Home / Rumah Tangga / DINIKAHI PRIA KAYA DARI KOTA / 3. Fitnah dari Mulut Busuk Bik Diah

Share

3. Fitnah dari Mulut Busuk Bik Diah

Author: Viaaf04
last update Last Updated: 2025-06-12 14:44:57

"Kamu kenapa, Nak?"

Ibu langsung memeluk begitu melihatku masuk rumah dalam keadaan menangis.

"Demi Allah, Nirma ndak ikhlas, Ibu, Nirma ndak terima diperlakukan seperti itu."

"Kenapa? Kamu kenapa, Nirma? Apa yang dikatakan Buk Diah padamu, Nak? Bilang sama ibu."

Ibu terus bertanya sambil mengusap kepalaku.

"Nirma ndak sudi dunia akhirat, Bu, Nirma ndak terima diperlakukan seperti itu sama lelaki hidung belang kayak dia!"

"Kamu kenapa? Siapa laki-laki yang mengganggumu? Biar Ibu beri pelajaran dia!"

Ibu terlihat gelisah.

"Bilang sama Ibu, Nirma!"

Dengan diiringi isak tangis, aku menceritakan kejadian yang aku alami di rumah Bik Diah, aku juga menyebutkan kalau sempat memukul Mas Viki sampai dahinya berdarah.

"Bia-dab! Biar saja terluka, kenapa ndak sekalian Kamu tendang burungnya, supaya impoten!" seru Ibu.

Mungkin karena suara marah-marah Ibu, Romi terbangun dan berjalan dengan lesu ke arah kami.

"Mbak Nirma kenapa, Ibu?" tanya Romi saat melihatku yang masih menangis.

Ibu menjawab masih dengan raut wajah marah. "Mbakmu dijahatin sama orang, Nak, Kamu balik tidur lagi ya, Ibu sama Mbakmu mau melapor ke rumah pak kades," kata Ibu.

Romi menggeleng kencang, ia terlihat seperti akan menangis. "Romi ikut, Ibu, Romi mau ikut."

"Kamu belum sembuh total, Rom, tunggu saja di rumah ya," bujukku.

"Tunggu ya, Sayang, Ibu ndak akan lama perginya, kasihan Mbakmu."

Mungkin karena takut dimarahi, Romi akhirnya mengangguk pasrah dan kembali ke kamarnya.

Ibu menghapus air mataku dan tersenyum menenangkan. "Ayo kita lapor ke pak kades, Ibu juga ndak terima Kamu diperlakukan begitu, dia bukan warga asli sini tapi sudah berani berbuat macam-macam."

Aku mengikuti langkah Ibu menuju rumah Pak Imron, kepala desa di kampung kami.

***

"Assalamualaikum, Pak Imron."

Ibu berteriak dari luar, pasalnya gerbang rumah Pak Imron tertutup rapat.

"Assalamualaikum." Aku juga ikutan mengucap salam saat tak ada suara yang menyahut.

"Waalaikumsalam, sebentar."

Sepertinya itu suara Buk Nuri, istrinya Pak Imron.

"Eh, Kalian toh ... mari masuk, Buk Tami, Nak Nirma," kata Buk Nuri.

Aku dan Ibu melangkah masuk, saat sudah duduk di bangku yang ada di teras, Ibu langsung bertanya keberadaan Pak Imron tanpa bertele-tele.

"Sebentar saya panggilkan suami saya dulu, dia lagi memperbaiki kandang ayam di belakang," ujar Bu Nuri.

Aku dan Ibu mengangguk.

Tak lama kemudian setelah Ibu Nuri pergi, sosok Pak Imron muncul, ia terlihat me-lap tangannya yang kotor di sarung yang ia kenakan.

"Buk Nuri, Nak Nirma, ada apa?" tanya Pak Imron.

"Begini Pak Imron, saya mau melaporkan kelakuan kurang ajar suaminya Mina, saya ndak terima kalau anak saya diperlakukan begitu, Nirma adalah wanita baik-baik yang selalu menjaga kehormatannya, terlebih lagi dia adalah perempuan yang belum menikah, bisa rusak reputasi anak saya kalau sampai ada yang melihat dan mengira yang bukan-bukan!"

Ibu langsung berapi-api ketika menjawab pertanyaan Pak Imron.

"Sabar, Buk Tami, apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Pak Imron. "Saya tidak akan mengerti permasalahannya kalau tidak dijelaskan."

Ibu kemudian menceritakan lagi apa yang telah aku ceritakan padanya. Tak ada yang dikurangi dan tak ada yang dilebih-lebihkan. Setelah selesai, Ibu dan Pak Imron menatapku untuk memastikan, aku mengangguk.

"Benar, Pak Imron, saya juga sempat memukul kepala Mas Viki dengan piring yang akan dikembalikan itu," ucapku.

"Bisa panjang urusannya kalau sampai dia terluka begitu." Pak Imron menghela napas kasar.

Ibu teramat kesal mendengar kata-kata tersebut. "Anak saya melakukan itu untuk membela diri!"

"Iya, Buk Tami, saya tahu."

"Pelakunya si Viki menantunya Buk Diah yang jadi direktur itu, Buk Tami?" tanya Buk Nuri yang dari tadi ikut menyimak.

"Iya, Buk."

"Begini saja, sekarang kita datang ke rumah Buk Diah dulu, saya bukannya mau meragukan apa yang dikatakan Buk Tami sama Nak Nirmala, tapi supaya adil saya juga perlu mendengar cerita kedua belah pihak." Pak Imron berkata dengan serius.

Aku langsung mengangguk. "Ayo, Pak, walaupun ndak ada saksi mata di sana saya tetap ndak takut karena saya berkata jujur."

Ibu menggenggam tanganku dengan lembut sambil tersenyum, ia mengangguk menyetujui.

***

Aku, Ibu, Pak Imron, dan Buk Nuri langsung menuju rumah Bik Diah. Saat sudah dekat, rupanya banyak sekali warga yang terlihat, tapi yang bikin heran adalah mereka sedang berkumpul di rumahku, bukan di rumah Bik Diah.

"Ada apa ini, Bapak-Bapak, Ibuk-Ibuk?" tanya Pak Imron, memecah kerumunan para warga yang sedang asik bercerita.

Jujur aku juga sangat penasaran.

"Apa ada sesuatu yang terjadi sama anak saya Romi?" tanya Ibu panik, mau tak mau aku juga jadi ikutan panik.

"Mana dia? Mana wanita tak tahu malu yang memukul menantuku itu?!"

Suara khas Bik Diah terdengar berteriak keras.

"Kamu!"

Plak!

Bik Diah langsung menamparku begitu saja.

"Buk Diah!"

Ibu, Pak Imron, dan Buk Nuri berseru serempak, sementara warga yang berkumpul makin berbisik-bisik.

"Wanita kurang ajar Kamu!" rutuk Bik Diah padaku.

Apa sebenarnya maksud Bik Diah? Seharusnya akulah yang marah pada menantunya yang kurang ajar itu.

"Sabar, Buk Diah, jangan asal main tangan begitu, sekarang apa-apa bisa dipidanakan, tolong emosinya ditahan." Pak Imron menengahi di tengah suasana tegang saat ini.

"Bagaimana saya bisa sabar, Pak Imron, perempuan ndak laku ini dengan sengaja merayu menantu saya, tapi karena ditolak dia malah menukul dahi Viki sampai bercucuran darah!" Bik Diah berteriak kencang, seolah-olah takut orang-orang tak bisa mendengar suaranya.

"Jangan mengarang cerita, Buk Diah!" kata Ibu kesal.

"Diam Kamu! Lebih baik ajari anakmu itu sopan santun supaya jangan asal merayu suami orang! Apa jangan-jangan Nirna begitu karena didikanmu, ya?" Bik Diah memelototi Ibu.

Memang minta dikasih cabe mulutnya Bik Diah ini, yang dia katakan dari tadi hanya perkataan yang membuat orang sakit hati saja.

"Sabar dulu sabar. Lebih baik kita berbicara baik-baik di dalam dengan kepala dingin, biar jelas duduk perkaranya seperti apa, mumpung bapak-bapak dan ibuk-ibuk di sini juga sudah berkumpul, mereka bisa menjadi saksinya," ujar Pak Imron, tapi tak ada yang mau mendengarnya.

"Atas dasar apa Bik Diah menuduh aku yang merayu Mas Viki? Asal bibik tahu ya, menantu bibik itulah yang lebih dulu merayu dan bahkan ingin mele-cehkan aku, merendahkan martabatku sebagai seorang wanita, makanya kupukul kepalanya dengan piring," belaku.

Rupanya Mas Viki ingin membalikkan fakta dan malah memfitnahku ingin merayunya. Dasar tak tahu malu!

"Mas Viki merayumu, Nirma? Jangan kepedean deh, lagian aku lebih cantik dari Kamu yang cuma perempuan udik dan enggak bisa merawat diri, enggak heran Kamu belum laku sampai sekarang!"

Mina yang rupanya sedari tadi ada di sana berujar membela Bik Diah.

"Apa yang Mas Viki pandang darimu sampai-sampai Kamu berkhayal mau dirayu, haha?" Mina berkata dengan nada meremehkan.

"Mana aku tahu, kenapa Kamu ndak tanya sendiri sama suamimu itu, sudah punya istri cantik, tapi malah merayu wanita lain!"

Begitu kata-kataku keluar, suara gunjingan warga terutama ibu-ibu yang ada di sana makin terdengar ramai. Wajah Mina dan Bik Diah sudah merah karena marah.

Di tengah-tengah pertengkaran itu, suara tangis Romi tiba-tiba terdengar.

"Ibu," panggil adikku itu, ia terlihat memegang pipinya yang memerah dan menangis keras.

"Kenapa, Nak?" tanya Ibu khawatir.

"Bik Diah menampar Romi, Ibu, sakiiit," Romi merengek kecil sambil menangis.

Sialan wanita ini, aku masih bisa terima kalau dia menamparku, tapi adikku yang masih kecil?

Plak!

Sekuat hati kutampar pipi Bik Diah sampai dia akan tersungkur, untung tubuhnya berhasil ditahan oleh Mina.

Rasakan itu.

"Kamu!"

"Sabar, Nak Nirma, sabar Buk Diah."

Pak Imron membuka suara lagi, tapi masih tak ada dari kami yang mendengarkan. Kepalang tanggung, kepalaku sudah penuh dengan api kemarahan lantaran kelakuan satu keluarga ini. Dikiranya aku hanya akan sabar seperti Ibu walaupun dihina-hina oleh mereka?

Jangan harap.

"Wanita kasar!" bentak Mina. "Begini, nih, kalau enggak pernah diajar sopan santun sama ibunya!"

Plak!

Tamparan dariku kali ini mendarat di pipi Mina. Tak boleh ada yang berani menghina atau menjelek-jelekkan Ibu di depanku.

Itulah akibatnya! Ibu dan anak, biar tahu rasa mereka!

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DINIKAHI PRIA KAYA DARI KOTA   11. Nikah Siri

    "Apa?!"Yang barusan berteriak itu adalah Mina dan Buk Susi. Kengerian terpatri dengan jelas di wajah mereka."Saya ndak setuju, Pak Imron, saya ndak sudi kalau harus menampung Mina dan Buk Diah yang gila dan ... dan ... tak punya harta benda lagi ... a-anu ... maksud saya, Pak Imron kan tahu bagaimana kondisi keluarga kami. Akan jadi seperti apa keluarga kami di masa depan?""Aku juga ndak sudi kalau harus menikah dengan anakmu dan menjadi satu keluarga dengan Kalian, cuih!""Hihihihi, hore-horeeeee berantem."Buk Susi, Mina, dan Bik Diah bersahut-sahutan."Sekarang baru terpikir akibat dari perbuatan buruk Kalian, kan? Waktu merencanakan semua ini, apa pernah terlintas di pikiran Kalian bagaimana masa depan orang tak bersalah yang Kalian coba jebak?" Buk Nuri yang sedari tadi hanya diam menyimak pun angkat suara. Beliau berkata parau dan matanya terlihat berkaca-kaca, beliau mungkin teringat akan almarhumah putrinya, Sari Yuliati, yang meninggal sepuluh tahun silam.."Seorang pemuda

  • DINIKAHI PRIA KAYA DARI KOTA   10. Cacat di Rencana

    "Diaaaam! Semua ini gara-gara ibumu yang gila itu! Semua rencana kita gagal total karena dia!""Rencana?"Nada dingin tersebut membuat Farhan langsung membeku.Mau tak mau aku menoleh ke asal suara, di sana kulihat Edward tengah menatap Farhan seperti seorang jenderal yang akan mengeksekusi musuh di medan perang."Rencana apa? Jelaskan!" Edward menuntut."Kamu jelaskan, beberapa waktu lalu juga aku sempat mendengarmu merencanakan sesuatu dengan Mina, kan?" Aku juga turut menekan Farhan supaya menjelaskan.Aku merasakan firasat yang kuat kalau 'rencana' yang dibicarakan Farhan dan Mina itulah dalang di balik petaka yang menimpaku ini."Lanjutkan penjelasannya, rencana apa yang Kalian maksud?" tanya Pak Imron begitu melihat Farhan masih diam membatu.Aku geram sekali saat melihat Farhan duduk diam tak bersuara, beberapa waktu lalu ia seperti singa yang mengaum ganas dan siap menyerang siapa saja, sekarang ia terlihat seperti kura-kura mengkerut yang bersembunyi di dalam cangkangnya sepe

  • DINIKAHI PRIA KAYA DARI KOTA   9. Penggerebekan

    Allah tahu bagaimana aku berjuang melepaskan diri dari Edward. Allah tahu kalau aku berusaha sekuat tenaga melawan pria itu. Allah pasti tahu kalau aku telah sedaya upaya melakukan perlawanan padanya. Aku menendang, mencakar dan menggigit sebisanya. Semua bekas perlawananku tercetak jelas di tubuh tak berbusana pria itu. Adapun Edward yang beberapa saat lalu terlihat seperti binatang buas hilang kendali, sekarang akhirnya tersadar setelah naf-sunya terpenuhi. Aku beringsut ke sudut pabrik baru ini, sebisa mungkin menjangkau semua pakaian untuk menutupi badan yang tak pernah terlihat oleh lelaki mana pun sejak aku akil baligh. Kupasang satu per satu pakaian itu sambil menata perasaan campur aduk yang bergelora di hati: marah, malu, sedih, terhina. Semuanya campur aduk. Air mataku berlomba-lomba turun, semua perasaan gelisah itu sudah tak bisa kutahan lagi. Akan bilang apa aku pada Ibu nanti? Bagaimana perasaan wanita itu kalau tahu anak gadisnya sudah tak suci lagi? Akan seremu

  • DINIKAHI PRIA KAYA DARI KOTA   8. Malam Nahas

    Setelah beberapa hari yang damai dan tenteram, kampungku ternyata ribut lagi. Usut punya usut, ternyata tujuan Edward datang ke kampung adalah untuk membangun pabrik plastik di bekas sawah Bik Diah.Edward sudah tiga hari ini tinggal di rumah Pak Imron, dia menginap di sana lantaran tak ada kos-kosan di kampung, maklumlah karena kampungku masih termasuk daerah terpencil.Edward rupanya ingin segera membangun pabrik dan mendatangkan bahan konstruksi, tapi niatnya terhalang karena ada warga yang protes.Para warga yang sawahnya berdekatan dengan bekas sawah Bik Diah tak setuju kalau akan dibangun pabrik di sana. Meskipun tanah itu sudah dibeli oleh Edward dan resmi pindah tangan padanya, tapi warga tetap melarang, mereka khawatir kalau limbah pabrik nantinya akan mencemari sawah mereka dan mempengaruhi hasil panen.Informasi di atas aku dapatkan dari Pak Imron."Bukannya kami melarang, Nak Edward, karena sejatinya kan tanah itu sudah jadi milik Kamu, jadi terserah Kamu mau dibangun apa

  • DINIKAHI PRIA KAYA DARI KOTA   7. Pria Bule dari Kota

    "Heh, sini Kamu!"Aku sudah akan kabur, tapi urung sebab melihat kecepatan lari lelaki itu. Kalau pun aku memilih langsung lari, pasti akan terkejar."Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki tinggi itu.Kalau tak sedang takut padanya, aku pasti akan mengagumi dan memberikan nilai sepuluh untuk penampilannya. Bagaimana tidak, lelaki tersebut tinggi, mancung, putih, dan memiliki mata biru cerah dan wajahnya dibingkai dengan rambut pirang berkilau."Gantengnya, kayak orang bule," lirihku."Hei, ditanya malah melamun, udik Kamu ya, enggak pernah liat orang ganteng apa!"Ish, walaupun dia ganteng, tapi kata-katanya kasar. Aku menarik semua pujianku padanya, percuma ganteng kalau minus tata krama."Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki itu lagi."Iya.""Tanggung jawab, lihat dahi saya, nih!"Dahi pria itu memang merah dan tertutup sedikit lumpur akibat sendalku."Aku ndak sengaja, Om."Kupanggil ia dengan sebutan Om sebab pakaiannya terlihat mewah seperti om-om pengusaha yang ada di t

  • DINIKAHI PRIA KAYA DARI KOTA   6. Gila Lantaran Harta

    Karena banyak warga yang mendengar pertengkaran Mas Viki dan Mina kemarin, berita perselingkuhan Bik Diah tersebar dengan cepat. Saat ini mereka tengah disidang oleh Pak Imron, sayangnya hanya ada Mina dan Bik Diah, sementara Mas Viki sudah melarikan diri entah kemana."Itu semua karena lelaki be-jat itu, Pak, dia merayu saya lebih dulu!" Bik Diah berteriak kesetanan.Aku rasanya ingin tertawa kencang, kemarin-kemarin saja Bik Diah membela menantunya setengah mati."Saya percaya sama Ibu, ini pasti murni Mas Viki yang merayu, soalnya dia memang mata keranjang, sebagai istri saya kenal dia luar-dalam, Pak." Mina turut menimpali."Kalau memang kejadiannya seperti yang Kalian katakan, itu berarti Viki memang terbiasa melakukan hal-hal tidak senonoh. Dari sini kita bisa tahu kalau kejadian dengan Nirma pasti dalangnya si Viki." Pak Imron berkata dengan geraman rendah."Iya, Buk Diah dan Mina sudah menuduh yang bukan-bukan sama Nirma, ternyata yangba-jingan itu Viki!"Salah satu warga yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status