🏵️🏵️🏵️
Aku tetap menunggu sampai waktu itu tiba, di mana Mas Yuda akan memberikan diriku kebebasan penuh karena aku tidak ingin terikat lagi dengannya. Status pernikahan yang telah kudapatkan saat ini, tidak berarti lagi.
Mas Yuda tidak memiliki tanggung jawab sama sekali. Ia lebih memilih pergi dengan wanita lain saat dirinya akan bersanding di pelaminan denganku. Sungguh, semua ini masih tidak dapat kuterima, terlalu pahit untuk dirasakan.
“Kenapa kamu masih kelihatan lemas, Sayang? Kamu udah makan?” Mama selalu memberikan perhatian penuh kepadaku.
“Nay udah makan, kok, Mah.” Aku berusaha tersenyum di depan wanita yang telah melahirkanku itu.
“Kenapa kamu masih pucat?” tanya Mama sambil mengusap pipiku.
“Nay merasa mual, Mah. Mungkin masuk angin karena akhir-akhir ini telat makan.” Rasa mual ini benar-benar menyiksa.
“Jangan menyiksa diri seperti ini, Sayang. Untuk apa kamu memikirkan seseorang yang tidak mengingatmu sama sekali? Dia nggak pantas untuk ditangisi.” Aku mengerti bagaimana perasaan Mama saat ini.
“Terus terang, untuk sekarang Nay belum mampu melupakan Mas Yuda, Mah. Tapi Nay janji akan tetap mengakhiri hubungan ini. Nay nggak mau terikat dengannya.” Aku berusaha memberikan penjelasan untuk menenangkan Mama.
“Perpisahan adalah jalan terbaik untuk kalian, Sayang. Kamu masih muda dan berhak menemukan kebahagiaan yang kamu harapkan. Jangan biarkan masa mudamu hancur karena laki-laki itu. Dia nggak pantas mendampingimu.” Seandainya Mama tahu sejauh mana hubunganku dengan Mas Yuda, entah apa yang akan terjadi.
Aku sangat mengerti dan memahami apa yang Mama rasakan saat ini. Beliau pasti tidak ingin melihat diriku tetap larut dalam kehampaan. Aku juga ingin menunjukkan kalau sekarang, aku sudah tidak merasakan kesedihan lagi.
Akan tetapi, semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Walaupun aku ingin tetap mengakhiri hubungan bersama Mas Yuda dan lebih memilih untuk berpisah dengannya, tetapi hati kecilku tetap bergejolak dan mengatakan kalau aku masih mencintainya.
“Mama berharap agar kamu segera melupakan dia, ya, Sayang.” Mama mendekapku.
Aku akan berusaha menghapus rasa yang ada dalam hati ini terhadap Mas Yuda. Namun, terlalu banyak keindahan yang telah kami lalui bersama. Aku belum sanggup menepiskan bayangan tentang dirinya. Tidak mudah bagiku membuang semua kenangan yang telah tercipta di antara kami.
“Aku ingin kamu melahirkan anak-anakku, Sayang.” Kalimat itu yang sering Mas Yuda ucapkan kepadaku.
Aku tetap percaya dengan semua yang Mas Yuda ungkapkan. Ia selalu menunjukkan kasih sayang dan perhatiannya kepadaku, tidak ada sikap yang mencurigakan sama sekali. Cinta yang ia berikan terasa nyata dan tulus dari seorang kekasih.
Aku juga sangat percaya kalau Mas Yuda adalah pendamping hidup terbaik. Namun, apa yang kudapatkan saat ini? Ia dengan tega menghancurkan kepercayaan yang telah kuberikan kepadanya. Laki-laki itu telah menciptakan penderitaan yang amat mendalam.
Bukan hanya hati ini yang hancur, tetapi hidupku juga. Tidak ada lagi yang dapat kubanggakan saat ini, semuanya telah sirna tidak tersisa. Mas Yuda telah merebut semua yang kumiliki. Diriku merasa tidak pantas lagi menjadi seorang anak yang selalu dibanggakan Papa dan Mama.
Aku telah mencoreng nama baik keluarga dan menciptakan aib yang mungkin tidak dapat diterima. Aku telah menghancurkan kepercayaan yang telah Papa dan Mama berikan. Mereka tidak pernah tahu seperti apa kehidupan anaknya ini sekarang.
🏵️🏵️🏵️
Sebulan telah berlalu, tetapi Mas Yuda belum menunjukkan batang hidungnya. Ia selalu memberikan alasan bahwa dirinya masih sangat sibuk. Aku ingin menemui laki-laki itu ke perusahaan milik keluarga pamannya. Namun, niat itu aku urungkan karena belum sanggup bertemu dengan orang banyak.
Sebelum kejadian menyakitkan itu terjadi, aku bekerja di perusahaan kakak tertua mami Mas Yuda. Mungkin karena kebersamaan dan hampir tiap hari bertemu, benih cinta itu pun tumbuh di hati kami. Mas Yuda menjabat sebagai direktur di kantor itu.
Mas Yuda sangat menghormati orang tuaku. Ia sering berkunjung ke rumah dan berbincang dengan Papa. Namun, aku tidak mengerti sama sekali apa yang ada dalam pikiran Mas Yuda hingga tega menyakiti semua anggota keluargaku.
Saat memikirkan laki-laki yang telah menghancurkan hidupku itu, tiba-tiba aku merasa mual, padahal aku sudah berusaha makan tepat waktu dan mencoba menghapus secara perlahan sakit yang disebabkan Mas Yuda. Ada apa ini?
Aku berlari ke kamar mandi dan meninggalkan Mama yang masih asyik menyaksikan acara televisi di ruang keluarga. Aku berusaha memuntahkan apa yang membuat perutku terasa mual. Namun, tidak ada sedikit pun yang keluar, hanya air liur saja.
Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba merasakan mual yang membuat badanku terasa lemas. Aku juga heran karena akhir-akhir ini, selera makan menurun. Namun, aku merasa kalau itu sangat wajar karena aku masih memikirkan Mas Yuda dan belum mampu sepenuhnya melupakan apa yang telah dilakukan laki-laki itu.
“Kamu kenapa, Sayang?” Suara Mama mengagetkanku yang tiba-tiba masuk kamar mandi yang pintunya tidak kututup.
“Nay mual banget, Mah. Pusing juga.” Aku memegang kepalaku.
“Apa mungkin masuk angin? Tapi tadi kita udah sarapan sebelum Papa berangkat kerja.”
Papa bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan jasa di kota ini. Aku merupakan anak tunggal yang selalu orang tua banggakan selama ini karena tidak pernah absen dari prestasi, saat aku masih duduk di bangku SD hingga kuliah.
Akan tetapi, sekarang aku tidak pantas lagi disebut sebagai anak kebanggaan. Aku telah melukai hati, juga perasaan Papa dan Mama. Aku telah menciptakan penderitaan yang mungkin tidak dapat mereka terima.
Kini, aku makin takut dan merasa bersalah dengan apa yang kurasakan. Pertanda apa ini? Ada apa denganku? Tidak cukupkah luka yang Mas Yuda berikan? Aku tidak sanggup membayangkan jika sesuatu terjadi lagi.
==========
🏵️🏵️🏵️ Aku dan mami mertua memapah Bunda untuk kembali duduk. Sementara Mas Yuda dan papinya juga turut menghempaskan tubuh ke sofa. Aku tidak kuasa melihat air mata Bunda yang masih terjun bebas dari tempatnya. Aku sangat tahu bagaimana perasaan wanita yang melahirkanku itu saat ini. Akhirnya, Bunda pun menceritakan tentang laki-laki yang dulu sangat beliau cintai. Aku tidak pernah menyangka bahwa pertemuan mereka menciptakan hubungan terlarang. Awalnya, Bunda tidak tahu kalau Pak Bagas telah memiliki istri dan dua orang anak. Bunda mengaku dengan polosnya memercayai laki-laki yang baru ia kenal kala itu. Mereka pun akhirnya menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih hingga akhirnya Bunda hamil. Pak Bagas dengan semangat mengatakan akan bertanggung jawab dengan menikahi Bunda. Akan tetapi, janji yang laki-laki itu ucapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Beliau dengan tega tidak muncul di hari pernikahan mereka. Hanya penyesalan yang Bunda rasakan saat itu setelah mengetahui stat
🏵️🏵️🏵️ Setelah aku dan Mas Yuda merapikan pakaian dan tempat tidur, kami pun melangkah menuju pintu lalu membukanya. Aku sedikit terkejut melihat wajah mami mertua yang tampak serius. Ada apa dengan wanita itu? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Aku dan Mas Yuda saling berpandangan ketika tatapan mami mertua sedikit berbeda dari biasanya kepadaku. Kenapa beliau bersikap seperti itu? Apakah aku melakukan kesalahan? Apa mungkin sesuatu yang aku sembunyikan telah beliau ketahui? Aku tidak boleh menebak-nebak hingga berpikir seolah-olah memberikan tuduhan. Mungkin saja ada hal penting yang ingin mami tanyakan atau bicarakan denganku dan Mas Yuda. Semoga tidak ada sesuatu yang serius. “Papi minta kalian berdua ke ruang keluarga.” Tumben sikap mami mertua tidak seperti biasanya. “Ada apa, Mih?” tanya Mas Yuda. “Nanti Papi yang jelasin ke kalian.” Mami mertua memberikan balasan dengan nada datar. Aku dan Mas Yuda pun mengikuti langkah wanita itu menuju ruang keluarga. Aku kembali hera
🏵️🏵️🏵️ Aku makin mendekatkan diri kepada wanita itu lalu ia langsung mendekapku. Aku tidak berusaha menolak atau mengelak karena entah kenapa aku merasakan sesuatu dalam pelukannya. Apa mungkin ini yang dinamakan kontak batin antara ibu dan anak? Aku yang awalnya berpikir kalau ia tega meninggalkan darah dagingnya, tiba-tiba sirna seketika. Aku justru bahagia dengan pertemuan ini. Setelah berlalu puluhan tahun, aku baru mengetahui siapa wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini. Bu Dewi pun melepaskan pelukan lalu mencium keningku. Ia mengeluarkan air mata. Tanpa diminta, aku dengan sadar dan ikhlas langsung mengusap bening kristal yang kini terjun hingga membasahi pipinya. “Maafin Bunda, Sayang.” Ia memegang kedua pipiku setelah aku menghapus air matanya. “Bunda ….” Sekarang, aku yang tidak mampu menahan air mata agar tidak terjun dari tempatnya. Aku pun memanggilnya dengan sebutan yang biasa ia gunakan saat mengirim pesan. “Anakku sayang.” Ia kembali menumpahkan titik-tit
🏵️🏵️🏵️ Mungkin karena aku tidak memberikan respons, si pengirim pesan menelepon ke ponsel Mas Yuda. Apa benar itu suara Bu Dewi? Beliau wanita yang melahirkanku? Tanpa diminta, air mataku kembali turun membasahi pipi. Aku merasakan sesuatu yang berbeda setelah mendengar suara itu. Apa mungkin karena aku telah mengetahui kebenaran tentang statusku yang bukan anak kandung Papa dan Mama? Apa sebaiknya aku berbincang dengan Bu Dewi? “Maaf, apa benar ini Bu Dewi?” Aku tadi memberikan isyarat kepada Mas Yuda untuk bertanya dan memastikan kebenaran Bu Dewi. “Iya, Nak. Kamu tahu Bunda dari mana?” Bu Dewi bersemangat. Itu bisa aku dengar dari suaranya. “Papa dan Mama udah cerita tentang semuanya.” Aku pun mengeluarkan suara. “Nayla, anak Bunda. Ini benar kamu, Nak?” Bu Dewi tiba-tiba langsung menangis. “Iya. Ini anak yang Anda buang saat masih bayi.” Aku memberikan balasan. “Maafin Bunda, Nak. Bunda terpaksa.” “Kenapa Anda sekarang tiba-tiba muncul? Ke mana aja selama ini? Masih ing
🏵️🏵️🏵️ Wajah Mama menunjukkan perubahan lalu melihat ke arah Papa. Mungkin mereka terkejut mendengar pertanyaanku. Aku sudah tidak sabar ingin mengetahui kebenaran dan tetap berharap kalau aku anak kandung mereka. Reaksi kedua orang tua itu membuat jantungku deg-degan. Apakah mereka akan mengaku kalau aku bukan darah daging mereka? Sudah siapkah aku dengan sebuah kenyataan pahit? Mampukah aku menghadapi perubahan? Tidak! Kenapa aku berpikir seolah-olah benar kalau Papa dan Mama bukan orang tua kandungku? Aku harus segera menepiskan pemikiran menyakitkan itu. Aku harus tetap yakin kalau keajaiban itu pasti ada. “Kenapa Papa dan Mama diam aja?” Aku kembali bertanya. “Pertanyaan apa itu? Mikir, kok, sembarangan.” Akhirnya, Papa memberikan jawaban. “Nay serius, Pah. Nay harus tahu yang sebenarnya.” Aku tetap bersikeras agar Papa atau Mama jujur kepadaku. “Untuk apa kamu melontarkan pertanyaan yang tidak penting?” Papa kembali membuka suara. “Nay hanya butuh jawaban yang pasti, P
🏵️🏵️🏵️ Aku terkejut setelah Mas Yuda membaca pesan masuk tersebut. Apa maksud si pengirim? Kenapa ia mengaku meninggalkan diriku? Ditinggalkan di mana? Kapan? Ini seperti teka-teki yang membingungkan. Aku tidak ingin berlarut-larut berada di dalamnya. Akhirnya, aku pun meraih ponsel itu untuk mencari kontak Nenek. Aku yakin kalau beliau bisa menjelaskan apa yang kurasakan saat ini. Aku segera menekan simbol telepon berwarna hijau dan terdengar nada panggilan tersambung. “Assalamualaikum, Nay.” Aku pun mendengar suara salam dari seberang telepon. “Waalaikumsalam, Nek.” “Cicit Nenek udah bisa apa?” Beliau langsung menanyakan Rizal. “Alhamdulillah udah makin pintar, Nek.” Aku memberikan jawaban. “Maaf, Nay mengganggu Nenek. Tapi ada sesuatu yang ingin Nay tanyakan pada Nenek.” “Ada apa, Nay? Kok, suara kamu terdengar sangat serius? Apa hubungan kamu dan Yuda baik-baik saja?” Sepertinya beliau penasaran dan menyadari suaraku. “Apa Nay anak kandung Papa dan Mama?” Aku pun langsun
🏵️🏵️🏵️Hari ini, Rizal memasuki usia dua bulan. Ia benar-benar sangat menggemaskan. Ia mampu menghilangkan rasa penat Mas Yuda setelah seharian berkutat dengan kegiatan di kantor. Ia juga selalu berhasil membuat wajah kedua mertuaku tampak ceria karena telah memilki cucu.Apalagi aku sebagai mamanya yang selalu menyaksikan tumbuh kembangnya. Anak mungil itu sudah mulai mengerti jika diajak berbicara. Ia akan mengeluarkan suara ketawanya. Sungguh, aku benar-benar sangat bersyukur menjadi wanita yang melahirkannya.Seperti biasa, rutinitas yang aku lakukan setiap pagi setelah memandikan Rizal, aku pun memberikan ASI hingga ia tertidur. Setelah ia pulas, aku memilih mandi lalu membereskan kamar. Namun, saat aku hendak merapikan tempat tidur, terdengar getaran pesan masuk dari ponselku di nakas.Aku pun segera meraih benda itu. Ternyata nomor yang mengirim pesan tidak tersimpan dalam daftar kontak. Walaupun nomor baru, aku tetap membukanya karena ingin tahu isinya. Mungkin saja seseora
🏵️🏵️🏵️ “Aku khilaf, Nay. Saat itu aku bingung harus gimana. Aku hamil, tapi tiba-tiba ditinggal pergi oleh ayah dari anakku.” Ia menatapku dengan sendu. “Terus, kamu nggak mikirin nasibku? Aku juga harus berpisah dengan suamiku saat aku mengandung anaknya.” Mas Yuda menenangkanku. Ia mengajakku duduk. “Kendalikan dirimu, Sayang. Kamu lupa kalau saat ini ada anak kita di dalam?” Ia mengusap perutku. “Aku kesal, Mas.” “Yang lalu biarlah berlalu. Aku sekarang ada di sini untukmu dan anak kita. Cobalah untuk memaafkan kesalahan orang yang dulu menyakitimu. Dia tulus meminta maaf padamu.” Mas Yuda membuatku luluh. Aku pun tidak tega melihat wanita itu beserta anaknya yang datang menemuiku. Aku akhirnya memintanya untuk duduk, ia mengucapkan terima kasih. Aku berusaha membuka hati untuk memberikan maaf kepadanya, sebab yang terpenting saat ini adalah keberadaan Mas Yuda yang makin menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang kepadaku. Kami akhirnya berbincang dan berjanji akan menjadi t
🏵️🏵️🏵️ Kami pun akhirnya tiba di rumah orang tua Mas Yuda. Ia segera menghentikan mobil di depan teras. Ia langsung turun, kemudian memapahku berjalan memasuki istana orang tuanya. “Mami!” Mas Yuda berteriak setelah kami berada di dalam rumah. “Ada apa, Nak?” Maminya Mas Yuda memberikan sahutan. Ternyata beliau sedang duduk di ruang keluarga. Kami pun melangkah menghampiri wanita paruh baya tersebut. “Aku bawa berita gembira, Mih.” Mas Yuda tampak serius. Ia pun memintaku duduk di samping maminya. “Berita apa? Jangan bikin Mami penasaran.” Mas Yuda pun meraih tangan maminya lalu menempelkannya ke perutku. “Ada cucu Mami di dalam.” Mami mertua spontan langsung memelukku. Wanita itu kemudian melepas dekapannya lalu mengusap kedua pipiku. “Kamu hamil, Sayang?” tanya beliau kepadaku. “Iya, Mih.” Aku pun mengembangkan senyuman. “Terima kasih, Sayang. Akhirnya harapan Mami dan Papi akan segera terwujud. Jaga cucu Mami baik-baik, ya, Sayang. Jangan banyak gerak. Mami akan selalu a