Aku meraba-raba kening sendiri, kening yang semalam jadi tempat landing-nya kecupan Om Bas. Terus senyum-senyum sambil topang dagu. Stop Sisy! Simpan kebahagiaanmu dulu. Jangan sampai udah diterbangin tinggi-tinggi, eh gak tahunya diterjunin lagi. Kan, sakit. Pura-pura polos aja dulu seakan gak terjadi apa-apa.
Cuma gak bisa dimungkiri kalau perkembangan Om Bas lumayan pesat. Sekarang, pikirin caranya dulu gimana biar dia bisa jatuh cinta. Kalau cinta itu udah tertanam di hati Om Bas, bukankah urusan yang lain jadi lebih mudah?
Sayangnya, saat ini aku gak bisa melancarkan aksi frontal. Dari kemarin emosi naik turun gak jelas gara-gara mens. Mana nyeri banget ini perut dan pinggang. Gak bebas ngapa-ngapain, rebahan aja sampai miring sana sini nahan perut yang terasa melilit. Gimana gak kepingin marah-marah kalau kaya gini caranya.
"Ini jamu titipan Mama, barusan diantar sama kurir." Om Bas menaruh botol plastik berisi cairan berwarna kuning-kining oranye. Belum dibuka saja, sudah terbayang gimana rasanya.
"Pasti pahit."
Iya, kaya hidupku yang belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. Ah, bucin. Memang akunya gak begitu doyan jamu, paling banter jamu beras kencur karena rasanya lebih bersahabat. Tapi ini kiriman mertua yang perhatian banget. Aku bikin story W* tentang nyeri haid aja, beliau gerak cepat order di tukang jamu langganan.
Apa aku harus bikin status tentang anu juga, biar Mama gerak cepat buat bantu aku takhlukin Om Bas. Haist! Kondisikan otakmu, Sy.
"Enggak pahit, kan ada campuran madu sama gula merahnya."
"Kok, Om tahu?"
"Tahulah. Dulu mantan saya sering mengkonsumsi jamu ini kalau sedang haid."
Jiah, asem! Malah sebut-sebut mantan. Ngeselin. Bukannya reda, tambah numpuk-numpuk aja ini emosi. Tinggal nunggu meledak aja. Kebiasaan mantan aja sampai hapal. Giliran kebiasaan istrinya, yang diingat cuma aib masa kecil melulu.
"Coba diminum dulu. Kunyit secara alami mengandung bahan aktif yang berfungsi sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Siapa tahu habis minum ini nyerinya jadi berkurang." Om Bas menuangkannya ke dalam gelas kecil. Sisanya dia simpan di kulkas.
Otak ini udah gak berfungsi kalau dengar istilah-istilah asing begitu. Orang isinya cuma tentang anu melulu. Terus, gimana jamu ini bisa tertelan di tenggorokan kalau belum apa-apa udah dibumbui cerita tentang mantan. Eneg yang ada. Tuh, kan, bikin mood tambah jelek. Jangan salahin aku kalau setelah ini Om Bas jadi sasaran kemurkaan Sisy.
Om Bas siapin sarapan sendiri, cuma roti tawar sama selai nanas. Bikin dua tangkup, satu untuknya dan satu untukku. Baru mau belajar jadi istri idaman buat narik perhatian. Eh, di tengah jalan digagalkan dengan tamu bulanan. Padahal kemarin udah siapin resep dan bahan buat sarapan tiap hari. Tujuh hari dengan menu berbeda, biar gak bosen dan biar suami makin bangga sama aku. Alhasil, masih berupa wacana. Kalau udah melilit begini akunya jadi malas beraktivitas.
"Saya berangkat, ya. Kalau habis minum jamu perutnya masih sakit, telepon saya. Nanti kita check ke dokter." Om Bas menyambar tas kerjanya usai menandaskan sarapan.
Dengar kata check ke dokter, berasa kaya lagi hamil muda. Ah, andai.
"Hmmm."
Aku mencium punggung tangannya. Coba dibalas cium kening, kan adem. Masa iya cium aja nunggu aku tidur dulu. Takut aku minta jatah lain gitu? Padahal memang iya.
"Dibuat istirahat aja, gak usah ngapa-ngapain." Cuma unyeng-unyeng kepala, Pemirsa!
Perhatian sih, perhatian. Bahkan sepanjang hari ini udah kirim pesan beberapa kali cuma buat tanyain kondisi aku dan ngingetin makan. Harusnya senang, dong, ya. Tapi gak tahu kenapa jiwa keharuanku, kelebay-anku, dan kege'eranku hilang begitu saja. Mungkin efek lelah, semua perhatian itu gak berarti apa-apa sebelum jiwa raga ini jadi miliknya. Ah sudahlah! Katanya sedang menikmati proses.
Selama ini Om Bas udah menguji kesabaranku. Kenapa gak sekali-kali gantian yang diuji. Belum tahu dia kalau Sisy lagi mens itu bisa bertingkah sangat menyebalkan. Bapak sama Ibuk aja gak berani dekat-dekat pas anak gadisnya garang mode on, bisa ngamuk beneran kalau salah-salah colek.
Ini alami dan aku gak ngadi-ngadi, hampir seminggu ini, jiwa labilku meronta-ronta. Orang gak ngapa-ngapain pun bisa ngeselin di mataku. Ada yang cari gara-gara dikit aja bisa bikin aku keluar tanduk.
Kaya kemarin, lagi enak-enaknya rebahan di sofa, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh tepat di kening. Waktu kuraba, ada gumpalan kecil, lembek dan bau. Aku mendongak mencari pelaku, di plafon tepat atas kepalaku ada cicak santuy goyang-goyangin ekornya.
"Bisa gak, sih, kalau buang hajat itu gak sembarangan!" Belum sempat kulempar pakai kemoceng, cicak lucknut itu udah kabur duluan.
"Kenapa, sih, Sy, teriak-teriak?" Om Bas yang penuh busa sampai harus keluar pakai handuk doang. Untung gak melorot, kalau iya menang banyak Sisy.
"Gak papa. Itu cicak nyebelin banget kaya seseorang yang masih inget mulu sama mantan." Tiap minum jamu kiriman Mama, gak tahu kenapa yang kuingat malah ucapan Om Bas tentang mantannya. Sebel, tapi nyeri pinggang dan perutku berangsur sembuh berkat kunyit asem itu.
Makanya jadi laki-laki jangan suka pancing-pancing cari perkara. Sekali salah ngomong atau menyinggung perasaan istri, bakalan terekam dengan baik bahkan hingga 20 tahun kemudian.
Om Bas speechless dan masuk kamar lagi, sampai lama gak balik-balik lagi. Kayaknya sih, kapok hadapin istri labilnya beberapa hari ini. Pernah juga kemarin pas ikut belanja ke supermarket, tiba-tiba aku kesenggol tukang parkir.
"Mas, coba kalau jalan gak usah mundur-mundur!" Omelku.
"Namanya tukang parkir kalau jalan pasti mundur, Mbak. Kalau maju yang ada saya malah ketabrak atau mobil gak gerak-gerak."
Mas-mas berompi oranye itu membela diri, sambil bilang terus ... terus ... kasih kode pada kendaraan-kendaraan yang hendak keluar area parkir.
"Maafkan istri ya, Mas. Maklum lagi menstruasi."
"Gak papa, Mas. Istri saya juga sering kaya gitu kalau ada tamu bulanan." Lah, malah pada curhat ini suami-suami teraniaya.
Om Bas sampai nahan malu. Aku yang salah, dia yang minta maaf.
Biasanya kalau udah lewat tujuh hari dan kembali suci. Kelabilanku bakalan pulih dengan sendirinya. Mungkin lusa baru normal. Jadi, masih ada satu hari tersisa bagi Om Bas untuk menghadapi ujiannya.
Buka grup W* genk gesrek, bahasannya bikin nganan terus. Mentang-mentang sekarang lagi hujan deras, pada pamer kelonan semua sama suami masing-masing. Aku langsung delete semua percakapan. Ngenes.
Aku menggelar kasur tipis berbulu di depan TV. Lalu menggulung tubuh dengan bad cover. Habis Isya sampai sekarang, Om Bas gak keluar kamar, mungkin ketiduran. Malas nyusul, suka nyesek sendiri lihat dia tidur duluan dan kesekian kalinya mengabaikanku sebagai istri.
"Bapak ... Ibuk ... anakmu kesiksa batinnya di sini. Sisy mau pulang aja." Aku sesenggukan sendiri, ditemani derasnya hujan di luar sana, juga sunyinya malam. Lengkap sudah penderitaan.
Entah di jam berapa aku terbangun, meraba dan mencari guling yang tadi kupeluk. Namun ada yang aneh, gulingnya berubah jadi lebih gede. Gak cuma itu, tapi ada lengannya juga. Pas mata ini melek sempurna, kulihat ada deru napasnya juga. Waktu aku medongak, dia punya jenggot dan cambang tipis juga.
Sumpah demi apa? Kepingin teriak sambil guling-guling saat itu juga.
Bapak ... Ibuk! Malam ini anakmu resmi dikelonin ....
Haseeeek!
Next
"Mama sama Papa pulang, ya! Kalau Evan macem-macem bilang sama Mama." Ibu mertua memelukku penuh sayang. "Iya, Ma." "Jaga istrimu baik-baik! Sekarang kamu sudah jadi suami, tanggung jawabmu makin besar, jangan petakilan dan main-main gak jelas lagi." Tetap Evan yang diwanti-wanti, dikasih wejangan dengan nada penuh ancaman baik dari sang Mama maupun Papa. "Siap, Komandan!" Masih saja cengengesan di saat yang lain tenggelam dalam haru. "Pak, Bu, kami pamit pulang. Jangan segan-segan menegur anak kami jika dia salah langkah dan arah. Bimbing dia supaya bisa menjadi suami dan calon ayah yang baik." Kedua mertuaku menyalami sang besan. "Insya Allah, Pak, Bu. Terima kasih telah menyempatkan diri mampir ke sini," ucap Papa mewakili keluargaku. "Cici, kamu gak tinggal di Surabaya aja?" Gadis yang sekarang resmi jadi adik ipar masih menggelendot manja di lenganku, lebih manja ke aku daripada kakak kandungnya sendiri. Kami hanya beberapa kali bertemu sebelum acara pernikahan. Namun, akt
Pagiku kini berbeda, biasanya akan terbangun dengan bunyi alarm, atau memang otakku telah tersetting sedemikian rupa oleh kebiasaan sehingga tanpa adanya alarm pun aku pasti terbangun di jam yang sama. Gak peduli tidur larut atau enggak, tetap gak ada pengaruhnya. Aku gak langsung berolahraga atau gegas mandi, tapi hari ini aku seperti mendapatkan dispensasi atas apa yang terjadi semalam. Masih ingin bermalas-malasan dengannya, memanfaatkan cuti yang gak seberapa lama dengan bercengkerama. Evan masih terpejam, mendengkur halus dengan napas teratur. Tanganku terulur menjangkau wajah tampan itu kemudian mengusapnya perlahan. Semalam pasti melelahkan untuk kami, terutama untuknya. Gejolak muda telah terlampiaskan dengan begitu indah bermandikan peluh. Kelopak mata yang tersentuh oleh tanganku mengerjap. Lengkungan di kedua sudut bibirnya begitu hangat hingga merasuk ke dada ini. "Dicium juga boleh," ujar lelaki yang telah memiliki jiwa dan ragaku seutuhnya. Aku tersadar jika jemarik
"Gimana? Sudah sesuai dengan ekspektasi kamu?" Evan menemaniku melihat-lihat interior ruko hasil rancangannya setelah diisi lengkap dengan furniture. Proses finishing mundur satu bulan dari target karena beberapa kendala. Di lantai dua, aku memindai tiap sudut ruangan yang sebagian kecil adalah request-ku sendiri termasuk pemilihan cat dan wallpaper dinding kamar. "Oke, aku suka, kok." Puas menjelajah tiap sudut lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang sengaja dikhususkan untuk bersantai. Ada kolam renang kecil, tempat gym dan juga taman minimalis yang difungsikan sebagai area hijau roof top. "This is you're dream, right?" Lelaki berstatus calon suami itu merentangkan tangan seperti mempersembahkan sebuah pertunjukan. "Hmmm." Aku menepi ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa, berdiri menghadap langit barat Surabaya. Sekarang benar-benar terwujud bersamaan dengan view keemasan kala senja. Juga dengan dia--pria tampan yang nantinya akan jadi sandaran kepalaku ketika sama-sa
"Sudah, Mbak. Aku gak mau denger lagi pertanyaan yang selalu kamu ulang-ulang. Kamu yakin, gak? Kamu benar-benar yakin? Aku bosen, sumpah. Ini terakhir kalinya aku menjawab kalau aku sangat-sangat yakin ingin menikahimu ... segera. Paham!" Aku gak bisa lari ketika Evan mengunciku dengan tatapan tegasnya. Celah mana yang ingin kamu jadikan alasan, Erin? Kurang keras kah usahanya mencairkan bekunya rasamu? Bukti apa lagi yang kamu inginkan agar dia bisa leluasa memasuki singgasana hatimu kemudian mengizinkannya menetap di sana? "Kenapa harus segera, Van? Kaya married by accident aja." "Akan terjadi accident beneran kalau kamu sengaja mengulur-ulur waktu." Evan mencondongkan wajah, aku mundur hingga punggungku terdesak ke pintu mobil. Teringat ciuman spontan waktu di Malang, refleks kudorong dadanya hingga kepala pemuda itu terantuk jendela kaca samping pengemudi. Aku puas dia meringis dan mengelus-elus belakang kepala. "Masih berani ngancam?" "Ngeri kamu, Mbak. Mau dikasih enak ma
"Mbak suka yang mana?" tanya Evan. Ada puluhan model cincin tunangan yang berjajar di kaca etalase toko perhiasan bernama Sofia's Jewelry. Bocah gemblung itu memang anti basa-basi. Jika memiliki keinginan tertentu pokoknya harus terlaksana segera. "Bahkan kamu belum bilang apa-apa sama Papa, Van. Apa ini gak lucu?" Gak tahu apa yang ada di kepala bocah ini. Bagiku semuanya serba instan, pertemuan kami, ketertarikan Evan, caranya mendekatiku hingga luluh. Lalu sekarang tahu-tahu sudah mengajak berburu cincin tunangan. "Aku yakin papamu pasti setuju, Mbak. Nanti begitu sampai Surabaya, aku pasti langsung ngobrolin ini sama keluarga besar Mbak." "Van--""Udah, jangan kebanyakan mikir. Buruan pilih yang mana." "Terserah kamu aja, Van." Ada model emas polosan, berhias permata, batu safir dan masih banyak model lainnya. "Enggak bisa, pokoknya harus pilih sendiri and follow your heart. Aku gak suka kata 'terserah'. Takut ngedumel di belakang." "Serius, Van. Pilih aja sesuai feeling d
"Coba ulangi, Mbak!" Evan memiringkan kepala, sengaja mendekatkan telinganya ke bibirku. Ngelunjak memang. "Iya, Van, iya. Puas?" Gak peduli Cici akan terbangun atau enggak. Aku berteriak dan mungkin gendang telinga Evan pecah kali ini. Dia menggosok-gosok daun telinganya dan ngedumel gak jelas. Rasakan! Siapa suruh iseng. Namun itu gak berlangsung lama, aku menyaksikan sebuah selebrasi menggelikan setelahnya. Laki-laki yang baru saja kuterima cintanya melompat-lompat sambil mengepalkan tangan. Berkali-kali mengucap yes-yes. "Tapi aku belum puas kalau belum sah, Mbak," ucapnya, di sela mengatur napas yang ngos-ngosan sehabis jejingkrakan. "Tapi awas ya, kalau sampai kamu sebarluaskan berita ini. Termasuk ke Vanya. Dan jangan sekali-kali posting status apapun di sosmed tentang ini." "Kenapa?" "Kamu udah tahu jawabannya." Pancaran tegas dan kadang meneduhkan itu sedikit meredup. Kedua tangannya mencengkeram besi pembatas balkon. Bukannya aku gak mau mengakuinya, tapi aku takut j