"Heh, sini Kamu!"
Aku sudah akan kabur, tapi urung sebab melihat kecepatan lari lelaki itu. Kalau pun aku memilih langsung lari, pasti akan terkejar. "Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki tinggi itu. Kalau tak sedang takut padanya, aku pasti akan mengagumi dan memberikan nilai sepuluh untuk penampilannya. Bagaimana tidak, lelaki tersebut tinggi, mancung, putih, dan memiliki mata biru cerah dan wajahnya dibingkai dengan rambut pirang berkilau. "Gantengnya, kayak orang bule," lirihku. "Hei, ditanya malah melamun, udik Kamu ya, enggak pernah liat orang ganteng apa!" Ish, walaupun dia ganteng, tapi kata-katanya kasar. Aku menarik semua pujianku padanya, percuma ganteng kalau minus tata krama. "Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki itu lagi. "Iya." "Tanggung jawab, lihat dahi saya, nih!" Dahi pria itu memang merah dan tertutup sedikit lumpur akibat sendalku. "Aku ndak sengaja, Om." Kupanggil ia dengan sebutan Om sebab pakaiannya terlihat mewah seperti om-om pengusaha yang ada di tv. "Om?" Pria di depanku terlihat marah, matanya melotot tak terima lantaran dipanggil om. "Panggil saya Edward!" "Iya, Om Edward." "Enggak pakai embel-embel om!" titahnya. "Iya, Edward!" tekanku. Hadeeeh, tinimbang masalah manggil nama saja ribetnya minta ampun. "Tanggung jawab." Edward berkata sambil bersedekap. "Om--okeee, Edward." Aku buru-buru meralat panggilan om pada Edward karena tampang garangnya. "Kamu mau diperiksa ke dokter? Ayo ke puskesmas kalau gitu." "No." "Ya terus?" "Kamu harus hantar saya ke rumah yang punya sawah ini." Edward menunjuk pada sawah di dekat jalan, tepat di depan kami berdiri. "Sawahnya Bik Diah?" tanyaku. "Iya, sawahnya Ibu Sa'diah." "Ada perlu apa memangnya?" tanyaku penasaran. Bagaimana tidak penasaran, perasaan dari kemarin-kemarin banyak sekali orang asing yang menanyakan perihal Bik Diah. "Kamu enggak perlu tahu, Kamu cuma perlu tunjukin ke saya jalan menuju rumah Ibu Sa'diah!" Ish, menyebalkan sekali Edward ini, menyesal rasanya sempat bilang kalau ia ganteng. "Sekadar info aja ya, Bik Diah sekarang gila," kataku. "Gila?" "Iya." "Tapi suaminya ada, kan?" Paman Alif, suaminya Bik Diah sudah lama meninggal dunia. "Enggak." "Anak?" "Ada." Jujur aku penasaran sekali, apa sebenarnya tujuan Edward mencari Bik Diah. "Sebenarnya ada urusan apa Kamu sama Bik Diah?" tanyaku lagi. "Kan sudah dibilangin, Kamu enggak perlu tahu." Ih, pelit, padahal kan tinggal kasih tahu saja, apa susahnya. "Ayo, hantar saya ke rumah Ibu Sa'diah!" titahnya. "Ya udah ayo, lewat situ," kataku menunjuk ke pematang sawah, sengaja tak lewat jalan aspal karena lumayan jauh. "Kan ini pematang." "Ambil jalan pintas," kataku singkat. "Kalau begitu ayo, Kamu yang jalan duluan." "Laki jalan duluan," ketusku. "Kan Kamu yang tahu jalannya, saya ngikut Kamu!" "Pokoknya karena Kamu laki, jadi harus di depan, atau Kamu mau modus, ya?" tanyaku. "Ge'er!" Edward lalu berjalan lebih dulu, aku langsung mengekor di belakangnya. "Belok kiri," ucapku yang langsung dituruti pria itu. "Pffft!" Serius, lucu sekali melihat Edward yang jalannya sudah seperti bebek; miring ke kiri, miring ke kanan. Mungkin karena dia tidak terbiasa. "Jangan ketawa!" ketusnya berbalik. "Siap, Pak Bos!" Aku membuat pose hormat bendera waktu upacara padanya. Edward mendelik kesal dan lanjut berjalan. Merajuk lah tuuu! *** Tebak ada berita apa? Iya, keluarga Bik Diah lagi. Kali ini ternyata yang datang adalah bos tempat Mas Viki bekerja di kota, katanya dia datang untuk minta pertanggung jawaban, soal apa aku kurang jelas. Intinya selama kerja, Mas Viki ternyata membuat rugi, makanya sampai dicari begitu. "Den ganteng, memangnya si Viki sama Mina itu buat kasus apa lagi, Den?" tanya para ibu-ibu yang sudah mengerubungi sosok Edward seperti semut mengerubungi gula. Iya, Edward yang tak sengaja kena timpuk sendalku ternyata adalah bosnya Mas Viki di kota, jadi mobil yang selama ini selalu dibawa Mas Viki ke kampung adalah mobil pria bule itu. "Si Viki nipu saya, Ibu-Ibu, sertifikat sawah yang dia jual sama asisten saya ternyata palsu, ditambah dia juga membawa kabur satu mobil kantor dan sampai sekarang belum kembali." Edward menjawab kalem. Ibu-ibu yang tengah berkerumun itu sontak berbisik-bisik ribut. Sama sekali tak menyangka kalau Mas Viki yang selama ini dikagum-kagumi ternyata penuh dengan kotoran; bau! "Terus sekarang bagaimana, Den?" "Saya ke sini untuk meninjau langsung sawah punya Ibu Sa'diah, sekaligus mencari Viki, mau minta penjelasan," jawab Edward. Akhirnya aku paham juga alasan pria bule itu berada di sawah Bik Diah. "Mas Viki tidak lagi tinggal sama saya, Mas Edward, dia sudah pergi entah ke mana, dia keburu kabur, soalnya dicari-cari sama rentenir." Mina yang baru keluar sambil membawa nampan berisi segelas kopi berbicara teramat anggun pada Edward. "Terima kasih," kata Edward sambil menerima nampan tersebut, bisa kulihat kalau Mina jelas tersipu karena mendapat senyuman Edward. Kayaknya si Mina naksir sama Edward, padahal wanita itu sudah bersuami. "Kamu ini Mina, kan?" tanya Edward. "Anaknya Ibu Sa'diah?" "Iya, Mas." Aku dan ibu-ibu di sana cuma duduk menyimak obrolan kedua insan itu. "Tentang sertifikat tanah palsu itu, siapa yang akan bertanggung jawab?" "Eemmm." Mirna terlihat menggigit bibirnya dengan gugup. "S-s-saya bakal tanggung jawab, Mas Edward." Edward langsung mengangguk. "Bagus, karena sepengetahuan saya Mina juga ikut waktu Viki mengambil uang dari asisten saya waktu itu, kan?" "Iya, Mas." Oh, kirain Mas Viki menjual sertifikat tanah palsu sendiri tanpa sepengetahuan istrinya, ternyata Mina juga ikut-ikutan, toh. Suami istri memang sama saja; suka menipu. "Untuk mobil, saya tidak akan minta pertanggung jawaban Mina, karena memang Viki sendirilah yang bersalah, biar anak buah saya nanti yang cari," ujar Edward. Ternyata pria itu masih punya hati nurani dan logikanya masih jalan, untungnya dia tak sekejam para rentenir itu. Melihat musibah yang datang silih berganti menimpa keluarga Bik Diah, mau tak mau aku jadi ikut kasihan ke mereka, terutama sama Mina. Sudah ibunya jadi gila, ditambah suaminya modelan seperti Mas Viki, yang kelakuannya lebih-lebih dari pada orang gila. Ya walaupun aku sempat kesal dan marah sama keluarga mereka, tapi hati manusia kan cepat sekali berubahnya. Yang bisa kulakukan hanya berdoa ke Yang Maha Kuasa, semoga musibah yang Allah berikan ke Keluarga Bik Diah ini bisa mengetuk pintu hati mereka untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. "Terima kasih, Mas Edward, terima kasih banyak," kata Mirna. "Sertifikat tanah yang asli masih ada, kan?" tanya Edward tenang sambil menyeruput kopi yang dibuatkan oleh Mina. Berlawanan dengan ekspresi santai yang ditunjukkan Edward, kulihat Mina sudah berwajah pucat pasi. "Tanah itu sudah dijual, Mas Edward." Mina berujar dengan suara bergetar yang jelas, aku meringis kasihan untuknya. "Saya tahu," ujar Edward. Jangankan Mina, aku pun heran karena perkataan pria itu. Ya bagaimana tidak heran, kalau sudah tahu, kenapa malah bertanya kan, sengajakah? "Yang beli sawah itu adalah anak buah saya juga," jawab Edward. Oh begitu. Jujur, dari tadi ibu-ibu yang hadir tak ada yang berani berbicara sama sekali, entah terkena sihir apa mereka ini, biasanya kan mereka paling tidak bisa diam. Cuma hari ini terjadi keajaiban, ibu-ibu di kampungku tahan tidak bergosip padahal sudah duduk berkerumun begini, mereka sepertinya sibuk dengan hal lain, apalagi kalau bukan memandang paras tampan Edward. Ibu-ibu ini! "Uang yang sudah Kalian terima jauh melebihi harga yang seharusnya dibayarkan, sekarang bisa tolong dikembalikan?" Raut Mina terlihat makin pucat, aku dan ibu-ibu di sana sama-sama menghela napas, kami yakin sekali kalau setelah kejadian dengan rentenir itu, pasti Mina dan Bik Diah tak punya apa-apa lagi sekarang, selain rumah yang mereka tempati tentunya. "Saya enggak pegang duit sama sekali, Mas Edward," jawab Mina kelihatan seperti takut sekaligus malu. Edward memasang wajah masam. "Oh, atau begini saja, Mas Edward, bagaimana kalau saya jadi ART di rumah Mas Edward untuk melunasi hutang?" tawar Mina. Kenapa aku malah mikir kalau si Mina lagi modus, ya? Astagfirullahaladziim. Aku mengucap istigfar beberapa kali lantaran pikiran burukku, padahal sudah jelas-jelas kalau agama melarang kita untuk suudzon. "Sepertinya itu satu-satunya jalan, kebetulan di rumah sedang cari tambahan ART," kata Edward setelah terlihat lama menimbang jawaban. "Masih ada lowongan ndak, Den, saya juga mau," tanya Ibu Asih. "Maaf, sudah penuh, Bu," jawab Edward. "Untuk masalah gaji nanti dibicarakan belakangan, ya" ucap Edward pada Mina. Mina terlihat mengangguk antusias, kemudian melirik dengan bangga padaku. "Enggak digaji juga enggak apa-apa saya mah" Walaupun diucapkan dengan intonasi kecil, aku tetap bisa mendengar kalimat tersebut, kuyakin Edward dan ibu-ibu di sana juga pasti dengar. Seolah tersadar, Mina dengan cepat-cepat berkata sambil ketawa, cuma ketawanya itu ketawa canggung. "Ha-ha, maksudnya kan saya berhutang sama Mas Edward, jadi kalau misalnya enggak digaji dan djpotong hutang, saya rela, Mas, begitu." Entah kenapa aku tak yakin. Tapi ada satu hal yang membuatku penasaran, kalau Mina ikut kerja sebagai ART ke kota bersama Edward, siapa yang akan mengurus Bik Diah? Ah, wanita malang itu. Bersambung."Apa?!"Yang barusan berteriak itu adalah Mina dan Buk Susi. Kengerian terpatri dengan jelas di wajah mereka."Saya ndak setuju, Pak Imron, saya ndak sudi kalau harus menampung Mina dan Buk Diah yang gila dan ... dan ... tak punya harta benda lagi ... a-anu ... maksud saya, Pak Imron kan tahu bagaimana kondisi keluarga kami. Akan jadi seperti apa keluarga kami di masa depan?""Aku juga ndak sudi kalau harus menikah dengan anakmu dan menjadi satu keluarga dengan Kalian, cuih!""Hihihihi, hore-horeeeee berantem."Buk Susi, Mina, dan Bik Diah bersahut-sahutan."Sekarang baru terpikir akibat dari perbuatan buruk Kalian, kan? Waktu merencanakan semua ini, apa pernah terlintas di pikiran Kalian bagaimana masa depan orang tak bersalah yang Kalian coba jebak?" Buk Nuri yang sedari tadi hanya diam menyimak pun angkat suara. Beliau berkata parau dan matanya terlihat berkaca-kaca, beliau mungkin teringat akan almarhumah putrinya, Sari Yuliati, yang meninggal sepuluh tahun silam.."Seorang pemuda
"Diaaaam! Semua ini gara-gara ibumu yang gila itu! Semua rencana kita gagal total karena dia!""Rencana?"Nada dingin tersebut membuat Farhan langsung membeku.Mau tak mau aku menoleh ke asal suara, di sana kulihat Edward tengah menatap Farhan seperti seorang jenderal yang akan mengeksekusi musuh di medan perang."Rencana apa? Jelaskan!" Edward menuntut."Kamu jelaskan, beberapa waktu lalu juga aku sempat mendengarmu merencanakan sesuatu dengan Mina, kan?" Aku juga turut menekan Farhan supaya menjelaskan.Aku merasakan firasat yang kuat kalau 'rencana' yang dibicarakan Farhan dan Mina itulah dalang di balik petaka yang menimpaku ini."Lanjutkan penjelasannya, rencana apa yang Kalian maksud?" tanya Pak Imron begitu melihat Farhan masih diam membatu.Aku geram sekali saat melihat Farhan duduk diam tak bersuara, beberapa waktu lalu ia seperti singa yang mengaum ganas dan siap menyerang siapa saja, sekarang ia terlihat seperti kura-kura mengkerut yang bersembunyi di dalam cangkangnya sepe
Allah tahu bagaimana aku berjuang melepaskan diri dari Edward. Allah tahu kalau aku berusaha sekuat tenaga melawan pria itu. Allah pasti tahu kalau aku telah sedaya upaya melakukan perlawanan padanya. Aku menendang, mencakar dan menggigit sebisanya. Semua bekas perlawananku tercetak jelas di tubuh tak berbusana pria itu. Adapun Edward yang beberapa saat lalu terlihat seperti binatang buas hilang kendali, sekarang akhirnya tersadar setelah naf-sunya terpenuhi. Aku beringsut ke sudut pabrik baru ini, sebisa mungkin menjangkau semua pakaian untuk menutupi badan yang tak pernah terlihat oleh lelaki mana pun sejak aku akil baligh. Kupasang satu per satu pakaian itu sambil menata perasaan campur aduk yang bergelora di hati: marah, malu, sedih, terhina. Semuanya campur aduk. Air mataku berlomba-lomba turun, semua perasaan gelisah itu sudah tak bisa kutahan lagi. Akan bilang apa aku pada Ibu nanti? Bagaimana perasaan wanita itu kalau tahu anak gadisnya sudah tak suci lagi? Akan seremu
Setelah beberapa hari yang damai dan tenteram, kampungku ternyata ribut lagi. Usut punya usut, ternyata tujuan Edward datang ke kampung adalah untuk membangun pabrik plastik di bekas sawah Bik Diah.Edward sudah tiga hari ini tinggal di rumah Pak Imron, dia menginap di sana lantaran tak ada kos-kosan di kampung, maklumlah karena kampungku masih termasuk daerah terpencil.Edward rupanya ingin segera membangun pabrik dan mendatangkan bahan konstruksi, tapi niatnya terhalang karena ada warga yang protes.Para warga yang sawahnya berdekatan dengan bekas sawah Bik Diah tak setuju kalau akan dibangun pabrik di sana. Meskipun tanah itu sudah dibeli oleh Edward dan resmi pindah tangan padanya, tapi warga tetap melarang, mereka khawatir kalau limbah pabrik nantinya akan mencemari sawah mereka dan mempengaruhi hasil panen.Informasi di atas aku dapatkan dari Pak Imron."Bukannya kami melarang, Nak Edward, karena sejatinya kan tanah itu sudah jadi milik Kamu, jadi terserah Kamu mau dibangun apa
"Heh, sini Kamu!"Aku sudah akan kabur, tapi urung sebab melihat kecepatan lari lelaki itu. Kalau pun aku memilih langsung lari, pasti akan terkejar."Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki tinggi itu.Kalau tak sedang takut padanya, aku pasti akan mengagumi dan memberikan nilai sepuluh untuk penampilannya. Bagaimana tidak, lelaki tersebut tinggi, mancung, putih, dan memiliki mata biru cerah dan wajahnya dibingkai dengan rambut pirang berkilau."Gantengnya, kayak orang bule," lirihku."Hei, ditanya malah melamun, udik Kamu ya, enggak pernah liat orang ganteng apa!"Ish, walaupun dia ganteng, tapi kata-katanya kasar. Aku menarik semua pujianku padanya, percuma ganteng kalau minus tata krama."Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki itu lagi."Iya.""Tanggung jawab, lihat dahi saya, nih!"Dahi pria itu memang merah dan tertutup sedikit lumpur akibat sendalku."Aku ndak sengaja, Om."Kupanggil ia dengan sebutan Om sebab pakaiannya terlihat mewah seperti om-om pengusaha yang ada di t
Karena banyak warga yang mendengar pertengkaran Mas Viki dan Mina kemarin, berita perselingkuhan Bik Diah tersebar dengan cepat. Saat ini mereka tengah disidang oleh Pak Imron, sayangnya hanya ada Mina dan Bik Diah, sementara Mas Viki sudah melarikan diri entah kemana."Itu semua karena lelaki be-jat itu, Pak, dia merayu saya lebih dulu!" Bik Diah berteriak kesetanan.Aku rasanya ingin tertawa kencang, kemarin-kemarin saja Bik Diah membela menantunya setengah mati."Saya percaya sama Ibu, ini pasti murni Mas Viki yang merayu, soalnya dia memang mata keranjang, sebagai istri saya kenal dia luar-dalam, Pak." Mina turut menimpali."Kalau memang kejadiannya seperti yang Kalian katakan, itu berarti Viki memang terbiasa melakukan hal-hal tidak senonoh. Dari sini kita bisa tahu kalau kejadian dengan Nirma pasti dalangnya si Viki." Pak Imron berkata dengan geraman rendah."Iya, Buk Diah dan Mina sudah menuduh yang bukan-bukan sama Nirma, ternyata yangba-jingan itu Viki!"Salah satu warga yan