menepuk lenganku. Dia mungkin bingung dengan caraku berbicara dengan Adam. Sebelumnya, aku sangat menghormati pemilik daycare itu, tapi tidak sekarang. "Aku mau kalian jujur, terutama Mas Adam. Apa yang se
Aku terus beristigfar sepanjang perjalanan menuju rumah Mas Arsya. Mengingat foto Jihan yang dipapah Mas Arsya masuk ke rumah kami yang diperlihatkan oleh Mas Danu, rasanya sangat menyakitkan. Namun, aku harus memastikan secara langsung sekaligus meminta kepastian. Aku bahkan tidak perlu lagi penjelasan karena semua bukti bisa bicara. Saat taksi yang aku dan Mas Danu tumpangi sampai di depan rumah Mas Arsya, aku langsung turun. Aku pun mendapati mobil Mas Arsya di halaman. Malam-malam begini, pintu rumah terbuka lebar dan lampu menyala begitu benderang. Perempuan yang entah sejak kapan menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku sedang duduk di ruang tamu sambil menekuri ponsel. Dia masih belum sadar kehadiranku. "Ada tamu rupanya?" kataku sesantai mungkin. Jihan gelagapan dan langsung bangkit dari duduk. Dia menatapku dengan raut terkejut. Dari bola matanya yang terus beredar, aku tahu dia tidak tenang dan kebingungan. "Ma–Manda? Kamu—" Ucapan Jihan dipotong oleh suara dari dalam.