Share

Melanggar Kesepakatan

Mobil kecil yang dikemudikan Vivian bergerak stabil menuju selatan Surabaya. Perjalanan yang tidak terlalu panjang, tetapi tetap saja mobil itu harus beberapa kali berhenti saat bertemu dengan kemacetan dan lampu lalu lintas yang berubah merah.

"Ah sial!" umpat Vivian memukul gagang setir saat mobilnya terjebak antrian panjang di jalan sempit menuju perbatasan antar kota. Perut lapar dan pikiran kacau turut menambah kekesalannya. Kemacetan itu baru terurai setelah Vivian melewati sebuah pertigaan tempat bersilangnya kendaraan dari dalam dan luar kota Surabaya.

Supermarket besar di sisi kiri menjadi penanda Vivian telah tiba di area perumahan yang dituju. Tak lama kemudian mobil putih metalik miliknya melintas di bawah gapura bertuliskan "Selamat Datang di Kabupaten Sidoarjo". Dari situ, hanya butuh waktu tidak sampai sepuluh menit untuk sampai di rumah orang tua Vivian.

Sidoarjo tak kalah padat dengan Surabaya. Pertambahan drastis jumlah penduduk membuat kebutuhan akan tempat tinggal juga meningkat pesat. Vivian menjadi saksi bagaimana perumahan berskala kecil mulai menjamur di kota kelahirannya itu, dengan harga yang sudah tidak bisa dikatakan terjangkau oleh sebagian masyarakat.

Vivian menyebutnya perumahan berskala kecil karena satu kompleks perumahan hanya berisi beberapa puluh rumah saja. Keterbatasan lahan juga membuat banyak pengembang perumahan mengambil lokasi di tempat yang cukup jauh akses masuknya dari jalan raya.

Beruntung rumah orang tua Vivian yang merupakan perumahan lama letaknya sangat dekat dengan jalan raya. Saat SMA, Vivian cukup berjalan kaki sekitar dua ratus meter, lalu menyeberang jalan dan naik angkutan umum agar dapat sampai ke sekolah.

Mobil Vivian memasuki cluster tertua di perumahan tersebut. Ia membuka kaca jendela mobil untuk menyapa satpam yang berjaga di jalan masuk cluster. Satpam itu tersenyum ramah padanya.

Vivian lalu membelokkan mobilnya memasuki gang kedua di sebelah kiri jalan. Degupan jantungnya sangat terasa saat dia melihat mobil Revan terparkir di depan pagar rumahnya. Namun tak lama kemudian dahinya berkerut. Sejak kapan bentuk pagar rumahnya berubah? Dan sejak kapan pohon mangga besar yang ada di halaman rumah ditebang, berganti sebuah taman dengan lampu yang menyala cantik?

Hampir saja Vivian mengira ia salah masuk gang kalau tidak melihat bentuk rumah di kanan kirinya yang sama sekali tidak berubah. Betul itu adalah rumahnya. Mobil yang terparkir juga milik suaminya. Vivian yakin setelah melihat plat nomornya yang unik.

Ukuran gang yang sempit membuat mobil besar Revan memakan separuh badan jalan. Vivian memarkir kendaraannya di belakang mobil sang suami, membuat rumah dengan lebar sepuluh meter itu nyaris tertutup sepenuhnya dan hanya menyisakan akses masuk pagar.

Baru saja memasuki rumah yang sudah tidak ditinggalinya sejak menikah, Vivian disambut dengan pemandangan berbagai makanan dan kudapan yang tertata mewah di atas meja. Jumlahnya sangat banyak, agak berlebihan untuk acara makan yang hanya dihadiri beberapa orang sahabat dan tetangga.

"Malam," sapa Vivian pada semua orang yang duduk di sofa di ruang tamu. Hanya tersisa tiga orang tamu : dua orang tetangganya yang bernama Tante Lusi dan Tante Ani, serta Tante Irene sahabat sang mama. Tidak terlihat keberadaan Revan di sana, juga David, adik laki-laki satu-satunya yang Vivian yakini sedang asyik pacaran di luar.

Mama Vivian segera bangkit dari sofa dan menyambut kedatangan putrinya dengan senyum lebar. "Anak kebanggaan Mama akhirnya datang juga. Sibuk sekali ya, Nak?"

"Hmm," jawab Vivian datar. Namun ada rasa lega dalam hatinya. Melihat sikap sang mama, sepertinya Revan belum memberitahu masalah rumah tangga mereka.

Sambil tersenyum bangga mama Vivian menjelaskan alasan keterlambatan putrinya pada tamu yang masih tersisa. "Maklumlah anakku ini manajer di kantornya. Begitulah kalau punya jabatan tinggi, banyak sekali yang diurus!"

"Biasa ajalah, Ma," sahut Vivian tak suka mamanya membesar-besarkan cerita.

"Punya suami banyak duit kok masih capek-capek kerja to, Vi?" tanya Tante Lusi dengan nada mencela.

"Ya ndak popo to, Lus. Anakku ini memang dari dulu mandiri orangnya. Sudah nikah pun masih pintar cari uang sendiri."

Vivian memilih tak menanggapi, merasa yakin hanya kata-kata pedas yang akan keluar jika dia membuka mulut. Suasana hatinya benar-benar sedang tidak baik. "Revan mana, Ma?" tanyanya cepat-cepat ingin melarikan diri dari situasi tidak nyaman.

"Lagi ngobrol sama papa kamu di belakang. Ya sudah kamu ajak suami kamu makan dulu. Tadi waktu Mama suruh makan katanya mau tunggu kamu."

Sekarang barulah Vivian menyadari suara berat disertai tawa keras papanya terdengar hingga ke tempatnya berdiri saat ini. Ia segera berjalan menuju ruang makan dengan langkah cepat.

Lagi-lagi Vivian dibuat terkejut. Bagian belakang rumahnya telah dirombak total. Dapur dan ruang makan yang dulu terlihat seadanya kini tampak futuristik sekaligus cantik. Desainnya mirip seperti yang pernah Vivian lihat pada katalog sebuah peritel furniture ternama.

Belum habis keterkejutannya, perasaan muak muncul setelah mencium bau asap rokok yang membuat sesak indera penciuman. Beberapa bulan tidak pulang ke rumah membuat Vivian lupa kalau papanya adalah seorang perokok berat. Dengan waswas dilihatnya dua orang laki-laki yang sedang duduk di ruang makan.

Benar dugaannya. Papanya sedang duduk berhadapan dengan Revan, asyik berbincang dengan rokok menyala di tangan dan mulut yang terus mengembuskan asap rokok tepat ke wajah sang menantu. Botol bir kosong tampak berserakan di atas meja. Vivian ingin menjerit marah saat itu juga. Ditepuknya bahu Revan. "Ayo kita pulang sekarang," ucapnya langsung pada inti.

"Baru datang sudah mau pulang?" tanya Revan mengernyit. Ia sudah tahu hubungan Vivian dengan kedua orang tuanya tidak terlalu baik, tetapi seharusnya tidak terlalu buruk juga sampai tidak menyediakan waktu untuk berbasa-basi.

Papa Vivian mengetuk-ngetuk ujung rokok hingga abunya terjatuh ke lantai. Dihisapnya kembali benda yang membuatnya kecanduan berat itu, menikmati asap pekat yang memasuki tenggorokan dan paru-parunya. Setelah asap itu keluar dari mulutnya dan melayang di udara, laki-laki kurus itu tertawa.

"Pintar kamu cari suami, Vi," katanya pada sang putri. "Jangan seperti mamamu menyesal nikah sama Papa. Dulu mama kamu itu sudah bagus dijodohkan orang tuanya sama orang kaya, tapi malah ditinggal demi Papa. Kalau papa tahu mama kamu lagi hamil anak orang itu, Papa juga nggak mau menikah sama mama kamu," lanjutnya lalu kembali tertawa geli seolah mengejek kebodohannya sendiri.

Tubuh Vivian bergetar samar mendengar ucapan sang papa. Sebenarnya bila sedang tidak mabuk, laki-laki itu tidak banyak bicara. Namun di bawah pengaruh alkohol, kekesalan hati yang dipendam laki-laki itu akan keluar begitu saja dari mulutnya dan terus diulangnya kepada siapa saja yang menjadi lawan bicara.

Dan situasi malam ini adalah hal yang selalu mati-matian Vivian hindarkan dari penglihatan Revan, suaminya yang sangat sempurna. "Ayo kita pulang," ucapnya lagi, kali ini dengan nada lebih tegas.

Paham dengan suasana hati sang istri, Revan segera berdiri dan berpamitan pada papa mertuanya. "Saya sama Vivi pulang dulu, Pa. Maaf nggak bisa lama-lama soalnya masih ada kerjaan yang harus diurus," ungkapnya memberi alasan.

Papa Vivian kembali tertawa serak. "Papa ngerti Papa ngerti .... Kalian pasti nggak betah lama-lama di rumah sempit begini."

Vivian cepat-cepat menarik Revan meninggalkan ruang makan itu. Dadanya semakin sesak, bukan karena asap rokok, tetapi karena amarah yang harus ditahannya. Sudah cukup Revan menyaksikan kebobrokan keluarganya.

Kepada mamanya, Vivian dan Revan hanya berpamitan singkat. Alasan sibuk dengan pekerjaan sudah cukup untuk membuat wanita itu mengerti. Sibuk bekerja tujuannya tentu saja untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah. Kalau anak dan menantunya punya banyak uang, bukankah ia juga yang akan menikmatinya?

"Hati-hati di jalan, Nak. Oh iya, terima kasih ya, Revan hadiahnya. Mama suka sekali," kata mama Vivian sumringah sambil memperlihatkan gelang bertabur berlian di pergelangan tangan kanannya, sengaja ingin membuat iri orang-orang yang berada di sana.

"Sama-sama, Ma. Nanti bilang aja kalau ada yang Mama suka lagi," jawab Revan santai. Vivian melotot marah melihatnya, tetapi tidak mengatakan apa pun.

Sepasang suami istri itu pulang dengan mobil Revan, sedangkan mobil Vivian dibawa pulang oleh sopir yang tadi mengantar Revan. Mobil mereka baru saja keluar dari gang rumah Vivian saat perempuan itu mengeluarkan kekesalannya. "Kamu melanggar kesepakatan kita," ucapnya dengan bibir menipis menahan marah.

"Kesepakatan yang mana?" Revan malah balik bertanya, sengaja mengingatkan ada banyak kesepakatan dalam kehidupan pernikahan mereka.

Vivian mengabaikan pertanyaan satire itu. "Kenapa kamu kasih mamaku gelang berlian?" tanyanya tajam.

"Karena aku mampu."

Satu kalimat itu langsung membuka kunci yang membelenggu kemarahan Vivian. "Dengar ya, orang kaya sombong! Cuma karena kamu mampu, bukan berarti kamu bisa bersikap seenaknya!"

Revan mendadak menghentikan mobilnya. Ia memberi tatapan membunuh pada Vivian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status