Setelah kejadian di rumah Bik Diah beberapa waktu lalu, para warga jadi banyak yang mengucilkan keberadaan keluarga itu.
Biasanya hal yang paling disukai oleh ibu-ibu di kampung adalah bergosip dengan Bik Diah, tapi belakangan mereka mulai menghindar dan bubar kalau wanita itu datang. Wajar sih, karena yang jadi bahan gosip sekarang kan dia dan menantu anaknya. "Heran aku kenapa Mina ndak ajak suaminya balik ke kota, padahal di sini namanya sudah tercoreng." Salah satu warga yang sedang menanam padi di sebelah sawah kami berujar, suaranya sengaja tak dikecilkan. "Mungkin di kota lagi susah, soalnya waktu itu aku sempat lihat si Viki ngangkut gabah dari rumah Buk Diah." Nah, ternyata bukan cuma aku saja yang melihat kejadian itu, ada orang lain juga. "Mana mungkin Viki bawa gabah dari kampung, dia kan direktur!" "Aku ndak bohong, aku lihatnya sama suamiku, Kalian bisa tanya sama dia kalau ndak percaya." "Iya-iya kami percaya, kalau kayak gitu sih, aku jadi ragu kalau dia itu direktur, jangan-jangan Buk Diah dan Mina bohong lagi. Masa direktur masih minta makan sama mertua, ya kan?!" "Tapi kan dia punya mobil bagus, mana banyak lagi, setiap datang selalu pakai mobil yang berbeda-beda." "Siapa tahu dia cuma sopir di kota, dan itu mobil bosnya." Aku mendengar ibu-ibu yang cekikikan sambil bergosip seru itu. Padahal kemarin-kemarin, ibu-ibu ini bergosip dan satu kumpulan dengan Bik Diah, tapi sekarang ... haaah. Aku menoleh pada ibu yang tekun mencabut gulma yang tingginya hampir menyamai padi itu, ia terlihat fokus dan tak sekali pun peduli pada ibu-ibu yang sedang bergosip. Aku bersyukur sekali karena beliau bukan orang yang suka kumpul-kumpul dan sibuk bergosip sana-sini. "Hari sudah hampir siang, Bu, kita balik saja yuk, nanti Romi pulang sekolah malah nangis kalau ndak nemu siapa-siapa di rumah," kataku. Ibu terlihat mendongak dan menegakkan badannya. "Ya sudah ayo, biar dilanjut besok lagi." Aku dan Ibu akhirnya pulang. *** Ternyata begitu sampai di rumah, sudah ada orang yang menunggu kami. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Farhan sudah datang membawa kedua orang tuanya, ternyata mereka bermaksud untuk melamar. "Maafkan kedatangan mendadak kami, Buk Tami, saya ke sini mewakili Farhan untuk datang meminang anak Ibu." Pak Tanto, ayahnya Farhan berkata sambil menyeruput kopi yang dihidangkan oleh ibu, sementara aku hanya menunduk mendengarkan. "Mohon maaf sebelumnya, Pak Tanto, saya ndak pernah tahu kalau Farhan dan Nirma anak saya pernah dekat dan menjalin hubungan sebelumnya," kata Ibu tampak sungkan. Dulu Ibu memang sempat bertanya apakah aku mau atau tidak kalau menikah dengan Farhan, ia sepertinya setuju waktu itu, tapi belakangan setelah kuceritakan kata-kata kasar yang Farhan ucapkan saat disuruh membantu keluarganya di sawah, Ibu sudah tak pernah mengungkit-ungkit tentang dia lagi. "Ya walaupun tidak pernah kelihatan berhubungan, tapi kan bisa saling mengenal lebih dalam kalau sudah menikah, lagi pula anak saya rajin kok, Buk Tami," kata Buk Susi, Ibunya Farhan. Pak Tanto dan Farhan mengangguk setuju, aku mencibir dalam hati, rajin konon. "Tapi, Buk Tami, saya punya persyaratan yang harus dipenuhi, kalau Nak Nirma mau menikah dengan Farhan, dia akan ikut pindah ke rumah ini, soalnya Buk Tami kan tahu kalau di rumah kami banyak anak, kamarnya tidak cukup." Buk Susi angkat bicara. Bah! Rupanya mereka punya tujuan lain untuk datang melamar. Selain malas, Farhan juga tujuh bersaudara, dan semua saudaranya masih menumpang tinggal di rumah orang tua, mereka berkerumun di satu rumah, baik saudaranya yang sudah menikah mau pun yang belum. Kulihat Ibu nampak ragu-ragu untuk menolak, jadi aku mengambil alih. "Maaf, Pak Tanto, aku bukannya bermaksud untuk menolak lamaran Farhan, tapi memang saat ini aku belum ada niatan untuk menikah," kataku. "Kamu sudah umur dua puluh enam tahun, Nirma," kata Pak Tanto. "Umur ndak harus jadi patokan seseorang untuk menikah, banyak kok artis yang sudah tiga puluhan tahun ke atas, tapi masih betah sendiri." "Itu karena mereka artis, Nirma, mereka berbeda sama kita orang kampung." "Mau mereka artis atau bukan, orang kota atau kampung, kita semua sama-sama manusia, sama-sama makan nasi, Buk." "Cih! Ndak heran ibu-ibu di kampung bilang Kamu ndak laku-laku, ternyata karena Kamu sangat sombong." Bagian mana dari kata-kataku yang menyiratkan kesombongan, ada-ada saja mereka ini. "Aku bukannya sombong, Buk, tapi memang betul belum ada niatan untuk menikah." Niat menikah sebenarnya sudah ada, tapi kalau harus menikah dengan keluarga yang hanya mau memanfaatkan harta warisan bapak, aku tak akan mau. Setelah penolakan tersebut, tersiar kabar di kampung kalau aku adalah wanita sombong yang tak mau menikah kalau bukan dengan orang kaya yang asalnya dari kota. Bahkan ada juga yang mengatakan kalau aku hanya mau menikah dengan artis. Aku aminkan saja, siapa tahu perkataan mereka jadi kenyataan, ternyata jodohku adalah artis yang lagi naik daun di tv, ahaai. Ternyata gosip itu dimulai oleh Buk Susi, mungkin ia marah karena lamaran anaknya sudah dua kali kutolak. *** Hari minggu pagi-pagi sekali sudah terdengar keributan dari rumah seberang, sepertinya ada yang sedang bertengkar, asalnya dari rumah Bik Diah. Aku, Ibu, dan Romi bahkan sampai keluar menonton karena saking kerasnya suara-suara pertengkaran mereka. Keluarga mereka akhir-akhir ini jarang tenang. Termyata di kuar bukan cuma keluargaku saja yang menonton, tapi warga lain juga. "Ini semua gara-gara Kamu, Mina!" Suara Mas Viki yang belum balik ke kota terdengar menggelegar di pagi buta, aku dan warga yang datang menonton cuma bisa heran melihat pria itu marah-marah sambil menangis, terlebih lagi Mas Viki terlihat menutupi bagian pribadinya. "Apa? Kamu masih berani menyalahkan aku!" Mina berkacak pinggang dengan tampang galak di hadapan Mas Viki. Kemarin-kemarin saja bermesraan dan lengket seperti perangko, sekarang malah sudah saling bentak satu sama lain. "Ini semua memang gara-gara Kamu, punyaku enggak mungkin digigit tikus kalau Kamu enggak mengolesinya dengan cabai tadi malam!" teriak Mas Viki. Aku dan para warga yang menonton tertawa keras. Syukurin, itulah karma orang mesum. Karma dan balasan dari Allah memang tak main-main. Mina terlihat marah dan tak ada tanda-tanda kasihan di wajahnya. "Itu karena punyamu saja yang bau terasi, makanya ketemu cabai dikira sambal terasi sama tikus!" "Tutup mulut, wanita sialan! Kamu benar-benar istri kurang ajar. Enggak salah dong kalau aku mau mencari penghiburan dari wanita lain, aku muak sama kelakuan kasarmu setiap hari." "Tapi bukan sama Ibu juga, Mas, selama ini Kamu merayu atau selingkuh sama wanita lain aku jarang mengurusi, tapi kali ini sudah keterlaluan, aku enggak bisa diam saja. Kamu ternyata merayu ibu kandungku sendiri, Mas, tega Kamu!" Aku dan semua warga tercengang, sementara Ibu sudah menarik Romi masuk ke dalam rumah. "Ayo, Nak, kita ke dalam saja," kata ibu sambil menuntun Romi masuk rumah. "Siapa suruh setiap hari menunjukkan gelagat ingin dirayu!" "Dia ibu mertuamu, Mas!" "Ibu sendiri yang mau!" teriak Mas Viki, sementara Mina terlihat tak bisa berkata-kata lagi. "Pergi Kamu, Mas, jangan pernah tunjukkan wajahmu di hadapanku lagi, pergiiii!" "Aku memang akan pergi, tapi bagaimana dengan hutang-hutang puluhan juta sama rentenir itu, jangan lepas tanggung jawab Kamu!" "Tanggung sendiri, aku enggak mau tahu!" "Sia-lan Kamu. Ingat, enggak semudah itu Kamu bisa lepas tanggung jawab!" Haaaah, akhirnya terbongkar juga kan topeng mereka. Sudah mah suka merayu wanita lain, selingkuh sama mertua sendiri, dan sekarang malah berhutang puluhan juta pada rentenir. Apa kabar sama gelar 'direktur kaya raya dari kota' yang selalu dibanggakan Bik Diah dan Mina. Ngomong-ngomong aku penasaran bagaimana Bik Diah akan menyelamatkan wajahnya lagi kalau berita perselingkuhannya dengan Mas Viki tersebar dan didengar pak kadus. Dia pasti akan diusir dari kampung. Terima kasih, ya Allah, sakit hatiku sudah terbayarkan dengan sepadan. Bukannya aku menyimpan dendam, tapi karma memang harus dibayar tunai. Bersambung."Apa?!"Yang barusan berteriak itu adalah Mina dan Buk Susi. Kengerian terpatri dengan jelas di wajah mereka."Saya ndak setuju, Pak Imron, saya ndak sudi kalau harus menampung Mina dan Buk Diah yang gila dan ... dan ... tak punya harta benda lagi ... a-anu ... maksud saya, Pak Imron kan tahu bagaimana kondisi keluarga kami. Akan jadi seperti apa keluarga kami di masa depan?""Aku juga ndak sudi kalau harus menikah dengan anakmu dan menjadi satu keluarga dengan Kalian, cuih!""Hihihihi, hore-horeeeee berantem."Buk Susi, Mina, dan Bik Diah bersahut-sahutan."Sekarang baru terpikir akibat dari perbuatan buruk Kalian, kan? Waktu merencanakan semua ini, apa pernah terlintas di pikiran Kalian bagaimana masa depan orang tak bersalah yang Kalian coba jebak?" Buk Nuri yang sedari tadi hanya diam menyimak pun angkat suara. Beliau berkata parau dan matanya terlihat berkaca-kaca, beliau mungkin teringat akan almarhumah putrinya, Sari Yuliati, yang meninggal sepuluh tahun silam.."Seorang pemuda
"Diaaaam! Semua ini gara-gara ibumu yang gila itu! Semua rencana kita gagal total karena dia!""Rencana?"Nada dingin tersebut membuat Farhan langsung membeku.Mau tak mau aku menoleh ke asal suara, di sana kulihat Edward tengah menatap Farhan seperti seorang jenderal yang akan mengeksekusi musuh di medan perang."Rencana apa? Jelaskan!" Edward menuntut."Kamu jelaskan, beberapa waktu lalu juga aku sempat mendengarmu merencanakan sesuatu dengan Mina, kan?" Aku juga turut menekan Farhan supaya menjelaskan.Aku merasakan firasat yang kuat kalau 'rencana' yang dibicarakan Farhan dan Mina itulah dalang di balik petaka yang menimpaku ini."Lanjutkan penjelasannya, rencana apa yang Kalian maksud?" tanya Pak Imron begitu melihat Farhan masih diam membatu.Aku geram sekali saat melihat Farhan duduk diam tak bersuara, beberapa waktu lalu ia seperti singa yang mengaum ganas dan siap menyerang siapa saja, sekarang ia terlihat seperti kura-kura mengkerut yang bersembunyi di dalam cangkangnya sepe
Allah tahu bagaimana aku berjuang melepaskan diri dari Edward. Allah tahu kalau aku berusaha sekuat tenaga melawan pria itu. Allah pasti tahu kalau aku telah sedaya upaya melakukan perlawanan padanya. Aku menendang, mencakar dan menggigit sebisanya. Semua bekas perlawananku tercetak jelas di tubuh tak berbusana pria itu. Adapun Edward yang beberapa saat lalu terlihat seperti binatang buas hilang kendali, sekarang akhirnya tersadar setelah naf-sunya terpenuhi. Aku beringsut ke sudut pabrik baru ini, sebisa mungkin menjangkau semua pakaian untuk menutupi badan yang tak pernah terlihat oleh lelaki mana pun sejak aku akil baligh. Kupasang satu per satu pakaian itu sambil menata perasaan campur aduk yang bergelora di hati: marah, malu, sedih, terhina. Semuanya campur aduk. Air mataku berlomba-lomba turun, semua perasaan gelisah itu sudah tak bisa kutahan lagi. Akan bilang apa aku pada Ibu nanti? Bagaimana perasaan wanita itu kalau tahu anak gadisnya sudah tak suci lagi? Akan seremu
Setelah beberapa hari yang damai dan tenteram, kampungku ternyata ribut lagi. Usut punya usut, ternyata tujuan Edward datang ke kampung adalah untuk membangun pabrik plastik di bekas sawah Bik Diah.Edward sudah tiga hari ini tinggal di rumah Pak Imron, dia menginap di sana lantaran tak ada kos-kosan di kampung, maklumlah karena kampungku masih termasuk daerah terpencil.Edward rupanya ingin segera membangun pabrik dan mendatangkan bahan konstruksi, tapi niatnya terhalang karena ada warga yang protes.Para warga yang sawahnya berdekatan dengan bekas sawah Bik Diah tak setuju kalau akan dibangun pabrik di sana. Meskipun tanah itu sudah dibeli oleh Edward dan resmi pindah tangan padanya, tapi warga tetap melarang, mereka khawatir kalau limbah pabrik nantinya akan mencemari sawah mereka dan mempengaruhi hasil panen.Informasi di atas aku dapatkan dari Pak Imron."Bukannya kami melarang, Nak Edward, karena sejatinya kan tanah itu sudah jadi milik Kamu, jadi terserah Kamu mau dibangun apa
"Heh, sini Kamu!"Aku sudah akan kabur, tapi urung sebab melihat kecepatan lari lelaki itu. Kalau pun aku memilih langsung lari, pasti akan terkejar."Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki tinggi itu.Kalau tak sedang takut padanya, aku pasti akan mengagumi dan memberikan nilai sepuluh untuk penampilannya. Bagaimana tidak, lelaki tersebut tinggi, mancung, putih, dan memiliki mata biru cerah dan wajahnya dibingkai dengan rambut pirang berkilau."Gantengnya, kayak orang bule," lirihku."Hei, ditanya malah melamun, udik Kamu ya, enggak pernah liat orang ganteng apa!"Ish, walaupun dia ganteng, tapi kata-katanya kasar. Aku menarik semua pujianku padanya, percuma ganteng kalau minus tata krama."Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki itu lagi."Iya.""Tanggung jawab, lihat dahi saya, nih!"Dahi pria itu memang merah dan tertutup sedikit lumpur akibat sendalku."Aku ndak sengaja, Om."Kupanggil ia dengan sebutan Om sebab pakaiannya terlihat mewah seperti om-om pengusaha yang ada di t
Karena banyak warga yang mendengar pertengkaran Mas Viki dan Mina kemarin, berita perselingkuhan Bik Diah tersebar dengan cepat. Saat ini mereka tengah disidang oleh Pak Imron, sayangnya hanya ada Mina dan Bik Diah, sementara Mas Viki sudah melarikan diri entah kemana."Itu semua karena lelaki be-jat itu, Pak, dia merayu saya lebih dulu!" Bik Diah berteriak kesetanan.Aku rasanya ingin tertawa kencang, kemarin-kemarin saja Bik Diah membela menantunya setengah mati."Saya percaya sama Ibu, ini pasti murni Mas Viki yang merayu, soalnya dia memang mata keranjang, sebagai istri saya kenal dia luar-dalam, Pak." Mina turut menimpali."Kalau memang kejadiannya seperti yang Kalian katakan, itu berarti Viki memang terbiasa melakukan hal-hal tidak senonoh. Dari sini kita bisa tahu kalau kejadian dengan Nirma pasti dalangnya si Viki." Pak Imron berkata dengan geraman rendah."Iya, Buk Diah dan Mina sudah menuduh yang bukan-bukan sama Nirma, ternyata yangba-jingan itu Viki!"Salah satu warga yan