BAB 7
Aku menoleh pada bapak. Kemudian aku menghampirinya.
“Pak, ayo kita pulang nanti keburu malam!”
Aku kemudian melangkah ke dalam menghampiri Ibu dan Wa’ Imah yang menyaksikan dari dalam. Aku berpamitan pada Wa’ Imah dan mengajak ibu pulang.
“Ayo, Bu kita pulang nanti keburu malam!” Ajakku kemudian aku berpaling pada Wa’ Imah. Kuraih tangannya dan menciumnya. Aku mengeluarkan uang dual embar seratus ribuan.
“Wa’ alhamdulilah Sinta ada sedikit rejeki, bonus dari Allah! Semoga ini bisa buat berobat Mang Husen!”
Netra lesu itu berkaca-kaca menerima dua lembar uang pemberianku. Dia menyeka sudut matanya yang mengembun.
“Memangnya kamu punya uang, Ta? Tadi aja 'kan pastinya uang simpenanmu yang dipakai buat bayarin ke Wa’ Ikah?” tanyanya menatapku.
“Alhamdulilah … 'kan Sinta bilang dapat bonus dari Allah! Uwa’ jangan khawatir. Selama Sinta bergantung pada-Nya insya Allah semua akan baik-baik saja. Sinta sangat yakin meski seluruh dunia merendahakan Sinta maka tidak ada kesulitan sedikitpun jika Dia berkehendak lain. Maafin Sinta belum bisa buat Uwa’ bangga saat ini,” ucapku sambil tersenyum.
Selama ini hanya Wa’ Imah yang memang sama-sama tak punya yang baik pada keluargaku. Terkadang kami berbagi beras untuk dimasak hari ini. Yang lain mana peduli. Hidup mereka enak, rejeki berlimpah tapi mereka lupa bahkan untuk bertanya apakah Saudaranya yang susah punya beras untuk makan?
Mereka tidak sadar jika roda kehidupan itu berputar. Bisa saja mereka bertinggi hati dan sombong karena sedang di atas. Namun jika kemudian putaran mereka terhenti di bawah, barulah mereka tahu siapa Saudara dan sahabat yang sesungguhnya. Seperti keluargaku yang hanya memiliki Wa’ Imah untuk saling tolongmmenolong.
Aku menggandeng lengan Ibu dan berjalan keluar. Malas rasanya berpamitan pada mereka yang sejak tadi terdengar sedang menggunjingku.
“Ta, kamu jual diri di mana? Gak masuk akal seorang babu bisa punya simpanan duit segitu banyak!” nyinyir Teh Selvi sambil melirik ke arahku yang hendak berpamitan pada kakek.
“Teteh jangan bicara sembarangan! Bicara tanpa bukti itu fitnah! Mungkin keluarga Teteh yang terpandang itu lebih faham daripada aku yang hanya babu jika fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan! Hati-hati, Teh … lidah memang tidak bertulang tapi setiap kalimat yang diucapkannya bisa melukai bahkan lebih menyayat dari pada pedang!” Aku melirik sekilas ke arah Teh Selvi yang sedang duduk ongkang-ongkang kaki.
“Kek, Sinta pamit pulang dulu!” Aku meraih tangan lelaki tua itu. Bagaimanapun dia adalah kakekku meskipun dia tidak pernah memperlakukanku seperti cucu lainnya hanya karena aku babu.
Lelaki tua mengabaikan tanganku yang kusodorkan untuk bersalaman. Dengan tatapan lurus tanpa memandangku dia berkata.
“Kamu sebagai Saudara yang paling muda tidak selayaknya berbicara tidak sopan seperti itu! Selvi, Rema dan Rena itu Kakak sepupumu. Sebagai adik kamu harus menghormati mereka! Kakek mau kamu minta maaf pada Selvi,” ucapnya. Seperti ada pedang terhunus ke dalam hatiku. Perih dan pedih yang terasa.
Aku menarik napas panjang menahan diri.
“Sinta tidak akan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak pernah Sinta lakukan! Assalamu’alaikum!” Aku berjalan tergesa meninggalkan teras rumah besar itu. Rumah yang berdiri di atas tanah seluas seribu meter. Kakek merupakan keturunan orang kaya zaman dulu. Dia memiliki asset tanah yang luas, meski kini yang tersisa hanya di rumah yang dia tempati saja. Tanah kebun dan sawah sudah habis dijual oleh suami Wa’ Ikah dan Suami Wa’ Inah yang berasal dari kota dan mengerti bisnis.
“Ta!” Kudengar ibu memanggilku.
Aku menghentikan langkah dan menoleh padanya. Kulihat bapak dan ibu tergopoh-gopoh mengejarku.
“Iya, Bu,” jawabku sambil menatap wajahnya yang terkena remang cahaya rembulan.
“Kamu gak apa-apa, 'kan?” tanyanya memastikan. Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Gak apa-apa, Bu! Sinta baik-baik saja! Ayo, Bu!” Aku menggandeng lengannya sambil mengajaknya berjalan beriringan.
Semilir angin membuat jilbab yang kukenakan melambai-lambai. Hatiku yang tersakiti oleh mereka menjadi tidak apa-apa karena ada wanita yang menjadi alasan untukku bisa bertahan. Karena ibulah aku berani memiliki tujuan hidup yakni sebuah masa depan cerah. Aku hanya ingin melihat wanita yang selama ini selalu mengalah dan direndahkan dipandang dunia.
Kami berjalan menyusuri jalanan aspal yang rusak. Jarak rumahku dengan rumah kakek bisa ditempuh dengan waktu dua puluh menit berjalan kaki. Meski jarak hanya kurang dari dua kilometer tapi terasa jauh terhalang oleh perbedaan status.
Rumahku terletak di pinggiran jalan kampung. Bangunan yang terdiri dari bata merah yang hanya setengah dan belum di plester. Rumah kami berlantai tanah.
Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk tiba di rumah. Kami sebetulnya memiliki satu kendaraan sepeda motor tua, tetapi sejak kemarin masih di bengkel karena rusak. Bapak belum menebusnya di bengkel karena tidak punya uang.
Ketika kami hendak memasuki halaman rumah. Terlihat sebuah mobil terparkir di depan. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali mobil itu. Apakah mobil itu milik suamiku? Tapi bukankah dia bilang sekitar seminggu di Singapura?
Lantas kalau bukan mobil Mas Ashraf itu mobil siapa?
Pov Author Selamat Membaca! Maafkan kalau kurang maksimal. Masih oleng Mak Othornya 😁 Rumah Madina dan Alka sudah ramai sejak pagi. Beberapa tetangga turut rewang karena untuk pertama kalinya Madina dan Alka akan menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilan untuk cucu pertamanya. Awalnya Nyonya Sinta bersikeras agar semua perayaan dilaksanakan di rumahnya. Namun Madina menolak, karena ingin terlibat langsung dalam syukuran calon cucu pertamanya itu. Meskipun demikian, Tuan Ashraf tidak kalah antusias dalam menyambut kehadiran cucu-cucunya. Lelaki yang masih terlihat jelas garis ketampanannya itu tidak mau tinggal diam. Sejak pagi, semua orang dibuat berdecak kagum dengan kiriman beragam makanan dengan kualitas premium ke kediaman besannya. Beragam makanan itu untuk
Pov Author Selamat Membaca! Alma menelan saliva. Benar-benar gugup dan takut. Khawatir jika dirinya memang belum hamil. Tidak kuasa melihat wajah Arya kecewa nanti. “Bismillah, semoga Engkau memudahkan segalanya,” batinnya. Arya menuju ke bagian pendaftaran. Beberapa pasang mata tampak mencuri-curi pandang pada lelaki yang menggamit jemarinya itu. Tampak mereka mengusap perutnya, mungkin berharap memiliki anak rupawan seperti lelaki gagah yang membersamai Alma. Usai daftar. Mereka duduk berjejeran dengan beberapa wanita hamil. Namanya juga poli kandungan, isinya kebanyakan wanita-wanita hamil pastinya. Tampak mereka bersama masing-masing pasangan. Hanya ada satu orang yang tampak sendirian, hamilnya sudah kentara mungkin sudah tujuh bulanan. “Hamil
Pov Alma (bulan madu) Extra part Gaess! Selamat Membaca! Coba komen yang masih hadir di sini! 😁 Hari ini kami sudah berada di salah satu tempat yang jauh dari keramaian. Kata Bang Arya kami ini sedang bulan madu. Di sini hanya ada kami berdua. Entah seberapa kaya suamiku ini. Satu area pulau ini katanya hanya di sewa oleh kami selama seminggu. Selain para pekerja yang memang ada, tidak ada lagi pengunjung lainnya. Bang Arya melingkarkan lengan kekarnya pada pinggangku. Aku menyandarkan kepalaku yang tak terbalut kerudung ini pada dada bidangnya. Kami duduk bersisian tanpa cela. Sesiang ini masih betah menikmati suasana cottage terbuka yang kami tempati. Dari sini, kami bisa langsung menatap indahnya riak gelombang lautan. Hembusan angin sepoi yang mendamaikan.&n
Pov Author “Bang, ini aku Alma---istrimu. Sadarlah, Bang! Maafkan aku yang bodoh ini! Kalau kamu sadar, aku berjanji akan mengabulkan apapun keinginanmu, Bang! Sadarlah, Bang!” ucapnya sambil terisak. Alma duduk pada kursi di tepi ranjang tempatnya berbaring. Detak jam dinding terdengar. Entah sudah berapa lama dia berbicara sendiri hingga akhirnya terlelap. Tiba-tiba dia menatap sosok berpakaian putih itu datang mendekat. Dia mengusap pucuk kepalanya dan berbisik. “Terima kasih, Dek … terima kasih sudah menjagaku,” lirihnya lembut. Wajahnya tampak. Gerak jemari yang digenggamnya membuat Alma mengerjap. Rupanya dia kembali tertidur dan bermimpi bertemu dengan Arya. “Bang, kamu sudah sadar?” Alma menata
Pov Alma Selamat Membaca! “Alma! Maafkan aku. Rumah tangga ini tidak bisa kita lanjutkan! Terima kasih sudah memberiku kebebasan! Aku bisa leluasa memilih hidupku ke depannya! Aku pergi … jaga diri baik-baik!” “B—Bang, B—Bang Arya!” Satu sentuhan mengguncang bahuku. Aku mengerjap ditengah isak. Rupanya aku tertidur selepas shalat isya tadi di kamar belakang. “Ma, kamu kenapa? Mimpi?” Anggrainin tengah menatapku. “Astagfirulloh ....” Aku menyeka sudut mata yang hangat. Aku menangis. Isaknya terbawa ke alam nyata. Barusan aku bermimpi, Bang Arya benar-benar terasa nyata. Dia memakai pakaian
Pov Author Selamat Membaca! Pikiran Arya berkecamuk. Semua campur aduk menjadi satu. Kalimat demi kalimat yang Azka ucapkan membuat dirinya benar-benar tidak bisa berpikir dengan baik. Ya, memang foto itu benar, dirinya dan Naila pernah mengikat janji untuk menua bersama. Semua yang Azka ucapkan itu benar, dia menikahi Alma karena pernah berjanji jika dia akan membalas hutang nyawa pada Azka dengan cara apapun juga. Menikahi Alma tanpa cinta, itu juga benar. Awalnya dia memperlakukan dengan baik karena rasa tanggung jawab akan amanah dari sahabatnya itu. Harusnya Arya senang ketika lelaki itu tidak lagi menuntutnya untuknya terkungkung dalam hutang budi. Dia sudah bisa bebas kembali ke dalam kehidupannya tanpa terikat janji pada Azka untuk memperla