Share

6. Keputusan Ega

"Kamu tahu kenapa aku akhir-akhir ini menghindarimu?" tanya Tania di sela sedu-sedannya. Ega refleks menggeleng, sedangkan aku masih diam mematung. "Aku sengaja menghindarimu karena yakin kamu pasti tidak akan percaya, Ega. Tapi sungguh ... ini benihmu, Ga." Tania kembali menangis pilu. Benar-benar menyayat hati bagi mereka yang mendengar.

"Iya. Aku percaya." Ega langsung merengkuh Tania ke dalam dekapan.

Air mata yang sedari tadi sekuat mungkin kubendung, kini membludak membasahi pipi. Dadaku terasa sesak saat mendengar Ega berulang kali mengucap kata maaf dan cinta pada Tania.

"Apapun yang terjadi aku siap bertanggung jawab," janji Ega terdengar mantap.

"Tapi, Ga, kedua orang tua asuhmu pasti menentang. Apalagi kini kamu sudah ada Mika." Tania terdengar memperingatkan. Namun, di sisi lain sorot matanya menggambarkan kebahagiaan.

"Kita akan menghadapinya bersama, Tania." Lagi Ega memeluk wanita ramping itu tanpa memedulikan keberadaanku.

Aku sendiri mendadak kelu. Entah kenapa aku tidak mampu berbicara. Keteguhan cinta Ega pada Tania membuat hatiku nelangsa.

Tanpa bicara aku berlari meninggalkan kedua sejoli itu. Pintu kamar kubanting, lantas melempar tubuh ke atas ranjang. Ya ... Allah, kenapa harus sesakit ini rasanya dikhianati.

Walau pun waktu itu belum ada ikatan resmi antara aku dengan Ega. Namun, lelaki itu berjanji di hadapan kedua orang tuanya dan juga Ibuku juga dia akan menjauhi sang mantan kekasih. Ikrar itulah yang memantapkan hatiku menerima pinangan dari keluarga Bapak Edi Baskara.

Satu bulan menikah dengan Ega, hidupku benar-benar hampa. Kami tinggal bersama, tetapi tidak pernah bertegur sapa. Bahkan waktu itu kamar kami terpisah.

Ibu Gina marah mendapati rumah tangga kami yang sangat gersang. Wanita itu memaksa Ega untuk sepenuhnya menerimaku. Di bulan kedua pernikahan baru kurasakan sentuhan dari Ega. Walau tanpa cinta ataupun kehangatan. Semua yang ia lakukan tidak lebih dari semata-mata hanya untuk mematuhi perintah kedua orang tua angkatnya.

Aku sendiri mencoba bertahan menghadapi sikap dingin Ega. Berusaha menjadi istri yang baik sesuai pesan Ibu. Tidak mudah menyerah dengan meminta berpisah.

Karena kata Ibu, setan akan tertawa puas jika mampu memisahkan sepasang suami istri. Dan memang itulah tugasnya mereka. Jadi walaupun kerap kali diabaikan, bahkan sering juga direndahkan demi Ibu dan juga keluarga Bapak Edi, aku bertahan.

Namun, setelah mengetahui fakta kehamilan Tania, sepertinya pertahananku luntur. Aku tidak kuat jika berjuang sendirian.

Hati ini semakin tersayat pilu mengingat betapa Ega mengabaikanku. Sudah lebih dari satu jam aku menangis seorang diri di kamar, dia sama sekali tidak menyusul. Benar-benar terbuat dari es hatinya untukku.

Dering ponsel di atas nakas membuat aku menghentikan tangis. Apalagi ada nama Ibu mertua yang tertera di layar. Tanpa membuang waktu lekas kuelap pipi basah ini dengan telapak tangan.

"Assalamualaikum ... halo, Sayang. Apa kabar?" sapa Ibu mertua terdengar hangat dari seberang.

"Al-alhamdulil-lah ... ba-baik, Ma," balasku masih terbata. Karena tidak mudah menutupi isakan tangis.

"Suaramu kenapa sengau begitu? Habis nangis? Ega nyakitin hati kamu lagi?" tebak Ibu mertua terdengar begitu perhatian.

"Eum ... anu, Ma. Aku ... aku ... aku sedikit flu. Makanya agak bindeng," kilahku mulai berdusta. Walau kutahu ini berdosa. Namun, aku belum mau wanita rapuh itu untuk  tahu yang sebenarnya.

"Cuma sedikit flu kan? Bukan sakit flu yang parah?"

"Bukan, Ma."

"Kalo begitu nanti malam bisa datang kan di malam pernikahan sepupu Ega?"

"Itu ... maaf, Ma, aku-"

Tidak kusangka dari belakang Ega merebut ponsel yang tengah menempel di telinga. Ketika aku coba menggapai, dia menghalangi.

"Halo, Ma. Ini Ega." Ega menempelkan ponsel di telinga dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan, ia gunakan untuk mencegah lenganku.

[ ... ]

Ega terdiam mendengar ibunya di seberang sana berbicara. sementara aku tidak bisa ikut mendengar apa yang omongkan ibu mertua. Karena ponsel itu memang tidak bisa nyala kan loud speakernya.

"Mika baik-baik saja kok, Ma. Dia memang sedikit flu, tapi nanti malam bisa datang, kok."

[ ... ]

"Oke, Ma. Sampai jumpa nanti malam."

Ega memutus sambungan telepon. Lalu melempar begitu saja ponselku ke keranjang.

"Jangan sampai matamu terlihat sembab di pesta pernikahan sepupuku nanti malam!" larang Ega serius menatapku.

Kuhirup napas sepanjang mungkin. "Apa keputusanmu sekarang?" tanyaku begitu mampu mendamaikan hati.

"Aku akan menikahi, Tania," jawab Ega tegas.

"Oke ... dan aku akan mundur," balasku pun tidak kalah tegasnya.

"Terserah ... jika berniat tega menyakiti hati Ibuku," tukas Ega terlihat begitu percaya diri. Aku sendiri tercekat mendengar dia berbicara demikian. "Wanita yang sudah menyelamatkan nyawa adikmu," imbuhnya mengingatkan.

Tangisku meledak. Kenapa aku yang terhimpit sekarang? Di satu sisi aku sudah muak hidup bersama Ega. Sementara di sisi lain, aku justru berhutang budi pada keluarga Edi Baskara.

"Kenapa? Kenapa kamu begitu jahat kepadaku Ega?" ratapku sembari memukuli dada bidang Ega. "Aku terima jika kamu belum mencintai aku. Tapi ... tapi ... aku tidak terima jika aku dimadu," getirku dengan air mata yang terus mengalir.

"Maafkan aku, Mika," ucap Ega lirih.

"Ceraikan aku, Ega!"

"Gak akan!" sergah Ega yakin. "Karena jika kita bercerai mama pasti akan mati. Kamu tidak menginginkan hal itu bukan?"

Lagi-lagi aku terdiam. Kenapa semua terbalik seperti ini? Kenapa kini Ega yang pegang kendali.

*

Waktu bergulir cepat. Sedari ashar Ega menyuruhku untuk berbenah. Dia bahkan mengajakku ke salon. Hal yang tidak pernah ia lakukan selama ini.

"Kamu harus tampil cantik malam ini! paksa Ega ketika aku menolak perintahnya. "Aku belum punya keberanian untuk mengungkapkan masalah Tania kepada mama papa. Belum saatnya," jujur lirih, "jadi aku mohon ... tampilkan senyum bahagiamu di hadapan semua orang!"

Malas berdebat, kupenuhi permintaan Ega. Kami pergi ke salon bersama. Sama-sama merawat penampilan. Untuk sesaat Ega terlihat melupakan Tania.

Dia bahkan berlaku sangat mesra saa berada di pesta pernikahan sepupunya. Di depan kedua orang tua angkatnya, Ega berakting sangat luwes. Sepanjang acara tangannya terus mengamit pinggangku.

"Kenapa kamu tampak murung, Sayang?" tegur Ibu Gina ketika aku duduk menepi untuk menyendiri. Wanita itu mendekat bersama sang suami. Ega sendiri sedang mengambil makanan.

"Iya, dari tadi kamu diam saja. Kenapa?" timpal Bapak mertua terlihat ikut peduli.

Aku hanya mampu tersenyum kecut dan mengeleng. Rasanya malas jika harus berbohong untuk menutupi rahasia tercela Ega.

"Biasanya kamu suka bercerita. Kebalik sekarang Ega yang jadi banyak omong, padahal dia itu pelit bicara," tutur Ibu Gina menatapku penuh kasih. "Apa kamu sakit, Mika?" Wanita itu menempelkan telapak tangannya pada keningku. "Ya ... ampun panas." Ibu mertua terkejut.

Aku lantas meraba dahi sendiri. Memang lumayan panas. Mungkin ini akibat menangis berjam-jam dan efek lupa makan. Selain demam aku juga sedikit mual.

"Ega, istrinya sakit kenapa dibiarkan?!" tegur Bapak Edi begitu melihat Ega mendekat dengan membawa piring berisi kudapan.

"Eum ... kamu sakit, Mik?" tanya Ega padaku sedikit terkaget.

"Ya ... ampun, kamu bahkan tidak sadar istrimu sedang sakit?" Mata Bu Gina melotot tajam pada putra angkatnya.

"Maaf, Ma, tapi Mika memang tidak pernah mau bicara."

"Harus dia bilang sakit baru kamu paham begitu?" tukas Bu Gina kian kesal. Ega terdiam. Dia memang paling tidak bisa membantah kedua orang tuanya. "Ya sudah ... sebaiknya kita pulang sekarang. Mama dan papa mau nginep biar bisa urus Mika," putus Bu Gina kemudian.

"A-a-apa? Mama dan papa mau menginap?" Mata Ega terbelalak kaget. Dia pasti ketakutan karena tengah menyembunyikan Tania di rumah.

"Kenapa? Gak boleh? Mama kangen banget sama Mika. Sudah lama tidak bercengkerama."

"Tapi, Ma, aku-"

"Orang tua mau nginap kok kelihatannya keberatan. Ada apa, Ega?" Bapak mertua serius bertanya.

"Eum ... enggak, Pa!" Ega menggeleng lemah. "Silahkan jika Mama dan papa mau nginap," ujarnya parau.

Tangan Ega menggandeng tanganku. Kurasakan dingin pada telapak besar itu. Pasti kamu sangat ketar-ketir sekali, Ega. Dalam hati aku tertawa senang. Semoga saja semua lekas terbongkar tanpa perlu aku mengadu.

Next.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status