Share

Dua Garis Merah

🏵️🏵️🏵️

Aku menyusuri jalan sambil mengingat apa yang telah aku saksikan tadi di depan mata. Aku masih merasa seperti mimpi mengingat datangnya penderitaan bertubi-tubi. Aku tidak mampu membendung air mata yang telah menganak sungai.

Aku ingin berteriak dan mengatakan pada dunia kalau saat ini, aku merasa menjadi wanita paling menderita. Laki-laki yang sangat aku cintai ternyata hanya ingin memberikan kehancuran dan penderitaan yang amat mendalam kepadaku.

Mas Yuda telah melupakan semua janji yang pernah ia ucapkan. Ia tidak ingat lagi betapa besar pengorbanan yang kulakukan untuknya. Ia sama sekali tidak menghargai penyerahan diriku.

Saat ini, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya berpikir bahwa perpisahan adalah jalan terbaik untukku dan Mas Yuda. Aku akan mencoba menghapus semua kenangan tentangnya. Ia tidak pantas mendapatkan cinta dari wanita yang telah ia campakkan.

Kebersamaan yang pernah terjalin selama ini, hanya akan menjadi kenangan semata. Mas Yuda bukan milikku lagi karena ia lebih memilih kehidupan barunya bersama wanita lain yang saat ini sedang berbadan dua. Aku tidak berarti apa-apa lagi untuknya.

Akhirnya, aku pun tiba di rumah lalu memarkirkan motor, kemudian melangkah memasuki rumah. Ternyata Papa dan Mama masih asyik menikmati acara televisi di ruang keluarga. Sementara aku memilih langsung menuju kamar.

Aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Aku kembali mengingat saat masih menjalin hubungan sebagai kekasih bersama Mas Yuda. Ia selalu melakukan apa yang kuinginkan dan tidak pernah melakukan penolakan sama sekali.

Sikap yang ia tunjukkan mampu membuatku selalu tersanjung. Aku pun bertanya tentang cinta yang ia miliki untukku. “Kenapa kamu mencintaiku, Mas?” tanyaku saat itu kepada Mas Yuda.

“Tidak ada alasan untuk mencintaimu, Sayang, karena kamu pantas untuk dicintai.” Kalimat itu membuatku terharu dan luluh.

Akan tetapi, ternyata semua itu hanya sandiwara. Mas Yuda terlihat baik dan perhatian kepadaku hanya karena menginginkan sesuatu yang paling berharga dalam diriku. Setelah ia mewujudkan harapan tersebut, ia pun pergi meninggalkan aku.

“Kamu janji, ya, Mas, nggak akan pernah melirik cewek lain dan berpaling dariku.” Aku mengucapkan itu kepada Mas Yuda karena aku sadar telah menyerahkan segalanya untuknya.

“Iya, Sayang. Kamu nggak perlu takut atau khawatir. Aku nggak akan mungkin berpaling dari calon istriku yang cantik ini.” Ia mencubit pelan daguku.

Mas Yuda sering memanggilku dengan sebutan ‘Calon Istri” karena ia mengaku sangat yakin kalau aku yang akan mendampingi hidupnya. Namun, kenyataan kadang tidak seindah harapan, sebab apa yang kurasakan saat ini sungguh bertolak belakang.

Lamunanku buyar karena merasakan getaran pesan masuk dari ponselku yang masih berada di saku celana. Aku pun meraih benda tersebut bersamaan dengan alat tes kehamilan yang aku beli dari apotek tadi. Dada ini kembali berdebar memandang benda itu.

[Sayang, aku mohon ... kamu jangan salah paham. Aku nggak mau pisah. Aku mencintaimu.] Aku benci membaca pesan masuk dari Mas Yuda.

[Lupakan aku dalam hidupmu. Aku tidak akan pernah melupakan apa yang kamu lakukan padaku. Kamu akan menyesal karena telah mencampakkan aku.] Aku memberikan balasan dengan emoticon marah.

[Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Temui aku besok di tempat favorit kita. Aku kangen kamu, Sayang.]

Aku tidak merespons lagi pesan masuk dari Mas Yuda. Hatiku sudah telanjur sakit mengingat semua yang ia lakukan kepadaku. Tekadku sudah bulat untuk melupakan dirinya dan segera berpisah dengannya.

🏵️🏵️🏵️

Pagi kembali menyapa, aku pun bangun dan melakukan apa yang seharusnya kulakukan saat ini. Aku segera mengambil alat tes kehamilan yang telah aku beli tadi malam, lalu membawanya ke kamar mandi, kemudian menggunakannya.

Setelah menunggu beberapa menit, duniaku terasa terhenti melihat hasil yang terlihat pada alat tes kehamilan itu, terdapat dua tanda garis merah. Ternyata dugaanku benar kalau saat ini sedang mengandung anak Mas Yuda. Apa yang harus kulakukan?

Bagaimana kalau Papa dan Mama mengetahui hal ini? Masih pantaskah aku disebut sebagai anak? Aku kembali menorehkan luka yang jauh lebih sakit dari sebelumnya. Aku makin mencoreng nama baik keluarga dan menciptakan aib yang begitu besar.

Aku tidak kuasa membayangkan seperti apa perasaan Papa dan Mama setelah mengetahui anak tunggal mereka hamil tanpa suami di sisinya. Mereka pasti sangat terpukul dengan keadaanku yang sekarang. Sungguh, aku tidak sanggup melihat mereka bersedih.

Dadaku terasa sesak karena tidak mampu menahan penderitaan yang datang bertubi-tubi. Aku berteriak untuk melampiaskan rasa kekesalan dalam hati. Aku menangis sejadi-jadinya dan berharap apa yang terjadi hari ini hanya sebuah mimpi.

Apa yang harus kulakukan, Mas Yuda? Saat ini aku mengandung anakmu, buah hati yang selama ini kamu harapkan. Kenapa kamu tega melakukan semua ini kepadaku? Mana janji manis yang sering terucap dari mulutmu saat kita masih bersama?

Aku merasa makin lemas dan tiba-tiba tidak berdaya hingga akhirnya tersungkur dan semuanya berubah menjadi gelap. Saat tersadar, aku mendapati diri terbaring di tempat tidur. Papa dan Mama duduk di sampingku.

Wajah Papa terlihat memerah seperti menahan amarah, sedangkan Mama menitikkan air mata. Ada apa sebenarnya? Apakah mereka telah mengetahui kehamilanku?

“Apa maksud semua ini, Sayang?” Mama menunjukkan alat tes kehamilan yang aku gunakan tadi.

Aku segera bangkit dari rebahan lalu duduk. Aku mencium tangan Mama. “Ampuni Nay, Mah.” Aku tidak sanggup menghentikan air mata yang telah jatuh membasahi pipi. Akhirnya, aku pun menangis tersedu-sedu.

“Hukuman apa yang kamu berikan pada kami, Nay?” tanya Papa dengan menaikkan suara.

Aku pun melepaskan genggamanku dari tangan Mama lalu berusaha meraih tangan Papa, tetapi beliau langsung menepiskan usahaku. “Nay minta maaf, Pah. Nay sudah membuat Papa dan Mama malu. Hukum aja Nay, Pah.” Aku membenamkan wajah ke tempat tidur.

“Luka lama belum kering, sekarang kamu kembali menciptakan luka baru. Apa salah kami padamu, Nay?” Papa berteriak, beliau juga menitikkan air mata.

Aku mengangkat wajah lalu menatap kedua orang tuaku. “Papa dan Mama nggak pernah salah, tapi Nay sebagai anak tidak tahu diri dan sudah mencoreng nama baik keluarga. Nay pantas mendapat hukuman. Hukum aja Nay, Pah, Mah.”

Papa dan Mama hanya terdiam. Mereka tidak memberikan respons. Papa pun berdiri lalu melangkah ke arah pintu. Namun, sebelum keluar dari kamar, beliau menoleh ke belakang.

“Ayo keluar, Mah. Untuk apa masih tetap di situ? Anak itu sudah benar-benar menghancurkan kita.” Aku sangat sedih mendengar apa yang Papa ucapkan.

“Tapi, Pah ….” Mama memberikan balasan.

“Untuk apa Mama berada di dekat anak yang tidak menghargai orang tuanya?” Papa kembali membuatku merasa menjadi anak tidak berguna.

Mama pun berdiri lalu melangkah menghampiri Papa. Kedua orang tua tersebut beranjak meninggalkanku. Mereka tidak tahu bahwa hati ini sangat perih dan hancur ketika orang tua berusaha menghindar dan menjauh dari anak kandungnya sendiri. Ini seperti cambukan yang amat menyakitkan bagiku.

Aku membencimu, Mas Yuda! Aku harus mengalami semua penderitaan ini karena dirimu. Kamu tidak pernah mengalami seperti apa rasanya dijauhi orang tua sendiri. Aku benar-benar hancur dan tidak tahu harus berbuat apa sekarang.

==========

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status