Share

Pertemuan Pertama

Sebelum menerima takdirnya sebagai penerus bisnis keluarga, Revan Halim pernah menjadi seorang pemberontak. Jiwa muda meledak-ledak membuatnya memilih jalan ekstrem memprotes rencana perjodohan antara dirinya dengan putri dari sahabat sang ayah. Bagi Revan, pergi dari rumah adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan masa depannya dari pernikahan paksa.

Indekos di daerah kampus yang ramai, hari-harinya ia habiskan dengan bermain game di warnet. Revan menikmati kebebasan hidup yang baru ia reguk. Masalah keuangan tidak dipusingkannya. Ia bisa kapan saja meminta pada neneknya, satu-satunya orang yang selalu mendukung apa pun keputusannya.

Pertemuan pertamanya dengan Vivian terjadi pada masa itu. Di depan sebuah warnet game yang beroperasi dekat universitas swasta ternama di Surabaya Timur, Revan Halim berjumpa dengan jodohnya. Setidaknya begitulah yang ia pikirkan pada saat itu.

Sikap Vivian yang cuek saat turun dari motor dan penampilannya yang apa adanya menjadi pemandangan segar bagi mata Revan yang sudah terbiasa melihat gaya glamor putri konglomerat. Ia masih ingat betul, saat itu Vivian mengenakan hoodie biru muda bergambar Mickey Mouse dan celana jeans hitam yang robek besar di kedua bagian lututnya.

Ia jadi ingin tahu seperti apa rupa gadis yang gestur tubuhnya telah sangat menarik perhatiannya itu. Dengan sendirinya jantung Revan berdebar kencang menanti gadis itu melepas helm teropong yang menutup penuh kepalanya. Bagaikan menonton sebuah film yang diputar dengan gerak lambat, Revan memperhatikan setiap gerakan kecil gadis itu.

Saat tangan Vivian menyugar rambut panjangnya yang berantakan sembari menoleh tanpa arti ke arah Revan, detik itu juga seorang Revan Halim merasakan tusukan panah asmara pada jantungnya. Menarik. Ia terpesona pada pandangan pertama.

Beberapa hari kemudian, Revan melancarkan aksinya mendekati gadis itu.

"Ini game kesukaan aku juga. Mau main bareng?"

Mendekati seorang gamer tentu harus dimulai dari game yang ia sukai. Revan meninggalkan game tembak-menembak kesayangannya dan menggantinya dengan game kompetisi menari yang selalu dimainkan oleh Vivian di warnet.

"Wah level kamu udah tinggi!" seru Vivian kagum melihat level karakter milik Revan. "Udah lama ya mainnya?"

Revan menyeringai pada gadis itu. "Belum lama kok."

Bukan bunga, perhiasan atau barang romantis lainnya, melainkan karakter game berlevel 35 yang paling berjasa mendekatkan hubungan Revan dengan Vivian. Karakter itu dibelinya dari seorang penjual karakter game di F*cebook dengan harga tidak murah. Mereka kerap main bersama. Wajah cemberut Vivian setiap kali gadis itu kalah darinya terlihat sangat menggemaskan.

"Kita couple-an yuk?" Hanya ajakan untuk memasangkan karakter mereka dalam game, tetapi jantung Revan telah berdebar tak karuan. Ia mengiakannya tanpa ragu, sangat yakin setelah itu mereka juga akan segera menjadi pasangan di dunia nyata. Karakter mereka lalu menikah dan saling memanggil dengan sebutan "pii" dan "mii", kependekan dari papi dan mami. Sangat romantis bukan?

Akan tetapi, dunia nyata tidak seindah dunia maya. Berbulan-bulan Vivian hanya menganggap Revan sebagai partner main game yang asyik dan menyenangkan. Sebaliknya, laki-laki itu terperosok semakin dalam ke jurang bernama cinta.

Kuat, mandiri dan bebas, Vivian berhasil menghancurkan stigma seorang perempuan yang selama ini melekat kuat dalam benak Revan.

"Kamu jam segini belum pulang, nggak dicariin orang tuamu?" tanya Revan suatu hari saat mereka berjalan beriringan menuju tempat motor mereka terparkir usai bermain di warnet.

Vivian menggeleng. "Nggak. Mereka percaya aku nggak bakal macem-macem."

"Kok bisa gitu?" Revan tidak bisa tidak merasa takjub, karena sejak lahir hidupnya berada dalam kendali penuh orang tua. Jadwal belajar, waktu bermain, apa yang dimakan, dan dengan siapa ia bergaul, semua sudah ditentukan.

Vivian mengenakan helm teropong lalu mengedikkan sebelah bahunya tak acuh. "Ya karena aku memang nggak macem-macem orangnya," jawabnya sambil mengangkat kaki kanannya melewati jok motor. Bahkan caranya naik motor seperti seorang laki-laki, pikir Revan saat itu. Namun anehnya ia justru menganggap gadis itu keren.

Saat rasa cinta di dadanya tumbuh semakin besar dan tak tertahankan lagi, Revan memutuskan untuk mengutarakannya. Pemuda itu bertekad menyudahi hubungan platonik di antara mereka berdua. Ia memberanikan diri mengajak Vivian makan di sebuah kafe tak jauh dari warnet dan menyatakan perasaannya di sana.

"Vi, gimana kalo kita couple-an sungguhan?"

Revan ingat betul reaksi Vivian saat mendengar ajakan darinya. Sangat datar. "Maksud kamu pacaran?" tanya gadis itu padanya sambil mengerjapkan kedua matanya.

"Iya pacaran. Aku udah lama suka kamu."

"Oh." Gadis itu kembali menunduk dan melanjutkan makannya.

Hati Revan langsung mencelos. Ia pikir Vivian menolaknya, sebelum kemudian mendengar gadis itu bertanya dengan wajah tak mengerti. "Tapi kenapa? Apa yang bikin kamu bisa suka sama aku?"

Revan menatap kedua bola mata Vivian, berharap jawabannya mampu meluluhkan hati gadis itu. "Karena kamu beda sama perempuan lain yang aku kenal. Kamu kuat dan mandiri."

Ironis sekali, pikir Revan sembilan tahun kemudian sambil memandang tajam pada istri yang baru saja membangkitkan kemarahannya. Kemandirian Vivian yang dulu membuatnya tergila-gila pada perempuan itu, kini justru menjadi alasan Revan ingin bercerai darinya.

"Kamu makin hari makin kurang ajar sama suami!" bentaknya mengeluarkan amarah.

Vivian membuka mulutnya untuk membantah. "Aku cuma nggak suka kamu seenaknya—"

"Apa salahnya kasih hadiah ke mertua yang lagi ulang tahun?" tuntut Revan tanpa menunggu Vivian menyelesaikan kalimatnya.

"Hadiah yang kamu kasih terlalu mahal!"

"Lantas kenapa kalau mahal? Dua tahun kita menikah, kamu belum bisa menerima kenyataan kalau aku orang kaya?" balas Revan sengit.

Vivian memejamkan matanya, merasa lelah dengan seluruh pertengkaran mereka. "Aku cuma minta kamu nggak kasih apa-apa ke keluargaku. Apa sesusah itu melakukannya?" jawabnya dengan suara yang semakin menegaskan rasa lelahnya.

"Lalu apa peranku sebagai suami kamu, Vi? Kamu nggak pernah mau pakai uangku, kamu melarang aku membantu keluargamu, kamu nggak membiarkan teman-temanmu tahu kalau aku ini suamimu!" Revan memukul gagang setir dengan keras untuk meluapkan rasa frustrasinya.

Suara ketukan di kaca jendela menjeda sejenak pertengkaran sepasang suami-istri itu. Entah sejak kapan satpam perumahan Vivian keluar dari pos penjagaannya dan menatap garang pada Revan dari balik kaca jendela. Sepertinya ia mengira Vivian baru saja mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Revan menurunkan kaca jendelanya dan tersenyum pada satpam tersebut. Tak ada lagi sisa kemarahan di wajahnya. Namun orang yang disenyuminya itu tidak membalas. Satpam itu melempar pandangan penuh penilaian pada Revan, lalu beralih memperhatikan Vivian. "Apa ada masalah, Bu?"

"Oh nggak ada kok, Pak. Tadi saya cuma becanda sama suami saya. Biasa kalau becanda suka nggak sadar tempat. Ini juga udah mau pulang," jawab Vivian cepat-cepat sambil memaksakan senyum pada bibirnya yang tiba-tiba terasa kering. Dalam hati ia memarahi dirinya karena tidak mampu berakting sebaik Revan.

"Baik kalau begitu. Hati-hati di jalan, Pak, Bu." Satpam itu terlihat lega. Ia memberi senyum sopan sebelum kembali ke tempatnya semula.

Karena sadar tidak ada gunanya melanjutkan pertengkaran mereka di tempat itu, Revan mulai menjalankan kembali kendaraannya. Ia mengemudi dengan bibir terkatup rapat, menahan amarah yang masih meledak-ledak di kepalanya.

Kalau mesin waktu benar-benar ada, Revan pasti telah membelinya seberapa mahal pun harganya. Ia ingin kembali ke masa sembilan tahun silam untuk mencegah dirinya melakukan kebodohan. Ia bersumpah tidak akan pernah pergi dari rumah orang tuanya. Ia akan menurut saja dijodohkan dengan siapa pun itu. Perempuan pilihan orang tuanya pasti tidak lebih buruk daripada istri yang sedang duduk di sampingnya ini, pikirnya muram.

Lucunya, tekad untuk mempertahankan hubungannya dengan Vivianlah yang kala itu membuatnya dengan tidak tahu malu kembali ke kenyamanan rumah yang ia tinggalkan. Ia masih ingat betul saat pertama kalinya menjemput Vivian untuk berangkat kuliah, dua bulan setelah mereka resmi berpacaran.

Karena takut terlambat, Revan datang sangat pagi. Vivian masih mandi ketika ia tiba di rumah gadis itu. Ruang tamu tempatnya duduk menunggu terasa semakin sempit saat ia mulai diinterogasi olah mama sang kekasih.

"Kamu satu kampus sama anak saya?"

"Saya belum kuliah, Tante," jawab Revan jujur. Ia memang berencana masuk kuliah pada semester berikutnya, di kampus yang sama dengan Vivian.

"Kamu tinggal di mana?"

"Saya ngekos di Tenggilis."

"Asli mana?"

"Surabaya."

"Kenapa ngekos? Nggak punya rumah?"

Revan sempat ragu menjawab. Tidak mungkin ia mengatakan sedang minggat dari rumah orang tua. "Iya nggak punya," jawabnya terpaksa berbohong.

Alis mama Vivian hampir menyatu mendengarnya. "Orang tua kamu kerja apa?"

"Jualan makanan, Tante." Saat itu Revan tidak merasa berbohong. Perusahaan milik keluarganya memang memproduksi berbagai produk makanan dan minuman.

Mama Vivian mendengus keras. "Kamu kira saya akan mengijinkan anak saya pacaran sama laki-laki yang nggak punya masa depan seperti kamu?" bentak wanita itu, lalu melirik tajam ke arah pagar rumah.

Revan mengikuti arah pandangan mata mama Vivian. Di bawah tatapan jijik wanita itu, sepeda motor bebek warna hitam keluaran tahun 2004 yang ia gunakan untuk menjemput sang kekasih tampak terparkir menyedihkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status