เข้าสู่ระบบ"Kenapa buru-buru, Sayang?" Pengemudi itu menyeringai. "Suamimu sudah menunggu. Aku akan mengantarmu sampai dia turun dan datang ke sini."Jessie panik. Ia mulai memukul kaca jendela. "Buka pintunya! Aku harus keluar!"Di luar, Jacob melihat taksi itu berhenti. Ada jeda lama, taksi itu tidak juga menurunkan penumpangnya. Jacob sekilas melihat siluet Jessie di dalam, dan ia melihat Jessie memukul kaca. Jacob tidak membuang waktu. Ia turun dari mobilnya, berjalan dengan langkah panjang dan berwibawa menuju taksi hitam itu.Jacob mengenakan jas custom hitamnya, ekspresinya tenang, tetapi auranya begitu kuat dan dingin hingga pengemudi itu merasa tercekik. Jacob tidak perlu bicara. Kehadirannya yang murni, berwibawa, dan mematikan sudah cukup.Jacob berdiri di samping pintu penumpang, tidak menyentuh, hanya menatap ke dalam taksi.Mata pengemudi taksi itu melebar ketakutan. Ia melihat Jacob, yang terlihat persis seperti dalam foto-foto CEO di majalah. Ia menyadari ia baru saja bermain-mai
Pukul 20.30. Kantor sudah sepi. Jessie merapikan mejanya, kelelahan setelah seharian penuh menjaga jarak profesional yang dingin dari Dimas. Ia harus menunjukkan pada Jacob bahwa ia mampu bertindak dengan logika.Dimas, yang juga baru selesai membereskan data, berjalan mendekati Jessie."Kamu mau kuantar pulang, Jess?" tanya Dimas, suaranya kembali lembut, mengabaikan ketegangan sore tadi. "Sudah larut malam."Jessie mendongak. Ia tahu tawaran Dimas tulus, tetapi ia tidak mau mengambil risiko lagi. Kepercayaan Jacob terlalu mahal."Tidak perlu, Dimas. Aku membawa mobil sendiri.” jawab Jessie kaku. "Kamu pulanglah."Dimas menghela napas, kecewa. "Kamu benar-benar membangun tembok, Jess.""Itu perlu," balas Jessie singkat. Ia mengambil tasnya dan berjalan menuju lift, meninggalkan Dimas yang menatapnya dengan pandangan terluka.Di area parkir basement, Jessie melihat hanya ada beberapa mobil yang masih terparkir, termasuk mobilnya. Jessie membuka pintu mobilnya dan menghempaskan tubuhny
“Untuk sementara,” Kinanti menegaskan. “Biarkan Jessie merasa aman. Biarkan dia lengah.”Intan mengerutkan kening. “Dan aku?”“Kamu berhenti mengejar Jacob,” kata Kinanti dingin. “Mulai sekarang, kamu fokus membuat Jessie terlihat tidak layak berada di sisinya. Bukan dengan drama. Dengan pilihan-pilihannya sendiri.”Intan terdiam beberapa detik. Lalu senyum tipis muncul di sudut bibirnya, senyum yang lebih berbahaya daripada amarah.“Kalau begitu,” katanya pelan, “aku tahu harus mulai dari mana.”Kinanti mengangkat alis. “Oh?”Intan menatap kosong ke depan. “Jessie terlalu percaya bahwa kebaikan itu cukup. Kita hanya perlu memberi dia satu kesempatan lagi untuk salah.”Kinanti tersenyum puas. “Bagus. Kali ini, jangan buat Jacob melihatmu.”Ia melangkah pergi, meninggalkan Intan yang duduk kembali di sofa bukan lagi sebagai gadis yang gagal, melainkan sebagai pion yang sedang menunggu giliran bergerak.Kinanti berjalan mendekati meja kecil di sudut, mengambil pena dan secarik kertas. I
Kinanti segera duduk, tatapannya memohon."Dengar," ujar Arya, matanya keras namun lelah. "Aku memaafkan niatmu. Tapi aku tidak memaafkan cara cerobohmu. Mulai sekarang, kamu harus berjanji padaku. Jangan pernah lagi kau ikut campur dengan urusan Jacob atau Jessie."Arya mengambil cangkirnya, menyesap teh yang sudah agak dingin. "Fokus kita sekarang adalah menjaga nama baik keluarga."Air mata Kinanti membasahi pipinya. Ia mengulurkan tangan, meraih tangan Arya di atas meja, dan menggenggamnya erat."Aku janji, Pa. Janji, ini yang terakhir," bisik Kinanti. Senyum lega yang cepat terbit di wajahnya. "Terima kasih, Pa. Aku akan menjadi istri yang terbaik."Kinanti segera bangkit, mengambil piring yang berisi roti bakar di hadapannya, dan menyuapi Arya dengan penuh kasih."Papa harus makan yang banyak. Papa sudah bekerja keras untuk keluarga ini," ucap Kinanti. Arya menerima suapan itu, secara tidak langsung menandakan bahwa ia telah menarik kembali amarahnya.Arya mengunyah sarapannya,
Jessie akhirnya berdiri. Kakinya terasa ringan namun rapuh, seolah satu langkah saja bisa membuatnya goyah. Ia menatap ke arah meja makan. Sarapan yang tak tersentuh, kopi yang sudah mendingin, dan kursi Jacob yang kini kosong. Semua tampak sama, tetapi maknanya berubah.Bu Ratih masuk dengan langkah hati-hati. “Nyonya Jessie, apakah sarapannya mau dihangatkan?”Jessie menggeleng pelan. “Tidak usah, Bu. Terima kasih.”Bu Ratih meletakkan piring-piring itu di pantry, lalu kembali ke meja makan. Ia menyadari kegelisahan Jessie dan keheningan Jacob yang baru saja terjadi. Bu Ratih sudah bekerja lama untuk Jacob, ia tahu betul bagaimana sifat Jacob ketika ia benar-benar marah.“Nyonya…” Bu Ratih mendekat, berbisik seolah takut dinding pun mendengar. “Maaf, saya tidak berani bilang apa-apa tadi. Tapi, Tuan Jacob tidak sampai meledak marah, ya?”Jessie hanya mengangguk kecil. “Dia bilang dia hanya kecewa, Bu Ratih.”Bu Ratih menghela napas panjang, tatapannya penuh pengertian. “Nah, itu dia
Jacob, yang berdiri di ambang ruang makan, tidak bereaksi. Ia tidak marah, tidak khawatir akan lantai marmernya, dan tidak melihat ke arah Intan yang berjongkok. Pandangannya tetap terkunci pada Jessie."Jessie," panggil Jacob, suaranya datar, tanpa emosi, namun ada lapisan dingin yang tak terbantahkan. "Duduk."Perintah itu ditujukan kepada Jessie, bukan kepada pengganggu yang membuat kekacauan di dapurnya. Jessie yang terkejut, berjalan mengitari meja dan duduk di kursi yang ditunjuk Jacob.Jacob melangkah masuk. Ia berjalan melewati Intan yang berjongkok di lantai, sebuah penghinaan yang jauh lebih besar daripada amarah. Ia duduk di kursinya, memasang sarung tangan putih tipis yang biasa ia gunakan saat memeriksa berkas penting. Ia mengambil serbet linen, lalu dengan gerakan presisi, ia membersihkan sisa kopi yang menempel di sepatunya.Intan terdiam, matanya melebar karena terkejut diabaikan sedemikian rupa. Ia menyadari sentuhan tangan Jacob jauh lebih mematikan daripada teriakan







