Share

Antara Punya Anak dan Karir

Tidak mudah memaksa otak berpikir logis di saat suasana hati sedang semrawut. Beberapa orang bahkan kehilangan kemampuan itu. Sama halnya dengan Vivian. Dalam waktu hanya sepuluh menit yang disediakan oleh Revan, ia dipaksa untuk memilih kalimatnya dengan cepat dan tepat.

Namun ia gagal. Bukannya membujuk sang suami dengan permainan kata-kata yang mampu mempengaruhi pikiran lawan bicara bak seorang diplomat, yang keluar dari mulut Vivian malah kalimat impulsif yang ia sendiri menyesal telah mengatakannya : Hamil dan punya anak.

"Kalau itu yang aku mau?" Revan mengulang kalimat Vivian dengan penekanan pada 'yang aku mau'.

"Ya."

"Bukan mau kamu?"

Vivian mengerjap ragu.

Reaksi sang istri membuat Revan mendecakkan lidah. "Kamu bersedia punya anak cuma supaya nggak aku ceraikan?"

"Aku juga mau punya anak kok." Tapi enggak sekarang, tambah Vivian dalam hati.

"Pekerjaan kamu gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana. Aku tetap kerja."

Suasana menjadi hening. Satu detik terasa sangat lama saat keduanya saling bertatapan dalam keheningan yang menegangkan. Vivian dapat melihat sepasang mata hitam milik Revan menyiratkan ketidaksukaan ketika mengucapkan pertanyaan berikutnya.

"Kamu mau tetap kerja saat udah punya anak?"

"Ya," jawab Vivian tegas. Ia sudah banyak mengalah bukan? Apa Revan pikir hamil dan melahirkan itu perkara kecil? Sungguh terlalu kalau suaminya itu juga menyuruhnya untuk melepas pekerjaan.

Revan terlihat menghembuskan napas. Ia bertanya dengan rahang mengeras menahan emosi. "Kamu mau anak kita diasuh pembantu?"

"Babysitter, Rev, beda sama pembantu. Mereka punya kompetensi merawat dan mengasuh anak."

"I don't care!" teriak Revan tiba-tiba. "Babysitter atau pembantu, mereka bukan ibu kandungnya!"

"Jadi mau kamu gimana?!" Vivian ikut berteriak.

Raut wajah Revan terlihat sangat keras saat menjawab pertanyaan sang istri. "Kamu berhenti kerja."

Vivian membuang napas dengan gusar, merasa malas mengungkit lagi masalah yang pernah membuat mereka bertengkar. Apa salahnya dengan bekerja? Karirnya sedang menanjak. Bahkan kerja kerasnya sudah membuahkan hasil : sebuah city car putih metalik yang dibelinya empat tahun lalu secara kredit.

Apa Revan mengharapkan istri yang duduk manis di rumah, yang hanya menengadahkan tangan pada suami saat ada yang ingin dibeli? Tidak. Vivian tidak bisa dan tidak ingin menjadi istri seperti itu. Seorang wanita harus mandiri dan bisa mencari uang sendiri.

Vivian berusaha membujuk sang suami. "Rev, teman-temanku banyak yang tetap kerja biarpun udah punya anak. Suami mereka sama sekali nggak keberatan tuh."

Tentu saja kalimat pembujuk itu membuat aura wajah Revan semakin suram. Suami mana yang suka dibandingkan dengan laki-laki lain? Bibir lelaki itu terkatup ratap dengan sorot mata sangat tajam menusuk Vivian.

"Setelah kita cerai kamu bebas cari suami yang enggak melarang istrinya kerja," ucap Revan dingin. "Sekarang keluar. Waktu kamu habis."

"F*ck you!" teriak Vivian.

Kalau sedang marah, Vivian akan kembali ke sifat aslinya, suka mengumpat. Sembilan tahun menjalin hubungan dengan Vivian, telinga Revan sudah kenyang mendengar umpatan wanita itu. Ia sama sekali tidak terkejut.

Namun Vivian belum selesai.

"Kalau sampai aku hamil, jangan harap aku bakal ijinin anak itu panggil kamu papa!" gertaknya dan melangkah penuh amarah menuju pintu.

"Bullsh*t," balas Revan sinis.

Tangan Vivian telah membuka pintu saat ia menoleh untuk memberi balasan telak. "Jangan lupa semalam kamu keluar di dalam."

***

Hal baik yang masih bisa disyukuri oleh Vivian adalah pagi itu dia tidak terlambat datang ke kantor. Jarak dari kantor Revan dengan kantornya sangat dekat, bahkan kedua tempat itu masih beralamatkan di jalan yang sama, hanya berbeda nomor.

Setelah turun dari mobil, ia menegakkan bahunya dan berjalan penuh percaya diri dengan bibir yang selalu siap tersenyum untuk menyapa rekan kerja. Ia berusaha melupakan masalah rumah tangganya dengan memusatkan perhatian penuh pada pekerjaan.

Di meja kerja panjang bersekat yang menampung tiga orang, Vivian duduk di bagian paling ujung dan menyalakan laptop. Setelah tadi malam lembur memeriksa proposal kredit yang dibuat oleh Ryan, salah satu Relationship Manager (RM), kini ia membaca formulir ijin keluar kantor yang dibuat oleh Andre, RM yang lain.

"Visit ke Global Electronic bawakan Spiku Resep Kuno, bosnya suka sekali makan itu," sarannya pada sang RM yang langsung mengacungkan jempol.

"Jangan lupa follow up rekening UD Yara, supaya pengajuannya bisa masuk sistem bulan ini," tambah Vivian lagi.

"Beres, Bu. Hari ini pasti gol." Andre menjawab dengan mantap.

Vivian terkekeh dan memuji. "Wah kencang ini, tiap bulan signing."

"Harus dong, Bu. Biar bisa cepat beli rumah."

"Lho, nggak jadi beli Yaris?" celetuk Vivian penasaran.

"Nggak, Bu rumah lebih penting. Apalagi sudah ada anak begini. Saya mau kasih tempat tinggal yang nyaman buat mereka, nggak ngekos terus," terang Andre dengan wajah penuh tekad.

Vivian tertegun. Ada sedikit perasaan tidak nyaman menelusup di hatinya. Usia Andre lebih muda darinya, tetapi lelaki itu telah memiliki seorang anak. Namun dengan gelengan kecil segera ditepisnya rasa gelisah itu. Prioritas setiap orang tidak sama. Untuk saat ini, anak belum menjadi prioritas seorang Vivian.

Parameter kebahagiaan seseorang bukan dilihat dari ada tidaknya anak. Terkadang kita merasa tidak bahagia karena merasa hidup orang lain lebih baik, karena orang lain memiliki apa yang tidak kita miliki.

Sebagian orang mungkin bahagia setelah memiliki anak, tetapi tidak sedikit pula yang menjadi tertekan karenanya. Vivian percaya bahagia tidaknya seseorang ditentukan oleh diri orang itu sendiri. Sekali lagi Vivian berusaha meyakinkan dirinya, bahwa ia bahagia.

Menjadi marketing bank adalah karir yang dijalani dengan bahagia oleh Vivian. Ia benar-benar memulainya dari bawah, mulai dari marketing Kredit Tanpa Agunan hingga kini menjadi seorang Team Leader Marketing Small Medium Enterprise alias Usaha Kecil Menengah.

Tujuh tahun perjalanan karir yang tidak singkat. Ia pasti berbohong bila mengatakan pekerjaan ini tidak berat. Sangat berat malah. Namun Vivian menikmati seluruh prosesnya. Ia bangga dengan hasil yang didapatnya dari pekerjaan ini.

Tanpa sadar helaan napas berat Vivian hembuskan dari hidung dan mulutnya karena teringat akan permintaan sang suami. Bila Revan bahagia dengan memiliki anak, ia akan mengabulkannya. Namun karirnya tidak boleh diusik.

Setelah memantapkan keputusannya, Vivian kembali memusatkan konsentrasi pada pekerjaan, membantu Relationship Manager mencapai target mereka. Bukan semata demi pencapaian dirinya sebagai seorang kepala tim. Ia juga ingin anggota timnya merengkuh sukses.

Kumandang adzan isya sudah terdengar dari masjid besar dekat kantor Vivian, tetapi wanita itu masih asyik dengan tuts keyboard mengetik laporan. Matanya bergantian melihat layar datar komputer dan dokumen di meja. Ia menjeda kegiatannya setelah mendengar ponselnya berbunyi untuk kesekian kalinya. Dari nada deringnya ia sudah tahu siapa yang menelepon. Vivian menerimanya dengan kesal.

"Halo, Ma? Kan sudah aku bilang, kalo aku nggak angkat telpon berarti lagi sibuk. Mama telpon terus bikin kupingku sakit!"

Suara mama Vivian terdengar tak kalah kesal. "Durhaka kamu, Vi, bentak-bentak Mama!"

"Mama telpon kenapa?" tanya Vivian tanpa basa-basi.

"Masih tanya kenapa?!" Suara sang mama terdengar melengking di seberang. "Kamu lupa ulang tahu mama sendiri?!"

"Selamat ulang tahun," jawab Vivian datar.

"Kamu nggak datang makan-makan di rumah? Mama sudah undang tetangga sama teman-teman mama. Masak anak sendiri malah nggak datang? Jangan bikin mama malu!"

"Bilang aja aku sibuk."

Sibuk hanya alasan. Sebenarnya, Vivian malas bertemu dengan orang-orang yang diundang oleh mamanya itu.

"Kamu itu cuma pegawai kantoran tapi sibuknya ngalah-ngalahin suamimu yang punya perusahaan! Suamimu saja sudah datang dari tadi!"

"Apa, Ma?!" Vivian terkesiap hingga melompat bangkit dari kursinya.

"Revan suamimu sudah datang!"

"Kenapa dia bisa datang? Mama undang dia?" Suara Vivian meninggi karena emosi.

"Masak menantu sendiri nggak diundang? Mama kan juga mau pamer menantu kebanggaan mama. Kamu nggak lihat muka temen-temen mama tadi. Sekarang nggak ada yang berani meremehkan keluarga kita lagi!"

"Ya ampun, Ma! Udah aku bilang jangan undang Revan!" seru Vivian marah.

Setelah mematikan telepon, Vivian duduk sambil memegang pelipisnya yang berdenyut. Hubungan keluarganya dengan Revan tidak dekat. Suaminya itu bahkan hendak menggugat cerai dirinya. Lalu untuk apa ia datang ke rumah orang tua Vivian? Jangan-jangan hendak menyampaikan rencana perceraian mereka?

"Nggak akan kubiarkan!" geram Vivian. Ia bergegas membereskan meja kerja dan tergesa-gesa meninggalkan ruang kantornya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status