Share

BAB 7_BISIK HATI

"Kamu? Untuk apa ke sini? Nanti Bibimu marah," sergahku melepaskan salon rusak yang sedang kuangkat.

"Bibiku, wak-mu juga kan?" balasnya tersenyum.

"Iya, tapi aku tidak ingin kamu di sini."

"Kenapa? Aku hanya ingin menolongmu," bujuknya.

"Aku tidak mau," ketusku.

"Kenapa?" Laki-laki itu mengernyitkan alisnya tanda tidak mengerti. 'Manis', batinku menggoda.

"Banyak tanya. Aku sedang sibuk. Tolong jangan ganggu aku."

"Aku ingin menolong, bukan mengganggu!" suaranya semakin keras.

Aku bingung sendiri. Antara malu dilihat kusut, penuh debu juga risih ada lelaki yang baru kukenal berada satu ruangan denganku. Rasanya aku ingin kabur saja. Aku sampai membelakanginya karena grogi akut. Malu sekali hingga aku tidak bisa mengendalikan perasaanku ini. Untuk pertama kali aku diberi perhatian oleh pria seumuranku. Aku yang sudah kehilangan ayah sejak usia lima tahun, benar-benar merasa sangat aneh juga ada sebutir rasa tersanjung bergelayut.

"Arsih! Istirahatlah! Sudah siang!" teriak Wak Yanto dari dalam rumah.

"Nggih, Wak!"

Aku menjawab seruan Wak Yanto dengan bersemangat. Kesempatan emas untukku menghindar dari laki-laki tampan itu. Aku sudah tak kuat berlama-lama. Takut kebawa perasaan.

"Eeeihh tunggu! Jangan pergi dulu. Aku baru saja mau mulai membantumu," sergahnya serius menghadangku. Aduh, ya salam ... tatapan matanya itu, sungguh sejuk sampai hati ini.

"Tidak dengar? Tadi suara siapa? Udah ya, sana! Nanti dicari sama bibimu," sindirku sambil berlalu meninggalkannya sendirian.

Entah mengapa, di sisi lain aku merasa sensi dengannya karena melihat Wak Erni begitu memanjakannya. Sedangkan, aku juga keponakannya, justru sudah seperti pembantu. Aku sedikit berlari masuk rumah. Mencari handuk lalu bergegas ke kamar mandi membersihkan seluruh tubuhku.

"Aaah ... segar sekali. Semoga nenek-nenek itu tidak mengganggu," desisku meraih gayung dan bersiap memanjakan diriku kembali dengan melanjutkan ritual mandi. Tiba-tiba terdengar pintu kamar mandi digedor kencang.

"Arsih! Arsih! Buat sambal pelecing, Wak-mu mau makan habis sholat!" teriakan Wak Erni menghancurkan moment berhargaku.

Baru saja aku memikirkannya, sudah kejadian. Aku bersungut, memaksa kakiku keluar dari kamar mandi lalu memakai baju dan kerudungku. Ada pria dewasa lain di rumah ini, jadi aku harus tetap memakai hijabku. Sekarang aku siap tempur di dapur.

Pelecing kangkung adalah makanan khas suku Sasak. Membuat sambalnya juga sangat mudah. Cukup mengulek terasi, garam, cabe, tomat dan penyedap rasa. Tidak lupa dikucuri sepotong limau untuk memberi aroma spesial. Harumnya sambal terasi khas Lombok membuat perutku juga meronta. Tapi tidak sopan jika makan duluan sedang yang punya rumah belum makan. Aku menambah kesabaranku.

Wak Erni celingak-celinguk melewati aku yang mengeluarkan piring. "Kak, lihat Badai? Tadi dia nonton TV di depan, kok sudah gak ada ya?"

"Aku baru tahu malah kalau Badai ke sini," jawab Wak Yanto melahap nasinya.

Aku mengangkat alisku. Mungkinkah laki-laki itu masih di gudang? Kalau aku beritahu Wak Erni tadi dia ke gudang, habislah aku diomelinya. Keponakan tersayangnya berkutat dengan debu.

"Arsih! Cari Badai. Suruh dia makan," perintah Wak Er menghentikan aku yang sedang menyiapkan minuman.

"Nggih, Wak," jawabku sehalus mungkin meski hatiku amat dongkol.

Sedikit gugup, kakiku menuju gudang. Aku berjalan perlahan dan membuka pintu. Terlihat gudang itu sudah jauh lebih rapi dibandingkan saat aku meninggalkannya. Ternyata, pria itu serius membantuku.

"Mencari sesuatu?" suaranya dari belakangku. Tangan dan bajunya terlihat kotor. Ada keringat di dahinya pertanda ia sudah bekerja keras.

"Ehh ... itu ... anu ... emmm."

Aku tergagap, terkejut karena yang sedang kupikirkan ada di depanku.

"Iya?"

Mata bening itu memukau pandanganku. Aku memalingkan wajah.

"Wak Er menyuruhmu masuk untuk makan," ujarku sambil melangkah pergi. Sungguh aku tak sanggup berlama-lama menatapnya. Bahkan saat seberantakan itu, pria itu terlihat tetap tampan dan wangi.

Di ruang makan, mereka berkumpul dan bercakap-cakap. Sesekali Wak Erni memanggilku untuk sekedar mengganti air cuci tangan. Padahal, Ana ada juga di situ. Sekali lagi, aku mengingatkan diriku bahwa aku sedang menumpang. Rasyid lebih dulu selesai dan ia menghampiriku yang sedang duduk termangu. Aku memintanya menyalakan TV sebab aku tidak tahu caranya.

"Ocid ajarin ya Kak, cok ini, dimasukkan ke sini lalu pencet yang ini," jelasnya seperti seorang guru mengajar muridnya. Aku memperhatikan dengan baik.

Baru beberapa menit aku asik dengan tayangan di layar, Wak Erni datang dengan wajah kecutnya.

"Asik ya nonton kayak rumah sendiri. Sana! Bersihkan tempat makan dan jangan lupa cuci piring. Ingat, pakai sedikit sabun!" perintahnya sinis.

Aku diam dan beranjak. Ternyata Badai ada di belakangnya, disusul dengan Ana. Laki-laki itu melihatku sekilas. Pasti mereka akan menonton TV bersama. Sungguh aku sangat malu sekali. Rasanya sudah tak punya wajah. Aku memang menumpang tapi mengapa diperintah dengan kalimat-kalimat yang menjatuhkan mentalku.

Jika tidak bisa menghargai bagaimana kita dihargai?

'Wak Erni sepertinya harus belajar cara memperlakukan orang lainlain' batinku.

Terlihat semua lauk pauk sudah habis tak tersisa. Nasi hanya tersisa di pinggir penanak. Serpihan-serpihan tomat dan cabe yang masih di cobek berceceran. Pupuslah harapanku untuk menyantap pelecing lezat buatanku sendiri. Aku mengira, mereka punya hati untuk menyisakanku walau cuma satu helai kangkung. Tapi ... ah sudahlah.

Aku menahan perasaanku yang sudah bercampur aduk. Kugosok-gosokkan piring dan gelas dengan buru-buru. Setidaknya, setelah ini aku akan mengganjal perutku dengan nasi campur kelapa parut campur garam lembut. Sungguh lapar sekali. Tiba-tiba secara tidak sengaja, piring yang di genggamanku jatuh dan terbelah. Aku terkejut. 'Habis sudah aku hari ini,' batinku.

"Arsih!" teriak Wak Erni.

Suara hentakan kakinya terdengar jelas. Bola mata wanita tua itu melotot seperti mau keluar dari tempatnya. Aku pasrah.

"Baru cuci piring segitu aja kamu gak becus, Arsih!" pekiknya menusuk gendang telingaku.

"Kecapean, Wak. Belum makan juga. Lauk sudah habis semua. Arsih 'kan butuh tenaga juga," balasku cuek.

"Apa sih kerjaanmu sampai bisa bilang kecapean? Kalau numpang itu jangan banyak ngeluh," sinisnya memandangku.

"Yang angkut barang-barang rongsokan di gudang itu, terus masak dan bersih-bersih rumah ini, setan ya, Wak?" timpalku. Kepalang basah, ya sudah mandi saja. Sudah panas hatiku karena aku juga sangat lapar. Ditambah rasa kecewa tidak mendapatkan sekedar sisa satu helai pelecing kangkung.

"Yang sopan ya kamu kalau ngomong sama orang tua!" Wak Erni menunjuk dengan wajah seramnya. Aku bergeming.

"Memang ya, kalau pelihara anak yatim piatu, ya ... resiko makan hati terus," cebiknya berlalu.

"Ya Allah, Wak!" pekikku.

Wanita itu tidak peduli. Dia sepertinya benar-benar merasa di atas awang. Aku menggenggam erat pecahan piring yang semula ingin kubereskan. Hatiku benar-benar terasa sakit sekali.

"Auuuuchhh ...!" jeritku pelan. Darah dari tanganku menetes bercampur dengan air sabun. Aku melempar pecahan piring itu sembarangan. Lalu mencuci tanganku.

Kutinggalkan pekerjaan yang belum selesai. Tak peduli jika wanita jahanam itu membunuhku. Hatiku sudah tertusuk terlalu dalam. Luka tubuh bisa diobati, luka perasaan? Apa penyembuhnya. Aku melintasi Badai yang masih duduk di ruang tamu. Aku makin emosi karena sangat malu. Sedikit pun aku tidak punya nyali untuk menoleh.

***

Malam ini aku masih di kamar Rasyid. Jika bukan karena Wak Yanto, malam ini sudah kutinggalkan rumah ini. Namun aku ingat pesan ayah dan ibu yang benar-benar menaruh harapan penuh pada Wak Yanto sebagai waliku.

"Kuatkan kesabaranmu, Arsih," bisikku sambil memandang bulan di balik jendela.

Aku mengambil lima biji bakso ayam yang kusembunyikan di kantungku. Sepertinya, selama di sini, aku akan selalu 'mencuri' makanan dari dapur uwak-ku sendiri. Miris.

"Arsih! Bereskan dapur!" suara melengking Wak Erni dari dalam kamarnya.

Wanita kriting itu tetap memerintahku padahal ia telah menyakiti perasaanku. Dia tidak peduli, lidahnya telah menyayat hatiku. Cucian piring yang kutinggalkan bukannya menghilang justru makin bertambah.

"Buatkan kopi untuk Wak mu, Arsih!" teriaknya lagi padahal kerjaanku belum selesai.

Akan tetapi, aku segera bergegas. Jika urusannya tentang Wak Yanto, aku berusaha memberikan pelayanan terbaikku. Sebab, ada restu ayah dan ibuku padanya.

"Ini kopinya, Wak," suaraku pelan. Tak ingin mengganggu konsentrasinya memilin kertas rokok. Desa kami termasuk penghasil tembakau terbaik. Jenis tembakau senang dan tembakau kasturi adalah andalannya.

"Arsih, duduklah, Nak," perintahnya.

Aku pun menurut. Aku menyembunyikan tanganku yang terbalut kain. Aku takut diintrogasi.

"Maafkan Wak, Arsih," suaranya parau.

Aku diam, tak mau bicara dulu, takut salah.

"Aku tahu, kamu mungkin tidak akan nyaman di sini. Aku belum berhasil mendidik Wak-mu, juga Ana. Tapi jika kamu tidak di sini, harga diri dan tanggung jawabku dipertanyakan, Arsih." Laki-laki bersahaja itu menarik nafas beratnya.

"Sampai kau menikah, sampai aku menikahkanmu dengan laki-laki yang mencintaimu dan kau cintai, tetaplah di sini, Arsih. Demi Wak-mu ini," lanjutnya. Urat-urat tangan tuanya jelas terlihat walau di bawah lampu temaram.

Aku tidak menyadari, ada bulir bening membasahi pipiku. Hatiku basah hingga menyemburat keluar dari kelopak mataku.

"Kamu boleh pergi dan tinggal dimana saja kamu mau, namun untuk sementara ini, menetaplah, sebelum Wak pergi untuk ...." Suara Wak Yanto terdengar berat seperti menahan beban.

"Cukup Wak, jangan bilang Wak akan pergi seperti Bapak sama Mamak," ucapku mulai terisak.

Mata laki-laki tua itu pun berembun. Ia meletakkan tangannya di atas kepalaku. Mungkin karena sekarang aku sudah gadis. Tidak seperti dulu masa kanak-kanak menuju remaja, ia selalu mencium kepalaku.

Setelah pembicaraan dengan Wak Yanto, aku menjadi lebih bersemangat. Sebab aku hanya punya dia sebagai pengganti ayahku. Aku tidak akan menyerah dengan mudah. Aku 'kan bertahan di sini. Ini rumah kakak kandung ayahku. Mereka juga harus menghargaiku sebagai anggota keluarga. Aku tidak boleh lemah.

Lagi pula ...

Aaaah ... jantungku, mengapa berdetak sangat cepat? Wajah Badai kembali menggoda pikiranku. Ia seperti air untuk musyafir yang kehausan. Pria itu. Senyumnya, perhatiannya yang mau menolongku, dan lembut tutur katanya meski kuketusi. Aku akan bertahan di sini juga untuk menunggunya datang lagi. Aku tidak akan kemana pun untuk menantikannya. Mungkin ada takdir indah di antara kami. Begitu bisik hatiku yang mulai terbuai.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Aufa Cynkmmnpp
gk asik pake beli koin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status