Share

Sedikit Pelajaran

Setelah selesai mencuci baju, aku berencana untuk berbelanja bahan-bahan untuk membuat kue pesanan Ibu Dina untuk acara nanti malam.

Aku bersiap mengganti pakaianku yang basah saat mencuci tadi. Setelah berganti baju, aku mengambil dompetku dan berjalan keluar rumah.

"Mau kemana, Bu?" tanya Ayu yang sedang bermain di depan halaman rumah bersama temannya.

"Mau ke toko Bu Inah sebentar, Nak. Ayu mau ikut?" Aku mendekati Ayu dan mengelus rambutnya.

Ayu nampak berpikir, sepertinya dia bimbang antara ingin ikut denganku atau meneruskan bermain dengan temannya.

"Ayu di rumah saja deh, Bu. Kasian Dewi kalau Ayu ikut Ibu," jawab Ayu sembari meneruskan permainannya.

"Ya sudah, kalau bermain yang rukun, jangan sampai berantem. Ibu pergi belanja sebentar."

Ayu membalas ucapanku dengan menganggukkan kepala tanpa melihat ke arahku. Dia sedang asyik bermain dengan Dewi. Aku mengulum senyum melihat mereka bermain.

Aku pun bergegas melangkahkan kaki menuju toko Bu Inah. Jarak toko Bu Inah memang tidak terlalu jauh, jaraknya hanya tiga ratus meter dari rumah. Aku tidak mengendarai motor karena dipakai oleh Mas Irfan pulang kampung.

Kami memang hanya memiliki satu motor sebagai transportasi kami, karena memang belum terlalu butuh jika harus membeli yang baru. Mungkin nanti kalau Ayu sudah masuk sekolah, Mas Irfan berencana membeli motor matic supaya aku mudah mengantar jemput Ayu ke sekolah.

"Han, kok jalan kaki aja? Mau kemana?" teriak Mbak Santi dari teras rumahnya.

Aku pun berhenti dan menolehkan kepala padanya, kulihat Mbak Santi dengan teman-temannya sedang bersiap untuk pergi dengan dandanan yang menurutku sedikit berlebihan. Mereka kelihatan seperti toko emas berjalan saja.

"Hanya ke toko Bu Inah, Mbak," jawabku seadanya.

"Kok nggak pakai motor, kan jauh?" tanya Mbak Santi sembari mengelus-elus motor barunya.

"Dekat kok, Mbak. Lagian motornya lagi dipakai Mas Irfan ke rumah Emak."

"Makanya, bilang sama Irfan suruh belikan kamu motor baru. Nggak kasian apa sama istrinya, kemana-mana harus jalan kaki. Kayak aku gini dong, mau pergi-pergi tinggal gas, nggak usah capek-capek jalan kaki," ujar Mbak Santi cekikikan dengan teman-temannya.

Aku mengepalkan tangan geram dengan ucapan Mbak Santi. Pengen kusumpal mulutnya yang suka meremehkan Mas Irfan. Jika saja tidak mengingat dia istri Mas Doni, tentu sudah kuajak gelut dari kemarin-kemarin.

"Aku masih kuat jalan kok, Mbak. Jadi nggak perlu kemana-mana tinggal gas, nambah-nambahin polusi udara saja," balasku jengkel dengan ucapan Mbak Santi.

"Bilang saja suamimu itu tidak mampu membelikanmu motor baru. Atau kamu mau nyoba motor baru, Mbak? Biar kamu nggak penasaran gimana rasanya naik motor baru," ucap Mbak Santi sembari menyunggingkan senyum dengan sombong.

"Motor boleh baru, Mbak. Tapi kalau sukanya ngutang nggak malu, tuh!" sahutku sambil ngeloyor pergi melanjutkan langkahku menuju warung Bu Inah.

Nampak terdengar suara Mbak Santi menggerutu dan menyumpahi aku karena membongkar sifatnya yang suka ngutang di depan teman-temannya.

Aku tertawa ketika sempat melihat ekspresi wajah Mbak Santi yang nampak memerah, seperti menahan malu.

Biar sekali-kali Mbak Santi rasakan akibat mulut nyinyirnya itu. Memangnya hanya dia yang bisa nyinyir. Tunggu saja pelajaran dariku, aku pun tertawa jahat membayangkannya.

Aku berjalan sembari tersenyum-senyum sendiri, menyusun rencana untuk menyadarkan Mbak Santi.

"Kok senyum-senyum sendiri, Mbak Jihan?" tanya Bu Inah saat melihatku.

Tanpa terasa aku sudah sampai di toko Bu Inah, aku jadi malu sendiri karena kepergok sedang senyum-senyum sendiri.

"Ah, nggak ada apa-apa, Bu. Cuma kepikiran hal lucu saja," jawabku sembari mengeluarkan catatan belanjaku dari dalam dompet.

"Oalah, tak kira ada apa, Mbak. Mau belanja apa, Mbak Jihan?" tanya Bu Inah dengan ramah.

Bu Inah adalah wanita paruh baya yang mempunyai toko paling lengkap di area rumahku, apalagi harga di sini memang sedikit terjangkau di banding toko-toko lainnya.

Aku memang lebih senang belanja di toko Bu Inah daripada harus jauh-jauh ke minimarket yang harganya jauh lebih mahal.

"Saya mau belanja bahan-bahan kue, Bu. Ini daftar belanjanya." Aku menyodorkan kertas yang berisi daftar barang yang akan aku beli.

"Oh, iya. Mbak Jihan tunggu dulu sebentar, Ibu ambilkan barang-barangnya," ucap Bu Inah sembari menerima kertas yang aku sodorkan.

"Iya, Bu," sahutku.

Bu Inah pun mulai mengambil barang-barang yang aku butuhkan. Setelah semua terkumpul, Bu Inah dengan cekatan menotal semua barang belanjaku dan memasukkannya ke dalam kantong kresek.

"Total belanja Mbak Jihan semuanya dua ratus tujuh puluh ribu, Mbak. Ini catatannya," ucap Bu Inah setelah selesai menotal belanjaku.

Aku segera mengambil uang dari dompet dan menyerahkan tiga lembar uang seratus ribuan pada Bu Inah, "Ini uangnya, Bu."

"Alhamdulillah, Ibu seneng kalau Mbak Jihan belanja," ujar Bu Inah sembari menerima uang dariku.

"Memangnya kenapa, Bu? Bukannya orang belanja sama saja, ya?"  tanyaku sedikit heran dengan ucapan Bu Inah.

"Nggak semua pembeli sama, Mbak. Apalagi Mbak Santi, iparnya Mbak Jihan itu, sukanya ngutang terus. Kalau Ibu tagih, ujung-ujungnya Mbak Santi marah dan mengancam tidak mau beli di toko Ibu lagi. Ibu ini hanya orang kecil, Mbak. Untung penjualan di toko juga hanya cukup untuk makan sehari-hari. Duh maaf ya, Mbak, Ibu jadi ngomongin ipar Mbak Jihan," ucap Bu Inah nampak merasa tidak enak padaku.

"Tidak apa-apa, Bu. Yang sabar, Bu, semoga rejeki Bu Inah semakin dilapangkan setelah kesabaran Bu Inah selama ini," sahutku merasa simpati pada Bu Inah.

"Aamiin. Terima kasih, Mbak Jihan."

"Kalau begitu saya pamit pulang, Bu. Kasihan Ayu di rumah sendiri."

"Oh iya, ini kembaliannya, Mbak. Terima kasih banyak, Mbak Jihan," ucap Bu Inah sembari menyerahkan uang kembalian kepadaku.

"Sama-sama, Bu. Saya pamit dulu, Bu." Aku pun beranjak pergi dengan menenteng belanjaan.

Kulangkahkan kaki menuju rumah dengan cepat, aku takut Ayu nanti mencariku jika sudah bosan bermain dengan temannya.

Dari kejauhan netraku memandang rombongan Mbak Santi yang juga melaju menuju ke rumah Mbak Santi. Mereka menenteng kantong kresek dengan logo nama supermarket terkenal.

Aku mempercepat langkah sebelum rombongan Mbak Santi masuk ke dalam rumah. Setelah sampai di depan rumah Mbak Santi, aku berteriak memanggil nama Mbak Santi, "Mbak Santi!"

Mbak Santi berbalik, menolehkan kepalanya padaku. Dengan mulut mencebik dia hendak mendatangiku.

"Sudah, Mbak, nggak usah kemari. Aku cuma mau bilang, Mbak Santi di cari Bu Inah. Katanya suruh lunasin utang Mbak Santi!" teriakku membuat muka Mbak Santi memerah.

Teman-teman Mbak Santi saling berbisik mendengar teriakanku. Aku mengulum senyum telah berhasil membuat Mbak Santi salah tingkah.

"Kurang ajar kamu, Han! Tega-teganya membuat Mbak malu di depan teman-temanku," ujar Mbak Santi mencoba mendekatiku.

Aku pun langsung berlari pulang ke rumah begitu melihat Mbak Santi murka.

"Awas kamu, Han! Aku akan mengadu pada Mas Doni karena kamu sudah kurang ajar padaku!" teriak Mbak Santi.

Aku segera masuk ke dalam rumahku dan menguncinya, nafasku terengah-engah karena lelah berlari. Puas sekali rasanya mengusili Mbak Santi.

"Ada apa, Bu?" tanya Ayu yang muncul dari kamarnya bersama Dewi.

"Nggak ada apa-apa, Nak. Ayu teruskan saja mainnya, Ibu mau membuat kue pesanan pelanggan dulu," ucapku sembari melangkah menuju dapur.

Aku pun mengeluarkan semua barang belanjaanku dan mulai berkutat membuat kue. Membuat kue hanyalah sekedar hobi yang aku salurkan, Mas Irfan tidak pernah menyuruh ataupun melarangku menerima pesanan kue yang datang dari para tetangga, selama aku mampu mengerjakannya dan tidak sampai membuatku kuwalahan. Hingga aku tidak bisa menjaga dan mengurus Ayu dengan baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status