"APA? Dinikahi Bang Fahad? Enggak! Gak bisa! Chiara ini calon istriku. Aku gak setuju Bang Fahad menggantikan posisiku hari ini!"
PLAKKK! Satu tamparan keras mendarat mulus di pipi Rakana dari sang Papa. "Tutup mulutmu! Siapa yang minta pendapatmu? Belum puas mencoreng nama baik keluarga dengan kelakukan menjijikkanmu itu, hah? Lebih kamu diam! Karena tidak ada yang meminta pendapat kamu di sini!" teriak Om Hans di depan wajah putra bungsunya itu. "Pokoknya aku tetap gak setuju! Chiara calon istriku, Bang Fahad tidak boleh menikahinya!" "Diam kamu! Sudah benar seharusnya kamu memang diam! Kamu harusnya bertanggungjawab atas kehamilanku ini, Raka!" Faula bersuara dengan lantang. Terdengar Rakana mendecih. "Dengar, Fau. Kamu jangan merusak hari bahagiaku dengan Chia. Aku tahu kamu memang terobsesi padaku selama ini. Kamu coba menikung Chia dari belakang untuk mendapatkanku. Tapi aku tidak mungkin sampai membuat kamu hamil! Bayi yang ada dalam perut kamu itu bukan anakku!" bantah Rakana. Plak! "Kurang ajar kamu Raka! Mulutmu bisa berkelit, tapi aku punya bukti kalau aku memang mengandung anakmu!" Faula berucap dengan menggebu setelah menampar Rakana. Dia mengambil ponselnya dan mengutak-atik gawai di tangannya itu. "Lihat ini! Foto kita di kamar hotel. Berapa kali selama satu tahun belakang ini kamu mengajakku check in, hah? Berapa kali? Tidak terhitung!" Faula memperlihatkan layar ponselnya pada semua orang yang sedang melingkari meja. Foto-foto dalam galeri ponselnya yang memuat kemesraan mereka di atas tempat tidur. Dan itu memang Faula bersama Raka. "Kamu mau mengelak? Kamu mau mengatakan ini bukan kamu? Kamu ingin mengatakan kalau yang bersamaku dalam foto ini adalah setan? Begitu? Kamu lupa? Kamu yang selalu datang padaku. Bermanja dan meminta ini itu. Karena apa? Karena Chia tidak bisa memberikannya. Karena Chia terlalu kaku dan kuno selama kalian berpacaran. Karena kamu tidak bisa menyentuh Chia seliar kamu menyentuhku!" Faula berujar dengan berapi-api. Hingga dapat kudengar bisik-bisik cemoohan dari orang-orang yang sudah mengisi kursi tamu. Satu kenyataan terungkap. Raka berselingkuh dan mengkhianatiku hanya karena aku tidak pernah mau disentuhnya? Apa yang salah? Apa yang keliru jika aku tidak mau disentuh lebih dari sekedar berpegangan tangan dan mencium kening? Raka pun bungkam. "Batalkan pernikahanmu dengan Chia. Kamu harus menikahiku! Atau ...." Faula mengacungkan pisau dengan ujung mata berkilau. "Aku akan mati di sini bersama bayiku. Dan akan aku hantui kalian semua sampai kalian juga mati!" ancamnya sambil mengarahkan mata pisau itu dan bergerak memutar. Tentu hal itu membuat kami semua mundur dan kaget. "Cukup, Raka! Cukup! Berhenti mengelak dan segera bertanggungjawab atas perbuatan gilamu ini! Jangan membuat kami lebih malu!" teriak Tante Tari yang terlihat melemah. Tubuhnya lunglai dan berhasil didudukkan. Tante Tari pun mulai terisak. "Hentikan keributan ini. Nikahkan dulu manusia tidak bermoral itu dengan perempuannya. Setelah itu, aku yang akan menikahi Chia!" Suara Bang Fahad terdengar tajam. Nampak Om Hans bernegosiasi dengan Papa dan Mama. Sedangkan aku sendiri masih kesulitan mencerna apa yang sedang terjadi detik ini. "Tidak ada pilihan lain, Chi. Raka harus bertanggungjawab pada Faula. Dan kamu, akan menikah dengan Fahad. Sekarang, biarkan penghulu menikahkan dulu Raka dan Faula. Baru setelah itu, Fahad yang akan mengucap ijab qobul. Kita duduk dulu, biarkan Om Hans menyelesaikan masalah yang ditimbulkan bungsunya yang brengsek itu." Papa berbicara dengan tegas. Kemudian menuntunku agar duduk lebih dulu di kursi yang berjarak satu meter dari meja ijab qobul. Mama, Mbak Lin dan Papa mengelilingiku. Memberikanku kekuatan meski mereka pun sama terlukanya sepertiku. Seandainya hal ini terungkap sebelum hari ini, mungkin pesta ini tidak akan pernah berlangsung. Aku akan membatalkan hari ini sebelumnya. Tapi ... semua benar-benar mengejutkan. Raka dan Faula mencurangiku. Dua orang yang begitu aku percayai, ternyata tidak lebih dari pengkhianat. Demi apapun, aku tidak pernah menyangka mereka bisa berlaku menjijikan seperti itu di belakangku. Akh, atau ... aku yang terlalu polos selama ini? Aku yang terlalu naif sampai tidak sedikit pun mencurigai mereka? Entahlah. Yang jelas aku merasa begitu hancur hari ini. Pernikahan yang aku rancang, pernikahan yang aku impikan, justru kacau balau. Lelaki yang seharusnya menjadi pasanganku, lelaki yang selama tujuh tahun menjalin kasih denganku, justru harus menikah dan menjadi suami dari sahabatku sendiri. Ah, tidak, tidak. Sudah tidak pantas aku menyebutnya sahabat. Kepalaku begitu pening. Rasanya berat sekali. Pandangan juga tiba-tiba buram. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Sampai rasanya limbung dan aku tidak tahu apa lagi yang terjadi. ******** "Sudah sadar, Chi?" tanya Mba Lin yang tampak berjongkok di sebelahku. Aku mengerjapkan mata berulang. Entah apa yang sudah aku alami, tapi saat ini aku mencoba untuk tersadar dan setelah aku sadari, aku berhasil mengingatnya. Pernikahanku .... Aku bangkit dan Mba Lin dengan sigap mendekapku, sehingga tangisku tumpah ruah sejadi-jadinya. "Mba ... Rakana jahat, Mba. Aku gagal menikah, Mba. Aku malu ...." Aku terisak di pelukan kakak perempuanku satu-satunya. Tangan lembut Mba Lin terasa mengusap punggung ini. Seolah memberi kekuatan dan menyalurkan energi ketegaran. "Mba tahu ini pasti menyakitkan kamu, Chi. Tapi Papa dan Mama, Om Hans dan Tante Tari sudah sepakat untuk tetap melanjutkan acara ini. Sebentar lagi para tamu akan datang. Kolega dan kerabat jauh Papa Mama juga akan datang. Kamu akan tetap menikah, Chi," ujar Mba Lin membuatku refleks memundurkan badan. Melepaskan dekapan yang semula begitu erat. "Menikah dengan siapa, Mba? Sudah jelas sekali Rakana itu selingkuh. Aku gak mungkin meneruskan pernikahan dengan dia," jawabku lemah. "Memang bukan dengan Rakana, Chi. Tapi ... dengan Fahad!" tegas Mba Lin membuat kedua netraku membola sempurna. ******************* "SAH!!!" Aku hanya bisa memejamkan mata. Setelah hampir tiga puluh menit, akhirnya Rakana resmi menikahi Faula. Bahkan mahar yang sudah Rakana siapkan pun, menjadi maharnya menikah dengan Faula. Ya Tuhan, dosa apa aku ini? Aku tidak punya pilihan lain. Menikah dengan Rakana sudah tidak mungkin. Membatalkan pesta pun juga bukan jalan keluar. Satu-satunya pilihan hanyalah menikah dengan Bang Fahad, lelaki yang seharusnya menjadi kakak iparku. "Papa minta, kamu tidak perlu ada di aula. Pergi saja ke mana kamu mau. Biarkan pernikahan Fahad dan Chia berlangsung sekarang!" tegas Om Hans pada anak lelakinya itu. "Tapi, Pah. Aku juga berhak ada di sini—" "Jangan banyak bicara. Masih punya muka kamu ada di aula ini setelah kamu lemparkan kotoran pada kami? Urus saja perempuan yang sudah kamu tiduri itu." Terdengar Bang Fahad menghardik sang adik. Terlihat Raka meremas rambutnya. Rahangnya pun mengeras lalu bergegas pergi menjauh dari meja ijab qobul. Disusul Faula yang membawa kotak mahar berisi satu set perhiasan emas 24 karat juga uang tunai yang mana nominalnya sama dengan hari pernikahan ini. Hingga meja tampak kosong dan tak berselang lama, tim WO mengisi kembali meja tersebut dengan benda yang entah apa. Mama dan Mba Lin lantas menuntunku menuju meja akad. Aku didudukkan bersebalahan dengan Bang Fahad. Lelaki yang nyaris tidak aku kenali sekalipun ia adalah kakak kandung dari Rakana. Sampai mataku tertuju pada kotak mika di hadapanku dan entah apa isinya, Tanpa bertanya apa-apa lagi padaku, Papa langsung berjabatan tangan dengan lelaki di sebelahku ini. Diarahkan penghulu, Papa memulai proses ijab. "Saya terima nikah dan kawinnya Chiara Nesyana binti Ruslan Munandar dengan mas kawin logam mulia seberat lima puluh gram tunai!" Aku melongo mendengar mahar yang aku dapat. Cukup fantastis dan mahar itu diberikan tanpa perundingan denganku dulu. Masih dilanda rasa tidak percaya dan terkejut, terdengar doa yang mulai dibacakan. Sampai selesai dan aku diminta bersalaman dengan Bang Fahad. Ijab qobul selesai, acara dilanjutkan pada sungkeman. Sesi yang harusnya penuh haru biru ini, sama sekali tidak kurasakan. Hatiku seperti kosong. Air mata seperti enggan untuk keluar. Tidak ada perasaan haru dan bersedih karena aku sudah menjadi istri orang. Selanjutnya acara resepsi. Aku mengisi pelaminan bersama lelaki asing di sebelahku. Sementara Rakana, tidak kulihat batang hidungnya berkeliaran di aula ini. Pesta ini benar-benar tetap berjalan. Tamu berdatangan silih berganti. Teman-teman kantor tempatku bekerja seakan syok karena mempelai pria di sampingku bukanlah Rakana. Kolega Papa, kerabat jauh dari kedua orang tuaku pun turut hadir dan memberikan ucapan selamat. Pesta memang berjalan dengan semestinya. Tidak ada yang batal dari tiap rangkaian acaranya. Gaun-gaun pengantin pilihanku bergantian dipasang di tubuh ini. Fotografer profesional berulangkali memotretku bersama sang pengantin pria. Tapi nahas, hatiku tidak bahagia. .Seharian kami menghabiskan waktu di luar vila. Hingga tiba malam hari dan rupanya aku sempat tertidur. Aku terbangun karena suara gaduh dari dapur.Begitu keluar dari kamar, aku menemukan Bang Fahad berdiri dengan celemek bunga-bunga dan di tangannya ada mixer yang sedang menyala.“Abang ngapain?” tanyaku sambil menahan tawa.Dia menoleh dengan ekspresi penuh percaya diri, walau sedikit tepung menempel di pipinya. “Saya lagi bikin kue buat istri tercinta.”Mataku menyipit. “Bikin kue? Emang bisa?”“Bisa dong. Bisa gagal juga sih, tapi ... niatnya aja udah manis kan?”Aku tertawa sambil berjalan mendekat. “Tepungnya aja nempel di hidung. Udah kayak badut ulang tahun.”Dia nyengir, lalu tiba-tiba mencolekkan sedikit adonan dalam wadah ke ujung hidungku. “Nah, sekarang kita kembar.”“Bang! Ini lengket tau!” Aku coba membersihkannya, tapi dia malah kabur ke ruang tengah setelah menyemburkan lagi tepung ke arahku, membuatku harus mengejarnya sambil tertawa-tawa.“Kalau kamu bisa nangkep sa
Usai sarapan dan sedikit bersantai di teras vila, Bang Fahad menggandeng tanganku menuju dermaga kecil di belakang vila. Terdapat sebuah perahu kayu mungil sudah terikat di sana, mengapung tenang di atas danau yang berkilau di bawah sinar matahari siang.“Mau keliling danau pakai perahunya?” tanyanya sambil menatapku penuh semangat.Aku menatapnya ragu. "Abang yakin bisa mendayung? Jangan-jangan baru mulai udah nyangkut di tengah.”Dia tertawa renyah, lalu meraih pelampung untukku. “Kalau bersama kamu, saya mendadak seperti petugas damkar, apapun pasti bisa saya lakukan."Kami lantas naik ke perahu pelan-pelan. Perahu mulai bergerak perlahan, menyisakan riak kecil yang tenang di permukaan air.Aku duduk di ujung yang berhadapan langsung dengan Bang Fahad, sementara dia mulai mengayuh dengan tenang dan teratur.Angin menerpa wajah kami, lembut dan menenangkan. Pemandangan sekeliling terasa seperti lukisan hidup, pepohonan rindang, suara burung dari kejauhan, dan sinar matahari yang men
Satu bulan usai malam paling romantis itu, kami akhirnya berangkat. Keadaanku tiap harinya kian membaik. Aku sudah mampu berjalan dengan normal lagi, meski sesekali masih ada sakit yang terasa.Hari ini kamu pergi. Bukan ke luar negeri, bukan pula ke kota besar yang ramai dan gemerlap. Hanya ke sebuah vila tersembunyi di daerah perbukitan, tempat di mana suara alam jauh lebih lantang daripada deru kendaraan. Tempat yang dipilih Bang Fahad sendiri, tempat yang katanya sudah lama ingin ia kunjungi bersamaku.Perjalanan kami ditemani udara sejuk dan senyum yang tak pernah lepas dari wajah kami. Aku duduk di kursi penumpang sambil sesekali meliriknya, dan setiap kali itu terjadi, Bang Fahad selalu sempat menangkap pandanganku.“Kamu ngelihatin saya terus, kenapa?” tanyanya sambil nyengir, matanya masih fokus ke jalan.Aku mengangkat bahu dengan wajah sok polos. “Salah, ya? Ngelihatin suami sendiri?”Dia tertawa kecil. “Enggak. Cuma takut kamu gak kuat nahan rasa cinta aja, nanti meledak d
Waktu terasa lambat saat aku harus hidup bergantung di kursi roda. Tidak ada hari yang terlewat tanpa obat dan terapi. Tidak ada waktu yang berlalu tanpa bantuan dari Bang Fahad padaku. Hingga detik ini, terhitung sudah lima bulan aku menjalani semuanya. Dukungan dan kesetiaan Bang Fahad tidak perlu diragukan. Dia ada di setiap saat aku membutuhkannya.Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Pelan tapi pasti, aku sudah mulai bisa berjalan meski hanya baru di dalam rumah. Keadaanku berangsur membaik dan semua ini tidak lepas dari dukungan penuh Bang Fahad selama aku menjalani terapi."Saya senang, akhirnya kamu bisa jalan lagi, meski masih pelan-pelan," ucap Bang Fahad saat kami duduk bersama di sofa ruang televisi pagi hari setelah selesai sarapan."Semua karena bantuan Abang juga. Kalau tanpa Abang, aku gak yakin bisa membaik seperti ini," jawabku apa adanya.Bang Fahad tampak menggeleng. "Enggak, Chi. Semua karena usaha dan kegigihan kamu juga.
Hari demi hari berlalu.Aku belum juga mampu berjalan. Hidupku masih terus bergantung pada kursi roda, tetapi gips yang semula membungkus kakiku sudah dilepaskan. Pergelangan kakiku tidak sempurna bentuknya. Aku masih harus menjalani terapi dan Bang Fahad merawatku dengan sangat telaten selama ini.Seperti pagi ini, dia sudah membawa semangkuk bubur hangat ke kamar dan bersiap menyuapiku. Namun, aku menundanya."Kamu belum laper?" tanya Bang Fahad yang duduk di sisi tempat tidur.Aku menggeleng pelan. "Belum. Tapi ... aku ngerasa gerah banget. Boleh gak minta tolong?"Dia menatapku penuh perhatian. "Boleh, dong. Kamu mau apa?""Aku pengen mandi dulu, mau keramas."Dia mengangguk mantap. "Oke. Ayo, saya bantu."Bang Fahad bergerak cepat menggulung lengan kausnya, mengambil baskom dari lemari kecil, handuk bersih, dan sampo favoritku yang disimpan di rak pojok."Emm, saya gendong aja ya?" tanyanya setelah
Pelukan itu masih bertahan.Lama.Seakan tidak ada kata yang lebih tepat selain diam yang saling menyampaikan isi hati. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang tenang, ritmenya menyatu dengan napasku yang perlahan mulai normal kembali. Tak ada luka yang benar-benar hilang, tapi pagi ini aku merasa luka itu mulai sembuh lewat cara yang tak pernah kusangka.Setelah beberapa menit, Bang Fahad melepaskan pelukan. Ia menatapku, dan masih dengan sorot rasa bersalah. "Chi?"Aku mengangkat dagu, menatapnya balik.“Boleh saya mulai dari awal?” tanyanya. “Tidak harus langsung. Tidak perlu buru-buru. Tapi ... boleh saya temani kamu dari awal lagi? Belajar ulang tentang kamu, tentang kita?”Jantungku berdetak lebih cepat. Bukan karena gugup, tapi karena pertanyaan itu seperti angin sejuk yang datang setelah badai panjang di musim penghujan.Aku tersenyum kecil. “Mulai dari awal sekali?”D
Malam ini seakan menjadi saksi bisu dari dua hati yang pernah patah dan kini saling menopang. Tidak sempurna, tidak juga langsung sembuh. Tapi setidaknya, kami sepakat untuk saling menggenggam.Bang Fahad mengantarku kembali ke kamar. Sesampainya di ranjang, dia membantu dengan lembut saat aku berpindah dari kursi roda. Tak banyak kata, hanya gerakan-gerakan penuh kehati-hatian yang membuat dadaku hangat.Saat aku sudah rebah dan selimut menutupi tubuh, Bang Fahad duduk di sisi ranjang, tak langsung pergi. Tangannya masih menggenggam jemariku erat, seolah enggan melepas."Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saya ya," ucapnya pelan.Aku hanya mengangguk. Suaraku seolah tertinggal di ruang doa tadi. Dia kemudian berdiri, tapi sebelum melangkah ke luar, aku menahannya dengan satu kalimat sederhana."Bang ... boleh duduk di sini sebentar lagi?"Dia menoleh. Wajahnya menegang sesaat, sebelum melunak dan kembali duduk di kursi samping tempat tidurku."Sebentar aja, ya?" Aku menatapnya ragu.B
Aku merasa ada yang runtuh dari dalam diriku. Tembok tinggi yang aku bangun perlahan mulai retak-retak oleh ucapannya yang penuh harap dan doa yang lirih.Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa dicegah. Mungkin ini bukan karena kasihan. Tapi lebih pada ... aku tak pernah menyangka ada seseorang yang begitu bersungguh-sungguh meminta kesempatan kedua, bahkan ketika dia tahu tak ada jaminan untuk diterima.Tanganku gemetar saat menyentuh pegangan kursi roda. Ingin rasanya aku putar balik, kembali ke kamar dan pura-pura tak pernah mendengar apa pun tadi. Tapi langkahnya yang kini berdiri, menoleh, dan langsung terpaku melihatku di sana membuat semuanya terlambat."Chi?" ucapnya sambil buru-buru mengusap wajah, seolah tak ingin aku melihat bekas air matanya. Dia melipat sajadah dengan cepat, lalu menyalakan lampu ruangan hingga terang benderang. Dia berlari, sampai berjongkok di depan kursi rodaku."Ada apa? Kenapa kamu ke luar kamar? Kamu perlu apa? Air minum kamu habis?" Dia mencecar d
"Selamat datang di rumah."Bang Fahad berucap dengan begitu lembut ketika baru saja sampai di ruang tamu. Setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit, pagi ini aku sudah kembali ke rumah."Kamu mau langsung istirahat dulu di kamar atau makan dulu?" tawar Bang Fahad lagi. Namun, aku belum bereaksi. Aku yang duduk di kursi roda, hanya menatap lurus ke depan. Jujur saja aku merasa kesal karena harus bergantung padanya. "Gak usah sok baik, Bang!" ucapku akhirnya dengan pandangan masih lurus ke arah depan. Kejadian perampokan malam itu, masih sering berkelebat dalam pikiranku. Karena kejadian itu, aku kehilangan mobil, ponsel dan dompet dalam tas. Papa yang sudah mencoba mengusutnya di pihak berwajib, tapi belum menemukan titik terang.Bang Fahad tiba-tiba berjongkok di depan kursi rodaku. Sempat pandangan mata kami bertemu, sebelum kemudian aku memalingkan wajah. Namun saat itu pula, aku malah teringat bagaimana dia menjagaku selam