[Aku jatuhkan talak padamu, Meira Althafunnisa binti Rahmat Hidayat. Mulai saat ini, kamu bukan istriku dan kita tak memiliki hubungan suami istri lagi. Kamu boleh pergi dari rumah yang kamu tinggali saat ini dan aku membebaskanmu untuk tinggal di manapun kamu suka. Bawalah Aldo, hak asuhnya akan kuserahkan padamu]
Meira, perempuan berhijab coklat pudar itu ternganga saat membaca pesan dari Ibrahim suaminya yang terkirim di layar handphonenya. Tangannya gemetar saat membaca ulang pesan itu. Rasa sesak dan sakit mulai terasa menyiksa. Air matanya pun luruh seketika. Meira terjatuh ke lantai karena tubuhnya terasa amat lemas seolah tulang-tulangnya dilolosi satu demi satu. Sakit, bingung, shock dan marah tercampur menjadi satu. Maira tak tahu mengapa suaminya yang baru tiga bulan bekerja di luar kota itu tiba-tiba menjatuhkan talak padanya. Dia yang sudah membersamai Ibrahim dari nol hingga kini memiliki jabatan penting di perusahaannya. Meira tak percaya apakah pesan itu benar-benar ditulis suaminya. Suami yang selama ini begitu mencintai dan setia, mengapa tiba-tiba menjatuhkan talak padanya. Sepuluh tahun bersama dan dikaruniai seorang anak lelaki yang tampan, rasanya tak membuat Ibrahim berpikir ulang atas apa yang diucapkannya. Belum sempat membalas pesan talak itu, lagi-lagi Meira tampak shock saat melihat video suaminya. "Maafkan aku, Mei. Aku tak bisa bersamamu lagi. Terlalu banyak perbedaan di antara kita dan aku ingin kita mencari kebahagiaan masing-masing. Kamu tenang saja, aku akan mengurus perceraiannya. Jika kamu tak ingin menghadiri sidang perceraian kita, kamu boleh absen. Dengan begitu justru memudahkan proses cerai kita dan akta cerai itu lebih cepat kita dapatkan. Kamu masih muda, bisa mencari lelaki lain yang pas untukmu." Meira menutup mulutnya dengan telapak tangan. Dia benar-benar tak menyangka jika suaminya sedzalim itu. Baru saja menjatuhkan talak tanpa ada masalah apapun dalam rumah tangganya, kini justru memberikan opsi yang teramat menyakitkan. Bagaimana mungkin secepat itu Meira berpaling, sementara pernikahan pertamanya saja masih menyisakan luka yang belum terobati. Semudah itukah lelaki melupakan wanitanya? Apakah Ibrahim sudah memiliki perempuan lain di sana hingga tega menjatuhkan talaknya pada Meira tanpa ada masalah serius di antara mereka? "Aku mencintaimu, Mei. Maukah kamu menikah denganku setelah lulus SMA nanti? Aku takut kamu berpaling pada lelaki lain jika menunggumu lulus kuliah. Usiaku sudah cukup matang dan kini aku mulai bekerja. InsyaAllah aku bisa memenuhi kebutuhanmu dari gajiku." Kata-kata yang diucapkan Ibrahim sepuluh tahun lalu sebelum Meira ujian akhir itu kembali terngiang di kepala. Ibrahim yang saat itu sudah lulus kuliah dan baru bekerja empat bulan di kantornya mendadak melamar Meira dengan penuh keseriusan. Meira yang saat itu tinggal di panti asuhan begitu terharu karena dilamar lelaki tampan dan memiliki keluarga yang utuh seperti Ibrahim. Ibu panti pun mengizinkan Mei menikah muda karena dia tahu Ibrahim bukanlah orang yang asing. Laki itu sering mengadakan bakti sosial di panti bersama teman-teman kuliahnya dulu. Sejak itulah dia sering bertemu dengan Meira lalu akrab dengannya. Jarak usia lima tahun terasa ideal bagi mereka. Meira yang cantik dengan lesung pipinya dan Ibrahim yang tampan dengan rahang tegas, hidung bangir dan alis tebalnya. Mereka tampak begitu serasi dengan senyum bahagia menghiasi pipi. Siapa sangka kisah cinta sederhana tapi istimewa itu berakhir di tahun kesepuluh pernikahan mereka. Mei masih bergeming. Dia tak tahu harus berbuat apa sekarang, terlebih untuk menjelaskan semuanya pada Aldo, anak lelakinya yang kini berusia sembilan tahun. Anak itu sudah cukup kritis. Mei yakin Aldo akan bertanya banyak hal tentang ayah bundanya dan alasan mereka berpisah. Meira tergugu di lantai kamar. Tak peduli suara ketukan di pintu dari ibu mertuanya itu. Pintu terbuka lebar, tapi Meira tetap terdiam di tempat sembari melipat lutut. Pikirannya kacau. Dia benar-benar tak mengerti mengapa Ibrahim bisa menjatuhkan talak itu padanya. "Apa salahku?!" lirihnya di sela isak. "Apa salahku sampai kamu menjatuhkan talak itu padaku, Mas?!" Lagi, dia menggumam sembari mengepalkan tangannya hingga kuku-kuku jemarinya tertancap di telapak tangan. "Kamu kenapa, Mei?!" Soraya melangkah perlahan lalu berdiri di samping Meira. Perempuan yang duduk di lantai itu pun mendongak. Wajahnya basah oleh air mata, sementara mertuanya hanya mengernyit tak mengerti. "Bu, Mas Ibrahim menalakku. Aku tak lagi menjadi istrinya mulai hari ini." Meira berucap lirih di sela-sela isaknya. Wajah wanita paruh baya di depannya terlihat kaget, tapi tak Alma kemudian tampak senyum tipis di sudut bibirnya. "Maafkan ibu, Meira. Ibu tak bisa menghentikan rencana Ibrahim untuk menceraikanmu. Keputusan anak itu untuk menikah lagi ternyata sudah bulat. Ibu nggak bisa mencegahnya. Maaf." Balasan mertuanya membuat Meira semakin ternganga. Dia sedikit mengurai pelukan lalu menatap ibu mertuanya lekat. "Jadi, ibu sudah tahu kalau Mas Ibrahim akan menceraikanku? Ternyata dugaanku benar jika Mas Ibrahim memiliki wanita idaman lain. Aku benar-benar tak menyangka jika dia bisa mengkhianati pernikahan ini. Janji setia yang selalu diucapkannya ternyata hanya omong kosong belaka." Soraya bergeming, tapi jelas dia menghembuskan napas panjang. Seolah begitu lega dengan keputusan anak lelaki satu-satunya. "Ibrahim bilang, dia tak mengizinkanmu membawa satu barang pun keluar dari rumah ini, Mei. Dia bilang semua yang ada di sini hasil kerja kerasnya, jadi kamu tak berhak mengambilnya setelah perpisahan kalian berdua." Mei kembali terkesiap mendengar ucapan mertuanya. Dia bergeming, kembali berpikir mungkinkah suaminya setega itu padanya? Atau semua itu hanya akal-akalan ibu mertuanya saja? Sekalipun Meira tak ikut andil membeli barang-barang itu, bukankah harta yang dimiliki pasca pernikahan masuk harta gono-gini? Mei paham, tapi dia memilih diam. Sepuluh tahun menikah dengan Ibrahim, Soraya memang sering kali mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Dia merasa Ibrahim dan Meira tak serasi dan terlalu jomplang dari segi apapun. Baginya, Meira yang hanya tamatan SMA dan sebagai ibu rumah tangga biasa, terlalu beruntung mendapatkan Ibrahim yang sarjana bahkan kini memiliki jabatan penting di tempatnya bekerja. Sering kali terdengar percekcokan antara Soraya dan Ibrahim soal ketidakcocokan itu. Namun, Meira tak bisa menuduh mertuanya sebagai dalang talak itu bukan? Tak ada bukti yang menguatkan argumentasinya. "Kamu harap maklum, Mei. Ibrahim itu tampan dan mapan, tentu dia memiliki ekspektasi cukup tinggi pada seorang wanita untuk menemaninya hingga menua. Perempuan cantik, berpendidikan dan berasal dari golongan berada, sementara kamu-- "Aku juga cantik dan berpendidikan andai Mas Ibrahim tak memohon padaku untuk menikah muda dan memintaku untuk fokus menjadi ibu rumah tangga saja, Bu. Ohya, katakan pada anak ibu, aku dan Aldo akan pergi tanpa membawa barang apapun dari rumah ini kecuali baju yang melekat di badan. Semoga anak ibu puas dan tak ada penyesalan di kemudian hari atas keputusan dadakannya." Meira yang sebelumnya terlihat lemah saat membaca talak suaminya, kini berusaha bangkit dan menekan segala rasa yang berkecamuk dalam dada. ***"Assalamualaikum." Salam terdengar dan semua yang duduk di ruang tamu itu pun membalas salamnya. Tak hanya Rudy yang kaget melihat tamu itu, tapi juga Ken dan Hanum. Mereka saling tatap lalu Rudy meminta Hanum duduk kembali saat menantunya itu akan menyambut tamunya. "Biar bapak saja. Kamu ajak ngobrol mama dan papa dulu, Num," pinta Rudy sembari beranjak dari sofa. Laki-laki itu menatap tajam ke arah tamunya lalu menarik pergelangan tangan perempuan itu untuk menjauh. Di bawah pohon mangga halaman rumah, Rudy menghempaskan tangan perempuan itu. "Aku sudah cukup sabar selama ini, War. Bahkan setelah kujatuhkan talak pun, aku masih mengurusi tempat tinggal dan jatah iddahmu. Jangan bikin aku semakin muak dan menjadi mantan suami yang tega. Mau apalagi datang ke sini?" sentak Rudy tak terima kedatangan mantan istrinya itu. Rudy yakin Mawar sengaja datang tepat di saat kedua orang tua Ken berkunjung. Entah apa rencananya, tapi Rudy yakin jika itu rencana yang buruk. "Kamu apa-apaan
"Kenapa, Ken?!" pekik Sundari yang spontan memeluk menantunya lebih erat. "Hati-hati, Mas. Ada apa?" Hanum ikut bertanya. "Astaghfirullah. Ada kucing nyebrang tiba-tiba. Maaf, Ma, Pa, Sayang. Itu kucingnya sudah diseberang," tunjuk Ken ke seberang jalan. Seperti yang lain, Ken pun berdebar tak karuan. Dia nyaris menabrak kucing itu kalau nggak mengerem mendadak tadi. Jantungnya berdegup kencang. Ken memilih menepikan mobilnya lebih dulu untuk menetralkan debar dadanya. "Atau papa yang gantiin nyetir?" Wicaksono menawarkan. "Nggak, Pa. Tadi memang aku agak kurang fokus, makanya sedikit oleng saat ada kucing." Ken kembali melajukan mobilnya perlahan. "Kenapa kurang fokus? Ada masalah di kantor?" tanya Wicaksono lagi. Sundari mengusap punggung Hanum beberapa kali untuk menenangkan. Tak lupa mengusap perut menantunya yang makin membuncit itu. "Sudah nggak apa-apa," ujar Sundari pada Hanum. Kedua perempuan itu pun saling tatap lalu sama-sama tersenyum. "Nggak ada masalah, Pa. Cuma
Jarum jam menunjuk angka tujuh pagi. Suasana di rumah Ken cukup berbeda kali ini. Kemarin sore, papa dan mamanya datang dari Jogja untuk menjenguk mereka, sekalian akan berkunjung ke rumah besan. "Akhirnya mama merasakan kembali masakan Hanum," ujar Sundari di ruang makan. Hanum tersenyum, sembari menuangkan air putih ke gelas mertuanya. Dia sengaja menyiapkan sarapan pagi untuk mereka hari ini. Ada soto, rawon dan ayam goreng. Dibantu Bi Santi membuat sate telur puyuh, perkedel dan beberapa gorengan. "Kangen ya, Ma?" Ken menimpali. "Kangen banget. Nggak cuma masakannya yang bikin kangen, tapi orangnya juga. Bulan depan mama sudah longgar, nggak banyak kegiatan. Makanya, pengin ajak Hanum keliling Jogja. Nanti kalian bareng mama sama papa ke Jogja ya? Kita adakan acara empat bulanan Hanum sama tujuh bulanan Mbak Meira sekalian di sana biar makin seru," ujar Sundari begitu bersemangat. Ken menatap Hanum beberapa saat lalu sama-sama tersenyum. "Iya, Ma. Kan sejak awal juga begitu
Malam ini langit terlihat lebih cerah dengan hiasan beragam bintang. Malam pertama setelah Mawar pergi dari rumah yang sudah lebih dari 10 tahun dia tinggali. Rudy baru keluar dari pintu dengan secangkir teh hangat dan pisang goreng yang dibelinya di warung tadi. Dia memilih duduk di teras sembari menikmati cerahnya langit dan lalu lalang kendaraan di depan rumah. Sesekali terdengar suara tawa dari pos ronda yang tak jauh dari rumahnya. Baru menyeruput tehnya, tiba-tiba terdengar dering handphonenya di ruang tengah. Perlahan Rudy bangkit dari kursi lalu melangkah ke sofa ruang keluarga. Handphone masih menyala dengan seringnya yang nyaris usai. Senyum pria lebih dari setengah abad itu pun tampak jelas di sudut bibir. Anak kesayangannya memanggil, membuatnya lebih tenang tiap kali mendengar suara merdunya. "Assalamualaikum, Pak. Bapak lagi ngapain? Sudah makan?" tanya Hanum terdengar semringah dari seberang. "Wa'alaikumsalam, Num. Bapak lagi ngeteh sama makan pisang goreng di teras.
Heboh. Ulah Mawar tak hanya membuat keluarga Rudy berantakan, tapi juga menimbulkan kehebohan di lingkungan rumahnya. Para tetangga mulai sibuk membicarakan mantan istri dan anak tirinya itu. Rudy masih cukup bertanggungjawab atas kepergian mantan istrinya itu. Dia mencarikan kontrakan selama tiga bulan untuk Mawar, setidaknya sampai masa iddahnya selesai. Rudy tak mau melepas tanggungjawab begitu saja. Dia cukup tahu agama. "Biaya sewa sudah kulunasi sampai tiga bulan ke depan. Kamu tak perlu memikirkan soal itu. Aku juga akan memberikan nafkah iddah satu juta lima ratus ribu selama tiga bulan ke depan. Tenang saja, aku nggak akan lalai dengan tanggung jawabku sendiri. Tapi, kalau selama iddah kamu kembali berhubungan dengan lelaki itu, otomatis tanggungjawab nafkah iddahku selesai," ucap Rudy sebelum Mawar meninggalkan rumahnya. Mawar cukup kaget dengan pernyataan mantan suaminya itu. Namun, di balik rasa kecewanya karena diceraikan, Mawar masih bersyukur Rudy bertanggungjawab at
Pagi ini begitu cerah dan bersinar, tapi tidak buat Mawar. Semalaman menangis ternyata tak membuat nasibnya berubah. Tetap saja mendung dan suram. Bahkan sepagi ini dia sudah menata semua barang-barang penting miliknya dan milik Rena. Wajahnya sembab karena kebanyakan menangis. Dia juga sudah mulai lelah merutuki diri sendiri, menyesali semua kekhilafannya dan memaki orang-orang yang menyakitinya. Namun, tak ada manfaat. Hatinya justru semakin pedih dan sakit. Jarum jam menunjuk angka enam dini hari. Suasana di sekitar rumah yang biasanya lengang, entah mengapa ini mulai berisik. Ada yang menyapu di halaman, dengan obrolan-obrolan yang benar-benar terdengar jelas di telinganya. Pagi hari yang dia harapkan sedikit lebih menenangkan, nyatanya membuat hati Mawar semakin panas. "Kalian tahu kan soal Jeng Mawar." Suara tetangga terdengar lagi. "Videonya viral di mana-mana.""Video apa? Saya belum tahu.""Dih, kamu mah jeng. Sibuk kerja makanya nggak tahu gosip terhot di kampung kita."