LOGINJessie meletakkan ponselnya di atas meja dengan gerakan perlahan. Pesan dari Daniel sama sekali tidak melukai perasaannya. Daniel begitu dibutakan oleh kesombongan sehingga ia lebih percaya pada kemiripan wajah yang mustahil daripada kenyataan bahwa sepupu yang ia hina adalah sang Penguasa Dunia.Namun, Jessie tahu ia tidak bisa diam saja. Sebagai seorang jurnalis, ia sangat memahami kekuatan arus informasi. Jika ia membiarkan Intan menguasai narasi ini terlalu lama, maka reputasi Jacob, dan posisinya sendiri akan terpojok."Kamu ingin bermain dengan opini publik, Intan?" bisik Jessie pada cangkir kopinya yang mulai berembun. "Mari kita lihat, seberapa kuat foto itu bertahan melawan satu kebenaran kecil."Jessie berdiri, melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap-siap. Hari ini ia memiliki jadwal liputan penting di kantor. Meskipun Daniel berkali-kali mencoba menekannya di tempat kerja, Jessie tetaplah salah satu jurnalis terbaik yang dimiliki perusahaannya. Ia tidak akan membiarkan s
Pintu lift eksekutif tertutup perlahan. Intan masih berdiri di tempatnya beberapa detik, berusaha menenangkan napas yang sempat tidak beraturan. Tatapannya menyapu lobi hotel dengan cepat, memastikan tidak ada pengawal Jacob yang kembali menoleh ke arahnya.Begitu yakin situasi aman, Intan melangkah pergi. Tumit sepatunya berdetak ringan di lantai marmer, menyatu dengan hiruk pikuk hotel mewah yang seolah tidak peduli pada permainan kotor yang baru saja terjadi.Di dalam taksi, Intan langsung mengeluarkan ponselnya.“Sudah dapat?” tanyanya singkat.“Aman,” jawab salah satu fotografer. “Fotonya kelihatan dekat. Kalau dilihat sekilas, orang pasti mengira kalian punya hubungan.”Intan tersenyum kecil. “Bagus. Jangan sebarkan dulu. Kirimkan pratinjau ke aku.”Panggilan berakhir. Intan menyandarkan punggungnya, menatap lampu kota Singapura yang berkilau di balik jendela. Jacob Sanjaya memang tidak mudah dijatuhkan. Namun ia tahu satu hal: opini publik tidak membutuhkan kebenaran, hanya kes
Singapura menyambut Intan dengan hembusan angin laut yang lembab namun segar. Begitu kakinya menginjak lantai marmer Bandara Changi, Intan tidak membuang waktu. Dengan kartu kredit dari Kinanti, ia segera menuju kawasan Orchard Road. Ia memilih sebuah gaun silk berwarna sampanye yang membalut tubuhnya dengan sempurna; elegan, mahal, namun tetap memberikan kesan menggoda yang halus.Setelah bertransformasi, Intan menuju The Fullerton Bay Hotel, tempat di mana informan Kinanti menyebutkan bahwa seorang tamu VVIP dari Seven Heaven telah memesan Presidential Suite."Ingat Intan, setara... bukan pengemis," bisik Intan pada bayangannya di cermin lift.Di lobi hotel yang megah dengan pemandangan langsung ke arah Marina Bay Sands, Intan duduk menyesap cocktail-nya. Matanya tak lepas dari pintu masuk utama. Ia telah menyewa dua fotografer lepas lokal dengan instruksi khusus: Ambil foto dari sudut rendah, pastikan wajahku terlihat jelas dalam satu bingkai, dan buat seolah-olah kami sedang berbi
Di kediaman megah keluarga Wijaya, udara seolah membeku oleh ketegangan yang kasat mata. Kinanti mondar-mandir di atas karpet Persia ruang tamu. Di sudut ruangan, Intan, putri kesayangannya, duduk bersandar dengan santai, mengikir kuku-kukunya yang dicat merah darah. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, sorot mata Intan tidak pernah benar-benar lepas dari kegelisahan ibunya."Intan, dengarkan Mama!" suara Kinanti pecah dan tajam. Ia berhenti mendadak dan menatap putrinya dengan mata yang menyipit penuh kecurigaan. "Jangan hanya diam seperti itu. Kejadian kebakaran di gudang itu seharusnya membuat Jessie panik. Tapi kenapa sampai detik ini dia diam saja? Kenapa Jessie dan Jacob sama sekali belum bergerak? Ini tidak masuk akal!"Intan menghentikan kegiatannya sejenak, meniup debu halus dari kuku jarinya. “Mungkin mereka masih menyusun rencana, Ma,” ucapnya asal.“Itulah yang harus kita ketahui, Intan!” desak Kinanti. Ia mendekat, mencengkeram sandaran kursi Intan. “Dalam dunia bisnis d
Jessie mendengar pujian itu tanpa menoleh. Tangannya tetap bergerak di atas papan ketik. Ia mencatat satu hal di kepalanya, Cindy bukan sekadar staf yang terlalu rajin. Ada ambisi di balik caranya berdiri terlalu dekat, caranya berbicara terlalu akrab. Jessie tahu tipe itu. Ia sering menulis tentang orang-orang seperti Cindy, mereka yang ingin naik cepat dengan cara apa pun.Beberapa menit kemudian, ponsel Jessie kembali bergetar. Kali ini dari Nadia.‘Jess, kamu kuat banget. Semua orang lihat apa yang Daniel lakukan ke kamu. Hati-hati ya.’Jessie tersenyum tipis. Ia membalas singkat, ‘Aku baik-baik saja, Nad. Fokus kerja saja. Tapi terima kasih atas perhatiannya.’Ia tidak ingin simpati. Ia butuh waktu dan ruang.Menjelang sore, Jessie membuka kembali folder riset lama yang sempat ia simpan. Ia membaca ulang catatan tentang proyek pengadaan lahan Sanjaya Group. Ada beberapa keputusan yang terasa janggal jika dilihat sekarang, percepatan izin, perubahan nilai kontrak, dan vendor yang
Jessie duduk tegak di kursi kerjanya yang baru, menyesuaikan posisi betisnya yang sesekali masih terasa perih. Dinding kaca di sekelilingnya memang transparan, dan ia sadar setiap geraknya bisa terlihat jelas. Jika Daniel ingin menempatkannya di bawah pengawasan, Jessie justru memutuskan untuk mengamati Daniel dengan lebih cermat. Sekadar untuk melihat, sebenarnya apa yang diinginkan pria itu.Jessie menyalakan komputer di depannya dan mulai mengetik dengan ritme stabil, seolah sibuk mengejar tenggat berita. Namun perhatiannya tidak sepenuhnya tertuju pada layar. Melalui pantulan tipis di monitor, ia diam-diam mengamati setiap gerakan di sofa belakangnya."Pak Daniel, ini kopi tanpa gula yang Bapak minta. Aku ingat Bapak tidak suka yang terlalu manis di pagi hari," suara Cindy terdengar lembut, mengalun melewati pintu ruangan yang sengaja dibiarkan terbuka sedikit.Aku ingat. Batin Jessie. Kata-kata itu berputar di kepala Jessie. Bahkan sebagai tunangan selama hampir setahun, Jessie







