Share

BAB 6_AWAL MULA PETAKA

Keringat dingin nuncul di setiap pori-pori tubuhku. Telingaku seperti terasa berdenging hingga seperti memekik di gendang telingaku. Pandanganku terasa gelap dan semakin pekat. Buah nanas yang di tanganku jatuh begitu saja menimpa betisku yang bersila.

"Kinarsih!!! Kamu dipanggil Wakmu! Cepat!"

Terdengar suara Wak Erni dari luar. Tangannya bagai godham saja, mengetuk pintuku seperti orang kesurupan.

Duaaar! Duaaar!

"Kinarsih!" teriaknya lagi dan aku sudah tak memiliki kekuatan sedikit pun. Kepalaku rasanya seperti diputar kencang. Aku menjatuhkan tubuhku di kasurku. Rasanya seperti aku tidur di atas es batu. Dinginnya sampai menusuk.

"Kinarsih! Keluar kamu! Jangan sok jadi ratu ya!"

Suara wanita jahat itu tadi terdengar jelas sekali, tapi sekarang semakin sayup semakin hilang. Tiba-tiba hanya wajah laki-laki itu yang muncul di kelopak mataku.

"Ba ... dai ...," desisku lemah dan aku sudah tak ingat dan merasakan apa-ap lagi.

*FLASH BACK* (PERTEMUAN AWAL SEBUAH PETAKA)

Hari menjelang senja, Bi Marni, adik ayahku berpamitan pada Wak Yanto saat mengantarkanku ke rumah ini. Ia memelukku dan menasehatiku agar aku jadi gadis penurut. Lalu dia melangkahkan kakinya keluar gerbang, membuatku menarik nafas dalam-dalam.

"Langsung bawa masuk tasmu ke kamar Ana, dia sama Wak mu lagi di luar," perintah Wak Yanto.

Aku diam. Ragu sekali rasanya kakiku melangkah. Belum sempat aku beringsut dari tempat duduk, aku melihat Wak Erni dan Ana masuk halaman. Entah kenapa aku meras perutku seperti dililit. Aku selalu begitu jika was-was terlalu berlebihan.

"Er, Arsih sudah sampai. Ana, kamu yang akur sama Arsih, ya. Anggap dia seperti Rasyid, karena memang Arsih ini adik sepupumu yang paling dekat."

Wak Yanto antusias menyapa mereka. Ana menatapku dengan pandangan tak suka. Tanpa mengatakan apa-apa, gadis itu masuk ke dalam. Aku semakin tak nyaman.

"Kak, hidup kita sekarang itu susah. Kamu bukan kepala desa lagi yang punya gaji seperti dulu. Tanah-tanah juga banyak yang sudah terjual buat kehidupan sehari-hari dan kuliah Ana. Sekarang nambah beban lagi," cerocos Wak Erni tepat di depanku. Dia benar-benar tidak menjaga perasaanku.

"Tapi kita masih bisa hidup 'kan sampai sekarang? Kalau bukan aku, siapa yang akan mengayomi Arsih? Aku Wak-nya, kakak laki-laki satu-satunya dari bapaknya. Adikku meninggal lalu disusul adik iparku, sekarang hanya aku yang dia punya. Kamu jangan keras kepala begitu," timpal Wak Yanto.

"Bukannya Marni bisa mengurusnya? Toh Marni tidak punya anak. Cocoklah."

Wajah wanita itu benar-benar tidak sedap dipandang. Aku hanya diam dan hanya berani melihat dengan ekor mataku.

"Marni itu punya suami, Er. Apa jadinya Arsih tinggal satu rumah dengan yang bukan muhrimnya? Gila kamu, ya!" Wak Yanto seperti sudah mulai naik pitam.

"Alah ... persetan dengan muhrim. Aku tidak peduli. Aku tidak mau Arsih tinggal di sini dan jadi beban baru buat saya. Ana mau masuk kuliah, Rasyid sudah kelas lima SD. Sebentar lagi mau masuk SMP. Semua butuh biaya!" pekiknya.

Wak Yanto mendekatiku. "Arsih punya sawah peninggalan yang akan disewakan. Bisa untuk dia sekedar membeli kebutuhannya. Dia sudah gadis, dia tidak akan banyak merepotkanmu," ujarnya.

"Nanti Ana pergi kuliah, dia bisa di sini membantumu memasak atau mengurus rumah. Keponakanku gadis yang pandai, dia tidak akan membuat Wak-nya kecewa. Iya 'kan, Arsih?" Wak Yanto memandangku dengan senyum.

"Ng-ngih, Wak."

Aku terbata. Aku mencoba menahan rasa sungkan yang teramat besar. Aku sungguh sangat malu dianggap menjadi beban hidup orang lain. Ayahku tidak pernah mengajarku untuk merepotkan orang lain walau itu keluarga. Bulir bening di sudut mataku seperti akan jatuh, dengan cepat-cepat aku mencegahnya.

Wanita tua itu diam. Sepertinya ia tertarik dengan ucapan suaminya. Ada rona baru di wajahnya. Aku tahu isi pikirannya. Sudah hafal di luar kepala.

'Ciiih ... dasar wewe gombel matre' umpatku dalam hati.

Malam itu aku tidak jadi tidur di kamar Ana, aku memilih tidur di kamarnya Rasyid. Anak laki-laki dua belas tahun itu jauh lebih menyenangkan daripada kakaknya. Dia pun tak sungkan berbicara padaku.

"Kak Arsih, pakai selimut Ocid, nanti Ocid pake selimut mamak," katanya dengan wajah imutnya.

Esoknya, hampir setengah hari aku membersihkan gudang rumah yang begitu berantakan. Semua barang-barang bekas zaman nenek moyang keluarga ini sepertinya berkumpul di sana. Mulai dari aneka panci jaman dulu sampai ember bekas cat rumah juga menumpuk. Aku benar-benar heran, tujuan keluarga ini menyimpan semua barang rongsokan itu apa?

"Arsih, sepeda bekas dan juga kereta bekas itu simpan di depan. Mungkin nanti ada yang mau perbaiki atau kita kilokan saja!" perintah Wak Yanto setengah berteriak. Sedari awal, ia batuk terus-menerus karena debu di ruangan ini bagai pasir di Gurun Sahara.

"Mana ada yang mau memperbaiki sepeda kadaluarsa seperti ini," gerutuku mengangkat sepeda yang cukup besar dan tinggi.

Kedua rodanya sudah usang. Setiap bagiannya berkarat dan beberapa sisinya sudah berlubang karena usia. Tenagaku cukup terkuras banyak mengangkatnya. Dengan susah payah kubawa keluar menuju halaman depan.

Saat aku akan membuka pintu seng yang menghubungkan halaman depan dan halaman samping, tiba-tiba ...

"Aaaaaakkkk!!!!" teriakku. Tubuhku terjungkil bersamaan dengan sepeda rusak itu tentunya.

Seseorang sedang mendorong pintu dengan kuat dari luar. Aku kesakitan namun rasa marah jauh lebih besar.

"Astaga, maaf-maaf. Aku tidak sengaja, kamu terluka?" suara asing yang baru kudengar pertama kali di rumah ini.

"Iiiiissssh ...," desisku kesal tanpa menoleh siapa yang sedang bicara.

Aku berusaha bangkit dari posisiku yang jatuh menyamping. Tanah dan krikil kecil menempel di wajah dan tanganku. Rasanya ada juga yang masuk ke mulutku. Sungguh menyebalkan.

"Permisi, aku bantu ya," bujuk suara lembut itu.

Aku diam, malas rasanya. Aku sibuk membersihkan tubuhku. Sekelebat kulihat dengan ekor mataku, seorang sedang mengangkat sepeda itu dan membawanya keluar.

"Maaf ya, tidak sengaja. Aku, Badai."

Laki-laki itu mengulurkan tangannya dan tersenyum sangat manis. Walaupun mataku masih belum benar-benar bersih dari debu, senyumnya memang sungguh menawan. Aku sedikit kikuk namun kuulurkan juga tanganku yang kotor. Bekas krikil-krikil tajam menempel menyisakan tanda seperti kulitku memiliki kawah yang kecil-kecil.

"Kinarsih, panggil saja Arsih."

Aku mencoba tersenyum walau sebenarnya aku salah tingkah. Bertemu dengan seorang pemuda malah kondisi begini. Biar bagaimanapun aku adalah seorang gadis. Duuuh ... aku malu. Tapi semua ini 'kan karena dia yang tadi menabrakku.

Cepat-cepat kutarik kembali tanganku. Aku baru ingat, kata guru agama, bukan muhrim. Ayahku, saudara ayahku dan ibuku, kakekku dari ayah dan ibu, juga mertua laki-lakiku kelak yang disebut muhrim. Andai aku punya saudara laki-laki kandung, dia dan anaknya pun termasuk. Jika berwudhu lalu mereka menyentuh kulitku, tidaklah batal. Gara-gara salah tingkah, aku jadi lupa ajaran guruku. Astagfirullahaladzim.

"Namamu cocok dengan wajahmu, cantik. Kamu bekerja di sini?"

Oh Tuhan, satu detik dia memujiku lalu satu detik kemudian menjatuhkanku dari ketinggian Gunung Himalaya. Laki-laki berkemeja rapi ini mengiraku sebagai seorang pembantu di rumah ini. Namun aku juga sadar diri. Baiklah.

"Iya, baru satu hari," ketusku.

"Aku adalah keponakan dari Bi Erni. Aku sedang mencarinya. Kamu tahu dia di mana?"

"Aku tidak tahu. Mungkin dia sedang ke kebun," timpalku.

"Baiklah. Aku akan menunggu di dalam. Pantas saja dari tadi aku mengetuk pintu, tidak ada yang menyahut,"cerocosnya lagi sok dekat.

"Aku sedang membersihkan gudang. Masuk saja. Aku pamit ke belakang," ucapku sambil berlalu.

Laki-laki itu tersenyum lagi. Dia melangkah masuk dari pintu samping. Sepertinya dia sudah terbiasa di sini. Wajar juga, ini adalah rumah bibinya. Ajaib, sampai aku sebesar ini, aku baru tahu kalau Wak Erni punya keponakan yang necis. Semoga dia tidak menyebalkan seperti bibinya. Sesampai di gudang, aku tidak melihat Wak Yanto lagi. Mungkin dia sudah menyerah. Aku kembali mensortir barang-barang yang masih layak disimpan.

"Arsih!! Buatkan minuman, ada tamu!"

Suara Wak Er membuyarkan konsentrasiku.

Aku tahu siapa yang dimaksud. Laki-laki berdasi dan berkemeja rapi. Potongan rambutnya yang macho seperti pemain bola favoritku. Tebal dan tegak di bagian atas sedang sisi kiri dan kanan tipis. Cocok dengan bentuk wajahnya.

Sejurus kemudian aku membawa minuman itu ke ruang tamu. Jantungku sedikit berdegub. Aku menunduk sehingga yang terlihat hanya lututnya dan kain celananya yang licin. Aroma parfumnya yang lembut memenuhi ruangan. Sungguh laki-laki yang memperhatikan penampilan.

"Seginian belum-belum selesai kerjaanmu di gudang, Arsih?" tanya Wak Erni bagai seorang majikan pada pembantunya.

"Nggih, belum. Wak Yanto tadi juga bantu tapi sudah kewalahan karena banyak barang yang menumpuk," jawabku dengan suara sedikit tegas. Biar laki-laki yang sedang duduk itu tahu aku bukan pembantu. Aku juga keponakan dari suami bibinya.

"Segera selesaikan sebelum siang. Rumah ini juga perlu dibersihkan." Gayanya sudah bagai nyonya besar.

"Biarkan saya yang membantunya, Bi. Tadi saya tidak sengaja mengulur waktunya Arsih, pas nyari Bibi." Laki-laki itu menyelah seolah kami dekat.

"Oh jangan Badai, bisa-bisa kulit dan bajumu kotor. Biarkan itu sudah kerjaan dia," sindir Wak Erni. Tega sekali wanita itu.

Aku meremas nampan di tanganku. Andai saja nampan ini mulut wanita tua itu. Hatiku sangat dongkol.

"Arsih ke belakang lagi, Wak, " ucapku tanpa melihat mereka.

Terdengar sayup-sayup suara Badai berusaha meyakinkan bibinya. Semoga saja tidak benar-benar terjadi. Aku pasti akan risih sebab aku baru saja mengenalnya. Baru saja aku mengeluarkan beberapa barang, tiba-tiba muncul sosok yang baru saja kukenal. Laki-laki dewasa yang memiliki mata yang teduh. Ia datang dengan pakaian kaos hitam dan celana selutut, lengkap dengan senyum manisnya. Sebagai remaja dusun yang beranjak dewasa dan tak pernah melihat pria necis seperti dia, batinku memekik keras.

'Ya Allah, dia tampan dan sangat berwibawa sekali!'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status