🏵️🏵️🏵️
Aku tidak mungkin menyalahkan Papa, walaupun beliau bersikap seperti itu kepadaku. Sangat jelas kalau anaknya ini yang bersalah. Aku telah menghancurkan kepercayaan dan harapannya. Hati Papa dan Mama pasti sangat sakit.
Terus terang, aku bingung harus bagaimana melanjutkan hidup. Di satu sisi, aku tidak tahu harus bertindak seperti apa dengan anak yang kini ada dalam rahimku. Namun, di sisi lain, aku juga tidak mungkin membuang bayi yang belum lahir ini.
Lamunanku tiba-tiba buyar karena dikagetkan nada panggilan masuk dari ponsel di nakas. Aku pun meraih benda itu, ternyata ada nama Mas Yuda di layar. Entah kenapa, setelah mengetahui laki-laki itu yang menelepon, aku merasa kesal.
Aku tidak ingin menerima panggilan masuk tersebut karena tidak sudi berhubungan lagi dengan Mas Yuda. Hatiku makin sakit saat mengingat dirinya bersama wanita lain. Apalagi perempuan itu mengaku akan melahirkan anak dari suamiku.
Mas Yuda sudah beberapa kali menelepon, tetapi tidak aku hiraukan. Aku tidak ingin mendengar suaranya lagi walaupun kenyataannya saat ini, aku sedang mengandung anaknya. Cukup aku dan keluarga yang tahu tentang bayi ini.
Mungkin karena aku tidak menerima panggilan tersebut, akhirnya ia mengirim pesan. Aku membuka pesan tersebut dengan perasaan yang tidak menentu. Aku mencoba bersikap tenang dan berusaha agar tidak terpengaruh setelah membaca isinya.
[Sayang, angkat teleponnya. Aku ingin ngomong sesuatu. Kamu jangan salah paham tentang wanita yang kamu lihat. Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya. Aku terpaksa bersama dengannya.] Isi pesan Mas Yuda membuatku sangat kesal.
Bisa-bisanya Mas Yuda mengaku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan wanita itu. Padahal, sudah sangat jelas bahwa perempuan tersebut mengaku akan melahirkan anaknya. Sandiwara apa yang telah laki-laki itu mainkan saat ini?
[Hanya kamu wanita yang kucintai, Sayang. Aku terpaksa pergi di hari pernikahan kita. Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.] Aku kembali membaca pesan berikutnya.
Aku tidak mengerti dengan apa yang Mas Yuda pikirkan. Kalau benar dirinya mencintaiku, ia tidak mungkin tega memberikan luka sesakit ini. Kenapa laki-laki itu masih berani menuliskan kata cinta kepadaku dalam pesan? Apa maksud dan tujuannya sebenarnya?
Aku tidak dapat lagi menahan diri untuk tetap diam. Aku pun menuliskan balasan yang pantas untuk Mas Yuda. Ia harus tahu kalau aku sudah tidak berharap lagi akan tanggung jawabnya setelah melihat dirinya bersama wanita lain.
[Jangan ganggu aku lagi. Urus saja wanitamu dan calon anakmu. Aku sudah nggak membutuhkan dirimu lagi. Bagiku, kamu sudah nggak ada.] Aku sangat yakin mengirimkan balasan pesan tersebut.
[Kamu salah paham, Sayang. Aku ingin menjelaskan semuanya padamu. Aku ingin bertemu denganmu. Aku merindukanmu.] Aku makin muak membaca pesan darinya.
Tanpa menunggu lagi, aku segera mematikan ponsel agar terbebas dari pesan yang Mas Yuda kirimkan untuk sementara. Setelah hatiku tenang kembali, aku akan mengaktifkan benda pintar tersebut nanti.
🏵️🏵️🏵️
Seminggu kemudian, aku meminta izin kepada Papa dan Mama agar aku pergi meninggalkan kota kelahiranku menuju tempat yang jauh dari keramaian. Papa dan Mama menyarankan agar aku tinggal di desa bersama Kakek dan Nenek.
Sebelum kesepakatan itu terjadi, Mama telah membawaku ke dokter kandungan untuk mengetahui usia kehamilanku. Ternyata aku sudah hamil sepuluh minggu. Ayah dari anakku tidak tahu tentang keadaan wanita yang telah ia campakkan saat ini.
Aku telah memiliki tekad yang kuat untuk membesarkan anak yang kini ada dalam kandunganku. Ia tidak bersalah sama sekali, tetapi orang tuanyalah yang telah berbuat tidak pantas. Aku ingin membuktikan kalau aku sanggup hidup tanpa Mas Yuda.
Anganku kembali mengingat saat Mas Yuda melamarku bersama kedua orang tuanya. Kala itu, aku merasa menjadi wanita paling beruntung karena akan melanjutkan hidup bersama laki-laki idaman. Namun, ternyata kenyataan tidak seindah harapan.
“Terima kasih karena kamu bersedia mendampingi hidupku.” Mas Yuda langsung memelukku kala itu setelah acara lamaran selesai.
“Aku juga bahagia karena kamu telah memilihku menjadi seseorang yang akan menemani hari-harimu.”
Jika aku mengingat semua itu, dada ini terasa sesak dan ingin membalaskan apa yang Mas Yuda lakukan. Namun, semua itu aku urungkan karena hati dan perasaanku belum mampu sepenuhnya menghapus bayangan laki-laki itu.
“Kamu udah siap, Nay?” Suara Papa mengagetkanku.
“Sudah, Pah,” jawabku dengan yakin karena telah menyiapkan semua barang yang aku butuhkan untuk dibawa ke desa.
“Papa dan Mama akan mengantarkan kamu sekarang. Semoga kamu menyesali apa yang terjadi kepada dirimu, Nay.” Nasihat Papa benar-benar membuatku merasa makin bersalah.
“Udah, dong, Pah. Jangan ungkit itu lagi. Yang penting sekarang Nay bisa membiasakan diri tanpa laki-laki tidak bertanggung jawab itu.” Mama selalu berusaha melindungiku.
“Mama selalu saja membela anak ini. Lihat sekarang apa yang terjadi. Penderitaan.” Papa kembali membuat hatiku merasa sakit.
“Seharusnya Papa mendoakan yang terbaik untuk Nay, bukan mengatakan yang tidak seharusnya diucapkan.” Mama kembali menentang ucapan Papa.
“Dari dulu Papa selalu mendoakan yang terbaik, tapi apa yang terjadi sekarang? Dia tetap membawa kita ke dalam derita.” Papa menunjuk ke arahku.
“Cukup, Pah! Nay itu anak kita. Kita sebagai orang tua harus ada untuknya saat dalam keadaan seperti ini. Dia butuh dukungan.” Aku terharu mendengar kemurahan Mama. Beliau menggenggam jemariku.
“Terima kasih karena Mama selalu sayang sama Nay,” ujarku kepada wanita paruh baya tersebut.
“Cincin pernikahan kamu mana?” tanya Mama tiba-tiba.
Ternyata Mama menyadari kalau cincin pernikahanku dan Mas Yuda sudah tidak tersemat lagi di jari manisku. Aku akhirnya menceritakan semuanya tentang pertemuanku dengan laki-laki itu. Tiba-tiba Papa mengeluarkan suara meninggi.
“Kenapa kamu diam saja kalau kamu sudah bertemu dengan laki-laki itu? Dia harus bertanggung jawab atas kehamilanmu!” Wajah Papa memerah, beliau menggoyang-goyangkan lenganku.
“Itu nggak mungkin, Pah,” sergahku di depan Papa.
“Apa yang nggak mungkin? Anak yang kamu kandung adalah anaknya!” Papa menatapku sangat tajam.
“Tapi dia memiliki wanita lain, Pah. Saat ini juga sedang berbadan dua. Nay melihat sendiri.” Aku memberikan penjelasan.
Papa tidak berkata apa-apa lagi. Laki-laki paruh baya itu melangkah mundur lalu terduduk di sofa. Aku melihat kesedihan di wajahnya. Hatiku rasanya makin tersayat menyaksikan sikap yang ditunjukkan orang yang aku sayangi dan cintai tersebut.
Aku benar-benar tidak pantas disebut sebagai anak. Aku kembali menorehkan luka di hati orang tuaku. Begitu besar dan berat beban yang harus Papa dan Mama tanggung karena kenikmatan sesaat yang aku lakukan.
Aku berharap setelah tiba di desa Kakek dan Nenek nanti, Papa dan Mama tidak merasa terbebani lagi dengan penderitaan yang kuciptakan sendiri. Mungkin keberadaanku saat ini telah membuat mereka sakit dan tersiksa. Lebih baik aku pergi menjauh demi kebaikan bersama.
==========
🏵️🏵️🏵️ Akhirnya, kami pun tiba di desa orang tua Papa. Kakek dan Nenek terlihat bahagia. Aku langsung memeluk laki-laki dan wanita tua tersebut secara bergantian. Mereka tetap tersenyum walaupun telah mengetahui apa yang terjadi terhadapku saat ini. Papa dan Mama meminta maaf kepada Kakek dan Nenek atas apa yang telah menimpa hidupku. Hatiku kembali sakit karena membuat keluarga turut bersedih atas perbuatan yang kulakukan. Aku hanya bisa diam mendengar pembicaraan mereka. “Saya titip Nay, Pak, Buk. Saya ingin agar dia tinggal di sini sampai melahirkan.” Papa kembali menyampaikan niatnya kepada Kakek dan Nenek. “Ibu ngerti, Nak. Sebelum ke sini, kamu sudah menghubungi Ibu dan Bapak untuk hal ini. Kami suka kalau Nay tinggal di sini.” Aku bahagia mendengar jawaban Nenek. “Terima kasih, Pak, Buk. Kami tidak tahu harus bagaimana lagi kalau Bapak dan Ibu tidak bersedia memberikan izin Nay tinggal di sini.” Mama turut menimpali. “Tidak perlu berterima kasih, Nak. Kami orang tua Nay
POV YUDA 🏵️🏵️🏵️ Aku telah melakukan kesalahan yang sangat sulit untuk diterima, meninggalkan wanita yang sangat aku cintai di acara pernikahan kami setelah ijab kabul selesai. Ia tidak percaya kalau semua itu terpaksa aku lakukan. Lima bulan yang lalu, Om Heru—kakak kandung Mami, memintaku bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak kulakukan. Mira—keponakan laki-laki paruh baya tersebut telah hamil tiga bulan dengan pria yang tidak bertanggung jawab. Saat pertama kali bertemu Mira di rumah Om Heru, wanita itu mengaku tertarik kepadaku. Walaupun aku telah mengaku memiliki kekasih dan akan segera menikah, ia tidak peduli. Ia tetap bersikeras agar aku bersedia menjadi orang istimewa dalam hidupnya. Om Heru meminta tolong agar aku bersedia memenuhi permintaan keponakannya. Beliau bercerita bahwa saham terbesar dalam perusahaannya berasal dari orang tua Mira. Melihat sikap Om Heru yang memohon kepadaku, aku pun bersedia berpura-pura menjadi kekasih Mira. Akan tetapi, Mira ternyata b
🏵️🏵️🏵️ “Kamu mencoba untuk mencari alasan?” Papa mertua kembali membuka suara dengan nada tinggi. Aku akhirnya menceritakan apa yang terjadi selama ini. Mulai dari awal pertemuan dengan Mira hingga memaksaku meninggalkan Nayla. Aku berharap setelah kedua mertuaku mendengar penjelasan tersebut, mereka akan memberikan maaf kepadaku. “Kamu pikir saya percaya dengan alasan omong kosongmu?” Aku terkejut mendengar ucapan papa mertua setelah mendengar penjelasanku. “Itu kenyataan yang sebenarnya, Pah. Saya tidak mungkin dengan sengaja meninggalkan wanita yang sangat saya cintai.” Aku kembali meyakinkan kedua orang tua tersebut. “Cukup! Tidak perlu basa-basi lagi. Sekarang juga, kamu angkat kaki dari rumah ini!” Papa mertua berdiri sambil menunjuk ke arahku. “Jangan usir saya, Pah. Saya datang untuk menjemput Nayla. Tadi saya dengar dia mual saat kami berbicara di telepon, saya khawatir sama dia.” Aku tetap bersikeras untuk bertemu dengan wanita yang telah resmi kunikahi. “Nayla ngga
🏵️🏵️🏵️“Aku ke kamar, ya, Pih, Mih.” Aku pun beranjak dari ruang keluarga menuju kamar.Aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur yang telah sebulan aku tinggalkan. Seandainya Mira tidak mengusik kehidupanku kala itu, mungkin saat ini sang pujaan hati pasti berada di kamar ini. Kami akan mengukir sejarah yang mampu menciptakan keindahan.Aku melihat jam dinding telah menunjukkan angka sebelas. Aku meraih ponsel dari saku celana lalu mengetik pesan untuk dikirimkan kepada Nayla. Mungkin saat ini ia sudah tidur. Semoga besok, ia membaca apa yang telah kukirimkan kepadanya.[Aku sudah ke rumah orang tuamu, Sayang. Aku berharap dapat membawa kamu pulang ke rumah orang tuaku. Tapi mereka bilang kamu nggak ada. Aku sedih karena tidak dapat bertemu dengan istriku. Kamu di mana, Sayang?]Setelah mengirimkan pesan kepada Nayla, aku pun meletakkan ponsel di nakas. Aku tetap memikirkan wanita itu hingga mata ini sulit untuk terpejam. Saat lamunan tetap mengarah kepada Nayla, tiba-tiba terdengar
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak berhasil memejamkan mata tadi malam. Hati ini tidak tenang memikirkan Nayla yang belum tahu di mana keberadaannya. Aku segera menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuh. Hari ini, aku akan kembali ke rumah orang tua Nayla untuk mencari informasi. Setelah selesai mandi, aku pun bergegas ke meja makan untuk sarapan. Mami dan Papi telah menunggu kehadiranku. Aku menghempaskan tubuh ke kursi lalu mulai menikmati menu yang dihidangkan oleh asisten rumah tangga di rumah ini. “Apa rencana kamu hari ini, Yud?” Papi membuka pembicaraan. “Aku ingin mencari keberadaan Nayla, Pih.” Aku memberikan jawaban sambil mengunyah makanan. “Wajah kamu, kok, kelihatan nggak bersemangat?” tanya Mami sambil memperhatikan diriku. “Aku belum tidur dari semalam, Mih. Kepikiran Nayla terus. Bagaimana mungkin aku memejamkan mata, sedangkan aku tidak mengetahui di mana keberadaan istriku?” Aku menghentikan makan karena kembali memikirkan Nayla. “Mami ngerti, tapi kamu juga harus jaga keseh
🏵️🏵️🏵️ Waktu menunjukkan pukul 18.15 WIB, saatnya menjalankan kewajiban sebagai umat Islam. Setelah tinggal di rumah ini, aku baru menyadari betapa banyak dosa yang telah tercipta saat menjalin hubungan sebagai kekasih Mas Yuda. Aku terbuai dengan perhatian dan kasih sayang yang Mas Yuda tunjukkan hingga aku khilaf dan bersedia menyerahkan diri kepadanya. Aku dan laki-laki itu akhirnya melakukan hubungan yang belum pantas kami perbuat. Aku beranjak dari tempat tidur lalu membuka pintu dan mendapati Mas Yuda yang sedang duduk di depan pintu. Aku berusaha untuk kembali masuk kamar, tetapi ia meraih tanganku lalu menciumnya. Keadaan ini membuat hatiku sangat bimbang. “Sayang, jangan hindari aku. Aku nggak kuat dengan sikap kamu yang seperti ini. Aku ingin kita kembali bersama lagi.” Mas Yuda masih menggenggam tanganku. “Lepasin, Mas! Aku mau sholat.” Aku berusaha melepaskan diri dari laki-laki itu. “Kita sholat berjamaah, ya, Sayang. Aku imam untukmu dan calon anak kita.” Aku ter
🏵️🏵️🏵️ Aku berusaha kembali melepaskan diri darinya hingga berhasil. “Jangan sok tahu kamu. Aku membencimu!” Aku pun beranjak dari tempat tidur lalu keluar kamar menuju ruang keluarga. Aku mendapati Kakek dan Nenek yang masih menikmati acara televisi. Aku pun menghempaskan tubuh ke sofa cokelat di ruangan itu. Kedua orang tua tersebut secara bersamaan melihat ke arahku. Entah apa yang mereka pikirkan. “Suami kamu mana, Nak?” tanya Nenek kepadaku. “Masih pantaskah dia disebut sebagai suami, Nek?” Aku kesal karena Nenek menyematkan kata suami saat menanyakan Mas Yuda. “Dia tetap suamimu, Nak.” Kakek pun turut membuka suara. “Tapi dia udah meninggalkan Nay saat acara pernikahan kami, Kek.” Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Kakek. “Yuda sudah cerita semuanya pada kami. Dia terpaksa melakukan itu.” Kakek seolah-olah melakukan pembelaan terhadap Mas Yuda. Aku merasa sedih karena orang-orang yang aku sayangi seakan-akan berpihak kepada Mas Yuda. Kakek dan Nenek seharusnya mem
🏵️🏵️🏵️ Pagi kembali menyapa, tetapi aku menyambutnya tidak dengan hati gembira, sebab hati ini sangat sakit mengingat apa yang Papa dan Mama katakan kepadaku melalui telepon tadi malam. Mereka sama sekali tidak merasa kesal atau melarang aku agar tidak kembali lagi menerima Mas Yuda. Kedua orang tua tersebut justru berharap agar aku memberikan maaf kepada Mas Yuda dan menerima dirinya kembali dalam hidupku. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa orang-orang yang aku sayangi berpihak kepada laki-laki itu. Rasa kesal ini belum mampu aku tepiskan hingga tadi malam saat Mas Yuda ingin masuk kamar, aku tidak bersedia membukakan pintu untuknya. Ia pun tidur di sofa ruang keluarga. Aku melewatinya saat hendak menuju dapur, tetapi Nenek dengan lembut membangunkannya. “Nak Yuda, bangun. Kenapa tidur di sini?” Aku mendengar suara Nenek meminta Mas Yuda untuk bangun. “Iya, Nek. Maaf, saya ketiduran di sini.” Aku benci mendengar alasannya yang sok bijak, padahal sudah jelas kalau aku tidak ber