"Apa?!"Yang barusan berteriak itu adalah Mina dan Buk Susi. Kengerian terpatri dengan jelas di wajah mereka."Saya ndak setuju, Pak Imron, saya ndak sudi kalau harus menampung Mina dan Buk Diah yang gila dan ... dan ... tak punya harta benda lagi ... a-anu ... maksud saya, Pak Imron kan tahu bagaimana kondisi keluarga kami. Akan jadi seperti apa keluarga kami di masa depan?""Aku juga ndak sudi kalau harus menikah dengan anakmu dan menjadi satu keluarga dengan Kalian, cuih!""Hihihihi, hore-horeeeee berantem."Buk Susi, Mina, dan Bik Diah bersahut-sahutan."Sekarang baru terpikir akibat dari perbuatan buruk Kalian, kan? Waktu merencanakan semua ini, apa pernah terlintas di pikiran Kalian bagaimana masa depan orang tak bersalah yang Kalian coba jebak?" Buk Nuri yang sedari tadi hanya diam menyimak pun angkat suara. Beliau berkata parau dan matanya terlihat berkaca-kaca, beliau mungkin teringat akan almarhumah putrinya, Sari Yuliati, yang meninggal sepuluh tahun silam.."Seorang pemuda
"Diaaaam! Semua ini gara-gara ibumu yang gila itu! Semua rencana kita gagal total karena dia!""Rencana?"Nada dingin tersebut membuat Farhan langsung membeku.Mau tak mau aku menoleh ke asal suara, di sana kulihat Edward tengah menatap Farhan seperti seorang jenderal yang akan mengeksekusi musuh di medan perang."Rencana apa? Jelaskan!" Edward menuntut."Kamu jelaskan, beberapa waktu lalu juga aku sempat mendengarmu merencanakan sesuatu dengan Mina, kan?" Aku juga turut menekan Farhan supaya menjelaskan.Aku merasakan firasat yang kuat kalau 'rencana' yang dibicarakan Farhan dan Mina itulah dalang di balik petaka yang menimpaku ini."Lanjutkan penjelasannya, rencana apa yang Kalian maksud?" tanya Pak Imron begitu melihat Farhan masih diam membatu.Aku geram sekali saat melihat Farhan duduk diam tak bersuara, beberapa waktu lalu ia seperti singa yang mengaum ganas dan siap menyerang siapa saja, sekarang ia terlihat seperti kura-kura mengkerut yang bersembunyi di dalam cangkangnya sepe
Allah tahu bagaimana aku berjuang melepaskan diri dari Edward. Allah tahu kalau aku berusaha sekuat tenaga melawan pria itu. Allah pasti tahu kalau aku telah sedaya upaya melakukan perlawanan padanya. Aku menendang, mencakar dan menggigit sebisanya. Semua bekas perlawananku tercetak jelas di tubuh tak berbusana pria itu. Adapun Edward yang beberapa saat lalu terlihat seperti binatang buas hilang kendali, sekarang akhirnya tersadar setelah naf-sunya terpenuhi. Aku beringsut ke sudut pabrik baru ini, sebisa mungkin menjangkau semua pakaian untuk menutupi badan yang tak pernah terlihat oleh lelaki mana pun sejak aku akil baligh. Kupasang satu per satu pakaian itu sambil menata perasaan campur aduk yang bergelora di hati: marah, malu, sedih, terhina. Semuanya campur aduk. Air mataku berlomba-lomba turun, semua perasaan gelisah itu sudah tak bisa kutahan lagi. Akan bilang apa aku pada Ibu nanti? Bagaimana perasaan wanita itu kalau tahu anak gadisnya sudah tak suci lagi? Akan seremu
Setelah beberapa hari yang damai dan tenteram, kampungku ternyata ribut lagi. Usut punya usut, ternyata tujuan Edward datang ke kampung adalah untuk membangun pabrik plastik di bekas sawah Bik Diah.Edward sudah tiga hari ini tinggal di rumah Pak Imron, dia menginap di sana lantaran tak ada kos-kosan di kampung, maklumlah karena kampungku masih termasuk daerah terpencil.Edward rupanya ingin segera membangun pabrik dan mendatangkan bahan konstruksi, tapi niatnya terhalang karena ada warga yang protes.Para warga yang sawahnya berdekatan dengan bekas sawah Bik Diah tak setuju kalau akan dibangun pabrik di sana. Meskipun tanah itu sudah dibeli oleh Edward dan resmi pindah tangan padanya, tapi warga tetap melarang, mereka khawatir kalau limbah pabrik nantinya akan mencemari sawah mereka dan mempengaruhi hasil panen.Informasi di atas aku dapatkan dari Pak Imron."Bukannya kami melarang, Nak Edward, karena sejatinya kan tanah itu sudah jadi milik Kamu, jadi terserah Kamu mau dibangun apa
"Heh, sini Kamu!"Aku sudah akan kabur, tapi urung sebab melihat kecepatan lari lelaki itu. Kalau pun aku memilih langsung lari, pasti akan terkejar."Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki tinggi itu.Kalau tak sedang takut padanya, aku pasti akan mengagumi dan memberikan nilai sepuluh untuk penampilannya. Bagaimana tidak, lelaki tersebut tinggi, mancung, putih, dan memiliki mata biru cerah dan wajahnya dibingkai dengan rambut pirang berkilau."Gantengnya, kayak orang bule," lirihku."Hei, ditanya malah melamun, udik Kamu ya, enggak pernah liat orang ganteng apa!"Ish, walaupun dia ganteng, tapi kata-katanya kasar. Aku menarik semua pujianku padanya, percuma ganteng kalau minus tata krama."Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki itu lagi."Iya.""Tanggung jawab, lihat dahi saya, nih!"Dahi pria itu memang merah dan tertutup sedikit lumpur akibat sendalku."Aku ndak sengaja, Om."Kupanggil ia dengan sebutan Om sebab pakaiannya terlihat mewah seperti om-om pengusaha yang ada di t
Karena banyak warga yang mendengar pertengkaran Mas Viki dan Mina kemarin, berita perselingkuhan Bik Diah tersebar dengan cepat. Saat ini mereka tengah disidang oleh Pak Imron, sayangnya hanya ada Mina dan Bik Diah, sementara Mas Viki sudah melarikan diri entah kemana."Itu semua karena lelaki be-jat itu, Pak, dia merayu saya lebih dulu!" Bik Diah berteriak kesetanan.Aku rasanya ingin tertawa kencang, kemarin-kemarin saja Bik Diah membela menantunya setengah mati."Saya percaya sama Ibu, ini pasti murni Mas Viki yang merayu, soalnya dia memang mata keranjang, sebagai istri saya kenal dia luar-dalam, Pak." Mina turut menimpali."Kalau memang kejadiannya seperti yang Kalian katakan, itu berarti Viki memang terbiasa melakukan hal-hal tidak senonoh. Dari sini kita bisa tahu kalau kejadian dengan Nirma pasti dalangnya si Viki." Pak Imron berkata dengan geraman rendah."Iya, Buk Diah dan Mina sudah menuduh yang bukan-bukan sama Nirma, ternyata yangba-jingan itu Viki!"Salah satu warga yan