"Kamu tahu kenapa aku akhir-akhir ini menghindarimu?" tanya Tania di sela sedu-sedannya. Ega refleks menggeleng, sedangkan aku masih diam mematung. "Aku sengaja menghindarimu karena yakin kamu pasti tidak akan percaya, Ega. Tapi sungguh ... ini benihmu, Ga." Tania kembali menangis pilu. Benar-benar menyayat hati bagi mereka yang mendengar.
"Iya. Aku percaya." Ega langsung merengkuh Tania ke dalam dekapan.
Air mata yang sedari tadi sekuat mungkin kubendung, kini membludak membasahi pipi. Dadaku terasa sesak saat mendengar Ega berulang kali mengucap kata maaf dan cinta pada Tania.
"Apapun yang terjadi aku siap bertanggung jawab," janji Ega terdengar mantap.
"Tapi, Ga, kedua orang tua asuhmu pasti menentang. Apalagi kini kamu sudah ada Mika." Tania terdengar memperingatkan. Namun, di sisi lain sorot matanya menggambarkan kebahagiaan.
"Kita akan menghadapinya bersama, Tania." Lagi Ega memeluk wanita ramping itu tanpa memedulikan keberadaanku.
Aku sendiri mendadak kelu. Entah kenapa aku tidak mampu berbicara. Keteguhan cinta Ega pada Tania membuat hatiku nelangsa.
Tanpa bicara aku berlari meninggalkan kedua sejoli itu. Pintu kamar kubanting, lantas melempar tubuh ke atas ranjang. Ya ... Allah, kenapa harus sesakit ini rasanya dikhianati.
Walau pun waktu itu belum ada ikatan resmi antara aku dengan Ega. Namun, lelaki itu berjanji di hadapan kedua orang tuanya dan juga Ibuku juga dia akan menjauhi sang mantan kekasih. Ikrar itulah yang memantapkan hatiku menerima pinangan dari keluarga Bapak Edi Baskara.
Satu bulan menikah dengan Ega, hidupku benar-benar hampa. Kami tinggal bersama, tetapi tidak pernah bertegur sapa. Bahkan waktu itu kamar kami terpisah.
Ibu Gina marah mendapati rumah tangga kami yang sangat gersang. Wanita itu memaksa Ega untuk sepenuhnya menerimaku. Di bulan kedua pernikahan baru kurasakan sentuhan dari Ega. Walau tanpa cinta ataupun kehangatan. Semua yang ia lakukan tidak lebih dari semata-mata hanya untuk mematuhi perintah kedua orang tua angkatnya.
Aku sendiri mencoba bertahan menghadapi sikap dingin Ega. Berusaha menjadi istri yang baik sesuai pesan Ibu. Tidak mudah menyerah dengan meminta berpisah.
Karena kata Ibu, setan akan tertawa puas jika mampu memisahkan sepasang suami istri. Dan memang itulah tugasnya mereka. Jadi walaupun kerap kali diabaikan, bahkan sering juga direndahkan demi Ibu dan juga keluarga Bapak Edi, aku bertahan.
Namun, setelah mengetahui fakta kehamilan Tania, sepertinya pertahananku luntur. Aku tidak kuat jika berjuang sendirian.
Hati ini semakin tersayat pilu mengingat betapa Ega mengabaikanku. Sudah lebih dari satu jam aku menangis seorang diri di kamar, dia sama sekali tidak menyusul. Benar-benar terbuat dari es hatinya untukku.
Dering ponsel di atas nakas membuat aku menghentikan tangis. Apalagi ada nama Ibu mertua yang tertera di layar. Tanpa membuang waktu lekas kuelap pipi basah ini dengan telapak tangan.
"Assalamualaikum ... halo, Sayang. Apa kabar?" sapa Ibu mertua terdengar hangat dari seberang.
"Al-alhamdulil-lah ... ba-baik, Ma," balasku masih terbata. Karena tidak mudah menutupi isakan tangis.
"Suaramu kenapa sengau begitu? Habis nangis? Ega nyakitin hati kamu lagi?" tebak Ibu mertua terdengar begitu perhatian.
"Eum ... anu, Ma. Aku ... aku ... aku sedikit flu. Makanya agak bindeng," kilahku mulai berdusta. Walau kutahu ini berdosa. Namun, aku belum mau wanita rapuh itu untuk tahu yang sebenarnya.
"Cuma sedikit flu kan? Bukan sakit flu yang parah?"
"Bukan, Ma."
"Kalo begitu nanti malam bisa datang kan di malam pernikahan sepupu Ega?"
"Itu ... maaf, Ma, aku-"
Tidak kusangka dari belakang Ega merebut ponsel yang tengah menempel di telinga. Ketika aku coba menggapai, dia menghalangi.
"Halo, Ma. Ini Ega." Ega menempelkan ponsel di telinga dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan, ia gunakan untuk mencegah lenganku.
[ ... ]
Ega terdiam mendengar ibunya di seberang sana berbicara. sementara aku tidak bisa ikut mendengar apa yang omongkan ibu mertua. Karena ponsel itu memang tidak bisa nyala kan loud speakernya.
"Mika baik-baik saja kok, Ma. Dia memang sedikit flu, tapi nanti malam bisa datang, kok."
[ ... ]
"Oke, Ma. Sampai jumpa nanti malam."
Ega memutus sambungan telepon. Lalu melempar begitu saja ponselku ke keranjang.
"Jangan sampai matamu terlihat sembab di pesta pernikahan sepupuku nanti malam!" larang Ega serius menatapku.
Kuhirup napas sepanjang mungkin. "Apa keputusanmu sekarang?" tanyaku begitu mampu mendamaikan hati.
"Aku akan menikahi, Tania," jawab Ega tegas.
"Oke ... dan aku akan mundur," balasku pun tidak kalah tegasnya.
"Terserah ... jika berniat tega menyakiti hati Ibuku," tukas Ega terlihat begitu percaya diri. Aku sendiri tercekat mendengar dia berbicara demikian. "Wanita yang sudah menyelamatkan nyawa adikmu," imbuhnya mengingatkan.
Tangisku meledak. Kenapa aku yang terhimpit sekarang? Di satu sisi aku sudah muak hidup bersama Ega. Sementara di sisi lain, aku justru berhutang budi pada keluarga Edi Baskara.
"Kenapa? Kenapa kamu begitu jahat kepadaku Ega?" ratapku sembari memukuli dada bidang Ega. "Aku terima jika kamu belum mencintai aku. Tapi ... tapi ... aku tidak terima jika aku dimadu," getirku dengan air mata yang terus mengalir.
"Maafkan aku, Mika," ucap Ega lirih.
"Ceraikan aku, Ega!"
"Gak akan!" sergah Ega yakin. "Karena jika kita bercerai mama pasti akan mati. Kamu tidak menginginkan hal itu bukan?"
Lagi-lagi aku terdiam. Kenapa semua terbalik seperti ini? Kenapa kini Ega yang pegang kendali.
*
Waktu bergulir cepat. Sedari ashar Ega menyuruhku untuk berbenah. Dia bahkan mengajakku ke salon. Hal yang tidak pernah ia lakukan selama ini.
"Kamu harus tampil cantik malam ini! paksa Ega ketika aku menolak perintahnya. "Aku belum punya keberanian untuk mengungkapkan masalah Tania kepada mama papa. Belum saatnya," jujur lirih, "jadi aku mohon ... tampilkan senyum bahagiamu di hadapan semua orang!"
Malas berdebat, kupenuhi permintaan Ega. Kami pergi ke salon bersama. Sama-sama merawat penampilan. Untuk sesaat Ega terlihat melupakan Tania.
Dia bahkan berlaku sangat mesra saa berada di pesta pernikahan sepupunya. Di depan kedua orang tua angkatnya, Ega berakting sangat luwes. Sepanjang acara tangannya terus mengamit pinggangku.
"Kenapa kamu tampak murung, Sayang?" tegur Ibu Gina ketika aku duduk menepi untuk menyendiri. Wanita itu mendekat bersama sang suami. Ega sendiri sedang mengambil makanan.
"Iya, dari tadi kamu diam saja. Kenapa?" timpal Bapak mertua terlihat ikut peduli.
Aku hanya mampu tersenyum kecut dan mengeleng. Rasanya malas jika harus berbohong untuk menutupi rahasia tercela Ega.
"Biasanya kamu suka bercerita. Kebalik sekarang Ega yang jadi banyak omong, padahal dia itu pelit bicara," tutur Ibu Gina menatapku penuh kasih. "Apa kamu sakit, Mika?" Wanita itu menempelkan telapak tangannya pada keningku. "Ya ... ampun panas." Ibu mertua terkejut.
Aku lantas meraba dahi sendiri. Memang lumayan panas. Mungkin ini akibat menangis berjam-jam dan efek lupa makan. Selain demam aku juga sedikit mual.
"Ega, istrinya sakit kenapa dibiarkan?!" tegur Bapak Edi begitu melihat Ega mendekat dengan membawa piring berisi kudapan.
"Eum ... kamu sakit, Mik?" tanya Ega padaku sedikit terkaget.
"Ya ... ampun, kamu bahkan tidak sadar istrimu sedang sakit?" Mata Bu Gina melotot tajam pada putra angkatnya.
"Maaf, Ma, tapi Mika memang tidak pernah mau bicara."
"Harus dia bilang sakit baru kamu paham begitu?" tukas Bu Gina kian kesal. Ega terdiam. Dia memang paling tidak bisa membantah kedua orang tuanya. "Ya sudah ... sebaiknya kita pulang sekarang. Mama dan papa mau nginep biar bisa urus Mika," putus Bu Gina kemudian.
"A-a-apa? Mama dan papa mau menginap?" Mata Ega terbelalak kaget. Dia pasti ketakutan karena tengah menyembunyikan Tania di rumah.
"Kenapa? Gak boleh? Mama kangen banget sama Mika. Sudah lama tidak bercengkerama."
"Tapi, Ma, aku-"
"Orang tua mau nginap kok kelihatannya keberatan. Ada apa, Ega?" Bapak mertua serius bertanya.
"Eum ... enggak, Pa!" Ega menggeleng lemah. "Silahkan jika Mama dan papa mau nginap," ujarnya parau.
Tangan Ega menggandeng tanganku. Kurasakan dingin pada telapak besar itu. Pasti kamu sangat ketar-ketir sekali, Ega. Dalam hati aku tertawa senang. Semoga saja semua lekas terbongkar tanpa perlu aku mengadu.
Next.
Ega tersenyum manis. Dia menangkap tanganku yang membelai parasnya. "Iya, aku telah bebas karenamu, Mika. Terima kasih," ucapnya syahdu. Kini tanganku ia kecup ringan."Bagaimana kamu bisa keluar dari tahanan?" tanyaku ingin tahu."Itu semua berkat bantuanmu, Sayang."Lagi-lagi aku dibuat terkesima saat mendengar Ega memanggilku dengan sebutan sayang. Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami. Biasanya Ega selalu memanggil namaku saja, itu pun dengan sangat datar, kadang dingin jika sedang kesal, atau kasar bila tengah marah."Karena aku kamu bisa keluar?" Aku mengulang ucapan Ega dengan bingung. Ketika dia mengganguk disertai senyuman, aku kian mengernyit."Sudahlah! Kamu baru sadar, Mika." Ibu berbicara. "Nanti saja kalo kamu sudah pulih betul, kami akan cerita semua," tutur Ibu sambil mengusap rambutku. Wanita itu tersenyum lembut.Tidak lama datang dokter dan juga perawat. Dokter laki-laki sepantar Bapak Edi ramah menanyakan kabar. Pria dengan dahi lebar itu menggunakan stet
"Berhenti, Mika!"Suara Galih terdengar mengintimidasi. Aku tidak peduli. Lekas kugapai ponsel ini. Namun, baru satu langkah, sebuah tangan besar menyentuh pundak. Bahkan meremasnya kuat.Ini pasti telapak tangan Galih. Benar. Ketika aku balik badan, pria itu menyeringai dingin. Berbeda dengan Budi yang berdiri di belakangnya dengan menundukkan wajah. Pemuda itu terlihat amat ketakutan."Kamu habis ngapain?" Galih bertanya dengan tatapan tajam."E ... aku--""Kamu menguping pembicaraan kami?" Galih menyambar cepat."Gak--""Kasih hapemu padaku!" pinta Galih masih bernada dingin."Mau buat apa?" tanyaku takut. Ponsel di tangan lekas kusembunyikan di belakang punggung. "Berikan padaku.""Enggak!" Aku menggeleng tegas."Aku bilang BERIKAN!" gertak Galih muntab. Tangannya mencoba merebut gadget kepunyaan."Gak AKAN!" Aku sengaja menaikan volume suara. Agar Ibu Gina dan Winda mendekat."Budi, rebut hape Mika!" Galih berpaling pada Budi. Pemuda itu tampak tertegun mendengar perintah terseb
(POV Mika)"Akan kuselidiki dan pantau Budi juga," tekadku yakin.Galih dan Budi kemudian turun dari mobil. Langkah mereka berpencar. Galih menuju mobil sendiri, sedangkan Budi kembali melangkah ke ruangannya Bian.Aku pun mengikuti pemuda itu. Sekalian menunjukkan hasil pemeriksaan ini pada Bapak Edi. Pasti beliau terkejut senang.Tiba-tiba perutku dilanda lapar. Akhirnya kaki ini kubelokan ke kantin. Nanti saja menunjukkan hasil tesnya. Sekarang isi perut dulu. Karena memang masih belum bisa menguyah nasi, kuputuskan untuk membeli dua bungkus roti dengan rasa abon sapi dan segelas cokelat hangat.Satu roti ukuran sedang ini ternyata tidak mampu aku habiskan. Tak masalah karena perutku sudah tidak terasa perih lagi. Saatnya kembali ke ruangan Bian.Budi sudah duduk manis di bangku tunggu. Namun, Tania dan Bapak Edi tidak terlihat batang hidungnya. Pemuda itu tampak tengah menunduk dengan pandangan kosong.Wajahnya juga terlihat sayu. Seakan ada masalah besar yang sedang menghimpitnya
Perubahan status Ega dari saksi menjadi tersangka sungguh membuat keluarganya terpukul hebat. Tidak hanya Mika sang istri yang merasa sedih. Ibu Gina jauh lebih terguncang jiwanya.Air mata tidak hentinya mengalir dari netra Ibu Gina. Wanita itu sesenggukan pilu membayangkan putra kesayangannya meringkuk dingin dan lama di jeruji besi. Lelah hati dan pikiran membuatnya memutuskan untuk tidak ikut menemani suaminya menjenguk Bian.Mika sendiri memilih turut serta menemani Bapak Edi dan Tania. Selain memang ingin melihat kondisi Bian, dia juga ingin memeriksakan diri. Badannya mudah capek dan yang pasti mual selalu menyerangnya di waktu pagi.Akhirnya, Ibu Gina pulang dengan dijemput oleh Mang Asep. Sementara Bapak Edi, Mika, dan Tania pergi ke rumah sakit diantar oleh Budi. Kamar Bian adalah tujuan utama mereka begitu sampai.Kondisi Bian masih serupa kemarin. Setelah menjalani operasi, pemuda itu belum juga sadarkan diri. Alat-alat, selang, dan kabel masih membelit tubuhnya. Kenyataa
Pagi hari aku mendapati suara keributan di bawah. Refleks mata ini terbuka. Ternyata aku masih mengenakan mukena. Ketika kutengok waktu pada jam digital di atas nakas, ternyata hari sudah menjelang siang. Untungnya sholat subuh tidak kutinggalkan walau tadi mata teramat kantuk.Masih bermalas-malasan aku menuju kamar mandi. Hari ini aku harus bersiap pulang. Party its over dari dua hari yang lalu. Seharusnya aku sudah ada di Jakarta jika musibah tidak menimpa Bian dan Ega. Andai waktu itu Ega tidak usah membujuk Bapak Edi untuk mengizinkan Bian ikut serta ke pesta malam tahun baru ini, mungkin Bian masih akan baik-baik saja. Dan tentunya Ega juga tidak akan ditahan.Aku menggeleng pelan. Sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai. Karena sama saja tidak mempercayai takdir. Aku yakin semua musibah yang terjadi adalah adalah suatu teguran dari-Nya. Agar kami senantiasa mengingat-Nya.Usai mandi kutata semua pakaian ke koper, baik baju sendiri maupun Ega. Mengingat lelaki it
(POV Mika)"Apaaa?!" Ega, aku, dan Winda tersentak kaget bersamaan. Sementara Gavin langsung bersembunyi di belakang tubuh Winda sang mama. Anak itu pastinya ketakutan melihat kedatangan polisi ke rumah."Cepat tangkap!" titah Letnan polisi itu pada kedua anak buahnya."Siap, Ndan!""Tunggu dulu! Maksudnya apaan ini?!" Ega berusaha menghindar. Namun, kedua polisi bertubuh lebih besar darinya mampu membekuknya dengan gampang. "Lepaskan! Salah saya apa, Pak?" kesal Ega setengah berteriak."Dari semua saksi hanya Anda yang berada di tempat pekara pada waktu itu," jawab Letnan polisi tersebut tenang."Saya ada di TKP karena mendengar ada suara benda terjatuh. Secara naluri kita pasti ingin melihatnya," balas Ega mencoba membela diri. Suamiku terus meronta dan mengerang."Silahkan Anda jelaskan semuanya di kantor! Cepat bawa dia ke mobil." Polisi berbalok emas satu itu menyuruh pada anak buahnya."Siap, Ndan!""Ini gak bener! Aku gak bersalah!" Ega terus menolak dan berontak. Namun, ia tet