"Ai, kamu tidak apa-apa?" tanya Mas Sean yang sudah selesai berbicara dengan Ardi. Aku terduduk lemas di lantai karena seluruh persendianku seketika lemas. Resto yang susah payah orang tuaku bangun terbakar.Mas Sean berusaha mengangkat tubuhku lalu mendudukkanku di atas ranjang. "Mas, resto gimana?" tanyaku setelah keadaanku sudah sedikit tenang. Aku terlalu shock mendengar berita itu."Kamu tenang saja, Ai. Kebakarannya hanya melahap bagunan resto bagian samping saja. Hanya sedikit yang perlu diperbaiki, beruntung saat itu ada Ardi yang belum pulang dari toko Koh Acong melihat ada pria sedang menyiram bensin lalu membakar resto. Jadi, kebakarannya tidak sempat meluas kemana-mana. Ardi meminta tolong warga yang lewat untuk membantunya memadamkan resto sebelum menjalar masuk ke dalam," terang Mas Sean.Samping kiri dan kanan resto masih kebun kosong milik warga, sedangkan depan resto beberapa deretan toko salah satunya toko elektronik milik Koh Acong yang telah berdiri lebih dulu dari
Keheningan beberapa saat menyelimuti kami. Helaan napasnya mengenai ceruk leher ini. Sesaat aku menikmati pelukkan hangat yang dihasilkan dari atmosfir tubuh kami.Mas Sean mengurai pelukkannya, dia membingkai wajah ini. Jarak kami begitu dekat. "Ai, aku janji tidak akan menyakiti kamu," ucapnya seraya membelai rambut hitam panjangku.Aku seperti terhipnotis, menatap iris hitam dengan bulu mata tebalnya. Suara adzan subuh berkumandang menyadarkanku dari wajah tampannya. Jika ada suara adzan berarti ada surau di dekat sini dan pasti ada rumah warga. Kupikir hanya villa ini saja yang di kelilingi hutan pinus."Mas, sudah waktunya sholat subuh." Aku berusaha melepaskan tangannya di pinggang rampingku demi menghindari dari hal yang tidak seharusnya. Kami sama-sama sudah dewasa, suasana seperti ini bisa saja terjadi sesuatu tidak diinginkan. "Sebentar, Ai." Aku kembali dibuat kaget ketika dia mendekatkan wajahnya.Cup!Sebuah kecupan mendarat di pipi, kulebarkan kedua bola mata menatapny
Di luar hujan semakin lebat, atap rumah pohon kayu banyak yang bocor di mana-mana. Untuk beristirahat saja susah karena semuanya basah. Aku dan Mas Sean duduk saling berhimpitan karena hanya tempat duduk kami yang kering.Suara binatang liar kembali terdengar, seakan hewan buas itu berada di bawah pohon ini. "Ssst, di bawah sepertinya ada serigala, Ai," bisik Mas Sean begitu pelan.Aku duduk sambil menekuk kedua lutut, menahan hawa dingin. Mas Sean disamping sudah siaga, dia mengambil sesuatu dari dalam tas ranselnya. "Mas, kamu bawa ini?" tanyaku kaget melihat pria itu membawa senjata tajam."Ini hutan, Ai. Kita tidak boleh lengah, banyak binatang buas, atau pemburu yang ingin mencelakai kita," sahutnya.Dalam situasi seperti ini Mas Sean bisa diandalkan. Semoga saja, dia bisa melindungiku. Dia berdiri tepat di depan pintu, dibawah semakin banyak langkah kaki binatang berkaki empat."Mas, aku takut," lirihku pelan. Mas Sean hanya melirikku sekilas lalu fokus kembali menatap pintu r
Aku membelalakkan mata, kaget. Cepat aku menutup wajah dengan kedua tangan, karena malu. Mata ini sudah ternoda melihat yang tidak seharusnya. Rumah kayu sedikit bergerak, jantung semakin berdetak cepat. Aku tersentak sebuah tangan memegang kedua telapak tangan ini. Seketika atmosifir berubah panas."Ai," bisik Mas Sean."Mas, aku mohon jangan," lirihku dengan suara tercekat di tenggorokan. Aku masih menutup wajah dengan kedua tangan karena takut.Kasur angin bergerak, pria itu duduk tepat disampingku. Tubuh ini seketika gemetar membeku di tempat. Helaan demi helaan terdengar, aku berusaha menetralkan degub jantung. Walau bukan pertama untukku, tapi aku tidak mau sampai terjadi karena kami belum menjadi pasangan halal."Ai, aku tidak akan melakukannya," ucapnya pelan."Kamu janji, Mas," sahutku masih menutup wajah dengan kedua tangan. Jujur aku masih belum percaya, apa lagi di tempat ini hanya ada kami berdua. Dia pria dewasa dalam situasi sedang berh*srat."Janji, maaf ya sudah memb
"Bu, akhirnya kita berhasil membuat Mas Aksa menikahi Mbak Selena. Sebentar lagi kita bisa menyingkirkan Mbak Aira dari rumah ini."Aku yang baru saja pulang dari pasar seketika menghentikan langkah tepat di depan kamar adik iparku. Bukan inginku menguping pembicaraan mereka, jika saja Ratu tidak menyebut namaku mungkin aku tidak akan sekepo ini. Aku akan menulikan pendengaran dan bersikap bodoh amat walau ibu mertua dan adik ipar selalu menghinaku. Bagiku, yang penting Mas Aksa mencintaiku, aku akan tetap bertahan di rumah ini walau mereka menganggapku hanya babu mereka.Aira Danendra namaku, orang tuaku sudah meninggal sejak aku berusia 17 tahun dalam sebuah kecelakaan. Sebenarnya, mereka mewarisiku sebuah rumah mewah dan usaha rumah makan yang sudah terkenal namanya. Aku dan Mas Aksa bertemu saat aku sedang melayani pembeli di rumah makan peninggalan orang tuaku. Meski mempunyai banyak karyawan aku tetap turun tangan melayani pesanan pelanggan.Mas Aksa tidak tahu kalau aku pemil
Geram. Selena tampak menahan kesal, peluh sebiji jagung telah membasahi wajahnya yang kian memucat. Bruut! Sontak, kami saling memandang satu sama lain. Selena meringis seraya meremas perut rampingnya. "Eeeum, Mbak Selena jorok banget, sih," celetuk Ratu sambil menutup hidungnya. "Maaf, aku sakit perut," ringis Selena. "Kalau sakit perut kenapa tidak ke toilet," sahut Ratu ketus. Aku, Ibu, dan juga Mas Aksa melakukan hal yang sama menutup cuping hidung bersamaan. Bau busuk menguar hampir memenuhi ruangan, rasanya ingin muntah. Selena berlari sambil memegang bagian tubuh belakangnya. "Dasar nggak punya adab, ada orang tua membuang gas berancun sembarangan," ceplos ibu sambil mengipas-ngipas dengan telapak tangan ke arah wajahnya. Aku tersenyum puas, menantu baru ibu yang dibanggakan ternyata tidak punya adab. Kulirik Mas Aksa disamping mulai gelisah, bulu-bulu tangan mulai berdiri. "Kamu kenapa, Mas?" tanyaku bingung. "Perutku sakit, Ai. Aku ke kamar dulu, ya." Mas Aksa bangk
Suara pintu dibanting terdengar dari kamar Selena, tak lama Mas Aksa keluar hanya memakai celana kolor tanpa memakai baju. "Selena," teriaknya. Aku meninggalkan dapur menghampiri Mas Aksa. "Mas, kamu itu kenapa masih pagi teriak-teriak?" tanyaku bingung. Suamiku mengusap wajahnya kasar, rahang kokohnya mengeras menandakan Mas Aksa sedang dalam keadaan benar-benar marah. "Ini sudah siang, Selena tidak membangunkanku," ujarnya. "Aksa, kamu itu kenapa teriak-teriak berisik, tau!" protes ibu berdiri diambang pintu dengan rambut acak-acakkan. "Selena tidak membangunkanku, sekarang sudah setengah 7 kalau aku telat gimana, Bu? Ibu, sih, menyuruh aku tidur dengan Selena. Kalau gajiku dipotong karena telat apa ibu mau jatah ibu dikurangi!" ungkap Mas Aksa begitu kesal. Memangnya enak beristri dua, pusing sendiri kan. Gaji Mas Aksa sebenarnya tidak terlalu besar, dia hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan jasa. Gaya hidup ibu mertua dan adik iparku selalu mewah. Menurut cerita Mas Ak
Aku berusaha mengingat mirip dengan siapa suara anak Pak Raja? Tiba-tiba wajah adik madu berkelebat di memori. Ya, suaranya mirip Selena.Ya, aku ingat sekarang. Obrolan Selena dengan seseorang di telepon tadi pagi, peternakan orang tuanya kebakaran. Apa mungkin Selena anak Pak Raja, jika diruntun dengan kejadian kebakaran peternakan milik keluarga Selena sama persis dengan musibah yang dialami Pak Raja."Maaf, Mbak. Saya hanya bisa memberi tenggang waktu 2 minggu untuk pengembalian uangnya," sahutku tegas."Sombong banget, sih, baru jadi orang kaya segitu saja belagu. Resto kamu ramai, berkat ayam potong dari kami yang kualitasnya bagus," ujar wanita disebrang telepon terdengar tidak terima.Tidak salah, itu memang suara Selena. Wanita itu ternyata anak Pak Raja. Tunggu, tadi pagi Selena bilang ke Mas Aksa dan ibu kalau orang tuanya ditipu karena ada pelanggan ayam potongnya belum membayar barang yang dikirim dari Raja ayam potong. Jadi, Selena berbohong ke mereka meminta uang untuk