🏵️🏵️🏵️
“Kakak nggak pergi kondangan?” tanya Novia—adikku satu-satunya yang masih duduk di bangku SMA kelas sepuluh.
“Nggak, ah … Kakak malas.” Aku memilih menghempaskan tubuh ke tempat tidur.
“Malas apa malas? Jangan bilang kalau Kakak belum move on.” Novia selalu saja ingin tahu tentang banyak hal. Ia adik yang sangat kepo.
“Ih, mau tahu aja. Sana keluar, Kakak mau istirahat.” Akhirnya, ia pun keluar dari kamarku.
Bagaimana mungkin aku sanggup menghadiri pernikahan laki-laki yang masih sangat aku cintai hingga saat ini? Sepertinya Novia tidak memahami apa yang aku rasakan. Tidak semudah itu aku melupakan semua kenangan yang terjadi selama beberapa tahun ini bersama Mas Arga.
Sungguh, aku tidak pernah menyangka bahwa hubungan kami akan berakhir dengan penderitaan mendalam. Mas Arga yang dulu sangat mencintaiku justru bersanding dengan Shanti—sahabat, juga tetanggaku.
Dua tahun yang lalu setelah lulus kuliah, Mas Arga berpamitan akan bekerja ke luar kota. Ia diminta mengurus perusahaan keluarga pamannya. Ia berjanji setelah berhasil mengumpulkan biaya untuk pernikahan kami, ia akan segera pulang untuk melamarku.
Mas Arga pernah mengaku kalau orang tuanya bersedia membiayai pernikahannya kelak. Namun, ia tidak ingin menyusahkan orang tua. Ia pun memilih bekerja di perusahaan milik kakak dari mamanya.
“Tunggu aku, ya, Nay. Aku pasti akan segera melamarmu.” Janji itu yang Mas Arga ucapkan kepadaku dua tahun yang lalu sebelum ia berangkat ke luar kota.
“Iya, Mas. Aku akan tetap setia menunggumu.”
Setelah kepergian Mas Arga, hampir setiap hari, ia meneleponku. Ia selalu mengingatkan agar aku tidak telat makan dan tidak tidur larut malam. Tidak ada yang berubah sama sekali dari sikap dan perhatiannya hingga ia memutuskan akan kembali ke kota kelahiran kami.
Akan tetapi, kepulangan Mas Arga ternyata bukan untuk melamarku, tetapi justru meminta restu karena ia akan menikahi Shanti—wanita yang saat ini sedang duduk bersamanya di pelaminan. Apakah aku kecewa? Itu pasti. Aku menangis? Tidak perlu ditanya lagi.
🏵️🏵️🏵️
“Maafin aku karena tidak bisa menepati janji, Nay.” Sebulan yang lalu, Mas Arga langsung menemuiku setelah ia kembali dari luar kota.
“Maksud kamu apa, Mas?” Saat itu, aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba ia meminta maaf.
“Aku ke sini untuk meminta restumu.” Aku makin tidak mengerti arah pembicaraannya.
“Restu apa?” tanyaku penasaran.
“Restui pernikahanku dengan Shanti.” Aku tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar permintaan Mas Arga.
“Apa? Ini balasan dari kesetiaanku, Mas?” Aku tidak kuasa menahan air mata agar tidak jatuh membasahi pipi.
“Aku benar-benar minta maaf karena tidak mampu menjaga ketulusan cintamu.” Ia meraih tanganku, tetapi langsung aku tepiskan.
Sungguh, rasanya sangat sakit jika mengingat pengkhianatan Mas Arga. Aku masih tetap menangis jika memikirkan hal itu. Sampai kapan aku seperti ini? Aku tidak sanggup membayangkan laki-laki itu kini menjadi raja untuk Shanti di pelaminan mereka.
Tidak! Aku tidak boleh larut dalam kesedihan seperti ini. Aku harus bangkit. Aku harus bisa membuktikan kalau aku akan tetap baik-baik saja tanpa Mas Arga. Ia bukan laki-laki yang ditakdirkan untukku.
“Nay!” Terdengar suara Bunda memanggilku. Aku segera duduk, lalu mengusap air mata yang sejak tadi bebas terjun. Bunda pasti akan mengeluarkan ceramahnya lagi jika mengetahui aku menangisi Mas Arga.
“Iya, Bun!” Aku pun memberikan balasan.
Wanita yang sangat aku cintai itu memasuki kamar dan langsung duduk di sampingku. “Bunda ada kabar panas, nih. Tapi kamu jangan kaget, ya.”
“Kabar apa, Bun?” tanyaku. Sebenarnya, aku kurang tertarik dengan apa yang ingin Bunda sampaikan. Aku bertanya karena menghargai beliau.
Saat ini, aku tidak ingin memikirkan hal-hal lain karena belum mampu melupakan luka yang Mas Arga torehkan. Aku tidak tahu apa alasan laki-laki yang aku cintai itu hingga tega menghancurkan hati dan perasaanku.
“Ternyata Arga terpaksa nikahin Shanti.” Aku sangat terkejut mendengar apa yang Bunda sampaikan. Terpaksa? Ada apa dengan Mas Arga? Kenapa ia tidak memberitahukan hal ini kepadaku?
🏵️🏵️🏵️
Awalnya, aku tidak tertarik mendengar cerita Bunda. Namun, karena ada kaitannya dengan Mas Arga, aku pun penasaran. Aku ingin tahu kenapa Mas Arga tiba-tiba mengakhiri hubungan kami dan memilih menikah dengan Shanti.
Terus terang, walaupun Mas Arga saat ini lebih memilih menikah dengan wanita lain daripada diriku, tetapi hati ini tetap berkata kalau laki-laki itu tidak akan mengkhianati hubungan kami tanpa sebab.
“Terpaksa gimana maksud Bunda?” tanyaku kepada Bunda. Aku ingin tahu kebenaran tentang Mas Arga.
“Shanti udah hamil.” Aku tidak ingin percaya mendengar jawaban Bunda.
“Itu nggak mungkin, Bun. Nay nggak yakin kalau Mas Arga berani berbuat seperti itu. Mas Arga orang baik dan sangat sopan.” Aku mengingat bagaimana Mas Arga selalu menjagaku sejak kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih.
“Tapi itu kenyataan, Sayang. Mungkin awalnya Arga tidak ada niat untuk berzina, tapi akhirnya tergoda.” Bunda tampak serius mengucapkan kalimat itu.
“Nay tetap nggak percaya, Bun.” Entah kenapa, aku tidak percaya dengan yang Bunda sampaikan.
“Kamu lupa siapa yang pertama kali menyebabkan manusia berdosa? Perempuan. Nabi Adam tergoda dengan ucapan istrinya hingga mereka terusir dari surga. Lagi pun, kamu pasti ingat siapa Shanti dari dulu.”
Setelah mendengar penjelasan Bunda, aku pun kembali mengingat perbuatan Shanti saat kami masih SMA. Ia meninggalkan rumah karena ingin tinggal bersama kekasihnya. Tiga hari dalam pencarian, akhirnya ia kembali pulang.
Warga di sekitar tempat tinggalku meminta agar Shanti segera diperiksakan ke dokter untuk mengetahui kalau dirinya tidak melakukan hal-hal yang memalukan. Namun, orang tuanya menolak dan Shanti juga berani bersumpah kalau dirinya masih suci.
Akhirnya, warga pun percaya setelah mendengar sumpah yang keluar dari bibir Shanti. Kejadian itu seolah-olah terlupakan hingga saat ini. Apa mungkin Shanti berbohong dengan sumpah yang pernah ia ucapkan? Mungkinkah dirinya yang menggoda Mas Arga?
Untuk apa aku ingin tahu tentang mereka? Sementara kedua orang itu saat ini, telah resmi menjadi pasangan suami istri. Walaupun aku yakin kalau Mas Arga tidak mungkin melakukan perbuatan tidak pantas, tetapi tidak akan mengubah kenyataan kalau dirinya lebih memilih menikahi Shanti.
Aku tidak boleh larut dalam kesedihan. Aku harus move on dan menganggap Mas Arga bukan yang terbaik untukku. Aku harus percaya kalau dirinya tidak mampu menjaga hati hingga kami pun tidak dapat bersatu dalam ikatan suci.
🏵️🏵️🏵️
Dua hari berlalu, berita kehamilan Shanti ternyata telah menyebar luas. Tidak sedikit warga yang mengaku curiga melihat bentuk perut Shanti yang tampak buncit. Mereka bahkan menebak-nebak usia kehamilan Shanti yang diperkirakan sekitar lima bulan.
Aku berusaha kuat mendengar apa yang mereka katakan. Mereka memintaku bersabar dan tabah karena tidak berjodoh dengan Mas Arga. Aku berusaha tersenyum walaupun hati ini masih sangat sakit membayangkan Mas Arga bermain api di belakangku dengan Shanti sebelum mereka menikah.
Ponselku tiba-tiba bergetar, ada pesan masuk. Ternyata dari Mas Arga. Kenapa ia menghubungiku?
[Jangan percaya dengan gosip yang beredar, Nay. Aku tidak sehina yang mereka tuduhkan.]
[Maaf, tolong hargai istrimu, Mas. Jangan hubungi aku lagi.]
Aku memberikan balasan dengan tegas walaupun hati ini sakit menuliskan kalimat itu karena cintaku kepadanya belum mampu aku hapus.
[Apa kamu membenciku?]
Aku tidak ingin lagi membalas pesan Mas Arga. Pertanyaan apa itu? Mungkinkah aku tidak membenci dirinya setelah apa yang terjadi terhadap hubungan kami? Ia seolah-olah tidak mengerti dengan apa yang kurasakan saat ini. Jelas-jelas aku sangat membencinya.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana mungkin aku sanggup melihat Mas Arga setiap hari sejak pernikahannya dengan Shanti? Info yang baru aku dengar dari Tania—sahabat terdekat, juga tetanggaku, ternyata Mas Arga akan tinggal di rumah mertuanya karena Shanti anak tunggal.
Apa sebaiknya aku pergi dari kota ini? Namun, apa yang akan Shanti pikirkan jika aku meninggalkan rumah? Mungkinkah dirinya akan berpikir kalau aku belum move on dari Mas Arga—suaminya? Kenapa rasanya sesakit ini?
==========
🏵️🏵️🏵️ Aku terkejut merasakan gerakan anak dalam perutku. Ini untuk pertama kalinya terasa sangat kuat. Aku terharu dengan anugerah Yang Kuasa. Ternyata seperti ini rasanya menjadi calon ibu. Tanpa diminta, air mataku jatuh membasahi pipi. Jika mengingat perjalanan hidupku sejak mengenal yang namanya cinta, aku tidak menyangka akhirnya berada di titik ini sekarang. Aku mengandung anak dari laki-laki yang perkenalan kami sangat singkat hingga berhasil duduk di pelaminan. Anugerah datang bertubi-tubi menghampiriku. Mulai dari memiliki keluarga baru yang menerima kehadiranku dengan ikhlas. Terus, sebelum mengandung, keponakan Raka menganggapku sebagai mamanya. Di samping itu, papa dan mama mertua sangat menyayangiku. Aku juga sangat bersyukur karena wanita yang dulu mengharapkan cinta Mas Raka, kini tidak mengusik kehidupan rumah tangga kami lagi. Ia telah menemukan kehidupan barunya bersama Bimo, laki-laki yang pernah menaruh hati kepadaku. “Sayang, kenapa nangis?” Wajah Mas Raka
🏵️🏵️🏵️ Aku sangat bersyukur karena Mas Raka berhasil menyelamatkan diriku dari keegoisan Clara, tetapi wanita itu sepertinya belum ada niat untuk berhenti mengusikku. Setelah tiba di rumah, ia kembali mengirimkan pesan berupa ancaman. Terus terang, aku masih terpukul dengan apa yang ia lakukan sebelumnya. Ia tidak hanya ingin menjauhkan aku dengan Mas Raka, tetapi juga melakukan kekerasan fisik terhadapku. Beberapa kali, ia mendaratkan tamparan di pipiku, bahkan ia juga menjambak rambutku. Aku tidak mengerti kenapa rasa kemanusiaan dalam dirinya seolah-olah telah sirna hanya karena tidak mampu bersatu dengan Mas Raka. Ia selalu menganggapku sebagai penyebab dirinya tidak mendapatkan balasan cinta dari Mas Raka. Aku tidak tahu harus bagaimana memberikan penjelasan kepadanya kalau aku tidak pernah merebut miliknya. Mas Raka beberapa kali mengaku kepadanya kalau ia tidak memiliki perasaan lebih terhadap Clara. Ia hanya mencintaiku. “Kamu kenapa, Sayang?” Aku menghampiri Mas Raka y
POV RAKA 🏵️🏵️🏵️ Aku tidak pernah menyangka kalau Clara berani berbuatsenekat itu. Aku pikir selama ini, ia hanya sekadar menggertak Kanaya hinggabeberapa kali mengirimkan pesan ancaman kepadanya. Ia seolah-olah lupa kalaudirinya dan Kanaya pernah menjadi sahabat, bahkan tetangga. Aku tidak tahu bagaimana caranya memberikan pengertiankepada Clara tentang ambisinya yang ingin memilikiku. Sejak awal kami kenal,aku tidak pernah memiliki rasa yang berbeda terhadap dirinya. Bagiku, ia tetapteman biasa. Aku akui kalau orang tuanya salah satu pemilik sahamdi perusahaan kami, tetapi bukan berarti aku dan dirinya harus memiliki ikatanistimewa. Aku hanya mencintai Kanaya hingga aku rela menunggunya kurang lebihdua tahun agar ia mengakhiri hubungan dengan mantan kekasihnya. Mungkin Kanaya pasti pernah kecewa ketika aku tidakbersikap tegas terhadap Clara. Aku belum mengatakan kebenaran kalau Papaberutang budi kepada orang tua Clara. Usaha Papa pernah dalam masalah beberapatahun yang lalu. B
POV RAKA 🏵️🏵️🏵️ Aku sangat bahagia karena akhirnya berhasil menikahi gadis yang telah lama aku cintai. Aku mengenalnya dari Om Wawan, tetapi tidak secara langsung. Kala itu, aku mengikuti saudara dari papaku itu. Beliau akan berkunjung ke rumah sahabatnya. Dari kejauhan, aku melihat seorang gadis cantik menyalami Om Wawan yang ternyata merupakan anak dari sahabatnya. Keesokan harinya, aku pun bertanya tentang gadis itu kepada Om Wawan. Aku ingin mengenalnya. Namun sayang, ia telah memiliki kekasih. Aku hanya mampu memandangnya dari kejauhan. Terus terang, aku sangat cemburu setiap laki-laki yang menjadi pasangannya kala itu menghampirinya. Aku hanya berharap keajaiban agar keberuntungan berpihak kepadaku. Doa dan harapanku akhirnya terkabul karena dua tahun kemudian, gadis yang aku cintai itu memutuskan hubungan dengan kekasihnya karena ditinggal nikah. Di satu sisi, aku sangat bahagia karena memiliki kesempatan besar untuk mendekatinya. Namun di sisi lain, aku tidak kuasa meli
🏵️🏵️🏵️ Ada apa dengan Tania? Walaupun tadi obrolan kami telah terputus karena aku tidak sanggup untuk meneruskannya, ia masih tetap berusaha menghubungiku sekarang. Sepenting apa informasi yang ingin ia sampaikan? Biasanya, ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Akan tetapi, aku benar-benar tidak sanggup menerima telepon darinya saat ini. Mual yang kurasakan makin sering muncul. Kepalaku juga sangat sakit. Aku ingin memejamkan mata setelah minum air hangat nanti. Akhirnya, Mas Raka pun kembali masuk kamar sambil membawa gelas berisi air yang aku inginkan. Aku segera meneguknya hingga habis. Sebelum kembali merebahkan tubuh, aku mengirimkan pesan kepada Tania sebagai permintaan maaf. [Maaf, Tan, aku nggak bisa angkat telepon kamu karena aku sakit. Ini aku mau tidur. Besok aku telepon, ya.] Aku segera meminta Mas Raka menyimpan ponselku ke nakas, sedangkan aku memilih berbaring. Aku berharap setelah istirahat malam ini, rasa mual dan lemas itu tidak muncul lagi. Aku ingin bersik
🏵️🏵️🏵️ Hari ini, tiga bulan usia pernikahanku dengan Mas Raka. Ia makin menunjukkan kasih sayangnya kepadaku. Ia juga tidak mempermasalahkan diriku yang tidak mengajar lagi di sekolah Nayla karena wali kelas yang dulu cuti melahirkan, kini telah kembali beraktivitas. Mas Raka meminta agar aku fokus di rumah saja supaya tidak kelelahan mengingat kami yang ingin punya momongan. Namun, aku merasa jenuh karena tidak ada kegiatan, aku pun meminta bekerja di kantornya untuk menggantikan posisi sekretarisnya yang memilih resign karena ikut suaminya dinas ke luar kota. Awalnya, Mas Raka menolak, tetapi setelah aku memberikan penjelasan, ia pun setuju. Aku berjanji tidak akan memaksakan diri dalam pekerjaan hingga kelelahan. Aku juga akan tetap fokus agar segera hamil dan melahirkan anaknya. “Harus janji, nggak boleh capek-capek. Kapan pun, saya selalu siap bantu kamu. Saya kasih kamu ngantor karena saya nggak mau kamu banyak mikir karena suntuk di rumah.” Mas Raka mengingatkanku sebelum