Tepat pukul 7 malam menu habis hanya ada beberapa menu yang masih tersedia. Aku memilih menutup resto lebih awal melihat semua karyawan nampak kelelahan. Biasanya resto tutup jam 10 malam.
"Nad, kita tutup resto lebih cepat saja. Bahan mentah sebagian habis," ucapku ke Nadia."Kamu benar, Ai. Bahan-bahan nanti malam dikirim," jawab Nadia."Nggak nyangka resto makin rame, Nad. Berkat kamu yang mengelolanya," pujiku."Hari ini ramai sekali karena pemilik resto kembali lagi, Ai. Sebenarnya kedatangan kamu membawa hoki, Ai. Kayanya bakal ada yang buka cabang resto lagi, nih," sindir Nadia."Aamiin, semoga saja aku bisa membuka cabang lagi, ya, Nad."Aku, Nadia dan Karyawan lain sudah menutup resto. Karyawan telah bersiap-siap untuk pulang, sebelum mereka pergi tidak lupa aku memberikan bonus ke mereka lima lembar uang berwarna merah. Seketika wajah semua karyawan berubah sumringah."Terima kasih, Mbak Aira. Semoga saja rejeki Mbak Aira selalu lancar dan resto semakin ramai," ucap Laras."Aamiin." Serentak semua orang di dalam resto mengamini doa Laras.Mereka satu persatu pamit pulang tinggal aku dan Nadia masih di resto menunggu Mas Sean. Aku sudah mengirim pesan, sebentar lagi Mas Sean sampai ke resto.Sepuluh menit menunggu terlihat mobil Mas Sean memasuki parkiran resto. Dinding resto sebagian dari kaca tembus pandang, dari dalam kita bisa melihat pemandangan di luar sedangkan dari luar tidak bisa melihat dari dalam. Sengaja agar privasi pelanggan resto terjaga.Mas Sean memasuki pintu resto, pria itu sangat tampan bahkan sahabat disampingku mulutnya melongo melihat Mas Sean mendatangi kami."Sean ganteng sekali, Ai," bisik Nadia sembari menyenggol lenganku."Hai, Aira, Nadia. Maaf, ya menunggu lama," sapa Mas Sean seraya mengembaskan diri di kursi tepat di depan kami yang terhalang meja."Santai saja, Sean," sahut Nadia malu-malu.Aku terkikik geli melihat sahabatku salah tingkah, wajah cantiknya merona seperti tomat yang sudah masak. Mungkin kah Nadia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Mas Sean, jika memang benar aku akan mendukung mereka. Semoga Nadia bisa melupakan trauma tentang pernikahan."Apa yang ingin kamu kata, kan, Mas?" tanyaku tanpa basa-basi.Mas Sean membenarkan posisi duduknya lalu menatapku intens membuatku jadi salah tingkah."Aira, sebenarnya yang memberikan cincin itu adalah aku bukan Aksa," ungkapnya lugas.Aku terpekik kaget mendengar pengakuan Mas Sean. "Cincin, Mas?" tanyaku mengulang."Apa kamu ingat, malam itu kita janjian? Sebenarnya aku ingin mengungkapkan rasa sukaku sama kamu karena waktu itu ada urusan mendadak yang sangat penting, aku meminta tolong Aksa menitipkan surat dan juga cincin untuk kamu."Ya, aku ingat. Dulu, Mas Sean mengajakku bertemu dia bilang ingin mengatakan sesuatu. Kami sudah janjian di suatu tempat tapi anehnya yang datang Mas Aksa. Dan, malam itu Mas Aksa mengungkapkan perasaannya dengan memberikan sebuah cincin begitu cantik. Awalnya aku menolaknya sebab baru kenal, tapi karena melihat keseriusannya beberapa bulan kemudian dia mempersuntingku."Tunggu, aku masih belum paham?" tanyaku bingung."Sebenarnya Aksa sudah membohongi kamu dan juga aku, Ai. Cincin itu dari aku tapi Aksa mengakui cincin itu dari dia, Aksa menusukku dari belakang. Dia merebut kamu dari aku, Ai," ucapnya sedih.Jadi, Mas Sean yang menyukaiku. Jika benar cincin itu pemberian Mas Sean, mungkin sudah takdirku berjodoh dengan Mas Aksa bukan dengan Mas Sean.Aku menghela napas panjang. "Mas, aku akan mengembalikan cincin itu. Maaf, aku tidak tahu kalau itu pemberian Mas Sean," balasku."Ai, bukan itu maksudku. Aku ingin bicara dengan kamu karena ini tentang Aksa.""Mas, mungkin kita memang tidak berjodoh. Jika Mas Sean marah dengan Mas Aksa, Mas Sean bisa menemuinya.""Ai, please dengarkan dulu. Sebenarnya dulu Aksa sudah punya pacar bernama Atikah, gadis itu mendatangiku saat kalian melangsungkan pernikahan. Atikah mengatakan sudah telat 3 bulan, tetapi Aksa tidak mau bertanggung jawab."Bagai tersabar petir, dada seketika sesak mendengar perkataan Mas Sean."Astaghfirullahal'adzim, Mas Aksa sudah membohongiku," lirihku. Aku berusaha menekan rasa sesak di dalam dada yang kini sudah bercampur rasa benci."Ai, kamu harus tenang." Nadia merengkuh bahu menenangkanku."Aira," panggil seseorang di depan pintu Resto. Aku mengalihkan pandangan menatap kearah Mas Aksa. Garis wajah suamiku menegang. Otot rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal.Aku menghapus air mata yang sudah membasahi pipi. Dengan langkah lebar Mas Aksa mendekati kami, tanpa kuduga suamiku mencengkram kerah baju Mas Sean."Kamu apakan istriku!" bentak Mas Aksa dengan wajah memerah."Kenapa?" desis Mas Sean menatap balik Mas Aksa."Jangan coba-coba kamu mendekati istriku apa lagi mempengaruhinya kalau tidak kamu akan menyesal!" ancam Mas Aksa."Sudah, stoop!" teriakku. "Mas, ayo kita pulang." Aku menarik tangan Mas Aksa agar melepaskan cengkraman tangannya dari kerah Mas Sean.Aku tidak mau ada keributan di resto ini."Awas kamu, Sean." Mas Aksa masih saja mengancam sahabatnya."Kebenaran akan terungkap, Aksa," balas Sean dengan wajah tenang."Ayo, Mas. Nadia aku pulang dulu," ucapku berpamitan.Mas Aksa masih marah, dia membanting pintu mobil. Tak lama dia menjalankan roda dua meninggalkan resto."Ai, kamu jangan percaya dengan ucapan Sean. Dia hanya ingin merusak pernikahan kita."Aku masih diam. Malas menanggapi ucapannya, aku memang bodoh tidak mencari tahu dulu masa lalu Mas Aksa."Ai, kamu jangan diam saja. Aku sedang bicara dengan kamu," bentaknya."Aku itu malas berdebat, Mas. Aku itu sedang capek," balasku sengit.Untuk saat ini aku tidak mau membahas apa yang dikatakan Sean, lebih baik aku mencari tahu dulu siapa Atikah. Jika memang wanita itu mempunyai anak dari Mas Aksa, aku akan memaksa Mas Aksa bertanggung jawab dengan anaknya.Mungkin Tuhan sedang menghukum kami belum mempercayakan rahim ini terisi benih suamiku, karena diluaran sana ada seorang anak yang terabaikan.Melihatku diam kembali, suamiku tidak melanjutkan pembicaraannya. Setengah jam berlalu mobil memasuki pekarangan rumah. Aku membuka pintu mobil lebih dulu, baru saja membuka pintu rumah wajah ibu menatapku dengan tatapan sinis."Bagus, ya, pulangnya malam. Kamu pikir nyonya di rumah ini!" sindirnya.Rasanya raga ini sangat lelah, di rumah pun aku masih harus mendengar ocehan ibu mertua."Bu, memang aku pulang kerja jam segini," jawabku."Halah, pasti alasan kamu saja. Aksa, kamu harus tahu tadi pagi Selena mengatakan kalau Aira mengaku pemilik resto di tempatnya bekerja. Lebih baik kamu ceraikan saja dia, dari pada kita ikutan tidak waras dengan kehaluannya." Ibu mengadu tepat Mas Aksa masuk ke dalam rumah."Sudah, cukup, Bu. Aksa capek jangan menambah masalah baru lagi. Aira, ayo kita bicara di dalam." Mas Aksa menarik tanganku."Aksa, ibu belum selesai bicara. Kamu harus tahu orang yang menipu orang tua Selena adalah pemilik resto tempat Aira bekerja. Kamu harus meminta pertanggung jawaban mereka untuk mengembalikan uang orang tua Selena, siapa tahu kita kecipratan uang dari mertuamu," ucap ibu.Mendengar fitnah ibu tentang restoku, seketika emosi yang sudah sejak tadi aku tahan akhirnya meledak."Jaga bicara ibu, resto tempatku bekerja tidak pernah menipu. Justru Raja ayam potonglah yang tidak mengembalikan uang yang sudah di transfer ke resto. Orang tua Selena tidak bisa mengirim bahan mentah karena peternakan mereka kebakaran. Dan, ibu harus tahu jika dalam 2 minggu Selena tidak mengembalikan uang resto pihak kami akan menuntut usaha Raja ayam potong, satu lagi pihak resto juga akan menuntut Selena dengan pencemaran nama baik karena sudah memfitnah resto," ungkapku tegas.BersambungAku membelalakkan mata, kaget. Cepat aku menutup wajah dengan kedua tangan, karena malu. Mata ini sudah ternoda melihat yang tidak seharusnya. Rumah kayu sedikit bergerak, jantung semakin berdetak cepat. Aku tersentak sebuah tangan memegang kedua telapak tangan ini. Seketika atmosifir berubah panas."Ai," bisik Mas Sean."Mas, aku mohon jangan," lirihku dengan suara tercekat di tenggorokan. Aku masih menutup wajah dengan kedua tangan karena takut.Kasur angin bergerak, pria itu duduk tepat disampingku. Tubuh ini seketika gemetar membeku di tempat. Helaan demi helaan terdengar, aku berusaha menetralkan degub jantung. Walau bukan pertama untukku, tapi aku tidak mau sampai terjadi karena kami belum menjadi pasangan halal."Ai, aku tidak akan melakukannya," ucapnya pelan."Kamu janji, Mas," sahutku masih menutup wajah dengan kedua tangan. Jujur aku masih belum percaya, apa lagi di tempat ini hanya ada kami berdua. Dia pria dewasa dalam situasi sedang berh*srat."Janji, maaf ya sudah memb
Di luar hujan semakin lebat, atap rumah pohon kayu banyak yang bocor di mana-mana. Untuk beristirahat saja susah karena semuanya basah. Aku dan Mas Sean duduk saling berhimpitan karena hanya tempat duduk kami yang kering.Suara binatang liar kembali terdengar, seakan hewan buas itu berada di bawah pohon ini. "Ssst, di bawah sepertinya ada serigala, Ai," bisik Mas Sean begitu pelan.Aku duduk sambil menekuk kedua lutut, menahan hawa dingin. Mas Sean disamping sudah siaga, dia mengambil sesuatu dari dalam tas ranselnya. "Mas, kamu bawa ini?" tanyaku kaget melihat pria itu membawa senjata tajam."Ini hutan, Ai. Kita tidak boleh lengah, banyak binatang buas, atau pemburu yang ingin mencelakai kita," sahutnya.Dalam situasi seperti ini Mas Sean bisa diandalkan. Semoga saja, dia bisa melindungiku. Dia berdiri tepat di depan pintu, dibawah semakin banyak langkah kaki binatang berkaki empat."Mas, aku takut," lirihku pelan. Mas Sean hanya melirikku sekilas lalu fokus kembali menatap pintu r
Keheningan beberapa saat menyelimuti kami. Helaan napasnya mengenai ceruk leher ini. Sesaat aku menikmati pelukkan hangat yang dihasilkan dari atmosfir tubuh kami.Mas Sean mengurai pelukkannya, dia membingkai wajah ini. Jarak kami begitu dekat. "Ai, aku janji tidak akan menyakiti kamu," ucapnya seraya membelai rambut hitam panjangku.Aku seperti terhipnotis, menatap iris hitam dengan bulu mata tebalnya. Suara adzan subuh berkumandang menyadarkanku dari wajah tampannya. Jika ada suara adzan berarti ada surau di dekat sini dan pasti ada rumah warga. Kupikir hanya villa ini saja yang di kelilingi hutan pinus."Mas, sudah waktunya sholat subuh." Aku berusaha melepaskan tangannya di pinggang rampingku demi menghindari dari hal yang tidak seharusnya. Kami sama-sama sudah dewasa, suasana seperti ini bisa saja terjadi sesuatu tidak diinginkan. "Sebentar, Ai." Aku kembali dibuat kaget ketika dia mendekatkan wajahnya.Cup!Sebuah kecupan mendarat di pipi, kulebarkan kedua bola mata menatapny
"Ai, kamu tidak apa-apa?" tanya Mas Sean yang sudah selesai berbicara dengan Ardi. Aku terduduk lemas di lantai karena seluruh persendianku seketika lemas. Resto yang susah payah orang tuaku bangun terbakar.Mas Sean berusaha mengangkat tubuhku lalu mendudukkanku di atas ranjang. "Mas, resto gimana?" tanyaku setelah keadaanku sudah sedikit tenang. Aku terlalu shock mendengar berita itu."Kamu tenang saja, Ai. Kebakarannya hanya melahap bagunan resto bagian samping saja. Hanya sedikit yang perlu diperbaiki, beruntung saat itu ada Ardi yang belum pulang dari toko Koh Acong melihat ada pria sedang menyiram bensin lalu membakar resto. Jadi, kebakarannya tidak sempat meluas kemana-mana. Ardi meminta tolong warga yang lewat untuk membantunya memadamkan resto sebelum menjalar masuk ke dalam," terang Mas Sean.Samping kiri dan kanan resto masih kebun kosong milik warga, sedangkan depan resto beberapa deretan toko salah satunya toko elektronik milik Koh Acong yang telah berdiri lebih dulu dari
Mas Aksa benar-benar keterlaluan, dia ingin mengajak perang. Aku yakin Zoya yang membantu Mas Aksa menyewa pengacara untuk membatalkan gugatan ceraiku. "Lalu, apa yang harus aku lakukan, Mas?" tanyaku."Kamu harus berikan bukti baru, Ai. Agar Aksa kalah," sahut Mas Sean."Selama 3 bulan Mas Aksa tidak memberiku nafkah, Mas. Dia terlalu sibuk dengan Selena. Apa itu bisa menjadi bukti?" "Itu bisa menjadi bukti, untuk kamu menggugat balik Aksa, Ai. Kalau sudah tiga bulan tidak memberi nafkah, sama saja Aksa sudah menalak kamu secara agama, Ai. Dan, kamu bisa menuntut Aksa dengan pasal menelantarkan istri.""Mas Aksa juga pernah menalakku, Mas. Apa secara agama sah, waktu itu kami bertengkar hebat karena Mas Aksa selalu pulang malam. Saat itu aku protes, tapi dia bilang kalau aku melarangnya, kamu aku talak. Apakah itu jatuh talak?" tanyaku."Itu sudah jatuh talak, Ai. Jika Aksa mengucapkannya dalam keadaan sadar, Ai. Kamu kenapa tidak pernah cerita sama aku, Ai?""Dia sadar, Mas. Ada i
"Daging barbequenya enak sekali, baru kali ini aku makan daging seempuk dan semanis ini," celetuk Susi."Ini daging wagyu, Sus. Mas Sean membeli daging ini dengan kualitas nomor 1 dan kamu harus tahu harga daging wagyu sekilo saja ada yang mencapai harga satu sepeda motor," jelas Roni."Apa? Jadi, daging wagyu ini mahal. Pantas saja rasanya berbeda dengan daging sate sapi yang sering aku beli," balas Susi."Kamu norak banget, Sus. Masa daging wagyu disamain sama daging sapi yang dibeli pinggir jalan," timpal Iqbal."Enak saja kamu bilang norak, gini-gini aku sering makan daging sapi sama kambing," ketus Susi diiringi gelak tawa karyawan lain.Mas Sean ikut tertawa mendengar obrolan karyawanku. "Mbak, Mas Sean ganteng, ya," bisik Laras yang kebetulan duduk disampingku. Sedangkan Mas Sean duduk berhadapan denganku hanya terhalang meja."Biasa saja, tuh," sahutku."Serius, biasa saja. Kalau Mas Sean diambil si Zoya itu, apa mbak rela," goda Laras."Udah, ah, jangan sebut-sebut wanita it