Share

Buktikan Malam Ini

Penulis: Sity Mariah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-26 11:16:41

Aku termenung. Kepala menunduk menatap sandal selop bulu yang membungkus kaki. Duduk sendirian di ujung tempat tidur entah sudah berapa lama.

Pesta selesai pukul lima sore tadi, lepas itu keluarga lantas berunding, dan keputusan finalnya ialah Bang Fahad memboyongku ke rumah miliknya satu jam kemudian. Papa dan Mama tentu tidak bisa menolak atau menghalangi, karena sekarang aku sudah menjadi istri orang. Kewajiban keduanya sudah selesai.

Setibanya di rumah Bang Fahad, ia langsung menunjukkan kamar utama yang akan menjadi kamar kami katanya. Kamar utama ini didominasi warna putih dengan barang-barang berwarna hitam.

Hingga perlahan kepalaku mendongak, kemudian menoleh ke belakang dan menatap jam weker di atas nakas yang sudah menunjuk di angka tujuh.

Aku masih tidak tahu harus berbuat apa. Andai pernikahanku dan Rakana tidak batal, sudah tentu aku akan serumah dengannya. Melayaninya sebagai suami, seperti yang selalu aku bayangkan sebelum-sebelumnya.

Apalagi di luar sedang diguyur hujan. Air turun dari langit seperti ditumpahkan sejak tadi hingga kini belum reda.

Seharusnya, menjadi moment yang sangat tepat untuk sepasang pengantin baru bukan?

Aku tidak bisa menghindari, saat bayangan tentang Rakana hadir begitu saja. Kami tinggal serumah dan memulai malam pengantin kami lebih awal.

Akh, hatiku kembali berdenyut dan itu terasa nyeri. Luka ini kembali tercabik-cabik rasanya.

Krieeet!

Pintu kamar berderit. Kontan aku menoleh dan Bang Fahad muncul dari balik pintu.

Dia masuk dengan baju piyama warna putih lengan pendek. Wajahnya terlihat begitu bercahaya. Kedua alisnya tebal dengan hidung yang bangir. Sejenak kami beradu tatap, sebelum cepat aku memutus

dengan menundukkan kepala.

"Sudah puas melamun?" tanyanya membuatku mendongak. Ternyata, dia sudah berdiri di hadapanku.

"Si—siapa yang melamun?" sanggahku cepat.

"Keluar. Saya tunggu di meja makan. Jangan sampai kamu sakit dan orang tuamu mengira saya sudah menelantarkan anak perempuannya!" tegasnya sebelum berlalu keluar dari kamar.

Meninggalkanku yang kebingungan. Refleks tanganku mengarah ke belakang leher dan menggaruk tipis tengkuk.

Pelan aku pun bangkit dan berjalan keluar. Menyusul Bang Fahad yang sudah mengisi kursi makan. Aku mendekat dan ragu-ragu menghempas bobotku.

Bang Fahad tampak menyiapkan piring makan hingga tersaji di hadapannya. Sementara aku masih diam. Sampai ia menatapku cukup tajam, tanpa suara tapi tangannya bergerak. Membalik piring putih di hadapanku. Mencentongkan nasi lalu mengisinya lauk.

"Makan! Kalau mau melamun, lakukan itu setelah makan. Biar bertenaga dan kuat melamun sampai pagi!" sindirnya yang kemudian melanjutkan menyuap.

Aku cemberut mendengarnya. Aku pun memulai makan malam dengan perasaan entah. Selang beberapa menit, Bang Fahad sudah menyelesaikan makanannya. Tampak ia membersihkan sekitar mulut dengan tisu.

"Ini makanan terakhir yang dimasak pembantu di sini. Selesai makan, kamu bereskan mejanya. Setelah itu, buatkan kopi hitam dan antar ke kamar!" titahnya membuatku refleks tersedak.

Terbatuk sampai akhirnya aku meneguk segelas air untuk melegakan tenggorokan.

"Jadi di sini gak ada pembantu?" tanyaku kaget.

Bang Fahad menggeleng. "Sekarang tidak ada. Tadi siang saya memberinya pesangon. Dan sekarang, rumah ini tidak punya lagi ART. Kamu yang bertanggungjawab mengurus rumah saya!"

Aku menelan saliva.

"E ...."

"Selesaikan makanmu. Bicara kalau makanmu sudah selesai!" tukasnya cepat. Ia sudah bangkit dan meninggalkan meja makan.

Aku menghela napas kasar. Tangan menggebrak meja dengan perasaan kesal.

Mimpi apa aku menikah dengan lelaki sepertinya, Ya Tuhan?

Aku mendesah lalu menghabiskan makan malamku. Setelah selesai, kubereskan meja makan bundar ini. Membawa piring-piring kotor ke bak wastafel dan menutup makanan yang tersisa.

Seperti titahnya, aku diminta membuatkannya kopi hitam. Masalahnya, selama ini aku tidak pernah turun ke dapur. Di rumah Mama dan Papa, aku dilayani pembantu. Bahkan saat bersama Rakana, aku dan ia sudah sepakat akan menyewa pembantu di rumah kami. Karena dia tahu, aku tidak pernah mengurus rumah. Gila saja sekarang aku harus melayani orang asing seperti Bang Fahad.

Gelas kosong sudah siap. Aku mencari-cari toples kopi dan gula putihnya. Dengan pengetahuan terbatas karena baru pertama kalinya masuk ke dapur ini, aku pun menemukannya.

Menuangkan beberapa sendok kopi hitam serta gula putihnya, kemudian menyeduh dengan air hangat dari dispenser. Begitu diaduk, wangi kopinya tercium di hidungku. Warnanya juga hitam pekat. Cepat aku membawanya ke kamar utama.

Bang Fahad sudah duduk di tepi kasur. Bersandar pada headboard-nya dengan buku di tangan. Entah buku apa yang sedang ia baca, tapi ia terlihat begitu serius membaca di sana.

Aku meneruskan langkah lalu menaruh gelas yang kubawa di meja nakas. Bertepatan dengan Bang Fahad yang menutup bukunya kemudian melihatku.

"Ini kopinya, Bang," kataku.

"Apa? Bang? Barusan kamu panggil apa? Bang? Kamu panggil saya Bang?" tanyanya kemudian dan aku hanya mengangguk mengiyakan. "Kamu pikir saya Abang pedagang bakso?"

Aku menggeleng. "Bu—bukan. Usia Abang kan jauh di atasku. Ja—di aku panggil Abang," jelasku padanya.

Terdengar ia justru mendecih. "Panggil saya, Mas! Sejak kapan juga saya jadi Abangmu?"

Aku hanya melongo dengan ucapannya. Geli sekali rasanya aku harus memanggil dia Mas. Aku tidak bersuara lagi. Masih berdiri mematung di dekat meja nakas tanpa tahu harus berbuat apa.

Ah, rasanya kaku dan kikuk sekali hidup bersama orang asing begini.

Byurrrr!

"FIUHHHH!"

Aku tersentak saat Bang Fahad menyemburkan kopi yang baru ia seruput. Bahkan cairan hitam itu mengotori sprei putih yang membungkus tempat tidur.

"Saya minta dibuatkan kopi, kenapa yang datang jamu brotowali?" Bang Fahad bertanya sambil menatapku lekat.

"Ya—ya, itu kopi, Ba—em, Mas. Itu kopi, bukan jamu!"

Terdengar ia mendecih dan melihatku dengan tatapan seperti mengejek. "Kamu tidak bisa membuat kopi, ya?"

Aku menggeleng. Jujur. "Di rumah tidak ada yang suka kopi. Jadi, aku tidak pernah membuatkan kopi untuk siapapun."

"Sudah saya duga. Gadis manja seperti kamu, tidak akan bisa melayani suaminya dengan baik. Biar saya tebak, kamu cuma bisa menghabiskan waktu untuk berpacaran dan haha hihi saja 'kan?"

Kupingku memanas mendengarnya berkata demikian. "Jangan asal bicara, ya?!"

Bang Fahad justru terkekeh. Dia turun dari tempat tidur hingga berdiri berhadapan denganku. "Saya gak asal bicara. Itu fakta. Berapa lama kamu berpacaran dengan Raka, hmm? Tujuh tahun 'kan? Dapat apa kamu pacaran selama itu dengan dia? Satu rumah? Satu mobil atau motor? Apa? Tujuh tahun orang lain gunakan untuk menyelesaikan pendidikan hingga mendapat gelar S2. Ambil cicilan rumah atau cicilan mobil. Kalau motor, mungkin sudah dapat dua unit. Terus kamu, apa yang kamu dapatkan dari waktu tujuh tahun bersama Rakana itu?" cecarnya membuatku merasa tersudut.

Dagu Bang Fahad terangkat dan menatapku tajam. "Selama tujuh tahun itu, bagian tubuh mana yang sudah kamu berikan cuma-cuma untuk Rakana?"

Mataku membulat mendengarnya. Sungguh, dia sudah merendahkanku.

"Tutup mulut Anda. Aku memang berpacaran selama itu dengan Rakana, tapi aku tidak semurahan itu! Tubuhku masih perawan dan tersegel!" Aku benar-benar murka pada lelaki yang sialannya adalah suamiku.

Bang Fahad tertawa. Tawa meledek dengan wajah terlihat menyebalkan itu. "Siapa bisa menjamin? Tujuh tahun bukan waktu sebentar. Kamu juga sering sekali ke rumah kami. Papa di kantor, Mama di ruangan televisi atau pergi arisan, saya di ruang baca dan kamu dengan Raka di lantai atas. Tidak mungkin kalian tidak berbuat apa-apa!"

Aku benar-benar geram. Harga diri rasanya terkoyak. Apa orang berpacaran selalu identik dengan hal yang tidak-tidak?

"Aku dan Rakana tidak pernah berbuat apa-apa! Aku tidak pernah disentuh Rakana lebih dari sekedar berpegangan tangan! Aku bisa menjaga diri! Aku ini masih suci! Jangan asal bicara!" Aku berteriak sambil memukuli dada Bang Fahad dengan tangan terkepal.

Tidak peduli apa yang kulakukan. Yang jelas aku merasa marah. Sangat marah karena Bang Fahad sudah memandangku begitu rendah dan seolah-olah aku ini sudah tidak perawan selama berpacaran dengan Rakana.

Brukkk!

Aku kalut saat memukuli dada Bang Fahad, tanpa kuduga dia mencekal pergelangan tanganku dan mendorongku terjatuh di tempat tidur bersamanya yang kini berada di atas tubuhku. Matanya mengunci menatapku. Tenaganya begitu kuat saat aku mencoba melepaskan diri.

"Masih suci? Masih perawan? Kita buktikan malam ini, hmmm?"

.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g gitu juga kali njing. kakak adek beda tipis jahatnya. si adek penjahat kelamin dan si kakak mulutnya kayak comberan.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Cinta yang Sebenarnya

    *************Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut dari celah gorden yang tidak sepenuhnya tertutup. Udara vila masih dingin, tapi kehangatan tubuh Bang Fahad yang memelukku dari belakang membuatku enggan beranjak. Dadanya naik-turun perlahan di punggung, napasnya teratur dan damai.Aku menoleh pelan, memandangi wajahnya yang tertidur.Lelaki ini ....Lelaki yang dulu pernah membuatku pergi sejauh mungkin, kini jadi alasan terbesarku untuk kembali. Luka yang dulu menyakitkan, entah sejak kapan berubah menjadi pijakan untuk bangkit dan percaya lagi.Pelan-pelan, aku menggenggam tangannya yang melingkar di pinggang. Tak ingin melepas. Tak ingin lupa.“Kamu sudah bangun?” tanyanya dengan suara serak khas pagi hari.Aku mengangguk kecil. “Iya. Tapi aku belum mau bangun. Boleh?”Dia mengeratkan pelukannya. “Boleh. Mau sampai siang juga boleh. Mau sampai kita tua juga boleh.”Aku tersenyum, menutup mata sejenak. Meresapi rasa tenang yang bahkan tak pernah kuduga bisa kurasakan lagi bers

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Mereka Itu ....

    Seharian kami menghabiskan waktu di luar vila. Hingga tiba malam hari dan rupanya aku sempat tertidur. Aku terbangun karena suara gaduh dari dapur.Begitu keluar dari kamar, aku menemukan Bang Fahad berdiri dengan celemek bunga-bunga dan di tangannya ada mixer yang sedang menyala.“Abang ngapain?” tanyaku sambil menahan tawa.Dia menoleh dengan ekspresi penuh percaya diri, walau sedikit tepung menempel di pipinya. “Saya lagi bikin kue buat istri tercinta.”Mataku menyipit. “Bikin kue? Emang bisa?”“Bisa dong. Bisa gagal juga sih, tapi ... niatnya aja udah manis kan?”Aku tertawa sambil berjalan mendekat. “Tepungnya aja nempel di hidung. Udah kayak badut ulang tahun.”Dia nyengir, lalu tiba-tiba mencolekkan sedikit adonan dalam wadah ke ujung hidungku. “Nah, sekarang kita kembar.”“Bang! Ini lengket tau!” Aku coba membersihkannya, tapi dia malah kabur ke ruang tengah setelah menyemburkan lagi tepung ke arahku, membuatku harus mengejarnya sambil tertawa-tawa.“Kalau kamu bisa nangkep sa

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Apapun Terasa Indah

    Usai sarapan dan sedikit bersantai di teras vila, Bang Fahad menggandeng tanganku menuju dermaga kecil di belakang vila. Terdapat sebuah perahu kayu mungil sudah terikat di sana, mengapung tenang di atas danau yang berkilau di bawah sinar matahari siang.“Mau keliling danau pakai perahunya?” tanyanya sambil menatapku penuh semangat.Aku menatapnya ragu. "Abang yakin bisa mendayung? Jangan-jangan baru mulai udah nyangkut di tengah.”Dia tertawa renyah, lalu meraih pelampung untukku. “Kalau bersama kamu, saya mendadak seperti petugas damkar, apapun pasti bisa saya lakukan."Kami lantas naik ke perahu pelan-pelan. Perahu mulai bergerak perlahan, menyisakan riak kecil yang tenang di permukaan air.Aku duduk di ujung yang berhadapan langsung dengan Bang Fahad, sementara dia mulai mengayuh dengan tenang dan teratur.Angin menerpa wajah kami, lembut dan menenangkan. Pemandangan sekeliling terasa seperti lukisan hidup, pepohonan rindang, suara burung dari kejauhan, dan sinar matahari yang men

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Siap Mencintai

    Satu bulan usai malam paling romantis itu, kami akhirnya berangkat. Keadaanku tiap harinya kian membaik. Aku sudah mampu berjalan dengan normal lagi, meski sesekali masih ada sakit yang terasa.Hari ini kamu pergi. Bukan ke luar negeri, bukan pula ke kota besar yang ramai dan gemerlap. Hanya ke sebuah vila tersembunyi di daerah perbukitan, tempat di mana suara alam jauh lebih lantang daripada deru kendaraan. Tempat yang dipilih Bang Fahad sendiri, tempat yang katanya sudah lama ingin ia kunjungi bersamaku.Perjalanan kami ditemani udara sejuk dan senyum yang tak pernah lepas dari wajah kami. Aku duduk di kursi penumpang sambil sesekali meliriknya, dan setiap kali itu terjadi, Bang Fahad selalu sempat menangkap pandanganku.“Kamu ngelihatin saya terus, kenapa?” tanyanya sambil nyengir, matanya masih fokus ke jalan.Aku mengangkat bahu dengan wajah sok polos. “Salah, ya? Ngelihatin suami sendiri?”Dia tertawa kecil. “Enggak. Cuma takut kamu gak kuat nahan rasa cinta aja, nanti meledak d

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Menulis Cerita Baru

    Waktu terasa lambat saat aku harus hidup bergantung di kursi roda. Tidak ada hari yang terlewat tanpa obat dan terapi. Tidak ada waktu yang berlalu tanpa bantuan dari Bang Fahad padaku. Hingga detik ini, terhitung sudah lima bulan aku menjalani semuanya. Dukungan dan kesetiaan Bang Fahad tidak perlu diragukan. Dia ada di setiap saat aku membutuhkannya.Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Pelan tapi pasti, aku sudah mulai bisa berjalan meski hanya baru di dalam rumah. Keadaanku berangsur membaik dan semua ini tidak lepas dari dukungan penuh Bang Fahad selama aku menjalani terapi."Saya senang, akhirnya kamu bisa jalan lagi, meski masih pelan-pelan," ucap Bang Fahad saat kami duduk bersama di sofa ruang televisi pagi hari setelah selesai sarapan."Semua karena bantuan Abang juga. Kalau tanpa Abang, aku gak yakin bisa membaik seperti ini," jawabku apa adanya.Bang Fahad tampak menggeleng. "Enggak, Chi. Semua karena usaha dan kegigihan kamu juga.

  • DINIKAHI CALON KAKAK IPARKU   Tidak Harus Sempurna

    Hari demi hari berlalu.Aku belum juga mampu berjalan. Hidupku masih terus bergantung pada kursi roda, tetapi gips yang semula membungkus kakiku sudah dilepaskan. Pergelangan kakiku tidak sempurna bentuknya. Aku masih harus menjalani terapi dan Bang Fahad merawatku dengan sangat telaten selama ini.Seperti pagi ini, dia sudah membawa semangkuk bubur hangat ke kamar dan bersiap menyuapiku. Namun, aku menundanya."Kamu belum laper?" tanya Bang Fahad yang duduk di sisi tempat tidur.Aku menggeleng pelan. "Belum. Tapi ... aku ngerasa gerah banget. Boleh gak minta tolong?"Dia menatapku penuh perhatian. "Boleh, dong. Kamu mau apa?""Aku pengen mandi dulu, mau keramas."Dia mengangguk mantap. "Oke. Ayo, saya bantu."Bang Fahad bergerak cepat menggulung lengan kausnya, mengambil baskom dari lemari kecil, handuk bersih, dan sampo favoritku yang disimpan di rak pojok."Emm, saya gendong aja ya?" tanyanya setelah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status