Share

Mas Bagas Minta Ijin

Suara adzan subuh berkumandang bersahutan dari berbagai mushola dan masjid di lingkungan rumah jaddah. Aku pun membuka mata malas, mataku masih ngantuk, rasanya baru sebentar tidur. Dengan setengah sadar ku bangkit dari gumulan selimut tebalku. Pelan-pelan menuju kamar mandi untuk gosok gigi, lalu berwudhu dengan air hangat yang mengucur dari keran merah dan biru menyatu sempurna.

 Aku pun sholat di ruang tv, seperti semua perempuan di rumah ini sholat. Sedang para lelaki, mereka sholat di masjid. Usai sholat kulakukan aktivitas pagi seperti di rumah majikanku di Tabarjal. Cuaca di Nabq jauh lebih dingin dari Tabarjal, mungkin karena letaknya dekat dengan gurun pasir dan bebatuan yang menyerupai gunung , dalam bahasa Arabnya yakni Jabal. Aku sudah mengenakan baju tiga lapis di dalam dan satu baju tebal di luar serta syial di leher. Tak ketinggalan kaos kaki tebal melengkapi atribut musim dinginku agar tubuh ini terasa hanagat. Namun, masih saja terasa dingin. 

"Bentar lagi Yani datang, aku bikinin teh susu buat dia ah." gumamku sendiri.

"Sobahal Khair ya esih. (Selamat pagi esih)." si hidung pink menyapa. 

"Hisss, kirain Yani yang datang, tau nya si borokokok ini lagi!" umpatku dalam hati.

"Sobahan nur. (Pagi bercahaya)." jawabku tanpa menoleh. Sebenarnya aku malas menyahuti sapaannya tapi, aku tau itu tabu disini.

"Sawi liya halib jaiy al bareh (Buatin aku susu kayak semalem)!" perintah si Hamid

"Hmmm" jawabku malas, tapi tetap kubuatkan pesanannya.

"Ila khalas wudi ala bait as sya'ar, ma'al kubs ya Jamilah (Kalau sudah selesai bawa ke rumah rambut, sama roti wahai cantik)!" 

"Ciiiihhhh, kadal buluk segala ngerayu, lagi!" rutukku kesal. 

"Thayib ana sawi, yalah ruhi an matbakh (Baik aku buat, ayolah pergi dari dapur). usirku padanya tanpa menoleh.

"Salam alaykum ..." terdengar suara wanita mengucap salam pada kami, jantungku seketika bedegup, khawatir itu keluarga majikan karena berduaan dengan lawan jenis jelas haram disini.

"Waalaikumussalam." jawab ku dan Hamid bersamaan dengan kaget dan takut.

Kulihat muka Hamid yang putih jernih itu memerah seperti tomat, sementara muka ku entah seperti apa, kami takut di pergoki orang rumah, ternyata sahabat ku Yani.  

"Yani ... ah, syukurlah kirain siapa," aku menghela nafas lega ketika tahu ternyata orang itu Yani.

"Kalian ngapain berduaan?" tanya Yani menyelidik. Sementara si Hamid ngeloyor begitu saja.

"Tau tuh si bontot, dari semalem ganguin aku mulu!" gerutuku dengan wajah manyun.

"Ya lah, dia kan naksir kamu Sih, hihihi. Udah kalian jadian aja!" canda Yani, yang bagiku sama sekali tak lucu.

"Sembarang kamu Yan, emangnya ini Indonesia boleh pacaran. Kalau di sini aku pacaran, bisa di rajam tau!"

"Ya kalau ketahuan, kalau nggak 'kan aman." bantah Yani seenaknya.

"Ngawur aja, lagian aku punya saumi apa kamu lupa?" protesku.

"Suami brengsek begitu masih kamu anggap? kalau aku sih, udah tak benamin ke dasar samudera hahaha!"

"Emmm, aku anterin ini dulu ya, Yan." ucapku sambil berlalu mengantarkan pesanan si hidung pink, makhluk gurun yang tampan but very annoying.

"Cie-cie, anterin sarapan untuk Arjuna tuh!"

Aku tak menanggapi ledekan Yani.

"Haah, kud futurik (Ni, ambil sarapan mu)!" ketusku sambil menaruh nampan asal saja.

"Syukran ya hayati (Terimakasih wahai hidupku)," jawabnya alay. 

 Aku tak merespon, kuhentakan kaki dan balik badan.

"Ya Esih, suf hada ( Hai Esih, lihat ini)!"

Refleks aku menoleh. Cih, apaan tuh! dia mencium telapak tangan nya sendiri, lalu meniupkan ke arahku. Bener -bener alay ni si bontot Bangkong. Pagi-pagi sudah merusak mood-ku. 

"Yeeeekksss ... Al najisah (Weekkkk .... sang najis)!" Umpatku seraya buru-buru pergi.

Sampai depan rumah Yani menggodaku lagi. 

"Cie-cieee dapat kissbye, berbunga-bunga tuh hatinya."

"Apaan sih Yan ga lucu !" dengusku sambil mengerucutkan bibir sebal.

"Hmmm, kalau aku sih, pasti mau sama dia."

"Yaudah kamu aja pacaran sama dia!"

"Tapi kan dia suka nya sama kamu, lagian ya Esih, kamu tuh berhak dapat yang jauh lebih baik daripada suamimu yang pemeras itu.

"Udah deh Yan, tuh mending kamu mimun susu nya, aku udah buatin." 

"Makasih sayang, kita minum bareng yuk, kamu bikin dua gelas 'kan?"

" Iya. Keluarga bosmu udah pada pergi sekolah?" tanyaku pada Yani.

"Udah dari tadi, sekarang aku bebas bantuin kamu di sini." jawabnya riang.

"Hmmm," sahutku sambil niup susu yang panas, 

"Sih, kamu tuh cantik, manis, imut dan baik lagi. Aku yakin banyak pria tampan dan mapan yang mau jadi suami mu."

"Udah, Yan, tolong jangan dibahas lagi! Oh ya, kamu dapat salam dari Yanti." ucapku mengalihkan pembicaraan un-faedah ini.

"Alayha w* alayka salam" jaw*b Yani.

"Aamiin ..." sahutku.

******************* 

Empat bulan berlalu, semenjak pertengkaranku dengan Mas Bagas di telpon waktu itu, dia tidak menghubungiku sampai sekarang, aku pun malas menghubungi nya. Aku hanya menelpon orangtuaku bila kangen Saheer. Lumayan juga tidak diganggu Mas Bagas, tiap bulan uangku jadi terkumpul. Aku hanya mengirim 1 juta untuk Saheer.

***Beberapa hari kemudian*** 

"Esih, ruhi inti ma Yanti nedhfi bait as sya'ar asyan ba'ad bukrah insyaallah Ramadhan (Esih, pergi kamu sama Yanti bersihkan rumah rambut karena lusa insyaallah Ramadhan)!" Nyonyaku memerintah dengan lembut.

"Na'am, mama." sahutku sambil berjalan pamit. 

"Yanti ..." pekikku dari pintu dapur yang terbuka lebar. Kulihat sahabatku itu sedang asyik mencuci nampan bulat berbahan stainless.

Ciiiyaaaa ... dia berjingkat kaget karena kedatanganku tiba-tiba di sampingnya.

"Kamu, ngagetin aku aja!" gerutunya dengan bibir manyun.

"Kamu sih ngelamun." tukasku.

"Ada apa Sih?" 

"Kita disuruh bersihin rumah rambut buat persiapan puasa lusa."

"Ok, ayok!" 

Rumah rambut adalah tenda yang terbuat dari bahan mirip rambut, bentuk dan warnanya persis rambut, tapi sangat kasar, seperti senar. Di situ kaum lelaki biasa berkumpul ngopi ngeteh sambil makan kurma. Tiap bulan puasa, para lelaki akan buka puasa di sini.

          

"Ya, Esih, ta'ali Baba nadiiiikkk (Esih, sini, Baba memanggil muuu)!" pekik anak asuhku Abir. 

"Thayib ana jik (Baik aku datang)," 

"Yan, tolong kamu lanjutin ya, aku di panggil Baba."

"Sip, beres!" jawabnya seraya mengacungkan jempol.

"Makasih, ya." kataku meninggalkan Yanti

"Kayaknya aku dapat telpon deh, jangan-jangan mas Bagas." duga batinku.

"Na'am, ya Baba"(Iya, Baba)." tuturku ketika sudah tiba di hadapan Baba.

"Kalamiha min Indunisiy (Bicaralah dari Indonesia)." sereya menyerahkan hp-nya padaku.

"Syukran ya baba (Terimakasih, Baba)." ucapku sambil permisi.

"Assalamualaikum ..."

"Waalaikumussalam salam Esih."

"Iya Mas, kenapa?"

"Kamu udah lama gak nelpon aku, kenapa?" 

"Gak apa-apa Mas, Mas juga gak nelpon, ya aku pikir kita masing-masing butuh berpikir."

"Iya, Esih, sebelumnya aku mau minta maaf padamu tentang apa yang akan kukatakan ini." ucapnya diplomatis sekali membuat pikiranku traveling ke hal yang tidak-tidak.

"Mau ngomong apa Mas?" Perasaanku tiba-tiba gak enak.

"Begini, Esih, eehh ... " ia terdengar ragu melanjutkan kalimatnya.

"Ngomong aja Mas!" aku mulai tak sabar.

"Esih, maaf ya ... aku mau minta ijin untuk ... " lagi-lagi dia menggantung kalimatnya 

"Katakan saja Mas! Minta ijin untuk apa?" aku benar-benar tidak suka dibuat penasaran.

"Un ... un ... untuk menikah lagi ..." pungkasnya dengan nada bergetar.

"Oh ... mau kawin lagi! gitu aja kok susah banget." jawabku santai.

"Kamu ... kamu, ga marah Sih?"

"Ngapain marah Mas? Itu hakmu jadi lakukan saja!" tandasku enteng.

"Jadi kamu ijinin aku nikah lagi, artinya kamu mau dimadu?" pertanyaan bodohnya meluncur tanpa disaring. Benar-benar tidak tahu diri.

"Enak aja! Aku gak sudi dimadu! Kamu nikah aja sana tapi itu artinya antara kita sudah tidak ada ikatan lagi!"

"Kamu mau cerai Sih?"

"Jangan mempersulit pernikahanmu dengan tidak menceraikanku Mas!"

"Tapi sih ..."

"Sudahlah, Mas, aku sudah ikhlas kamu dengan perempuan lain, semoga kamu bahagia dengannya."

"Maafkan aku Sih, aku terpaksa." 

"Kalau boleh tau siapa dia Mas? Apa yang kamu bawa ke RS waktu Saheer sakit?"

"Bukan Sih, ini lain," 

"Astaghfirullah alazdim, kamu mudah banget maenin wanita Mas, tapi ya sudahlah, aku tidak perduli yang penting kamu beresin aku dulu Mas!"

"Sih, sebenarnya aku masih sayang kamu, aku terpaksa karena harus tanggung jawab."

"Tanggung jawab? Maksudnya kamu udah buat dia hamil Mas? tanyaku terkejut bukan main.

"Iya sih, aku ga sengaja,"  

"Kamu menjijikan Mas!" 

"Sih tolong maafkan aku" 

"Udah cukup Mas, segera ceraikan aku dan kamu urus pernikahan mu!"

Kleeekkk ... Kuputus sambungan telepon.

"Syukran ya Baba (Terimakasih Baba)." seraya kuserahkan hp pada nya.

 Hem ... aku samasekali tidak sakit hati mendengar Mas Bagas mau nikah lagi secara langsung dari mulut nya, apa itu artinya aku sudah tidak mencintai nya lagi? Syukurlah ... Tapi aku sungguh jijik dengan perbuatan Mas Bagas, sehina itu kah dirinya? Masa bodolah sekarang saat nya aku fokus ke Saheer saja, aku tidak mau lagi memikirkan lelaki pemalas ,pemeras dan tempramen itu. Mungkin Yani dan Yanti benar kalau aku lepas dari Mas Bagas akan ada pria baik yang Allah berikan untukku. Aku bersyukur sekali punya dua sahabat dari NTB itu. Ya, Yanti dari Sumbawa dan Yani dari Lombok. Alhamdulillah Yaa Allah Engaku anugerahkan hamba rezeki berupa dua teman yang baik dan pengertian.

Bersambung.....

Part berikutnya berjudul #hadiah_Dari_Hamid 

 Hamid mulai menunjukan sikap romantis dan menggemaskannya pada Esih, apakah Esih akan luluh? Nantikan kelanjutannya ya, Terimakasih salam hangat 😘

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status