Laura sama sekali tak memberikan senyum saat kembali bertemu dengan mantan kekasih yang tadi menghubunginya, dan juga mantan sahabatnya.
"Ini undangan pertunangan aku dan Emily, bukankah lebih baik melupakan semuanya dan anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa?" ujar Rey dengan santai.
Laura tertawa kecil ketika mendengar ucapan dari Rey, terlebih melihat pria itu tak menunjukkan rasa bersalah di wajahnya.
Laura pun mengambil undangan di hadapannya, dan langsung merobeknya.
"Justru, bukannya kubilang semua sudah berakhir? Untuk apa aku menerima undangan dari sampah macam kalian?" tanya Laura, tatapannya semakin tajam ke arah Emily.
Plak.
Emily menampar keras wajah Laura, sehingga membuat darah segar keluar dari sudut bibirnya.
Laura tidak membalasnya sama sekali, ia hanya tersenyum ke arah Emily. "Kenapa marah? Apa kamu merasa apa yang kukatakan adalah benar?"
"Heh, Laura! Jaga ucapan kamu ya!" teriak Emliy.
Rey berdiri dari tempat duduknya dan mencoba menenangkan Emily.
"Aku mengundang kamu datang ke sini itu dengan maksud dan tujuan yang baik, Laura!" tegas Rey ke arah Laura.
"Apa jangan-jangan kamu belum move on dari Rey, ya?" tanya Emily.
Laura hanya tertawa kecil kala mendengar pertanyaan dari wanita itu. Untuk apa ia masih berharap banyak dari pria yang mengkhianatinya?
"Emily, maaf ya. Tapi, aku bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada dia," tunjuknya ke arah Rey.
"Benarkah? Kalau begitu, nanti datang ke pernikahan kami, tapi bawa tuh pacar baru yang kamu banggakan itu! Buktiin kata-kata kamu sendiri!"
Seketika, Laura merasa bodoh, karena ia hanya mengucap hal itu untuk terlihat lebih kuat dari keduanya saja. Tapi, Laura bahkan tak punya siapa-siapa saat ini.
Tak ingin terlihat kalah, Laura menatap Rey dan Emily dingin, "Baik, jika itu yang kalian mau."
Tanpa menunggu lama, Laura langsung melangkah pergi dari sana, berjalan tanpa arah dengan tatapan kosong.
Semuanya telah berakhir. Jika ingin mengatakan sejujurnya, ia masih menaruh hati kepada Rey.
Laura tahu ia bodoh, karena bisa-bisanya dirinya masih berharap pria itu berubah, dan kembali bersama dengannya. Tapi kini, semua itu hanyalah mimpi baginya.
Langkah kakinya terhenti di bawah hujan deras, Laura duduk termenung menatap danau yang tenang.
"Aku sudah hancur. Kehilangan orang yang aku cinta dan juga kehilangan mahkotaku, aku tidak lagi disebut sebagai wanita baik-baik," ujar Laura.
Laura menangis tanpa mengeluarkan suara, ia harus mengakhiri semua ini dan berharap tidak ada lagi sedikitpun perasaan kepada Rey.
Tidak jauh dari taman, terlihat Sean yang berada di dalam mobil sambil menatap ke arah Laura.
"Apakah sebesar itu rasa sayang Laura kepada Rey?" tanya Sean.
Sejak Laura keluar dari kantor, Sean membatalkan semua pertemuan hanya untuk mengikuti Laura.
Ia ingin tahu, apakah Laura masih punya hubungan dengan adiknya atau tidak, tetapi ia hanya bisa melihat Laura menangis di bawah derasnya hujan tanpa bisa menolongnya.
"Maaf Tuan, apakah wanita itu begitu spesial di hati Tuan, sampai Tuan Sean terus mengikutinya tanpa henti?"
Sesungguhnya, Sean ingin menanyakan pertanyaan yang sama kepada dirinya sendiri. Rasa bersalah dan rasa tertariknya kepada Laura, membuat Sean susah untuk mengatakan apakah Laura spesial atau tidak di dalam hatinya.
Karena lama menangis dan seluruh tubuhnya kedinginan karena basah terkena hujan, hal itu membuat kepala Laura begitu merasa pening.
Tidak berapa lama Laura terjatuh dan tak sadarkan diri. Sean yang melihat itu pun panik. Tanpa menggunakan payung, Sean berlari ke arah Laura dan mengangkat tubuh mungilnya.
Sean dapat melihat dengan jelas bekas merah pada tubuh Laura, ia kemudian menutupinya kembali dan membawa Laura ke mobil.
"Antarkan dia ke rumah pribadi saya dan biarkan kepala pelayan menggantikan pakaiannya, katakan juga kepada kepala pelayan untuk tidak mengatakan apapun jika melihat sesuatu pada tubuhnya!" tegas Sean.
Sopir mengikuti apa yang dikatakan oleh Sean, karena perintah pria tersebut adalah hal utama yang harus dia lakukan.
Sean masih menatap kepergian Laura sampai mobilnya sudah tidak terlihat lagi, kemudian ia menaiki mobil yang tidak jauh dari keberadaannya.
"Dua hari lagi acara pertunangan Tuan Rey, apakah Anda tidak berniat datang?" tanya asisten Rey yang duduk di sampingya.
Seketika Sean terdiam. "Untuk apa? Memangnya dia masih kuanggap keluarga?" tanyanya.
Sean memutuskan untuk pergi dari rumah semenjak ibunya meninggal, dan dikhianati oleh cinta pertamanya. Wanita yang sejak awal ia cintai itu memilih menikah dengan ayah Sean sendiri.
Sejak saat itu, Sean menganggap semua wanita hanya menginginkan uang dan mempermainkan setiap wanita di dunia malam.
Tetapi berbeda dengan Laura, wanita itu tidak mengambil uang yang ditaruh oleh Sean di atas nakas untuk mengkompensasi perbuatannya, sehingga membuat Sean semakin penasaran dengannya.
Sean sudah menghancurkan kehidupan Laura, kini ia siap tanggung jawab jika sesuatu terjadi kepada Laura.
"Tuan, apakah Anda tidak ingin menggantikan pakaianmu lebih dulu?"
Sudah 30 menit Sean terdiam di depan kediaman pribadinya dengan pakaian yang masih basah, ia ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh Laura di dalam sana.
Ia tidak ingin pergi sebelum memastikan bahwa Laura sudah sadar, lima menit yang lalu kepala pelayan menelfon dan mengatakan bahwa Laura belum sadar.
Di dalam rumah, tepatnya di sebuah kamar yang mewah, Laura baru saja tersadar dari pingsannya.
"Aduh sakit." Tangannya bergerak memegang kepalanya yang sakit.
Tetapi beberapa saat kemudian Laura tersadar dan pandangannya menatap ke seluruh kamar yang bernuansa hitam putih.
Laura terkejut dan langsung memegang pakaiannya. "Siapa yang menggantikan pakaianku dan di mana aku?"
Ia begitu takut hal yang sama terulang kembali. Tetapi kali ini hanya pakaiannya yang berubah, selain itu Laura merasa seluruh tubuhnya baik-baik saja.
"Nona sudah sadar?"
"Siapa kamu!" Suaranya sedikit keras dan terdengar ketakutan. "Jawab!" teriaknya kembali.
"Nona tenang dulu. Nama aku Sri, aku bertugas di rumah ini sebagai kepala pelayan dan aku juga yang telah menggantikan pakaian Nona," jelasnya.
'Apakah dia melihat semua tanda di tubuhku?' batin Laura.
Sri memberikan secangkir teh hangat. "Minumlah, agar tubuh dan pikiran Nona jauh lebih tenang."
'Kenapa dia tidak mengatakan apapun, apakah dia tidak melihatnya?' tanya Laura.
Ketika Laura mencicipi teh yang ditawarkan untuknya, pikirannya jauh lebih tenang dan tubuhnya merasa segar.
"Ini adalah teh asli yang dikirim dari Jepang, manfaat teh ini untuk membuat pikiran kita jauh lebih tenang."
Laura menganggukkan kepalanya. "Maaf, tapi ini rumah siapa ya?"
"Maaf Nona, kami tidak bisa membocorkan identitas pemilik rumah ini tanpa seizinnya," jelas Sri.
"Baiklah, tolong ucapkan terima kasihku kepadanya, aku harus segera pergi."
Di tempat lain, Sean dapat mendengar percakapan antara Sri dan juga Laura, ia meminta kepada Sri untuk menahan Laura agar makan malam di rumahnya.
Tetapi Sean dikabari bahwa Laura menolak makan malam bersama, dengan alasan bahwa ia tidak bisa makan di rumah orang yang belum ia kenal.
Sean terdiam sesaat, ia kemudian mengambil kunci mobil dan keluar dari apartemen menuju ke parkiran mobil.
Sementara itu, Sri baru saja memberikan pakaian milik Laura yang sudah dibersihkan, ia juga memakaikan syal ke leher laura.
"Waktu aku melepaskan pakaianmu, aku menggantikan pakaianmu dengan mata tertutup," jelas Sri.
Kini Laura dapat bernafas legah, ia mengambil semua pakaiannya dan berjalan keluar dari kamar.
"Mau ke mana kamu?"
Laura berbalik dan terkejut menatap Sean. "Pak Sean!"
Keterangan dari dokter membuat Laura terdiam, karena hampir saja ia kehilangan bayinya."Kesehatan kamu begitu penting. Karena jika kesehatan kamu menurun, maka dipastikan bayi di dalam kandungan kamu tidak akan baik-baik saja," ujar dokter.Laura hanya terdiam. Ia terlalu memikirkan hubungannya dengan Sean, sampai melupakan bahwa dirinya sedang tidak sendiri.Setelah dokter keluar, Laura menatap ke arah Raisa. "Tolong tinggalkan aku sendiri, karena saat ini aku benar-benar ingin sendiri," pintanya.Tatapannya beralih ke tangan yang digenggam erat oleh Raisa. "Jangan memikirkan apapun, aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa."Walaupun baru pertama kali bertemu, tetapi Raisa sudah menganggap Laura sebagai saudaranya sendiri.Setelah Raisa keluar, Laura turun dari kasur dan menatap pantulan dirinya di cermin. "Maafkan aku, belum bisa menjaga dirimu baik-baik."Tangannya bergerak mengelus perut yang perlahan mulai membesar, ia selalu merasa merasa bersalah kepada anak yang masih belum diteri
Ruangan makan terlihat begitu sepi, hanya ada beberapa karyawan dan OB yang tersisa, karena sudah pergantian sift.Dikarenakan staf OB yang masih kurang, membuat mereka harus bekerja full selama satu hari dan dihari berikut mereka akan libur.Malam sudah larut, Laura dan Raisa ke kantin perusahaan dan bersiap untuk makan malam.Tetap ia berlari dan bersembunyi ketika melihat Emily, rambutnya yang basah dan terlihat jelas bahwa dirinya baru selesai mandi."Apakah aku harus mengakhiri semua ini? Apakah sudah saatnya aku melupakannya, tetapi begitu berat menerima semua yang telah terjadi.""Apakah dia tidur dengan suamimu?" tanya Raisa.Saat melihat Laura bersembunyi, Raisa juga ikut bersembunyi bersamanya, bahkan ia juga menatap Emily yang asyik mengambil makanan sambil tersenyum.Laura terdiam cukup lama hingga sentuhan dari tangan Raisa membuatnya sedikit terkejut.Hembusan nafas berat terdengar dari arah Laura. "Ada apa?" Raisa kembali memberikan pertanyaan yang sama."Aku bingung ha
Ternyata bukan awal yang baik untuk pekerjaan barunya, ini adalah awal yang buruk.Laura memang diterima baik oleh rekan kerjanya, tetapi tempatnya bekerja begitu melelahkan.Ia harus melayani tamu yang menelfonnya setiap menit, bahkan tidak memberikannya waktu untuk beristirahat."Laura, kamar 601, tolong bersihkan kamar mandinya!"Ingin membantah tetapi hal itu tidak mungkin ia lakukan, karena ini hari pertamanya bekerja.Tubuhnya menegang ditempat, ketika melihat pria yang begitu ia cintai berjalan masuk ke kamar 601 dengan wanita yang ia kenal.Tubuhnya lemas, kepalanya terasa begitu pening. "Laura, kamu baik-baik saja?"Robert ketua OB yang baru saja keluar dari ruangan, terkejut melihat Laura yang hampir terjatuh."Aku baik-baik saja, terima kasih pak."Dengan langkah pelan dan tubuh yang masih gemetar, Laura mencoba untuk melangkah maju ke depan.Salivanya susah untuk ditelan, ia mencoba untuk bertahan dan melihat apa yang mereka lakukan.Tetapi ia tidak bisa masuk hingga sampa
Keduanya duduk saling menatap satu sama lain, tetapi berbeda dengan tatapan dari Diandra."Kamu hamil?" tanya Diandra.Laura benar-benar merasa sial, ia tidak pernah berpikir akan bertemu dengan Diandra di tempat kerjanya."Anak Sean? Atau anak orang lain?"Jantungnya berdetak jauh lebih cepat, ia tidak mungkin menjawab bahwa bayi yang berada di dalam perutnya adalah anak orang lain."Aku punya sebuah cerita. Waktu itu aku ingin mengatakannya, tetapi dicegat oleh Sean," jelas Diandra.Ekspresi wanita cantik itu berubah menjadi serius, menunggu ucapan selanjutnya dari wanita di hadapannya."Tahukah kamu, kenapa Sean tidak pernah melupakanku, karena anaknya pernah ada di rahimku!" tegasnya.Seketika Laura merasa dunianya runtuh, ia tidak pernah menyangka dengan ucapan yang keluar dari mulut Diandra.Wanita di hadapannya itu tertawa. "Kamu pasti tidak percaya dengan apa yang aku katakan, benar?""Jelaskan saja apa yang ingin kamu katakan, Diandra!"Diandra mengatakan, bahwa anak yang ber
Pagi yang begitu cerah dan awal yang indah bagi Laura untuk memulai aktivitasnya.Hari ini adalah hari pertamanya untuk masuk kerja, ia bangun lebih awal dan mempersiapkan diri untuk menghadapi semua rekan kerja di tempat yang baru."Aku nggak pernah meminta dan berharap yang lain, aku hanya berharap agar semua orang di tempat kerjaku dapat menerima aku apa adanya.Laura melangkahkan kakinya keluar dari kontrakan dan berjalan menuju ke tempat kerja.Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, ia tiba di tempat kerjanya yang baru.Terlihat seorang wanita cantik yang sedang menatap ke arahnya sambil tersenyum ramah ke arahnya."Laura?" tanyanya.Anggukkan kepalanya pelan. "Iya, saya Laura.""Hai, nama saya Sinta dan saya sebegai menejer di sini," jelasnya.Tanpa menunggu lama Laura langsung membalas jabatan tangan dari atasannya."Mari, ikut saya ke ruangan."Selama langkah kakinya menuju ke ruangan sang atasan, ia bertegur sapa dengan para karyawan yang sudah tiba lebih dulu."Saya sudah m
Beberapa hari setelah keluar dari kantor, Laura benar-benar menjalani hari-harinya sendiri tanpa ditemani oleh sang kekasih.Kekasihnya kemarin pergi dinas ke luar kota selama dua minggu dan hari ini Lauren memutuskan untuk pindah apartemen dan benar-benar menghilang dari kehidupan Sean.Mungkin di saat seperti ini ia harus belajar untuk melupakan kekasihnya, karena hanya dengan begitu Sean bisa menemukan wanita yang jauh lebih baik darinya."Maaf, di mana barang yang akan kami bawa?" Laura memesan tim pengangkut barang karena ia akan memindahkan semua, barangnya ke apartemen yang baru.Kemarin saat dirinya ingin menghilang dari Sean, tetapi pria tampan itu malah menemukannya dengan sangat mudah.Laura benar-benar lupa, bahwa kekasihnya itu memiliki bisnis lain selain mempunyai perusahaan yang besar."Semua ini!"Ia melangkah keluar dan akan meninggalkan apartemen yang memberikannya banyak kenangan.Laura hanya akan menitipkan kunci apartemen kepada satpam, karena ia sudah mengetahui