Duar! Duar! Duar!
Suara pintu yang dipukul degan sentakan yang sangat kasar membangunkanku. Entah dari tidur atau pingsan, aku tidak tahu. Dengan tubuh lemah, aku berusaha bangkit. Samar mataku menoleh jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. Aku langsung terperanjat. Subuhku terlewati. Astaghfirullah!"Buka pintumu, Arsih!" teriak Wak Erni, istri pamanku. Suaranya yang melingking benar-benar membuat gendang telingaku seperti akan pecah. Buru-buru aku membuka pintu kamar."Maaf, Wak. Arsih sholat dulu," lirihku perlahan masih berusaha menjaga keseimbanganku berdiri. Kepalaku masih terasa pusing."Sholat apaan kamu jam seginian?!""Arsih benar-benar gak dengar adzan, Wak. Permisi, takutnya makin siang," ucapku berusaha melewati tubuh gendutnya.Baru satu langkah kaki berpindah, rambutku langsung ditariknya dengan sangat keras. Aku langsung tersungkur mundur sembari memegang pangkal rambutku sendiri."Aaakkhh! Sakit sekali, Wak! Jangan! Tolong lepaskan!""Jangan sok alim kamu, ya! Kalau kamu benar-benar wanita baik-baik, wanita soleha, taat agama, kamu tak akan sampai hamil di luar nikah begini!""Ampun, Wak! Maafkan Arsih!" teriakku meringis kesakitan.Tak peduli eranganku yang memilukan, wanita tua gempal itu mendorong kepalaku ke arah dinding. Aku terbentur dan seketika terasa berdenyut nyeri isi otakku. Hanya air mata yang terus mengalir untuk meredakan sakitnya. Kupegangi kepalaku sendiri. Rasanya, amat hina diri ini, sama sekali tak memiliki harga."Jangan nangis kamu! Seolah-olah kamu ini korban! Kamu itu pelaku! Pelaku yang tega mencoreng nama baik keluarga! Dimana kami letakkan wajah kami karena hasil dari perbuatan menjijikkanmu itu, Arsih?! Kamu memang keterlaluan!""An-andai malam itu, Wak Er gak paksa aku keluar sama Badai, pasti lah bencana ini tidak akan terjadi," lirihku sembari menyesapkan isakanku."Apa katamu?!"Plaaaak!Sebuah tamparan mendarat di bibirku, seolah memang sengaja untuk menghentikanku bicara. Aku langsung menutup mulut dengan air mata yang semakin deras. Ingin rasanya aku melawan tapi itu mustahil. Dia uwakku, istri kakak laki-laki dari ayahku. Darimana bisa datang nyaliku? Aku hanya bisa menahan sakit."Jaga bicaramu itu, ya! Jangan sampai ada yang mendengarnya dan menganggapnya benar. Jangan salahkan orang lain atas dosa besarmu. Kamu yang terlalu gatal jadi perempuan!" berang Wak Erni. Kedua bola matanya melotot seperti akan keluar dari tempatnya karena terlalu marah."Hentikan tangismu itu dan cepat siapkan sarapan! Ingat, kamu itu di sini hanya keponakan suamiku. Aku yang berkuasa di sini, jadi jaga sikapmu!"Dengan napas menderu-deru, Wak Erni meninggalkanku yang meringkuk ketakutan. Setelah kejadian semalam, bagaimana aku bisa terus menjalani hariku meskipun sebagai pembantu di rumah ini?Meski terseok-seok dalam sesegukan, aku tetap mengambil air wudhu dan menunaikan sholat subuh. Kumohon ampun atas semua dosa besar dan kecilku, yang terlihat mau pun yang tersembunyi. Meskipun aku penuh noda, bukankah Allah, Tuhanku Maha Pengampun? Aku meyakini, rahmat dan kasih sayangNYA jauh lebih luas."Arsih!"Suara wanita jahat itu terdengar menggelegar dari dalam rumah. Karena kamarku terpisah di luar, jadi suaranya terbawa udara sebagian. Aku langsung melipat mukenahku dan bergegas keluar."Buat nasi goreng, sayur bayam bening dan tongkol balado. Tambahkan telur ceplok untuk Rasyid. Jangan boros bumbu. Kopi buat uwakmu juga belum. Sampah semalam juga masih berserakan. Kerja yang cepat, jangan banyak gaya!"Setelah mengucapkan runtutan perintahnya, Wak Erni dengan pongah berjalan menuju kamarnya lalu menutup pintu dengan suara keras. Sejak aku datang ke rumah ini tiga tahun yang lalu, ia memang seperti itu. Bagai ratu tak pernah mau menyentuh pekerjaan rumah."Mohon bekerjasama ya, Nak," ucapku mengelus perutku yang masih rata.Aku berusaha sekuat tenaga mengerjakan semua tugasku dengan baik. Meski aroma piring kotor dan bawang merah kupas seperti bangkai yang membuat perutku seperti diaduk. Berkali-kali aku mencoba untuk memuntahkan isi perutku. Aku menahan diriku bersama air mataku yang terus menetes sedih."Badai, mengapa kamu harus datang dalam kehidupanku jika hanya menambah penderitaanku?" lirihku sendirian.Masih seperti mimpi rasanya kejadian semalam. Badai menikahiku lalu menalakku begitu saja. Seperti sampah bahkan lebih busuk lagi."Kopi Wak-mu!" teriak Wak Erni.Segera kusesap sendiri air mataku. Sungguh wanita itu keterlaluan. Sejak ada aku di rumah ini, membuatkan kopi untuk suaminya sendiri ia segan. Dengan cekatan, segera kusiap kopi lalu bergegas membawanya ke teras depan. Tempat dimana Wak Yanto membuka hari setelah berjalan-jalan pagi."Kopinya, Wak," ucapku seperti biasa meletakkan cangkir bening khusus milik Wak Yanto. Laki-laki itu tak berbicara sepatah kata pun. Kuberanikan diri menoleh wajahnya. Yang terlihat hanya gurat kesedihan, kemarahan dan kekecewaan yang kental. Aku kembali menunduk lalu melihat ke arah tempatnya biasa menyimpan kopiah. Selalu setiap pagi, aku yang bertugas menyimpan kembali kopiah itu di kamarnya. Wak Yanto memiliki rutinitas sholat subuh berjamaah."Mana kopiahnya, Wak? Biar Arsih simpan di dalam," tanyaku memberanikan diri."Hari ini aku tidak sholat subuh berjamaah. Mukaku sudah tercoreng oleh arang aib yang begitu hitam. Aku sudah tak memiliki kehormatan lagi di kampung ini."Setelah mengucapkan itu, Wak Yanto langsung berdiri dan masuk ke dalam rumah. Luar biasa perih hatiku mendengar ucapannya. Laki-laki yang menjadi waliku, pengganti ayahku sudah kuhancurkan harga dirinya. Bibirku bergetar bersamaan dengan tubuhku mengigil sakit. Kembali air mataku jatuh dan kali ini setiap tetesannya yang keluar terasa begitu perih di kelopak mataku.Apakah mati lebih baik untukku saat ini?Pahit manis dan asam asin hidup sudah kulewati. Kehilangan ayah lalu disusul ibu juga sudah kulalui. Sekarang aku kehilangan suamiku. Tapi tidak, aku masih memiliki kesempatan. Masih ada waktu. Suamiku hanya menjauh, bukan jiwanya meninggalkan raga. Peluang untuk memperbaiki masih sangat lebar. "Akan kutemui Badai hari ini. Tidak peduli dengan cara apa pun, aku harus keluar dari rumah ini," lirihku bertekad sendirian. Segera kuselesaikan tugas pagiku menyiapkan sarapan dan membereskan cucian piring. Tadi aku sempat mendapatkan omelan karena belum mengepel rumah. Sekarang kuberanikan diri menyampaikan niatku dengan beralasan, keluar membeli perlengkapan make up. "Hanya sebentar saja, Wak. Jerawat Arsih tumbuh dimana-mana," kilahku terburu-buru. "Mau jadi janda gatal kamu? Sudah menjanda, baru mau bebelian make up segala."Wak Erni mencebik dengan ketus padaku yang sedang memakai sandal. Wanita itu bahkan sedang asik menikmati pisang goreng yang baru saja kusuguhkan. Sepertinya teh
Kugenggam kuat-kuat pergelangan tanganku, menahan rasa malu yang luar biasa bergelayut. "Jangan katakan itu, Badai. Kita bisa memperbaikinya. Aku mohon, mari kita merajut kembali kisah kita. Bukankah kita pernah berjanji? Kamu yang mengawalinya dan aku yang menyambut. Sekarang jika kamu menyerah, bagaimana impian-impian kita terwujud? Sadarlah, Badai. Kita sedang salah paham."Aku menenggelamkan egoku dengan merayu panjang lebar mencoba mengelus lengannya. Badai terlihat sangat tampan dengan kemeja biru muda. Begitu sangat sempurna dipadukan dengan celana panjang berwarna biru gelap. Rambutnya yang hitam, lurus dan tebal belah kiri menambah kesempurnaannya. "Berhenti Arsih. Kita sudah berakhir. Silahkan pergi dan jalani kehidupanmu dengan baik. Aku akan menemuimu jika bayi itu lahir," ucap Badai dengan nada datar. "Tidak Badai. Aku memohon padamu. Bagaimana aku bisa menahan aib sebesar ini? Aku hamil di luar nikah lalu langsung kau ceraikan bahkan dalam hitungan jam. Jangan begini.
"Tak punya malu."Bu Nining mencebik sembari melipat tangannya di depan dada. Begitu angkuh dan sombong. Seolah, dia manusia paling mulia. Tanpa ragu, aku mendekatinya dengan langkah tegas. Wanita tua itu cukup terkejut dengan sedikit keberanianku mengangkat wajah di depannya. "Seharusnya yang paling memalukan itu adalah Anda, Bu. Anda tidak mampu mendidik putra Ibu hingga berani menghamili seorang gadis lalu lepas tanggungjawab begitu saja. Katanya keluarga terhormat, tapi ... puiiih! Jangan hanya memandang rendah saya. Kita sama-sama bobrok!""Dasar wanita murahan!""Ya. Terserah saya murahan atau tidak. Suruh anak ibu untuk bersikap sebagai pria yang berani bertanggungjawab! Jangan jadi banci! Pengecut!"Bu Nining menunduk, meraih pot bunga di sampingnya lalu melempar pot itu ke sembarang arah. Aku tetap berdiri tanpa rasa takut sedikit pun. Amarahku rasanya sudah sampai di ubun-ubun. "Aku tidak sudi memiliki menantu sepertimu. Nakjis! Bisa juga kamu dihamili oleh laki-laki lain
Keringat dingin nuncul di setiap pori-pori tubuhku. Telingaku seperti terasa berdenging hingga seperti memekik di gendang telingaku. Pandanganku terasa gelap dan semakin pekat. Buah nanas yang di tanganku jatuh begitu saja menimpa betisku yang bersila. "Kinarsih!!! Kamu dipanggil Wakmu! Cepat!"Terdengar suara Wak Erni dari luar. Tangannya bagai godham saja, mengetuk pintuku seperti orang kesurupan. Duaaar! Duaaar! "Kinarsih!" teriaknya lagi dan aku sudah tak memiliki kekuatan sedikit pun. Kepalaku rasanya seperti diputar kencang. Aku menjatuhkan tubuhku di kasurku. Rasanya seperti aku tidur di atas es batu. Dinginnya sampai menusuk. "Kinarsih! Keluar kamu! Jangan sok jadi ratu ya!"Suara wanita jahat itu tadi terdengar jelas sekali, tapi sekarang semakin sayup semakin hilang. Tiba-tiba hanya wajah laki-laki itu yang muncul di kelopak mataku. "Ba ... dai ...," desisku lemah dan aku sudah tak ingat dan merasakan apa-ap lagi. *FLASH BACK* (PERTEMUAN AWAL SEBUAH PETAKA) Hari menje
"Kamu? Untuk apa ke sini? Nanti Bibimu marah," sergahku melepaskan salon rusak yang sedang kuangkat."Bibiku, wak-mu juga kan?" balasnya tersenyum."Iya, tapi aku tidak ingin kamu di sini.""Kenapa? Aku hanya ingin menolongmu," bujuknya."Aku tidak mau," ketusku."Kenapa?" Laki-laki itu mengernyitkan alisnya tanda tidak mengerti. 'Manis', batinku menggoda."Banyak tanya. Aku sedang sibuk. Tolong jangan ganggu aku.""Aku ingin menolong, bukan mengganggu!" suaranya semakin keras.Aku bingung sendiri. Antara malu dilihat kusut, penuh debu juga risih ada lelaki yang baru kukenal berada satu ruangan denganku. Rasanya aku ingin kabur saja. Aku sampai membelakanginya karena grogi akut. Malu sekali hingga aku tidak bisa mengendalikan perasaanku ini. Untuk pertama kali aku diberi perhatian oleh pria seumuranku. Aku yang sudah kehilangan ayah sejak usia lima tahun, benar-benar merasa sangat aneh juga ada sebutir rasa tersanjung bergelayut. "Arsih! Istirahatlah! Sudah siang!" teriak Wak Yanto d
Selepas subuh aku membaca dua lembar Al-Quran. Rutinitasku setiap hari. Kuwajibkan diriku walau satu ayat saja. Kata ibuku, Quran lah teman kita yang setia di akhirat. "Di Padang Mahsyar nanti, jarak matahari hanya sejengkal dengan kepala kita, Arsih. Orang yang membaca Qur'an akan dinaungi oleh Quran yang dibacanya semasa hidupnya." Begitu nasehat ibuku selepas subuh, saat masa sehatnya. Setiap hari tanpa bosan ibu mencekokiku dengan petuah-petuah itu. Hingga ternyata tertanam sampai membentuk kebiasaanku. Aku bersyukur. Setelah selesai, aku menanak nasi di rice cooker. Dengan cekatan, aku membuatkan kopi untuk Wak Yanto lalu bergegas ke gudang. Harapanku, hari ini sudah bisa aku tempati. Mungkin dengan begitu, Wak Erni malas memanggilku ke luar. "ALLAHUAKBAR ...!!!" teriakku kaget. Segera kututup mulutku agar tak kelolosan lagi suaraku ini. Aku menoleh kiri kanan, memastikan tidak ada seorang pun sedang memperhatikanku. Lebih-lebih wewe gombel itu. Mataku membelalak tak percay
Selama tiga hari aku berdiam diri seolah membersihkan gudang. Aku mencukupkannya sebab aku takut, Wak Erni akan menyusulku ke sini. Cepat atau lambat, dia pasti akan tahu bahwa kamarku lebih cantik dari kamar Ana. Namun, lebih lambat lebih baik bukan? Sepanjang hari sepanjang malam, aku menghitung hari menghitung waktu. Seperti menunggu seseorang datang. Aku benar-benar bahagia. Serasa semua kesedihanku dibawa olehnya dan aku menunggunya. "Kak Aciiih!! Ada yang cari nih!" teriak Rasyid dari pintu samping. Degh ...Badaikah?? Hatiku berbunga-bunga. Aku memperhatikan setiap inci penampilanku. Aku ingin, Badai melihatku jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin karena terlalu lama aku bersiap, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu "Buka pintunya, Arsih." Ya, Allah! Itu benar suara Badai. Aku semakin tersipu. "Cepat, Kinarsih. Aku takut Bi Er sadar aku ke sini," bisiknya terdengar di balik pintu. Dengan sedikit berdebar, aku memegang gagang pintu. Aku membuka pintu dengan sege
"Kenapa kamu berpikiran picik begitu, Arsih? Bi Erni sudah banyak membantu kita. Wajar dia mendapatkan upah." Badai kembali menggengam tanganku. "Aku tidak suka, seolah aku penghasil uang buatnya. Aku ingin segera lepas dari bibimu itu. Nikahi aku segera, Badai!" Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Akhirnya aku menangis. "Arsih ...." Badai berusaha menenangkanku. "Atau jangan-jangan kau sama dengan bibimu itu, hanya memanfaatkanku," jeritku. "Menurutmu begitu?" Badai memberikan raut wajah yang tegang, tak senang. "Siapa yang tahu." "Apa maumu?" Badai memegang stir mobil dengan erat. Ada yang ia pendam. "Aku ingin segera menjadi istrimu! Belum jelaskah?" Aku terisak tak tertahan. "Baiklah." Badai menstarter mobil dengan begitu cepat. Aku sedikit takut. "Kau mau membawaku kemana?" "Kau persiapkan dirimu sebaik mungkin," jawab Badai. Ia menatap tajam jalanan yang kami lewati. Sedikit pun dia tidak melihatku. Aku menenangkan diri. Badai pasti membawaku ke rumahnya, pik