Share

Konflik

Setahun berlalu, tinggal bersama keluarga Baba Saleh dan Mama Salha memberikan warna tersendiri dalam hidupku. Mereka menganggapku seperti keluarga sendiri, dan anak-anak mereka juga sangat dekat denganku. Apalagi aku sudah lancar bahasa Arab, jadi mudah berkomunikasi dengan seluruh keluarga majikan.

Awal aku datang ada MTab, Fahad, Abir, Demah, Wujdan, dan satu lagi masih dalam kandungan mama Salha. Kini, dia sudah berusia sembilan bulan, namanya Sultana. Tentu saja, Sultana akan segera punya adik. Ya, Mama Salha hamil lagi. Usia kandungan anak ketujuh itu sudah empat atau lima bulan. Terbayang betapa repotnya aku kerja sendiri mengurus keperluan mereka. Namun, Alhamdulillah karena mereka baik dan gaji lancar serta kebutuhanku semua mereka penuhi, jadi aku tak mengapa walau harus capek kerja. 

Yang justru membebani pikiranku tak lain dan tak bukan adalah suamiku Mas Bagas! Tiap bulan selalu minta dikirim uang, untuk Saheerlah, untuk modallah, inilah itulah, bahkan saat aku belum gajian pun dia menyuruhku kasbon dulu ke majikan. Meski malu, aku turuti saja keinginan suamiku. Dia selalu membuatku pusing, dan aku sering dihantui mimpi buruk tentang dia. Kulihat di mimpiku dia sama perempuan lain, dan itu terjadi berkali-kali dengan perempuan berbeda dalam mimpi itu. Setiap kutanya padanya jawabnya hanya, "Kamu ga usah mikir macam-macam Esih, kerja aja yang fokus. Aku juga di sini ngembangin usaha demi masa depan kita."

Walau hatiku tak percaya, tetapi aku iya kan saja, sampai suatu hari via telepon, "Esih, anakmu habis sakit. Dia dirawat di rumah sakit dua mingguan, koma selama empat hari. Sekarang ahamdulillah sudah sembuh, hanya tidak boleh kecapean dan sering kena angin." 

Yaa Allah, anakku … airmataku meluncur mendengar penuturan ibuku. 

"Yang kurang ajar ini suamimu, dihubungi susah banget, lagi di laut lah, lagi inilah itulah, eehhh sekalinya datang ke RS, bawa perempuan dan leher nya merah semua bekas kecupan!" tutur ibuku panjang lebar.

"Astaghfirullah alazdim ... yang benar, Bu?" Hatiku berdenyut, rasanya ibuku tak mungkin berbohong soal seperti ini.

"Ngapain Ibu bohong, banyak kok saksi nya. Malahan bapakmu memarahi perempuan itu terus perempuan itu kabur. Eeehh malah disusulin sama suamimu. Ya sudah, anakmu pas keluar dari RS langsung ibu bawa pulang, toh tiap hari juga selalu di bawa ke sini sama Marni ( ibu angkat esih). Sekarang Saheer sama ibu, biar ibu rawat dengan baik."

"Kenapa Ibu ga ngabarin Esih pas Saheer dirawat?"

"Ibu takut kamu kepikiran." 

"Terus gimana keadaan Saheer sekarang, Bu? "

"Alhamdulillah, sudah lebih seger dan mulai lahap makan. Udah kamu ga usah kuatir, ibu akan urus dengan baik." 

"Esih mau dengar suaranya Bu." 

"Nih dengerin," hening sejenak.

Kudengar suara anakku, meski ngomong nya belum jelas tapi aku bahagia. Kerinduanku makin menggebu, ingin lebih dari itu. Aku ingin memeluknya, menciumnya, membelainya, sampai dia nyenyak dalam dekapanku.Tapi ini belum saatnya. 

Setidaknya aku lega Saheer tinggal di rumah ibu kandungku, karena banyak orang yang bisa menjaganya. Di rumah ibu Marni, pasti Saheer dititip ke orang kalau ibu Marni mau kerja, karena beliau seorang janda dan tinggal sendirian. Anak kandung beliau sudah menikah dan ikut suaminya.

Usai menelpon ibu, aku pun menelepon mas Bagas. Menanyakan tentang laporan ibu, meski aku yakin ibu takkan berbohong, tapi aku perlu mendengar dari kedua belah pihak agar aku tidak salah untuk mengambil tindakan. Hem ... dia mengakuinya dan minta maaf padaku, yaa, aku maafkan tapi hatiku menyusun rencana.

          ***********************

Awal bulan berikutnya yakni memasuki tahun kedua, mas Bagas menghubungiku, ia menelponku lewat hp Baba. Ya, aku tidak diijinkan punya hp. Bukan aku saja, hampir semua maid di Saudi memang dilarang menggunakan hp, dikhawatirkan kami akan berkhalawat dengan lelaki. Hal itu hukumnya haram di negeri ini.

"Yaa Esih, ta'aali ... ragem Indunisiy! (Esih, sini ... nomer Indonesia)!" kata Baba.

"Na'am, ya Baba, suwuaya ana jik!(Baik, Baba, sebentar aku datang)!" Sambil kuhampiri dan menerima hp darinya. 

"Ruhi kalami yalaah, u law yuptih! (Pergi bicaralah dan jangan kelamaan)!" titahnya.

"Thayib Baba.(Baik Baba)," jawabku singkat.

********

"Assalamualaikum," sapaku. 

"Waalaikumussalam," Jawab suara di seberang, yang tak lain Mas Bagas 

"Esih, gimana kabarmu?" 

"Alhamdulillah baik Mas, Saheer gimana Mas aku kangen." Buru-buru kutanyakan perihal anakku. Aku tak mau membuang waktu, hal itu akan menyedot banyak pulsa mas Bagas.

"Saheer baik, ada di rumah ibu. Besok aku akan menengoknya"

"Baik Mas, miscall aku kalau Mas lagi sama Saheer."

"Esih, kamu udah gajian 'kan, kok belum kirim?" Astaghfirullah pria ini, bukanya menanggapi ucapanku, malah langsung minta duit. Dengusku dalam hati.

"Belum sempat Mas, baru juga tanggal tiga Mas," jawabku dusta, karena aku sudah berniat tak lagi mengirim uang padanya semenjak dia mengakui perselingkuhannya.

"Tapi aku perlu uang Sih, Saheer juga!". tegasnya.

"Buat apa sih Mas, perlu uang tiap bulan. Saheer juga, harusnya Mas udah bisa nyukupi kebutuhannya 'kan usaha mas udah jalan!" sanggahku cepat.

"Usaha baru berapa bulan, aku masih perlu banyak modal lah," kilahnya.

"Tapi maaf Mas, bulan ini ga bisa soalnya majikan belum ngasih. Aku ga enak nagihnya." 

"Ngapain ga enak, itu 'kan hakmu. Tagihlah!"

"Tapi Mas, eee ... sebenarnya buat apa sih Mas, kan bulan kemaren kata Mas semua sudah beres?"

"Gini sih, ini dirumah kan banyak motor, tapi pintu belakang itu masih pintu lama sudah usang jadi aku pengen ganti pintu besi biar aman."

"Ga perlu dulu lah mas kan banyak orang di rumah, lagian dikunci pasti amanlah." 

"Ya ga semudah itulah."

"Mudah Mas!" bentakku kasar, aku sudah muak dengan mulut manjanya yang pemeras.

"Kamu kok kasar gitu sama suami?" 

"Mas selama ini selalu kasar padaku, apa Mas lupa? Akibat kekasaran Mas, aku berada di sini sekarang!" 

"Esih kamu ... mulai ngelawan ya, kualat nanti kamu!" ancamnya.

"Biarin Mas, aku udh muak! Aku tau Mas, sebenarnya Mas butuh uang bukan buat modal usaha atau apapun demi masa depan kita. Aku tau Mas butuh uang untuk memanjakan perempuan itu kan Mas? Aku juga tau usaha yang Mas bilang itu bukan milikmu, itu milik temanmu dan kamu hanya suruhannya, dan aku juga tau kamu punya hutang 15 juta padanya kan Mas?" cercaku tak memberinya kesempatan menjeda kalimatku.

"Enak aja ngomong kamu!" kelitnya.

"Cukup Mas! Aku udah tau semuanya, aku muak, aku tidak akan kirim uang lagi sama Mas, toh Saheer juga ga pernah Mas urus. Bahkan uang 4 juta yang waktu itu kukirim untuk aqiqah Saheer juga Mas gunakan untuk poya-poya kan! Saheer sampai sekarang belum aqiqah kan Mas? Iyaa kan?"

"Waktu itu karena mendadak ibuku butuh uang, jadi terpaksa aqiqah Saheer ditunda." 

"Enak aja Mas, nunda kewajiban untuk hal yang ga penting!" 

"Jadi ibuku ga penting menurut kamu?"

"Iya, Mas, ga penting!" 

Tut … tut … tut ….

 Kumatikan sambungan telpon.

SMS masuk.

"Kamu pasti sudah diracuni oleh orang tuamu kan? Supaya ga kirim ke aku lagi dan kirim ke mereka, iya kan?! Dasar istri kurang ajar sama suami ngelawan kualat kamu!"

Aku tak mengindahkan Smsnya, segera kukembalikan hp ke Baba.

"Syukran ya, Baba, (Terimakasih Baba)," ucapku seraya menyerahkan hp kepadanya.

"Afwan (Kembali)," jawab Baba datar.

Aku tau semuanya tentang Mas Bagas bukan dari orang tuaku, tapi oleh temen Mas Bagas sendiri yang menjadi bosnya sekarang. Dia meneleponku karena masih menyimpan nomer Baba saat Mas Bagas meminjam hpnya untuk meneleponku, temennya itu menagih hutang Mas Bagas padaku, karena Mas Bagas kalau ditagih selalu bilang belum dapat kiriman dariku. Padahal tiap bulan semua gajiku kukirim padanya, aku hanya menyisakan uang pemberian keluarga majikanku sebagai pegangan. Mas Bagas sudah kelewatan, bahkan aqiqah anaknya pun tidak dilaksanakan demi hawa nafsunya. Temannya itu mengirimkan foto dimana Mas Bagas sedang bersama perempuan, mereka berciuman. Aku jijik melihatnya, segera kuhapus karena malu kalau dilihat majikanku.

Yaa Allah hamba sudah tidak sanggup! Pisahkanlah hamba darinya ya Allah. Tidak ada manfaatnya suamiku itu malah banyak muhdorotnya. Lagipula dia main tangan dan tidak pernah sholat, bukankah itu cukup untuk seorang istri membatalkan pernikahan dengannya dan menuntut kebebasannya. Apalagi dia tidak menafkahiku bahkan aku yang menafkahinya. Yaa Allah pisahkan hamba dengannya hamba mohon.

"Esih, inti ma tanaoum? (Esih, kamu tidak tidur)?" Nyonya mengagetkan lamunanku.

"Lisa, ya Mama (Belum, Mama)," jawabku lirih.

"Naoumi ya Esih, bukrah uwai badri asan neruh Nabq (Tidurlah Esih, besok harus bangun pagi karena kita akan pergi ke Nabq)." 

"Thayib Mama (Baik, Mama)," jawabku patuh.

"Yalah tsobahin ala khair (Ayolah, semoga kau mendapati pagi yang baik)."

"Wainti khair, ya Mama (Demikian juga pagimu baik ya Mama)."

Sepeninggal Mama ke kamarnya, aku masuk kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi, lalu kembali ke kamar. 

Hemmm besok pergi ke Nabq, pasti seru. Biasanya kami akan mampir ke sawah, bermain di sawah sampai sore, di sawah sangat menyenangkan. Apalagi musim dingin begini, biasanya kami akan membuat api unggun dan barbeque. Baiklah mulai sekarang aku akan menyenangkan diriku, aku tidak mau lagi memikirkan suami unfaedah itu.Toh, Saheer sekarang sama ibuku, aku jadi lebih mudah menghubunginya, dan aku bersumpah mulai saat ini, aku tidak akan kirim uang lagi untuk suami lintah darat yang menjadikanku sapi perah! 

Bersambung....

Gimana part ini readers? Esih sudah mulai berani melawan Bagas. Esih tidak mau lagi menjadi wanita lemah yang selalu dimanfaatkan oleh suaminya. Lalu kira-kira apa esih dan Bagas akan bercerai??? 

Nantikan kelanjutannya ya, di part selanjutnya Hamid mulai mengganggu Esih, sebenarnya sejak awal melihat Esih Hamid sudah jatuh hati. Tapi, alih alih mengutarakan perasaan, Hamid malah menggoda Esih yang membuat Esih kesal. Tapi Hamid itu nyebelin dan nggemesin loh ... salam hangat 😘

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status