Telapak tangan dingin Ega terasa kuat mencengkeram. Membuatku harus mendongak padanya. Lelaki itu berkedip. Seakan hendak menyampaikan sesuatu lewat sorot matanya.
Feeling-ku pasti dia meminta bantuan mengenai Mika. Ahhh ... biar saja! Dia yang berbuat kenapa aku harus repot juga? Bukankah tadi siang, dirinya begitu sombong hendak berbicara jujur kepada orang tuanya. Sekarang saja, nyalinya ciut begitu.
Tanpa mempedulikan Ega, kulepas genggaman tangannya. Kepala yang pening mengharuskan aku tergesa sampai dalam mobil. Kepala berat ini langsung kusandarkan pada sandaran jok.
Tidak lama kemudian kedua orang tua Ega ikut masuk mobil. Mereka duduk di belakang. Sementara itu, dari kaca mobil terlihat Ega tengah menelepon seseorang. Wajahnya tampak serius. Mungkin saja dia sedang mengabari Tania kalau kedua orang tuanya akan bertandang.
"Kenapa Ega lama sekali sih?" tegur Bu Gina terdengar kesal. "Pa, coba panggil anak itu! Suruh dia masuk! Kasihan Mika kelamaan nunggunya. Dia lagi sakit ini," perintah Ibu mertua pada sang suami.
"Iya, Ma," sahut Bapak Edi patuh.
Pria berambut kelabu itu ke luar mobil. Dirinya mendekati sang putra yang masih sibuk menelepon. Entah apa yang ia perintahkan, Ega mengangguk manut padanya. Kini keduanya melangkah menuju mobil.
"Nelpon sapa, Ga? Kok lama banget?" tegur Bu Gina begitu suamiku duduk di belakang kemudi.
"Klien, Ma," sahut Ega kalem.
"Ish! Malem-malem gini ... libur juga. Kenapa masih sibuk ngurusin pekerjaan, Ga?" omel Bu Gina bawel.
Wanita yang malam ini tampak anggun dengan hijab syar'i warna kuning pastel itu memang terkenal cerewet. Tak heran jika dia mempunyai riwayat darah tinggi. Dan puncaknya adalah terkena stroke. Untung ringan sehingga bisa sembuh seperti sedia kala.
"Usaha gak mengkhianati hasil, Ma. Kata papa aku harus kerja keras selagi masih muda," balas Ega dengan tenangnya. Matanya fokus memandang ke jalanan depan.
"Aish ... ngomong apa kamu?" Dari kaca spion depan mata Ibu Gina mendelik, "mama gak suka kamu terlalu sibuk kerja jadi mengabaikan Mika. Kerja itu tahu waktu, Ga!"
"Iya, Ma." Lagi-lagi Ega menyahut kalem.
Sepanjang perjalanan, mulut Ibu Gina terus saja berbicara. Wanita itu memberikan nasihat pada Ega agar senantiasa lelaki yang baik untuk istrinya. Dirinya juga memberi
wejangan pada kami tentang bagaimana cara menjalani kehidupan berumah tangga. Tips agar kehidupan rumah tangga kami harmonis walau menikah karena perjodohan.Tanpa terasa kami sudah tiba di rumah. Wajah bersih Ega terlihat kian pias, tatkala kedua orang tuanya memasuki rumah. Hatiku ikut ketar-ketir saat bapak dan ibu mertua melangkah ke kamar yang ditempati Tania.
Ruangan itu memang lebih luas dari pada kamar di sebelahnya. Setiap kali berkunjung, bapak dan ibu mertua memang selalu menggunakan bilik tersebut. Karena waktu yang memang sudah teramat larut, kedua pasangan paruh baya itu langsung minta beristirahat.
Hatiku terkesima saat melihat kamar tersebut telah kosong. Mungkinkah Tania sudah pergi? Jangan-jangan saat Ega menelpon lama tadi, dia tengah mengabarkan pada Tania kalau kedua orang tuanya akan ke mari.
"Ya sudah, Ma, Pa, kami istrihat dulu, ya," pamit Ega begitu mendengar suara jam besar di ruang tengah yang berdentang dua belas kali.
Lelaki itu mengamit lenganku dengan hangat. Memamerkan ke pada orang tuanya jika kami adalah pasangan yang harmonis. Selalu saja dia pandai berakting jika di depan mana dan papanya.
"Iya. Selamat beristirahat." Ibu Gina dan Bapak Edi menjawab bersamaan.
Usai melempar senyum manis pada keduanya, aku dan Ega melangkah pergi. Ega langsung melepas genggaman begitu kami memasuki kamar. Tanpa bicara kami saling melucuti busana. Mengganti dengan baju tidur.
Dengan mendesah panjang, Ega merebahkan tubuhnya di ranjang. Selanjutnya pria itu menarik selimut dan mulai memejam. Aku sendiri memilih duduk di depan meja rias untuk membersihkan sisa make up tipis yang masih menempel di wajah.
DRRT ... DRRT
Melalui pantulan di cermin rias, kulihat mata Ega sontak terbuka begitu mendengar nada dering dari ponselnya. Lelaki itu lekas menggapai benda pintar berukuran tujuh inchi itu. Matanya mengerjai melihat nama si penelepon.
"Tania ... sudah kubilang kamar kamu bersebelahan dengan orang tuaku." Ega berbicara amat lirih. Mirip orang berbisik. Saking tidak ingin terdengar, ia menutup mulut saat berucap.
Oh ... jadi Ega menyembunyikan wanita tidak tahu malu itu di kamar sebelah. Kupikir dia menyuruh Tania pergi dari rumah.
Aku langsung menajamkan pendengaran. Karena penasaran aku membalikkan badan. Ega kini mulai bangkit dan berjalan menuju balkon. Kakiku tergerak untuk mengikuti.
"Ya tahan laparmu dulu, Tania. Aku gak bisa berkutik kalo ada mama papa." Ega masih berbicara lirih.
Bibirku mengulas senyum. Rupanya Ega menyembunyikan Tania di kamar sebelah. Kukira dia menyuruhnya pergi tadi. Dan sekarang wanita hamil itu tengah kelaparan tanpa bisa ke luar.
"Tunggu mama dan papaku tidur! Nanti aku pesankan makanan," suruh Ega berjanji. Tidak lama kemudian dia mematikan sambungan telepon. Matanya agak terkejut melihatku begitu membalikkan badan, ada aku di belakangnya. "Ada penguping rupanya," sindirnya padaku dengan menatap sebal.
"Wanitamu kelaparan?" tanyaku datar.
"Bukan urusanmu!" sembur Ega mendelik. Aku sendiri mendengkus sebal mendengarnya.
Kemudian Ega memencet lagi ponselnya. Terdengar ia memesan satu loyang jumbo pizza pada gerai pizza dua puluh empat jam. Dia benar-benar begitu peduli pada Tania.
Usai memesan makanan, lelaki itu beringsut menuju nakas. Tampak ia mengambil dua lembar uang merah dari dompet yang diambil dari laci. Setelah itu Ega mengeloyor begitu saja. Meninggalkan aku sendirian di kamar.
Tiba-tiba perutku berbunyi. Seharian ini aku memang belum menyentuh makanan. Tadi di pesta pun hanya sebatas mencicipi kudapan.
Dengan langkah ringan aku turun ke lantai bawah. Kakiku menderap menuju ruang tamu. Ega tengah duduk sendiri dengan mata menerawang ke langit-langit rumah. Pastinya dia sedang menunggu kurir pengantar makanan.
"Mika? Nga-ngapain kamu di sini?" tegurnya kaget begitu sadar aku sudah duduk di sampingnya.
"Nemenin kamu nunggu pizza," jawabku enteng seraya bersedekap. Sengaja kubuat agak keras. Berharap Ibu dan Bapak mertua mendengar dan lekas terbangun.
Ega terkesiap mendengar suara lantangku. Lelaki itu menggeser duduknya. Mendekat padaku dengan menatap marah.
"Jangan sampai aku berbuat kasar padamu, Mika! Jaga sikapmu!" Mata Elang Ega mengintimidasi dengan dingin.
Ancamannya cukup lirih bahkan cenderung berbisik. Tentu saja. Ega mana berani mengungkapkan semuanya sekarang.
"Kenapa sih, Ga? Salah kalo aku nemenin kamu di sini?" tanyaku cuek dan tetap kubuat lantang.
"Permisi! Pizza!"
Dari luar suara pengantar makanan terdengar bergema. Aku dan Ega sama-sama menoleh. Tanpa dikomando, kami sama-sama bangkit. Berebut untuk membukakan pintu.
Tidak diduga, Ega menghalau tubuhku. Membuat aku terjatuh ke sofa. Untung bukan ke lantai.
"Aduhhh!" Sengaja aku mengaduh lantang.
Ega berpaling sejenak. Detik berikutnya dia kembali menuju pintu. Menyebalkan! Lelaki itu sama sekali tidak peduli, walau aku terjatuh karenanya.
"Aku juga lapar lho, Ga," ujarku usai melihat Ega membayar pizza.
"Emang aku peduli!" ejek Ega tepat di wajahku. Tangannya kuat memegang kotak pizza.
"Ega!"
Aku dan Ega sontak menoleh. Bapak Edi dan Ibu Gina mendekat dengan wajah yang terlihat mengantuk.
"Kenapa kasar begitu sama istri?" Walau tampak sayu, tetapi bapak mertua tegas menegur.
"Eum ... e-e-e ... anu ... Mika ...." Ega yang terkejut terbata menjawab.
"Ega gak ngizinin aku makan pizza, Pa," kilahku berbohong. Sebenci apapun aku pada Ega. Omongan Ibu tetap kukenang, yaitu menutup kekurangan atau aib suami. "Dia bilang nanti aku gendut kalo makan terlalu malam. Padahal aku memang sedang kelaparan," tutur dusta berusaha meyakinkan kedua orang tua Ega.
"Ya ... ampun, Ega!" Bu Gina berseru kesal. "Masa istrinya kelaparan malah disuruh diet. Keterlaluan! Mika ini sudah kurus. Jangan suruh dia menahan lapar," cerocos Bu Gina dengan mata melotot ke putra kesayangannya.
"E-i-iya, Ma." Ega mengangguk manut.
"Kasih pizza itu ke istrimu!" Bapak Edi memerintah.
Ega diam tanpa membantah. Tangannya menyodorkan kotak pizza itu padaku.
"Makasih," ucapku dengan senyum.yanb merekah. "Ma, Pa, ayo kita makan bareng-bareng! Aku dan Ega gak akan kuat menghabiskan pizza jumbo ini berdua doang."
Aku sengaja mengajak makan kedua orang tua Ega. Dengan niat menghabiskan pizza ini tanpa menyisakan sepotong pun untuk Tania. Biar saja dia kelaparan.
"Enggak, Nak. Kami sudah kentang dan masih mengantuk," tolak Bu Gina lembut.
"Ayolah, Ma! Jangan buat aku sedih," bujukku sedikit manja.
Bu Gina dan Bapak Edi saling pandang. Tidak lama keduanya kompak menganguk dan tersenyum. Aku ikut tersenyum senang. Kuseret keduanya ke meja makan.
Kami berempat mulai menikmati pizza ukuran besar dengan toping sosis dan keju. Kami masing-masing melahap sepotong pizza nikmat ini. Masih tersisa 4 potong dan aku tidak mau Tania ikut menikmati.
"Mika, doyan makan juga ya?" ledek Bapak Edi saat melihat aku menghabiskan potongan ketiga. "Pusingnya sudah sembuh?"
Aku meringis malu. Biarlah aku dianggap rakus. Aku hanya sedang tidak ingin berbagi dengan Tania. Apalagi berbagi suami.
Pizza tinggal sepotong lagi. Kuharap salah satu dari orang tua Ega yang akan menghabiskannya.
"Mika." Bu Gina memanggil lembut.
"Ya, Ma," sahut masih dengan menguyah pelan karena sudah lumayan kenyang.
"Kapan terakhir haid?"
Aku tercekat, lalu tersenyum simpul. "Baru sepuluh hari yang lalu, Ma."
"Oh ... kirain."
Ada nada kecewa yang kutangkap dari sahutan pendek itu. Aku paham. Bu Gina sangat menginginkan sekali punya cucu. Berulang kali dia menyuruh kami untuk berbulan madu agar lekas punya momongan.
Aku hanya sanggup menahan sesak di dada. Bagaimana aku bisa cepat punya anak? Jika Ega selalu menggunakan pengaman setiap kali kami berhubungan.
"Mama pikir kamu lagi ngidam. Karena selain wajahmu pucat juga tiba-tiba saja doyan makan," tutur Bu Gina masih lembut.
"Baru juga tiga bulan, Ma. Biarkan mereka menikmati masa pacaran setelah menikah." Pak Edi menimpali dengan bijak. Pria itu yang menghabiskan sisa potongan pizza.
"Iya, sih." Bu Gina menyahut maklum.
Aku sendiri tiba-tiba merasa sedih. Haruskah kujujur jika Ega belum menginginkan keturunan yang berasal dari rahimku.
Next
Acara makan pizza telah usai. Kami semua bergantian cuci tangan di wastafel. Bu Gina dan Bapak Edi pamit tidur lagi ketika mendengar jarum besar berdetang sekali."Mama sangat menginginkan cucu. Dan kamu tidak akan mampu mewujudkannya, karena aku selalu pake pengaman," tutur Ega begitu kedua orang tuanya berlalu. Wajah dinginnya kini mencairkan senyum kemenangan. "Aku akan cari waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua," lanjutnya tenang, "dan kamu!" Ega menatapku tajam, "bersiaplah menerima kenyataan bahwa Tania akan menggeser posisimu menjadi menantu kesayangan mama dan papa," imbuhnya percaya diri.Ega terkekeh lirih. Sungguh ia tengah mengejek. Namun, aku tidak mau terpancing."Coba saja kalo berani," tantangku ikut tersenyum miring, "yang ada kamu akan ditendang oleh kedua orang tua angkatmu tanpa membawa sepeserpun harta.""Jangan terlalu percaya diri, Mika!" Ega mengingatkan dengan mencondongkan tubuh. Dia merapat padaku. Wajah kami sudah begitu dekat. Bahkan hembusan napasnya
Ega merebut ponsel yang masih berbunyi. Lelaki itu melempar benda tipis berwarna silver itu ke ranjang. Kini kedua tangannya memegang pundakku."Kenapa? Kenapa kamu tega ngurung Tania di kamar?" cecar Ega dengan geram. Kini pegangannya berubah jadi cengkeraman."Awww! Sakit, Ga." Aku mendesis merasakan sakit yang menggerus pundak."Tania itu sedang hamil. Tidak kah kamu kasihan pada dia?" Mata Elang Ega menukik tajam."Justru karena aku kasihan makanya aku kurung dia," sergah seraya menepis cengkeraman Ega. Namun, sia-sia. Tenaga tidak cukup kuat melawannya. "Kamu mau Tania ketahuan mama papamu saat berkeliaran?""Tapi dia pengap berada di kamar terus. Tania butuh udara segar. Dia juga butuh ke toilet, Mika!""Itu urusan kamu!" Kembali aku menyergah, "jika kamu ingin Tania hidup bebas silahkan bawa pergi dia dari sini!"Napas Ega terdengar memburu. "Kamu ini ...."Mataku tertutup saat melihat tangan Ega terangkat. Aku harus kuat. Selain dingin, Ega juga sedikit kasar. Namun, hingga be
"Ega! Jaga bicaramu!"Seketika aku dan Ega menoleh ke sumber suara. Tampak Bu Gina menatap putra angkatnya dengan wajah geram. Wanita itu bergerak maju mendekat."Kamu ngomong apa barusan?"Mata wanita berkulit cokelat bersih itu terus saja menghujam Ega. Membuat putra angkatnya terlihat gemetar. Kini tangan Ega bahkan menggenggam jemariku, lantas meremasnya kuat. Ini menandakan jika dia tengah meminta bantuan padaku.Dalam hati aku tertawa. Kemarin saja kamu begitu jumawa, Ega. Sekarang begitu mama mendengar, kamu malah ketakutan."Dengar Ega! Sudah berapa kali mama bilang? Jangan pernah lagi memikirkan Tania lagi!" larang Bu Gina tampak emosi, "papamu bahkan melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika gadis itu sering bergonta-ganti pasangan," lanjutnya berapi-api.Ibu Gina memang kadang tidak bisa mengkontrol diri. Padahal sudah sering kuingatkan untuk tidak terlalu menuruti emosi, supaya tekanan darahnya stabil. Namun, dirinya susah diingatkan. Tak jarang jika dia sering mengeluh
"Kalian?!" Ibu Gina mematung melihat ada Tania di dekatku. Wajah cantiknya terlihat memerah. Wanita itu langsung menatap sengit ke arah Tania. "Sejak kapan dia berada di rumah ini, Mika?" tanya Bu Gina tanpa mau menyebut nama Tania."Eum ... sudah dua tiga malam, Ma," jawabku pelan.Bu Gina menghela napas panjang. Dirinya bergantian menatap aku, lalu beralih pada Tania. "Ega yang membawanya ke sini?" Wanita yang hari ini memakai kaos lebar berlengan panjang itu masih menatap Tania serius. Membuat gadis berjanggut lancip itu menunduk."Bukan, Ma. Dia datang atas kemauannya sendiri." Bu Gina kian terlihat kesal, "malam-malam lagi," imbuhku sedikit mengadu."Saya datang ke mari tidak ada niat lain selain meminta pertanggung jawaban Ega." Tania mulai berani membuka mulut."Kamu itu ngomong apa, hah? Saya gak paham," sambut Bu Gina sinis."Ini kok lama banget sih, Ma." Dari luar Ega masuk. Seketika lelaki itu membatu kaget melihat Tania berdiri tegak di depan ibu angkatnya."Saya mengandun
"Bagaimana? Bagaimana hasil tesnya, Mika?" tanya Bu Gina begitu aku menemuinya di kursi tunggu. Wajahnya berserta sang suami sama-sama menyiratkan keinginan tahuan."Hasilnya sesuai dengan perhitungan, Ma," jawabku lesu."Maksudnya gimana, Mika?" Bapak mertua yang sedari diam ikut bertanya.Ketika aku akan menjawab, serombongan petugas medis lewat dengan menarik brankar. Terdapat seorang yang sepertinya tengah kritis ditarik ke ruang ICU. Di belakangnya di susul oleh beberapa orang yang mungkin saja keluarga dari pasien."Kita bahas di rumah saja, Ma." Kuajukan usul demikian karena di sini rasanya kurang etis membicarakan masalah pribadi."Ya, kamu benar." Bapak Edi menyahut, "sebaiknya kita pulang sekarang!" ajaknya seraya menggandeng tangan sang istri.Ibu Gina dan Bapak Edi berjalan tenang mendahului aku menuju parkiran. Aku sendiri menengok ke belakang. Ega terlihat begitu perhatian menuntun Tania melangkah. Aku menghembuskan napas. Lumayan terasa sesak melihat seseorang yang kit
Melihat kelakuan busuk Tania tentu saja hati ini meradang. Enak saja rumahku dijadikan sarang mesum. Ini tidak bisa dibiarkan. Ega harus tahu.Sayangnya lelaki itu teramat polos. Apapun yang dikatakan Tania, dia akan menelannya mentah-mentah. Sedangkan permintaan Tania, ibarat titah yang harus dikerjakan.Oke. Aku tetap harus main cantik.Untuk meredam emosi, aku menarik napas dalam-dalam. Lalu membuangnya perlahan. Tidak lupa beristighfar. Agar bisikan setan untuk melabrak Tania bisa aku kendalikan.Tanganku gegas merogoh ponsel dalam tas panjang berwarna hitam ini. Di depan sana Tania dan pemuda yang tidak kuketahui wajahnya, masih asyik bercengkerama. Saatnya mengabadikan kebersamaan mereka.CEKREK!CEKREK!CEKREK!Mendengar bunyi flash dari ponselku, sontak Tania dan sang pemuda langsung menoleh. Wajah Tania terlihat menegang. Pastinya dia ketakutan karena telah terpegok olehku. Namun, entah kenapa sang cowok tampak santai saja. Bibirnya bahkan melengkungkan senyum untukku.Dalam
Bian masih belum menyadari kehadiranku. Pemuda itu berdiri membelakangi. Ada sesuatu yang tengah ia pandangi. Kantukku hilang seketika karenanya. Merasa begitu penasaran, aku maju mendekat.EHEMMM!Dari belakang kulihat tubuh Bian menegang."Ngapain kamu di sini?" Aku menegur begitu pemuda itu membalikkan badan.Bian terdiam. Bola matanya terlihat berputar. Mungkin sedang mencari jawaban yang tepat."Hai ... Mik! Habis dari mana? Kok baru pulang? Ngelayap terus ya kerjaaannya." Bian mencoba mengalihkan perhatian. Dia mendekat. "Bibir kamu belepotan. Habis makan-makan di luar, ya?" Bian kembali berbasa-basi. Ketika tangannya berusaha menyentuh bibirku, aku mengelak."Gak usah pegang-pegang bisa gak sih!" protesku kesal, "kamu belum jawab pertanyaanku? Ngapain kamu masuk kamar ini?" Aku mencecar dengan berkacak pinggang.Bian terdiam. Tangannya merogoh kantung celana jeans belel robek-robeknya. "Aku disuruh ambilin ini oleh Ega. Ketinggalan katanya," jawab Bian sambil memperlihatkan seb
"Emang kamu mau ngomong apa?" tantang Ega seraya berkacak pinggang. Andai bukan suami sendiri sudah getok kepalanya. Abisnya songong."Kalian pesta, makan-makan dan minum. Membuat kacau rumah. Aku yang harus merapikannya, Ga.""Ya kan itu memang tugasmu," sahut Ega meremehkan."Maka dari itu, wajar dong kalo aku kelelahan. Ketiduran sampai sore," kilahku merasa benar, "lagian Tania yang bukan nyonya rumah saja bebas tidur siang, masa aku harus capek-capek kaya babu di rumah sendiri," lanjutku tidak terima."Mau disayang seperti Tania? Makanya hamil."Jleb!Seperti ada belati tajam yang menghujam batin. Ega benar-benar keterlaluan."Kamu amnesia apa sengaja melinglungkan diri?" balasku kesal, "ingat siapa yang belum menginginkan anak di antara kita?" Aku mengungkit marah."Sudah-sudah! Lupain itu!" Ega menyambar cepat. "Eum ... tadi katanya ada yang mau dibicarakan. Apa?" Kali ini Ega merendahkan nada bicaranya."Gak jadi." Aku membuang muka. Dongkol!"Mik!"Aku menarik napas dalam-da