"Gimana? Sudah sesuai dengan ekspektasi kamu?" Evan menemaniku melihat-lihat interior ruko hasil rancangannya setelah diisi lengkap dengan furniture. Proses finishing mundur satu bulan dari target karena beberapa kendala. Di lantai dua, aku memindai tiap sudut ruangan yang sebagian kecil adalah request-ku sendiri termasuk pemilihan cat dan wallpaper dinding kamar. "Oke, aku suka, kok." Puas menjelajah tiap sudut lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang sengaja dikhususkan untuk bersantai. Ada kolam renang kecil, tempat gym dan juga taman minimalis yang difungsikan sebagai area hijau roof top. "This is you're dream, right?" Lelaki berstatus calon suami itu merentangkan tangan seperti mempersembahkan sebuah pertunjukan. "Hmmm." Aku menepi ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa, berdiri menghadap langit barat Surabaya. Sekarang benar-benar terwujud bersamaan dengan view keemasan kala senja. Juga dengan dia--pria tampan yang nantinya akan jadi sandaran kepalaku ketika sama-sa
Pagiku kini berbeda, biasanya akan terbangun dengan bunyi alarm, atau memang otakku telah tersetting sedemikian rupa oleh kebiasaan sehingga tanpa adanya alarm pun aku pasti terbangun di jam yang sama. Gak peduli tidur larut atau enggak, tetap gak ada pengaruhnya. Aku gak langsung berolahraga atau gegas mandi, tapi hari ini aku seperti mendapatkan dispensasi atas apa yang terjadi semalam. Masih ingin bermalas-malasan dengannya, memanfaatkan cuti yang gak seberapa lama dengan bercengkerama. Evan masih terpejam, mendengkur halus dengan napas teratur. Tanganku terulur menjangkau wajah tampan itu kemudian mengusapnya perlahan. Semalam pasti melelahkan untuk kami, terutama untuknya. Gejolak muda telah terlampiaskan dengan begitu indah bermandikan peluh. Kelopak mata yang tersentuh oleh tanganku mengerjap. Lengkungan di kedua sudut bibirnya begitu hangat hingga merasuk ke dada ini. "Dicium juga boleh," ujar lelaki yang telah memiliki jiwa dan ragaku seutuhnya. Aku tersadar jika jemarik
"Mama sama Papa pulang, ya! Kalau Evan macem-macem bilang sama Mama." Ibu mertua memelukku penuh sayang. "Iya, Ma." "Jaga istrimu baik-baik! Sekarang kamu sudah jadi suami, tanggung jawabmu makin besar, jangan petakilan dan main-main gak jelas lagi." Tetap Evan yang diwanti-wanti, dikasih wejangan dengan nada penuh ancaman baik dari sang Mama maupun Papa. "Siap, Komandan!" Masih saja cengengesan di saat yang lain tenggelam dalam haru. "Pak, Bu, kami pamit pulang. Jangan segan-segan menegur anak kami jika dia salah langkah dan arah. Bimbing dia supaya bisa menjadi suami dan calon ayah yang baik." Kedua mertuaku menyalami sang besan. "Insya Allah, Pak, Bu. Terima kasih telah menyempatkan diri mampir ke sini," ucap Papa mewakili keluargaku. "Cici, kamu gak tinggal di Surabaya aja?" Gadis yang sekarang resmi jadi adik ipar masih menggelendot manja di lenganku, lebih manja ke aku daripada kakak kandungnya sendiri. Kami hanya beberapa kali bertemu sebelum acara pernikahan. Namun, akt
"Kok, Om gak mau sentuh aku? Kita kan udah nikah." Aku menoel punggung lelaki yang terbaring di sampingku. "Kecil-kecil me*um." "Tua-tua gak normal." "Geli aja kalau ingat waktu kamu masih ingusan dulu." "Itu, kan, waktu aku masih umur 10 tahun." "Pokoknya masih kebayang sampai sekarang." Om Bas bergidik merinding lalu bebaring memunggungiku. Pilih peluk guling daripada aku--gadis yang sudah dinikahinya sebulan lalu. Istri yang masih berstatus perawan ting-ting, bukan permen bukan biskuit. Aku bisa maklum kalau Om Bas memiliki kelemahan tertentu. Masalahnya, alasan dia gak banget. Masa iya gara-gara teringat caraku ngelap ingus dulu. Pakai punggung tangan hingga terseret ke pipi. Kadang ada gelembung keluar dari salah satu lubang hidung. Bukankah itu lucu dan menggemaskan? "Terus kalau gak mau pegang, kenapa Om mau nikah sama aku?" Aku tahu lelaki jangkung itu hanya pura-pura merem. "Ini semua gara-gara kutukan gak masuk akalmu itu." == "Mau jadi apa kamu, Sisy? Disuruh kuli
Mendadak Om Bas gemetaran lihat aku beraksi menyingkap kimono pelan-pelan. Pokoknya pakai gerakan slow motion ala brand ambassador sabun mandi. Biar memacu adrenalin dan menciptakan sensasi gurih-gurih gimana gitu. "Hentikan!" Om Bas sampai berjingkat turun dari ranjang. Tetap bawa bantal buat tutupin muka, padahal ngintip juga. Ck! Muna-waroh memang. Aku menjulurkan kaki ke lantai, duduk berpose elegan dengan mencondongkan tubuh ke belakang. Pilin-pilin anak rambut dan kedipin sebelah mata, menggoda. Betewe, udah kaya pelakor belum? "Sini, dong, Om!" Kugerakkan jari telunjuk isyarat supaya lelaki mature itu mau mendekat. "Dasar bocah genit!" Bukannya maju, si dia malah mundur teratur. Syalan! Habis sudah kesabaran Sisy. Eh, belum, ding. Masih ada sisa sekian persen, bisalah untuk melanjutkan aksi nackal ini. Sebagai istri yang sebulan belum terjamah sama sekali, wajib hukumnya buat demo meminta hak buka segel. Dengan sejuta keanggunan yang kupunya, aku melangkah mendekati pria
"Unboxing apaan? Jangan macam-macam kamu!" Uwuw, Om Bas gumushin kalau lagi panik. Takut yang dipegang bakalan lepas kalau nekat kuapa-apain. Lelaki berambut setengah basah itu melipir nempel-nempel di dinding. Jalan ke samping selangkah demi selangkah saat aku berjalan mendekatinya sampai mentok ke meja rias. Langkahku makin dekat dan teramat dekat dengan mata tak beralih menatap area bawah. "Dari luar aja udah lucu gitu bentuknya, apalagi dalamnya." Aku mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di bibir lalu menipiskan jarak dengan Om Bas. "Sisy! Jangan kurang ajar sama suami." Aku menyambar kotak kado merah muda dengan hiasan pita yang teronggok di meja rias, tepat di bawah pinggang Om Bas. Hadiah pernikahan yang telat dikirim salah satu teman yang kerja di luar kota. "Wleee, ge'er!" Kujulurkan lidah pada pemilik wajah tegang-tegang menggemaskan itu saat berjalan melewatinya. Sedikit menahan malu, Om Bas menyembunyikan wajah di balik pintu lemari. Pura-pura sibuk cari baju. "Wah! Baju
Rumah itu gak terlalu besar, tapi bersihnya minta ampun. Benar-benar sudah siap huni karena semua perabotan telah tertata rapi. Pokoknya Sisy tinggal bawa badan sama baju doang. Gak salah aku jadi Om-om lover. Selain matang secara usia, Om Bas juga prepare banget tentang kewajibannya sebagai suami, yakni sandang, pangan, papan. Tinggal satu kewajiban anuan aja yang belum. Nah, kan! Ke sana lagi, ke sana lagi. "Ini kamar kita, bereskan sendiri baju-baju kamu di lemari." Om Bas menarik koperku, masuk ke sebuah ruangan yang lumayan lega kalau dipakai buat anuan. Buat guling-guling maksudnya. Kamar kita katanya. Berarti boboknya bareng-bareng kan, ya! Haseeek. Ada ranjang berukuran nomor satu dengan seprei dan bed cover warna pastel di sana. Gak sabar kepingin rebahan, apalagi sudah dilengkapi AC yang bisa diatur temperaturnya. Pasti gak bakalan bikin masuk angin kaya kipas di rumah Ibuk. "Sisy boleh tiduran di situ kan, Om?" "Ya, bolehlah." Yes! Otewe rebahan. Mana nyaman banget lag
Jadi gitu ceritanya, Om Bas belum mau apa-apain aku gara-gara masih kebayang terus sama masa kecilku. Kalau sepuluh tahun lalu tahu, bahwa dia akan jadi suami di masa mendatang, pasti aku bakalan rajin mandi, gak mainan tanah dan petakilan. Biar yang diingat adalah Sisy yang cantik, manis, imut dan menggoda. Intinya, dia masih kesulitan menganggapku sebagai istri. Di matanya, aku tetaplah bocah ingusan yang belum tumbuh dewasa. Padahal sebagai wanita, fisikku sudah ideal, kok. Gak kalah sama supermodel atau finalis kontes kecantikan. Masa iya gak ada keinginan buat nyicipin dikit gitu. Belum juga tahu gimana rasanya. "Astaga, Bas. Jadi selama ini kamu belum--" Mama menyatukan dua jari telunjuk kanan dan kiri isyarat anu. "Iya, Ma. Gimana cara mengatasinya ya, Ma?" Om Bas menghela napas sambil mikir. Apa selama ini dia juga tersiksa gak bisa mengatasi sugestinya sendiri? Secara kasat mata aku cukup dewasa dan menarik. Namun, bagi Om Bas berbeda, yang dilihatnya adalah sosok Sisy ke