Share

Pisah Ranjang

Kaca jendela di samping kiri Vivian seperti menjadi benda paling menarik yang membuat perempuan itu terus mengarahkan pandangannya ke sana. Tidak ada yang tahu bahwa apa yang sedang ia lihat bukanlah deretan bangunan di pinggir jalan yang mereka lewati. Otak Vivian sedang memproyeksikan kejadian sembilan tahun silam saat jalinan asmaranya dengan Revan baru seumur jagung.

"Saya sekolahkan Vivian tinggi-tinggi bukan buat hidup susah sama kamu!" Vivian yang baru keluar dari kamar mendengar mamanya menghardik Revan tanpa belas kasihan di ruang tamu. "Buat makan sendiri aja masih susah kok berani-beraninya ajak anak gadis orang pacaran!"

Merasa terkejut, Vivian langsung mengintip untuk melihat wajah Revan. Ia semakin terkejut karena sang kekasih justru terlihat begitu tenang dan masih bisa tersenyum saat menjawab hinaan yang ia terima.

"Sekarang saya memang masih susah, tapi nggak lama lagi saya pasti bisa membahagiakan anak Tante." Kata-kata Revan membuat perasaan Vivian melayang. Andaikata saat itu Vivian tahu apa yang menyebabkan Revan bisa begitu percaya diri, ia tidak akan dengan bodohnya malah terkesima dan semakin mencintai pemuda itu.

"Ngomongnya nanti saja kalau sudah ada bukti! Bayar kuliah aja nggak mampu, mau jadi apa kamu! Bisa-bisa nanti anak saya kamu suruh kerja banting tulang!" sembur mama Vivian lagi dengan ekspresi wajah nyata menunjukkan rasa jijik.

Vivian langsung memunculkan diri dan menegur mamanya. Ia tidak terima harga diri sang kekasih diinjak-injak bagai kain pembersih alas kaki. "Ma! Kenapa ngomong kayak gitu sama Revan?!"

Wajah sang mama semakin murka. Ia menoleh dan memaki putrinya. "Dasar gobl*k! Anak nggak berguna! Dikasih kuliah di tempat mahal bukannya belajar sungguh-sungguh malah pacaran sama laki-laki nggak jelas!"

Vivian yakin seratus persen, definisi laki-laki tidak jelas yang dimaksud oleh mamanya sangat berhubungan dengan materi. Akan tetapi Vivian memang tidak sedang mencari laki-laki dari keluarga kaya. Ketidaksetaraan status sosial hanya akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Ia lebih memilih laki-laki yang mencintainya, yang mau berjuang bersama untuk mencapai kebahagiaan.

Selama beberapa bulan masa pendekatan, Vivian telah melihat bagaimana usaha Revan demi mendapatkan status sebagai kekasihnya. Penolakan dari mama Vivian juga tidak membuat pemuda itu gentar. Revan memang tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah Vivian sejak kejadian itu, tetapi mereka sering bertemu di tempat lain.

Pemuda itu tidak pernah keberatan dengan destinasi kencan yang dipilih oleh Vivian. Revan rela mengendarai sepeda motor lebih dari 120 kilometer untuk mengantar Vivian melihat air terjun di Kota Batu. Saat Vivian mengatakan ingin melihat singa, pemuda itu tanpa ragu mengajaknya pergi ke taman safari yang terletak jauh di luar kota.

Tentu saja tidak setiap saat hubungannya dengan Revan baik-baik saja. Sama halnya dengan air laut yang mengalami pasang-surut, perjalanan asmara mereka juga diwarnai putus-sambung. Revan kerap mengucapkan kata putus ketika sedang marah, seringnya karena ia merasa Vivian tidak mencintai dirinya sebesar rasa cintanya pada perempuan itu.

"Kita putus aja. Katanya cinta, tapi nggak mau dicium!"

Vivian teringat salah satu momen ketika dirinya diputus oleh Revan. Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil, mengingat kepolosannya sendiri. Saat itu ia terlalu gugup karena Revan tiba-tiba berniat menciumnya. Pada akhirnya ia mendorong Revan menjauh, tanpa sengaja menggunakan kekuatan lebih besar daripada semestinya.

Kata putus yang terucap dari bibir Revan biasanya akan diikuti dengan menghilangnya pemuda itu selama beberapa hari. Vivian menyebutnya kekanak-kanakan. Sikap labil pemuda itu sempat membuat Vivian cemas. Namun lambat laun ia mulai terbiasa. Bagaimanapun parahnya pertengkaran mereka, Revan akan selalu kembali padanya.

Sama seperti saat Revan berpamitan padanya sebelum pergi selama bertahun-tahun. "Aku ngelakuin ini demi masa depan kita. Kalau semua ini sudah selesai, aku bakal segera kembali dan melamar kamu," janji pemuda itu sambil menyematkan cincin perak bertahktakan permata imitasi di jari manis tangan kirinya. Cincin perak itu belakangan Vivian ketahui ternyata adalah cincin emas putih dengan batu berlian asli.

Enam tahun setelah itu Revan benar-benar kembali untuk melamarnya. Namun pemuda itu telah menjadi sosok yang berbeda, sosok yang sebenarnya tidak pernah Vivian harapkan.

***

Terdengar suara gemuruh dari lambung yang sudah lama belum diisi. Lamunan masa lalu saat Vivian berpacaran dengan Revan terhenti begitu saja oleh suara memalukan yang keluar dari perut perempuan itu. Mata Vivian melirik sang suami yang sedang berkonsentrasi penuh mengemudi, sedikit pun tidak menoleh padanya.

Dia bener-bener udah berubah, pikir Vivian sedih sambil memejamkan matanya. Dulu Revan akan menjadi orang paling cerewet dan pemaksa begitu mendapati Vivian terlambat makan sebentar saja. Kini Revan seperti tak peduli padanya. Vivian mendesah dalam hati sambil tetap terpejam.

Gerakan mobil yang melaju konstan di jalan raya membuat tubuh lelah Vivian serasa diayun-ayun. Ia ketiduran. Saat terbangun, mobil yang ia naiki sudah tidak bergerak. Revan juga tidak ada di sebelahnya. Setelah mengerjapkan mata beberapa kali dan memperhatikan bangunan di hadapannya, barulah ia menyadari mobil mereka tengah berhenti di pelataran parkir sebuah restoran masakan China, dengan mesin mobil dibiarkan tetap menyala.

Satu lagi hal yang diingat oleh Vivian ketika ia dan Revan berpacaran dulu. Laki-laki itu tidak pernah mau makan di sembarang tempat. Kebersihan menjadi hal yang sangat penting saat mereka memilih tempat makan. Vivian menyesali ketidakpekaannya. Seharusnya ia sudah menyadari saat itu, bahwa gaya hidup sang kekasih sangat berbeda jauh dengannya.

Pintu di samping kursi pengemudi dibuka dari luar. Revan masuk dan meletakkan bungkusan yang ia pegang di kursi bagian belakang. Aroma makanan seketika merebak di dalam mobil. Liur Vivian hampir menetes. Tiba-tiba ia merasa sangat lapar.

Vivian menduga Revan memilih tidak makan di tempat karena sudah mendekati jam tutup restoran. Lagi pula lokasinya sangat dekat dengan rumah mereka. Perempuan itu kembali memandang wajah sang suami, berharap diajak bicara. Sayangnya Revan tetap bungkam hingga mereka tiba di rumah.

Memasuki rumah, asisten rumah tangga mereka sudah tidak terlihat. Supatmi memang punya kebiasaan tidur cepat. Vivian juga memilih langsung tidur. Rasa laparnya tergantikan oleh rasa marah karena diabaikan oleh Revan.

"Makan dulu," ucap Revan singkat untuk mencegah Vivian naik ke kamar. Perempuan itu menurutinya.

Mereka pergi ke ruang makan dan bergantian mencuci tangan. Vivian memindahkan makanan di dalam bungkusan ke atas piring. Rupanya Revan membeli sup jagung kepiting dan kwetiaw goreng. Rasa hangat menjalar di hati Vivian. Suaminya membelikan makanan kesukaannya.

Keduanya makan sambil duduk berhadapan. Karena merasa tersentuh dengan perhatian Revan, Vivian memutuskan untuk sedikit menurunkan gengsinya. Ia mengajak bicara sang suami walaupun mereka masih dalam keadaan perang dingin. "Makasih ya udah beliin makanan kesukaanku," ucapnya memberi senyum tulus.

Revan tampak mengernyit. Ia menatap sang istri dengan wajah mengejek. "Jangan ge-er. Aku memang lagi pengen sup jagung."

"Oh," sahut Vivian tidak menyembunyikan rasa kecewanya. "Seingatku dulu kamu nggak suka makan sup jagung."

"Tenggorokanku nggak enak gara-gara kena asap rokok, pengen makan yang berkuah."

Tangan Vivian mencengkeram sendoknya kuat-kuat. "Sorry. Papaku memang perokok berat. Harusnya tadi kamu menghindar."

"Lucu ya," kata Revan tiba-tiba tersenyum sinis dan menatap tajam Vivian. "Dua tahun menikah, aku baru tahu kalau papa mertuaku ternyata seorang perokok berat dan pemabuk."

"Yeah, harusnya dulu aku ceritain. Supaya kamu nggak jadi nikahin aku," balas Vivian sengit.

Sepasang mata hitam Revan memberi tatapan kecewa pada Vivian. "Apa lagi hal yang nggak kamu ceritain ke aku soal keluargamu?"

Vivian langsung meletakkan sendok yang sedang dipegangnya dan mendorong piringnya menjauh. "Aku udah kenyang," ucapnya lalu berdiri.

Kakinya melangkah meninggalkan ruang makan. Namun di ambang pintu yang memisahkan ruang makan dengan ruang tengah, kalimat Revan terdengar begitu mengejutkan.

"Mulai besok aku pindah ke apartemen."

Vivian sontak membalik tubuhnya. "Pindah? Kenapa?" tuntutnya.

"Karena kita akan segera bercerai. Lebih baik kita nggak tinggal satu rumah lagi. Besok pengacaraku akan memasukkan berkas perceraian kita ke pengadilan. Aku harap kamu bisa bekerjasama supaya semuanya berjalan lancar."

Revan mengucapkan seluruh kalimatnya dengan sangat tenang, seolah perceraian tidak berarti apa-apa baginya, seolah ia tidak sabar untuk segera berpisah dengan Vivian.

Mata Vivian tiba-tiba terasa pedih dan basah. Ia naik ke kamarnya tanpa mengatakan apa pun. Saat menapaki tangga, air mata itu dibiarkannya bergulir deras. Baginya tidak mengapa meneteskan air mata, selama tidak ada yang melihat.

Di dalam kamar ia merenung, mengingat kalimat menyakitkan yang keluar dari mulut papanya setiap malam, yang diucapkan laki-laki itu setelah menenggak bir beberapa botol banyaknya.

Vani perempuan s*ndal! Hamil sama laki-laki brengsek itu! Dia bukan anakku! Sampai kapan pun aku nggak mau terima dia jadi anakku!

Vivian mengerjap dan bulir-bulir air mata kembali membasahi pipinya. Ia memikirkan sang suami. Akankah keadaan menjadi lebih baik bila sejak awal ia menceritakan semuanya pada Revan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status