Share

Mengejek

"Motor Mbak Santi baru lagi ya, Han?" tanya Mas Irfan setelah kami selesai makan malam dan sedang bersantai menonton acara di televisi.

"Iya, Mas. Sebel deh aku sama Mbak Santi." Aku menjawab pertanyaan Mas Irfan dengan cemberut.

"Kenapa lagi, Han? Kamu juga pengen motor baru?" tanya Mas Irfan menggodaku.

"Bukan itu, Mas. Tadi Mbak Santi ke sini pinjam uang sebelum beli motor baru. Aku kira Mbak Santi benar-benar butuh, taunya malah pulang-pulang bawa motor baru. Tahu gitu nggak aku pinjemin uang, Mas," jawabku sedikit jengkel.

"Lha memang Mbak Santi nggak bilang pinjam uang buat apa?" tanya Mas Irfan setelah menyesap teh di tangannya.

"Nggak, Mas. Mbak Santi cuma bilang pinjam uang gitu aja."

"Berarti Mbak Santi nggak salah," ucap Mas Irfan sembari tergelak.

Aku hanya melongo melihat Mas Irfan tertawa, apa ada yang salah dengan jawabanku sehingga Mas irfan tertawa seperti itu?

"Apa sih, Mas? Kok ngetawain aku? Memangnya ada yang salah dengan jawabanku?" Tanganku mencubit pinggang Mas Irfan yang masih saja menertawakanku.

"Aduh! Sakit, Han." Tangan Mas Irfan mengusap pinggangnya yang terkena cubitanku.

"Harusnya kamu tanya Mbak Santi dulu, untuk apa pinjam uangnya. Jika memang mendesak kamu pinjami, tapi jika tidak terlalu mendesak kamu pikirkan terlebih dahulu," ujar Mas Irfan membuatku sadar.

Aku hanya nyengir menanggapi ucapan Mas Irfan. Memang salahku juga terlalu mudah memberikan pinjaman pada Mbak Santi.

"Ya sudah, lain kali kamu pikirkan dulu jika meminjami uang Mbak Santi. Jangan setelah meminjami uang, kamu uring-uringan sendiri," ucap Mas Irfan sembari mengacak rambutku.

"Iya, Mas. Maaf, uang untuk pendaftaran sekolah Ayu, harus berkurang lagi," sahutku menunduk sendu.

"Jangan khawatir, Han. InsyaAllah, nanti akan ada rejeki lagi. Yang penting kita masih bisa bekerja, masalah rejeki sudah ada yang mengatur," ucap Mas Irfan lembut.

"Iya, Mas."

Aku menghela nafas lega, ucapan Mas Irfan memang benar. Apapun yang kita punya patut kita syukuri walaupun sedikit.

Aku bersyukur mempunyai suami seperti Mas Irfan, walaupun kehidupan kami terbilang sederhana. Tapi kami tidak pernah  kekurangan apapun.

Mas Irfan adalah anak tunggal dari emak dan bapak mertua di kampung. Aku menerima lamaran Mas Irfan karena ketulusan hatinya. Aku mencintai Mas Irfan apa adanya, bahkan tidak pernah memandang jika Mas Irfan berasal dari kampung.

Mas Doni juga tak pernah mempermasalahkan dari mana Mas Irfan berasal, yang penting aku bahagia, Mas Doni sudah merestui pernikahanku dengan Mas Irfan.

Akan tetapi tidak dengan Mbak Santi, terkadang Mbak Santi sering meremehkan Mas Irfan. Dia sering membanding-bandingkan Mas Irfan dengan adiknya yang bekerja di sebuah bank di daerahnya.

Kadang telingaku sampai panas jika Mbak Santi sudah memuji-muji adiknya tersebut. Memang pekerjaan Mas Irfan hanyalah guru honorer, dengan gaji yang sangat sedikit.

Namun, Mbak Santi tidak pernah tau jika orangtua Mas Irfan memiliki perkebunan kopi yang sangat luas. Belum lagi peternakan sapi perah yang di wariskan secara turun temurun oleh keluarga Mas Irfan.

Aku pun terkejut dengan fakta tersebut, tidak pernah aku mengira bahwa Mas Irfan yang sederhana ini, memiliki orangtua yang kaya. Dulu saat aku menerima lamarannya aku belum mengetahuinya. Setelah kami menikah aku baru mengetahui fakta tersebut.

Mbak Santi bisa kena serangan jantung jika mengetahui Mas Irfan adalah anak orang kaya walaupun berasal dari kampung. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana ekspresi Mbak Santi saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya.

"Ada apa sih, Han? Senyum-senyum sendiri begitu," tanya Mas Irfan sembari menowel pipiku.

"Nggak ada apa-apa, Mas," jawabku sambil nyengir.

"Ya sudah, sekarang kita tidur yuk. Kasihan Ayu sudah tertidur dari tadi. Mas besok harus berangkat subuh, sudah akhir bulan, Mas harus membayar gaji semua pekerja Bapak," ujar Mas Irfan bangkit dari duduknya dan meraih Ayu ke dalam gendongannya melangkah menuju kamar Ayu.

Aku pun bangkit mengikuti Mas Irfan dari belakang. Setelah Mas Irfan merebahkan Ayu di ranjang, aku menyelimutinya. Lalu kami pun keluar dari kamar Ayu dan beristirahat di kamar kami.

***

Hari ini Mas Irfan sudah berangkat sedari subuh, memang setiap akhir bulan, Mas Irfan akan pulang ke kampung untuk mengurus pembayaran gaji para pekerja yang membantu mengurus perkebunan dan peternakan milik mertuaku.

Aku tidak keberatan dengan apapun yang dilakukan Mas Irfan. Terkadang aku dan Ayu juga ikut Mas Irfan pulang ke kampung halamannya, tapi jika setiap bulan kami ikut, aku kasihan jika nanti Ayu kecapekan.

Matahari sudah mulai meninggi, aku pun bergegas mengumpulkan baju-baju kotor yang akan aku cuci. Aku masih mencuci menggunakan tangan, tidak seperti Mbak Santi yang mencuci dengan mesin cuci yang dibelinya setelah menikah dengan Mas Doni.

Aku memasukkan semua baju-baju yang sudah aku pisahkan ke dalam bak dan mengisinya dengan air. Setelah air penuh aku menuangkan deterjen bubuk. Aku bermaksud merendamnya sebentar agar kotoran-kotoran di baju mudah dihilangkan.

"Eh, lagi nyuci, Han?" tanya Mbak Santi dengan kepala menyembul dari balik pagar tembok pembatas antara rumah kami.

Letak rumah kami memang berdampingan, halaman belakang pun hanya dibatasi tembok setinggi leher orang dewasa.

"Iya, Mbak," jawabku singkat, malas menanggapi Mbak Santi.

"Masih aja nyuci pakai tangan, Han. Minta si Irfan beliin kamu mesin cuci dong, masak beli mesin cuci aja nggak mampu?" ucap Mbak Santi membuat telingaku gatal.

"Bukan masalah nggak mampu, Mbak. Lagian aku masih sanggup nyuci pakai tangan, Mbak. Nanti kalau Ayu sudah sekolah dan aku kerepotan pasti aku minta pada Mas Irfan untuk dibelikan mesin cuci," jawabku dengan sedikit kesal.

"Kalau beli jangan yang bekas ya, Han. Belinya yang kayak punyaku, bagus. Tapi Mbak takutnya Irfan nggak mampu beli, mahal harganya, Han," ucap Mbak Santi meremehkan Mas Irfan.

Tanganku mengucek baju dengan kasar, aku melampiaskan kekesalanku akibat perkataan Mbak Santi yang meremehkan Mas Irfan.

"Han ... Jihan, kamu dengar aku nggak sih?" tanya Mbak Santi.

"Iya-iya, Mbak. Aku dengar dengan jelas," jawabku ketus.

"Kok jawabnya gitu sih, Han? Nggak sopan banget sama kakak iparnya. Males aku kalau kamu sudah sewot gitu, lebih baik aku siap-siap berangkat arisan di rumah Bu RT." Mbak Santi pun menghilang dari pandanganku.

Hatiku benar-benar geram dengan kelakuan Mbak Santi. Kadang-kadang ingin sekali aku memberi pelajaran pada Mbak Santi yang suka mengejekku itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status