Ibu, Pak Imron, dan aku serta warga lainnya sekarang tengah berkumpul di rumah Bik Diah. Beberapa saat yang lalu, Pak Imron akhirnya meminta bantuan para pria untuk melerai aku dan Bik Diah yang akan terlibat pertengkaran.
"Begini kan enak, kita duduk baik-baik dan membicarakan masalahnya dengan kepala dingin, bukan malah saling pukul dan jadi tontonan semua orang." Wibawa Pak Imron sebagai kepala dusun akhirnya muncul. "Saya ndak akan lepas kendali kalau kelakuan mereka ndak keterlaluan, Pak!" seru Bik Diah. Bisa kulihat kalau bekas tamparanku beberapa saat lalu meninggalkan jejak merah di pipinya, di samping Bik Diah, duduk Mina dan Mas Viki yang sedang bergandeng tangan mesra. Cih! "Apa sebenarnya yang terjadi, Pak Kadus? Apa benar kalau Nirma memukul suami Mina sampai berdarah?" Salah satu warga bertanya. Para warga yang hadir pasti sudah kemakan fitnah Bik Diah, makanya mereka semua menatap ke arahku dengan pandangan menghina. "Begini, Bapak-Ibu, saya tidak tahu cerita sebenarnya seperti apa, karena saya tidak ada di tkp saat hal itu terjadi. Tapi, barusan Buk Tami dan Nirma datang ke rumah saya untuk melapor, katanya Viki melakukan hal yang tidak senonoh pada Nirma." "Bohong, Pak Imron, pasti wanita perawan tua ini ingin memutar balikkan fakta dan memfitnah menantu saya!" Bik Diah berteriak keras, membuatku geram dan ingin sekali menyumpal mulutnya dengan sesuatu. "Kamu yang bohong dan tukang fitnah!" timpal Ibu marah, sesabar-sabarnya wanita yang kucintai itu, ia pasti akan membela kalau ada yang menghinaku. "Sabar, sabar!" bentak Pak Imron, sepertinya ia mulai tersulut emosi juga. "Karena Buk Diah berani menuduh begitu, maka ceritakan kenapa Ibuk mengklaim kalau Nirma yang merayu Viki. Kalau masalah luka itu, Nirma sudah mengaku sama saya, dia memang melakukan itu untuk tujuan membela diri." "Saya baru pulang dari rumah Buk Tuti sama Mina waktu lihat Viki sudah duduk di teras dengan darah bercucuran, Pak Imron, katanya dia dipukul Nirma karena menolak rayuan perempuan itu!" "Stop! Berarti Buk Diah dan Mina juga tidak ada di tkp saat kejadian, saya mau mendengar cerita Viki saja!" kata Pak Imron tegas. Beberapa warga yang masuk akal juga terlihat mengangguk setuju. "Ceritakan semuanya, Mas, bongkar saja kelakuan busuk Nirma, jangan Kamu tutup-tutupi." Mina mengusap perban yang menutupi dahi suaminya, membuatku muak melihat sandiwara mereka. "Saya sedang sendiri di rumah, Bapak-Ibu, tiba-tiba Dek Nirma ini datang sambil membawa piring, dia bertanya apakah Ibu dan Mina ada di rumah, terus saya jawab kalau mereka lagi keluar sebentar. Dari sana Dek Nirma meminta untuk berbicara berdua di dalam rumah ..." "Bohong!" teriakku. Dasar lelaki munafik, pandai sekali mengarang cerita untuk memfitnah orang. "Kamu yang bohong!" teriak Mina. "Sudah, diam dulu! Saya ingin mendengar cerita Viki, jangan ada yang menyela!" Pak Imron membentak marah. Aku menunduk dan hanya bisa menggertakkan gigi dengan marah saat mendengar cerita karangan Mas Viki. "Saya sudah menolak, Bapak-Ibu, saya juga bilang enggak enak kalau harus ngobrol berdua di dalam ruangan sementara enggak ada orang lain di rumah, takut jadi bahan fitnah dan gunjingan warga sekitar, tapi Dek Nirma terus memaksa." Ba-jingan, lancar sekali lidahnya menyuarakan kebohongan. "Akhirnya karena terpaksa, saya menurut untuk mengobrol di dalam, tapi bukannya mengobrol, Dek Nirma malah menyatakan perasaan suka dan merayu saya, sebagai lelaki yang sudah beristri, tentu saja saya menolak, akibatnya saya dipukul sebab mengancam akan mengadukan kelakuan Dek Nirma ke Buk Tami." "Beraninya Kamu mengarang cerita dan memfitnah anak saya!" Ibu berteriak marah, air mata sudah berlomba-lomba turun di pipinya. "Pokoknya saya ndak terima, Pak Imron, menantu saya dirayu dan dipukul, saya minta ganti rugi lima karung gabah, atau saya bisa membawa kasus ini ke kantor polisi. Viki adalah seorang direktur dari kota!" Mereka akan membayar, pasti mereka akan membayar semua air mataku, air mata Ibu, dan Romi. Mereka pasti akan mendapat balasan atas rasa sakit yang aku rasakan saat ini. Ya Allah, Engkaulah sebaik-baik penolong, Engkaulah yang maha melihat dan maha mendengar, tunjukkan balasan yang setimpal pada orang-orang munafik ini. "Sudah diam dulu, sekarang saya ingin mendengar cerita dari Nak Nirma!" kata Pak Imron. Aku mengambil napas pelan dan bersiap untuk bercerita sedetail mungkin. "Awalnya saya berbelanja di Mpok Atik dan sempat terlibat cek-cok dengan Bik Diah di sana, itu karena dia mengatai-ngatai saya ndak laku-laku karena tak kunjung menikah. Ibu-ibu yang belanja pagi tadi bisa jadi saksinya," kataku. Kulihat wajah ibu-ibu yang memang hadir belanja waktu itu mengangguk satu per satu. "Setelah belanja, saya ndak langsung pulang karena harus ke warung dulu buat beli minyak. Singkat cerita, waktu sudah sampai rumah, saya lihat Ibu saya nangis di depan pintu, ternyata setelah ditanya, itu karena Bik Diah." Kupelototi wajah wanita jahat itu. "Berkedok mengantar sepiring pangsit, dia ternyata datang untuk marah-marah sama Ibu karena kesal sama saya." "Pangsitnya ndak enak, Mbak, Romi sudah makan satu, tapi rasanya ndak enak." Romi yang duduk di pangkuan Ibu berbicara. "Dasar anak kecil ndak bersyukur, sudah untung dikasih!" "Diam! Lanjutkan, Nirmala!" "Kesal lantaran Ibu dihina sampai menangis, saya kemudian mengusulkan untuk mengembalikan piring sekaligus mengingatkan supaya Bik Diah lebih hati-hati lagi kalau berucap, jangan sembarangan marah-marah dan mengata-ngatai tetangga yang bukan-bukan." Aku terus bercerita hal yang sebenarnya seperti cerita awalku pada Ibu dan Pak Imron. Bisa kulihat wajah para warga yang heran dan bingung, mungkin karena ceritaku dan Mas Viki berbanding terbalik. "Saya ndak pernah merayu Mas Viki, Pak, Buk, walaupun saya belum menikah dan ndak laku-laku seperti yang sering dikatakan sama Bik Diah dan ibu-ibu di kampung, saya ndak sehina itu sampai-sampai mau merayu suami orang!" Ibu-ibu yang sering kedapatan mengataiku perawan tua menunduk dalam-dalam. "Mas Viki sendiri yang memeluk dan memaksa ingin mencium dan mele-cehkan saya, kami bahkan ndak pernah masuk rumah seperti cerita yang dia karang, kejadiannya malah tepat di teras depan. Dan juga, karena kalah tenaga dan marah, saya terpaksa memukul kepalanya pakai piring!" Beberapa warga yang merasa ceritaku lebih meyakinkan tampak marah, bahkan Pak Imron juga memelototi Mas Viki yang kelihatan duduk dengan gelisah. "Kalau kejadiannya di teras depan, periksa saja CCTV rumahnya Buk Diah, pasti semua kejadiannya terekam." Suara seorang remaja laki-laki terdengar, membuat wajah Pak Imron semringah setelah melihat CCTV yang ditunjuk remaja itu. Alhamdulillah, ya Allah, Engkau akhirnya menunjukkan jalan keluar lewat pemuda itu. Bisa kulihat wajah pucat pasi Mas Viki, Mina yang berada di samping sang suami sepertinya baru menyadari sesuatu dan melotot ngeri, hanya wajah Bik Diah yang masih bersemangat . "Sekarang Kamu ndak bisa mengelak lagi, Nirma. Mina, cepat periksa CCTV dan perlihatkan ke semua orang rekamannya!" titah Bik Diah. "Aku sama sekali ndak takut!" Mina terlihat ragu-ragu untuk bangun, ia sepertinya berusaha main mata dengan Bik Diah, tapi ibunya yang mungkin tengah memikirkan tentang ganti rugi lima karung gabah itu tak memerhatikan ekspresi gelisah sang anak. Sebentar lagi Kalian pasti akan tertampar fakta dan malu sama kelakuan bejat suami dan menantu yang sangat Kalian banggakan itu! "Biar saya ikut periksa," kata Pak Imron mengajukan diri. "Ndak usah, Pak Imron, biar saya saja!" Mina menjawab cepat sekali dan langsung pergi. Aku tak sabar menunggu lelucon apa yang akan ia buat untuk menutupi kesalahan suaminya kali ini. Tak berselang lama setelah Mina pergi, ia kembali lagi dengan wajah merah padam karena marah. "CCTV-nya rusak, Bapak-Ibu, jadi tidak ada rekaman sama sekali." Ha! Pembohong kecil, rupanya ia takut kelakuan suaminya akan terekspos. "Rusak? Apakah sudah Kamu periksa dengan benar, Mina?" Bik Diah meraung dengan marah. "Iya!" "Biar Pak Imron bantu periksa saja." Sepertinya Bik Diah benar-benar tak menyadari raut wajah pucat pasi Mina dan Mas Viki. "CCTV-nya rusak, Ibu!" Mina meraung marah. Bik Diah sepertinya menangkap kalau ada sesuatu yang salah dan mulai gelisah, ia saling pandang dengan Mina dan keduanya membuang muka. Aku tersenyum bahagia melihat mereka ditampar kenyataan. "Karena CCTV-nya rusak, saya siap bawa kasus ini ke polisi seperti yang Bik Diah katakan di awal!" kataku. Kita lihat sejauh apa mereka berani bertindak! "Ndak bisa! Karena CCTV nya rusak dan enggak ada barang bukti, kejadiannya jadi ngambang, ndak jelas. Oleh sebab itu, saya cuma minta ganti rugi biaya pengobatan saja, Pak Imron." "Bik Diah masih waras, kan? Yang menjadi korban di sini itu aku, tapi bibik masih punya muka buat minta ganti rugi!" "Kalau gitu bayar 50 ribu buat ganti biaya piring saya yang Kamu pecahkan!" "Ibu," tegur Mina. "Aku ndak bakalan ganti rugi apa pun, yang harusnya kena denda itu Kalian, sudah salah tapi malah menyebarkan fitnah dan mencoreng nama baik! Pak Imron, saya ndak yakin kalau CCTV-nya rusak, tolong diperiksa lagi, pak!" "Ibu sudahlah! Pak Imron, CCTV di rumah Ibu memang rusak, enggak perlu diperiksa lagi. Masalah ini tolong jangan diperpanjang, biar sampai di sini saja, silakan semuanya keluar dulu, suami saya perlu istirahat." "Huuu!" Beberapa warga menyoraki, sepertinya mereka sudah bisa menebak kebenarannya. Ha-ha-ha, tahu rasa mereka. Walaupun belum mendapatkan keadilan apa pun, aku cukup puas karena semua orang akhirnya tahu kalau aku tak bersalah. Lagi pula aku percaya Allah maha adil, kalau aku tak bisa membalas sendiri, Dia pasti akan membalas untuk hamba-Nya yang tertindas. Karma dan adzab itu nyata, tunggu saja, Mina, Mas Viki, dan terutama Bik Diah! Bersambung."Apa?!"Yang barusan berteriak itu adalah Mina dan Buk Susi. Kengerian terpatri dengan jelas di wajah mereka."Saya ndak setuju, Pak Imron, saya ndak sudi kalau harus menampung Mina dan Buk Diah yang gila dan ... dan ... tak punya harta benda lagi ... a-anu ... maksud saya, Pak Imron kan tahu bagaimana kondisi keluarga kami. Akan jadi seperti apa keluarga kami di masa depan?""Aku juga ndak sudi kalau harus menikah dengan anakmu dan menjadi satu keluarga dengan Kalian, cuih!""Hihihihi, hore-horeeeee berantem."Buk Susi, Mina, dan Bik Diah bersahut-sahutan."Sekarang baru terpikir akibat dari perbuatan buruk Kalian, kan? Waktu merencanakan semua ini, apa pernah terlintas di pikiran Kalian bagaimana masa depan orang tak bersalah yang Kalian coba jebak?" Buk Nuri yang sedari tadi hanya diam menyimak pun angkat suara. Beliau berkata parau dan matanya terlihat berkaca-kaca, beliau mungkin teringat akan almarhumah putrinya, Sari Yuliati, yang meninggal sepuluh tahun silam.."Seorang pemuda
"Diaaaam! Semua ini gara-gara ibumu yang gila itu! Semua rencana kita gagal total karena dia!""Rencana?"Nada dingin tersebut membuat Farhan langsung membeku.Mau tak mau aku menoleh ke asal suara, di sana kulihat Edward tengah menatap Farhan seperti seorang jenderal yang akan mengeksekusi musuh di medan perang."Rencana apa? Jelaskan!" Edward menuntut."Kamu jelaskan, beberapa waktu lalu juga aku sempat mendengarmu merencanakan sesuatu dengan Mina, kan?" Aku juga turut menekan Farhan supaya menjelaskan.Aku merasakan firasat yang kuat kalau 'rencana' yang dibicarakan Farhan dan Mina itulah dalang di balik petaka yang menimpaku ini."Lanjutkan penjelasannya, rencana apa yang Kalian maksud?" tanya Pak Imron begitu melihat Farhan masih diam membatu.Aku geram sekali saat melihat Farhan duduk diam tak bersuara, beberapa waktu lalu ia seperti singa yang mengaum ganas dan siap menyerang siapa saja, sekarang ia terlihat seperti kura-kura mengkerut yang bersembunyi di dalam cangkangnya sepe
Allah tahu bagaimana aku berjuang melepaskan diri dari Edward. Allah tahu kalau aku berusaha sekuat tenaga melawan pria itu. Allah pasti tahu kalau aku telah sedaya upaya melakukan perlawanan padanya. Aku menendang, mencakar dan menggigit sebisanya. Semua bekas perlawananku tercetak jelas di tubuh tak berbusana pria itu. Adapun Edward yang beberapa saat lalu terlihat seperti binatang buas hilang kendali, sekarang akhirnya tersadar setelah naf-sunya terpenuhi. Aku beringsut ke sudut pabrik baru ini, sebisa mungkin menjangkau semua pakaian untuk menutupi badan yang tak pernah terlihat oleh lelaki mana pun sejak aku akil baligh. Kupasang satu per satu pakaian itu sambil menata perasaan campur aduk yang bergelora di hati: marah, malu, sedih, terhina. Semuanya campur aduk. Air mataku berlomba-lomba turun, semua perasaan gelisah itu sudah tak bisa kutahan lagi. Akan bilang apa aku pada Ibu nanti? Bagaimana perasaan wanita itu kalau tahu anak gadisnya sudah tak suci lagi? Akan seremu
Setelah beberapa hari yang damai dan tenteram, kampungku ternyata ribut lagi. Usut punya usut, ternyata tujuan Edward datang ke kampung adalah untuk membangun pabrik plastik di bekas sawah Bik Diah.Edward sudah tiga hari ini tinggal di rumah Pak Imron, dia menginap di sana lantaran tak ada kos-kosan di kampung, maklumlah karena kampungku masih termasuk daerah terpencil.Edward rupanya ingin segera membangun pabrik dan mendatangkan bahan konstruksi, tapi niatnya terhalang karena ada warga yang protes.Para warga yang sawahnya berdekatan dengan bekas sawah Bik Diah tak setuju kalau akan dibangun pabrik di sana. Meskipun tanah itu sudah dibeli oleh Edward dan resmi pindah tangan padanya, tapi warga tetap melarang, mereka khawatir kalau limbah pabrik nantinya akan mencemari sawah mereka dan mempengaruhi hasil panen.Informasi di atas aku dapatkan dari Pak Imron."Bukannya kami melarang, Nak Edward, karena sejatinya kan tanah itu sudah jadi milik Kamu, jadi terserah Kamu mau dibangun apa
"Heh, sini Kamu!"Aku sudah akan kabur, tapi urung sebab melihat kecepatan lari lelaki itu. Kalau pun aku memilih langsung lari, pasti akan terkejar."Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki tinggi itu.Kalau tak sedang takut padanya, aku pasti akan mengagumi dan memberikan nilai sepuluh untuk penampilannya. Bagaimana tidak, lelaki tersebut tinggi, mancung, putih, dan memiliki mata biru cerah dan wajahnya dibingkai dengan rambut pirang berkilau."Gantengnya, kayak orang bule," lirihku."Hei, ditanya malah melamun, udik Kamu ya, enggak pernah liat orang ganteng apa!"Ish, walaupun dia ganteng, tapi kata-katanya kasar. Aku menarik semua pujianku padanya, percuma ganteng kalau minus tata krama."Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki itu lagi."Iya.""Tanggung jawab, lihat dahi saya, nih!"Dahi pria itu memang merah dan tertutup sedikit lumpur akibat sendalku."Aku ndak sengaja, Om."Kupanggil ia dengan sebutan Om sebab pakaiannya terlihat mewah seperti om-om pengusaha yang ada di t
Karena banyak warga yang mendengar pertengkaran Mas Viki dan Mina kemarin, berita perselingkuhan Bik Diah tersebar dengan cepat. Saat ini mereka tengah disidang oleh Pak Imron, sayangnya hanya ada Mina dan Bik Diah, sementara Mas Viki sudah melarikan diri entah kemana."Itu semua karena lelaki be-jat itu, Pak, dia merayu saya lebih dulu!" Bik Diah berteriak kesetanan.Aku rasanya ingin tertawa kencang, kemarin-kemarin saja Bik Diah membela menantunya setengah mati."Saya percaya sama Ibu, ini pasti murni Mas Viki yang merayu, soalnya dia memang mata keranjang, sebagai istri saya kenal dia luar-dalam, Pak." Mina turut menimpali."Kalau memang kejadiannya seperti yang Kalian katakan, itu berarti Viki memang terbiasa melakukan hal-hal tidak senonoh. Dari sini kita bisa tahu kalau kejadian dengan Nirma pasti dalangnya si Viki." Pak Imron berkata dengan geraman rendah."Iya, Buk Diah dan Mina sudah menuduh yang bukan-bukan sama Nirma, ternyata yangba-jingan itu Viki!"Salah satu warga yan