Share

DIREMEHKAN IPAR
DIREMEHKAN IPAR
Penulis: Uci ekaputra

Pinjam Uang

"Kamu punya simpanan uang nggak, Han? Mbak pinjam lima ratus ribu kalau ada," tanya Mbak Santi begitu masuk ke dalam rumahku tanpa mengucapkan salam.

"Ada sih, Mbak. Tapi ini simpanan untuk bayar sekolah Ayu, Mbak," jawabku membuat mata Mbak Santi berbinar.

"Ya sudah, Mbak pinjam dulu. Nanti kalau mau bayar sekolah Ayu, kamu bilang Mbak dulu," ucap Mbak Santi sambil menengadahkan tangan.

Aku berpikir sejenak, untuk apa lagi Mbak Santi meminjam uang dariku? Jika tidak aku pinjami pasti Mbak Santi akan marah.

"Baiklah, Mbak. Tapi nanti harus ada waktu bayar sekolah Ayu ya, Mbak?" tanyaku ragu untuk meminjami uang Mbak Santi.

"Iya-iya, Han. Kamu kan lihat sendiri usaha Mas Doni lagi bagus-bagusnya. Nanti kalau Mas Doni sudah kasih Mbak uang, pasti akan aku ganti uangmu."

Aku melangkah dengan enggan menuju kamar untuk mengambil uang yang akan dipinjam Mbak Santi.

Begitu masuk ke dalam kamar, aku bergegas membuka laci lemari dan mengambil lima lembar uang seratus ribuan. Rencananya uang ini memang untuk membayar biaya pendaftaran Ayu yang akan memasuki TK.

Aku menghela nafas pelan, bukan aku tidak mau meminjami Mbak Santi uang, tapi Mbak Santi terlalu sering meminjam uang padaku. Padahal usaha Mas Doni bisa dibilang lancar dibandingkan dulu. Bahkan sudah berkembang pesat.

Mas Doni adalah saudaraku satu-satunya. Kami memang hanya dua bersaudara. Orangtua kami pun sudah meninggal karena kecelakaan saat aku masih duduk di bangku SMP, sehingga usaha yang dirintis orangtua kami dilanjutkan oleh Mas Doni.

Orangtua kami mewariskan sebuah toko kain yang lumayan besar. Dulu sewaktu Mas Doni belum menikah dengan Mbak Santi, dia selalu memberikan lima puluh persen keuntungan penjualan padaku. Tapi semenjak Mas Doni menikah, aku hanya diberikan sepuluh persen dari keuntungan penjualan.

Aku tidak pernah mengeluh untuk itu, karena memang Mas Doni lah yang mengelola toko itu sepenuhnya. Aku tidak pernah membantu apapun, karena setelah lulus kuliah aku langsung dilamar oleh Mas Irfan.

Dengan langkah malas aku keluar dari kamar. Tampak wajah Mbak Santi tersenyum semringah.

"Ini Mbak, jangan lupa dikembalikan waktu pendaftaran Ayu ya, Mbak?" ucapku sembari menyodorkan uang yang akan dipinjam Mbak Santi.

"Iya-iya, jangan takut nggak Mbak kembalikan. Lihat tuh, usaha Masmu makin berkembang," sahut Mbak Santi sembari meraih uang yang aku sodorkan dengan tidak sabar.

Aku menggelengkan kepala melihat tingkah Mbak Santi. Aku heran kenapa bisa Mas Doni yang baik hati mendapatkan istri seperti Mbak Santi.

"Ya sudah, Han. Mbak pamit dulu." Mbak Santi pergi tanpa mendengar jawaban dariku.

Aku kembali meneruskan pekerjaanku yang tertunda karena kedatangan Mbak Santi.

***

"Bu ... Ibu," panggil Ayu sembari berlari dari luar rumah.

Aku menoleh begitu melihat sosok Ayu yang hendak menghampiriku. Kuletakkan kue yang sudah aku kemas di atas meja. Sebagai kesibukanku di kala jenuh, aku menerima pesanan kue dari para tetangga.

"Ada apa lari-lari, Sayang?" tanyaku menyambut kedatangan putriku.

Ayu menghambur ke dalam pangkuanku, dia merebahkan kepalanya di pundakku.

"Ibu tahu nggak, kalau Budhe Santi baru saja membeli motor baru? Motornya bagus deh, Bu. Kapan ya, ayah bisa membelikan motor seperti punya Budhe Santi?" tanya Ayu dengan wajah polosnya.

Aku mengulum senyum menanggapi pertanyaan Ayu, tanganku mengelus puncak kepalanya dengan lembut.

"Nanti ya, Nak. Kalau ayah ada rejeki lebih, InsyaAllah ayah pasti akan membelikan Ayu motor baru," ucapku menghibur Ayu.

"Bener ya, Bu? Pokok nanti kalau ayah jadi beli motor baru, Budhe Santi juga nggak boleh pegang-pegang."

"Lho kok gitu? Memangnya kenapa kok Budhe Santi nggak boleh pegang-pegang?" tanyaku penasaran.

"Habis, tadi Ayu pegang motor sedikit saja sudah dimarahi sama Budhe. Tangan Ayu kan bersih, Bu," jawab Ayu membuatku sedikit terkejut.

"Masak sih Budhe gitu?" tanyaku tidak percaya dengan ucapan Ayu.

"Iya, Bu. Lihat nih, tangan Ayu sampai merah dipukul Budhe gara-gara pegang motornya," jawab Ayu sembari memperlihatkan tangannya yang sedikit memerah.

Aku geram dengan sikap Mbak Santi yang memukul Ayu hanya karena masalah sepele. Aku menyesal telah meminjamkan uang padanya.

Segera kuambil ponsel untuk menelfon Mbak Santi. Tapi sebelum menelfon Mbak Santi, mataku berbelalak melihat status WA yang baru saja diunggah Mbak Santi.

Status WA dengan foto sebuah motor dan bertuliskan [Alhamdulillah, akhirnya bisa membeli motor impian. Yang tidak bisa jangan sirik, ya! Apalagi pegang-pegang.] diakhiri dengan emot tertawa.

Aku mengelus dada melihat status Mbak Santi, bisa-bisanya dia tadi meminjam uang padaku, jika dia akan membeli montor.

Seharusnya uangnya banyak jika dia mampu membeli montor, aku benar-benar menyesal telah meminjamkan uang pada Mbak Santi jika kenyataannya seperti ini.

Segera kucari nomer ponsel Mas Doni dan menghubunginya.

"Assalamu'alaikum, Han. Ada apa menelfon Mas?" tanya Mas Doni begitu panggilan telfon tersambung.

"Wa'alaikum salam, Mas. Jihan cuma mau tanya, Mas. Mbak Santi beli motor baru lagi?" tanyaku pada Mas Doni.

"Masak sih, Han? Mana mungkin beli motor baru, Han. Penjualan lagi menurun, nggak mungkin Mas bisa kasih uang untuk beli motor Mbakmu," jawab Mas Doni.

"Oh, ya sudah, Mas. Jihan cuma mau tanya itu saja kok. Kalau begitu Jihan tutup dulu, Mas." Aku pun mengakhiri panggilan.

Aku semakin heran dengan Mbak Santi, uang dari mana sampai Mbak Santi bisa membeli motor baru.

"Apa mungkin, Mbak Santi mengambil motor secara kredit?" gumamku pelan.

Ah sudahlah, aku tidak perlu memikirkan apa yang dilakukan Mbak Santi. Yang penting nanti saat aku butuh uang, aku akan menagih Mbak Santi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status