Home / Rumah Tangga / DITOLAK OM-OM / Kemajuan Berikutnya

Share

Kemajuan Berikutnya

Author: Lyra Vega
last update Last Updated: 2022-06-25 09:26:03

Beberapa pasang mata lihatin aku sama Om Bas gandengan tangan. Aku bisa menangkap ada jiwa-jiwa jomblo di sana. Kasihan ... semoga aja gak sampai berliuran kepingin kaya kita ini--pasangan paling uwuw dan dicintai emak-emak.

"Om, mau itu, dong!"

Aku menunjuk mas-mas penjual aneka pentol alias bakso tanpa kuah. Namun, khusus jajanan satu ini campuran tepungnya lebih dominan ketimbang daging sapi atau ayamnya. Gak kaya yang di bakso-bakso kuah pada umumnya.

"Ya sudah beli sana, saya tunggu di sini." Om Bas duduk di bangku berkapasitas dua orang.

"Uangnya mana?" Aku menengadahkan telapak tangan.

Om Bas menoleh kanan kiri, mungkin malu dengan tingkahku yang kaya anak kecil minta duit jajan sama bapaknya. Oh iya, aku kan lagi belajar jadi dewasa. Belum ada sehari sudah lupa. Buru-buru kutarik lagi tangan yang terlanjur terulur.

"Nih!" Om Bas menarik selembar uang berwarna biru dari dompetnya.

Gerobak Mas Pentol mulai sepi antrean karena matahari sudah mulai meninggi. Aku lebih leluasa memilih varian rasa yang lama kurindukan. Pentol mercon, cumi, jamur, udang, ayam dan telur puyuh masuk dalam list pesanan. Daripada penasaran, lebih baik dicoba semua. Gak tahu Om Bas suka rasa apa, yang pasti bukan rasa yang pernah ada.

"Nih, punya Om."

Aku menyodorkan bungkusan plastik miliknya. Tanpa saos, sambel atau kecap. Kalau pentol aja sukanya yang polosan. Terus kapan gantian Sisy yang dipolosin? Eh, lupa lagi kalau masih berada di mode sabar.

Khusus punyaku gak perlu pakai tusukan bambu. Cukup diikat plastiknya, terus digigit sedikit di salah satu ujung plastik. Ya, untuk urusan perpentolan, aku berada di kubu tim kenyot. Gak suka pakai tusukan, sensasinya beda.

Om Bas melirik aneh, tepatnya geli. Jangan-jangan teringat lagi dengan kebiasaanku dari kecil ini. Oh iya, jaman dulu kan sering palakin Om Jatmiko suruh beliin es krim dung-dung yang suka lewat depan rumah eyang. Kalau esnya mulai meleleh ke tangan suka kujilat-jilatin. Mubadzir kalau kebuang.

"Ngapain Om lihatin aku sampai segitunya? Terpesona?"

"Geli."

Tuh, kan, bener. Padahal di dunia ini gak cuma aku aja yang makan pentol model gini.

"Enak tauk."

"Eh, apa ini? Kok tiba-tiba lidah saya jadi kaya kebakar." Om Bas membuang kunyahan makanan di mulutnya. Aku ngakak.

Sukurin! Kena prank pentol mercon yang isinya cabe utuh. Anggap itu hukuman kecil karena Om Bas gantungin aku melulu. Eh, apa hubungannya?

Lagipula jadi orang sok steril dan higienis banget. Akhirnya ikut merasakan juga kan gimana nikmatnya menyeruput es plastik pakai sedotan. Cuma itu penjaja minuman terdekat, sedangkan Om Bas udah gak kuat nahan pedes. Kalau pedes aja gak kuat nahan, terus kapan gak tahan ngajak Sisy anuan? Astaghfirullah, ke situ lagi. Mode sabarmu ke mana, Sy?

Pokoknya hari ini hepi banget bisa nostalgia mengenang jalan-jalan dan kulineran kaya jaman SD dulu.

Puas bikin kaki pegal-pegal di taman. Kita gak langsung pulang, tapi mampir ke Royal plaza dulu buat hunting barang. Entah apa yang ingin dibeli Om Bas.

Gak kaya di taman tadi, kali ini tanganku gak digandeng lagi. Langkah panjangnya bikin aku kesusahan mengimbangi. Pas hampir bertabrakan sama orang, aku mulai ketinggalan jauh. Tepatnya ditinggal dan gak ditoleh-toleh lagi. Mikirin apa, sih, sampai kelupaan istri sendiri.

Kesal, kutinggal duduk-duduk saja di kursi-kursi yang tersedia untuk beristirahat. Diabaikan itu ternyata lebih nyesek ketimbang mau bersin tapi gak jadi. Mau nangis takut dikira anak kecil yang terpisah dari ibunya di keramaian. Namun rasanya kurang lebih sama. Sedih.

Aku menjulurkan kaki dan memijit-mijit area paha dan lutut. Ada sisa-sisa lelah menjalar ke seluruh tubuh. Jangan-jangan Om Bas sengaja ngajakin jalan-jalan ke taman biar sekaligus bisa berolahraga, karena tadi pagi gagal ajakin aku jogging. Ketahuan modusnya. Tahu gitu mending jalan-jalan di pikirannya aja.

"Astaga, Sisy! Ngapain masih di sini? Saya kira ke mana." Om Bas balik lagi, jengkel mungkin. Atau baru sadar kalau sudah punya istri.

"Bisa gak, kalau punya kaki itu gak usah panjang-panjang. Om jalan selangkah, aku harus tiga langkah. Capek mau ngimbangin." Berasa jadi hewan piaraan yang ngintilin majikannya.

"Makanya rajin olahraga, biar gak gampang ketinggalan kalau jalan sama saya."

"Kalau gak suka ya tetep aja gak suka, gak usah dipaksa."

Kecuali dipaksa ... mmm, itu tuh.

"Biar gak gampang sakit juga."

"Emang udah biasa disakitin, kok."

Om Bas kicep. Memangnya enak hadapin bocil ngambek. Mau lihat, ada usaha buat baik-baikin gak? Atau justru sebaliknya, ditinggal pergi gitu aja.

Ternyata enggak, tanganku ditarik dan digandeng lagi, kaitannya lebih erat dari yang di taman tadi. Ada yang mulai jinak, tapi bukan burung Merpati. Sayangnya aku terlanjur bad mood, biar pegangan tangan begini rasanya B aja.

"Pilih saja model dan warna yang kamu suka."

Om Bas membawaku ke outlet khusus penyedia pakaian dan perlengkapan olahraga. Rupanya sengaja mau beliin aku sepatu dan baju olahraga. Biar ada semangat membiasakan diri dengan pola hidup sehat. Padahal semangatku sudah jelas terletak pada dirinya, andai aku sudah bisa menjadi istri sepenuhnya.

"Om aja yang pilihin. Sisy capek." Ya capek keliling, capek hati, juga capek dianggurin.

"Nomor sepatu kamu berapa?"

Kebangetan, bahkan nomor sepatu istri sendiri aja sampai gak tahu. Padahal aku udah hapal luar kepala ukuran baju, topi, sepatu dan celana Om Bas. Termasuk size dalamannya. Eh!

"38," jawabku singkat.

Om Bas muter-muter sendirian, beberapa menit kemudian kembali dengan membawa tiga pasang sepatu sport dengan model dan warna berbeda.

"Kamu coba dulu, ya. Terus pilih mana yang paling kamu suka."

Aku duduk di kursi hitam setinggi lutut di dalam outlet, lantas menjajal satu per satu sepatu pilihan Om Bas.

"Sudah menentukan mau yang mana?"

"Udah."

"Paling suka yang mana?"

"Semuanya."

Kalau Sisy gak bisa porotin yang lain, seenggaknya masih bisa porotin saldo ATM-nya. Biar Om Bas makin semangat kerja. Hihihi ...

***

"Sy, udah malam. Yakin, kamu mau tidur di situ?" Om Bas meninggalkan layar laptop, lalu menunjuk jam di dinding yang merapat ke angka sepuluh.

"Om Bas tidur duluan aja. Sisy masih kepingin nonton." Padahal gak benar-benar fokus ke layar TV flat itu. Pokoknya hari ini bad mood parah.

Tau gak, kenapa?

Jadi ceritanya pas mau mandi tadi sore, tiba-tiba tamu bulanan datang tanpa ketok-ketok dulu. Pantesan dari tadi siang bawaannya kepingin marah, nangis, sama kepingin cakar-cakar orang.

"Kamu masih marah sama saya soal di mall tadi?" Om Bas mendekatiku yang sedang rebahan di sofa. Kaget mungkin, kok aku gak pecicilan kaya biasanya.

"Enggak."

"Maafkan saya, ya." Duh, suami yang sangat berjiwa kesatria. Anehnya, tumben aku gak kelepek-kelepek lihat senyumnya.

"Iya. Om tidur duluan aja, besok pagi kan harus kerja."

Lelaki itu mengangguk dan mengapit benda elektronik kesayangannya, kemudian melangkah masuk kamar. Tinggal Sisy seorang diri, menatap hampa tayangan film yang gak bisa bikin fokus pada jalan cerita. Hingga semakin lama mata ini terasa berat.

Tiba-tiba aku seperti terjatuh di suatu tempat. Lalu datanglah seorang pangeran yang ingin menolongku. Dengan mudah dia mengangkat tubuh ini dalam gendongannya. Wajah itu terlihat samar-samar, tapi sepertinya sangat tampan.

Aku seperti mengenali aroma khas tubuhnya lalu perlahan membuka mata. Om Bas? Mencoba mengumpulkan segenap kesadaran, memang iya tubuhku sudah berada di atas dua lengan lelaki itu.

Aku mau diapain, ya?

Jangan bangun, Sy! Pura-pura merem saja dulu sambil cari tahu dia mau ngapain. Tapi kalau beneran diapa-apain gimana? Aku kan lagi kedatangan tamu bulanan.

Ge'er.

Aku cuma dibaringkan di ranjang, terus diselimutin. Yaiyalah, memang cuma itu yang dia bisa. Eh tunggu ....

"Good night, Sy."

Suaranya pelan banget, tapi aku masih bisa dengar. Yang bikin lebih surprise lagi, Om Bas kecup kening aku lama banget. Kepingin salto-salto saking senengnya, tapi gak jadi, kan lagi pura-pura merem.

Kesabaran Sisy membuahkan hasil, akhirnya ada kemajuan lagi.

Kening yang dicium, anuku yang kesetrum ....

Hatiku.

Eaaak!

Next

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Linda Jahit
mantap lah seneng bacanya cerita nya menantang
goodnovel comment avatar
Siti Zahra
kesekian ratus novel yg q bc ,,cm ini yg g aq scroll.mskasih thor udh ngehibur aquh...
goodnovel comment avatar
Elda Basri
ya elah Thor lnjut donk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DITOLAK OM-OM    Bab 62

    "Mama sama Papa pulang, ya! Kalau Evan macem-macem bilang sama Mama." Ibu mertua memelukku penuh sayang. "Iya, Ma." "Jaga istrimu baik-baik! Sekarang kamu sudah jadi suami, tanggung jawabmu makin besar, jangan petakilan dan main-main gak jelas lagi." Tetap Evan yang diwanti-wanti, dikasih wejangan dengan nada penuh ancaman baik dari sang Mama maupun Papa. "Siap, Komandan!" Masih saja cengengesan di saat yang lain tenggelam dalam haru. "Pak, Bu, kami pamit pulang. Jangan segan-segan menegur anak kami jika dia salah langkah dan arah. Bimbing dia supaya bisa menjadi suami dan calon ayah yang baik." Kedua mertuaku menyalami sang besan. "Insya Allah, Pak, Bu. Terima kasih telah menyempatkan diri mampir ke sini," ucap Papa mewakili keluargaku. "Cici, kamu gak tinggal di Surabaya aja?" Gadis yang sekarang resmi jadi adik ipar masih menggelendot manja di lenganku, lebih manja ke aku daripada kakak kandungnya sendiri. Kami hanya beberapa kali bertemu sebelum acara pernikahan. Namun, akt

  • DITOLAK OM-OM    Bab 61

    Pagiku kini berbeda, biasanya akan terbangun dengan bunyi alarm, atau memang otakku telah tersetting sedemikian rupa oleh kebiasaan sehingga tanpa adanya alarm pun aku pasti terbangun di jam yang sama. Gak peduli tidur larut atau enggak, tetap gak ada pengaruhnya. Aku gak langsung berolahraga atau gegas mandi, tapi hari ini aku seperti mendapatkan dispensasi atas apa yang terjadi semalam. Masih ingin bermalas-malasan dengannya, memanfaatkan cuti yang gak seberapa lama dengan bercengkerama. Evan masih terpejam, mendengkur halus dengan napas teratur. Tanganku terulur menjangkau wajah tampan itu kemudian mengusapnya perlahan. Semalam pasti melelahkan untuk kami, terutama untuknya. Gejolak muda telah terlampiaskan dengan begitu indah bermandikan peluh. Kelopak mata yang tersentuh oleh tanganku mengerjap. Lengkungan di kedua sudut bibirnya begitu hangat hingga merasuk ke dada ini. "Dicium juga boleh," ujar lelaki yang telah memiliki jiwa dan ragaku seutuhnya. Aku tersadar jika jemarik

  • DITOLAK OM-OM    Bab 60

    "Gimana? Sudah sesuai dengan ekspektasi kamu?" Evan menemaniku melihat-lihat interior ruko hasil rancangannya setelah diisi lengkap dengan furniture. Proses finishing mundur satu bulan dari target karena beberapa kendala. Di lantai dua, aku memindai tiap sudut ruangan yang sebagian kecil adalah request-ku sendiri termasuk pemilihan cat dan wallpaper dinding kamar. "Oke, aku suka, kok." Puas menjelajah tiap sudut lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang sengaja dikhususkan untuk bersantai. Ada kolam renang kecil, tempat gym dan juga taman minimalis yang difungsikan sebagai area hijau roof top. "This is you're dream, right?" Lelaki berstatus calon suami itu merentangkan tangan seperti mempersembahkan sebuah pertunjukan. "Hmmm." Aku menepi ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa, berdiri menghadap langit barat Surabaya. Sekarang benar-benar terwujud bersamaan dengan view keemasan kala senja. Juga dengan dia--pria tampan yang nantinya akan jadi sandaran kepalaku ketika sama-sa

  • DITOLAK OM-OM    Bab 59

    "Sudah, Mbak. Aku gak mau denger lagi pertanyaan yang selalu kamu ulang-ulang. Kamu yakin, gak? Kamu benar-benar yakin? Aku bosen, sumpah. Ini terakhir kalinya aku menjawab kalau aku sangat-sangat yakin ingin menikahimu ... segera. Paham!" Aku gak bisa lari ketika Evan mengunciku dengan tatapan tegasnya. Celah mana yang ingin kamu jadikan alasan, Erin? Kurang keras kah usahanya mencairkan bekunya rasamu? Bukti apa lagi yang kamu inginkan agar dia bisa leluasa memasuki singgasana hatimu kemudian mengizinkannya menetap di sana? "Kenapa harus segera, Van? Kaya married by accident aja." "Akan terjadi accident beneran kalau kamu sengaja mengulur-ulur waktu." Evan mencondongkan wajah, aku mundur hingga punggungku terdesak ke pintu mobil. Teringat ciuman spontan waktu di Malang, refleks kudorong dadanya hingga kepala pemuda itu terantuk jendela kaca samping pengemudi. Aku puas dia meringis dan mengelus-elus belakang kepala. "Masih berani ngancam?" "Ngeri kamu, Mbak. Mau dikasih enak ma

  • DITOLAK OM-OM    Bab 58

    "Mbak suka yang mana?" tanya Evan. Ada puluhan model cincin tunangan yang berjajar di kaca etalase toko perhiasan bernama Sofia's Jewelry. Bocah gemblung itu memang anti basa-basi. Jika memiliki keinginan tertentu pokoknya harus terlaksana segera. "Bahkan kamu belum bilang apa-apa sama Papa, Van. Apa ini gak lucu?" Gak tahu apa yang ada di kepala bocah ini. Bagiku semuanya serba instan, pertemuan kami, ketertarikan Evan, caranya mendekatiku hingga luluh. Lalu sekarang tahu-tahu sudah mengajak berburu cincin tunangan. "Aku yakin papamu pasti setuju, Mbak. Nanti begitu sampai Surabaya, aku pasti langsung ngobrolin ini sama keluarga besar Mbak." "Van--""Udah, jangan kebanyakan mikir. Buruan pilih yang mana." "Terserah kamu aja, Van." Ada model emas polosan, berhias permata, batu safir dan masih banyak model lainnya. "Enggak bisa, pokoknya harus pilih sendiri and follow your heart. Aku gak suka kata 'terserah'. Takut ngedumel di belakang." "Serius, Van. Pilih aja sesuai feeling d

  • DITOLAK OM-OM    Bab 57

    "Coba ulangi, Mbak!" Evan memiringkan kepala, sengaja mendekatkan telinganya ke bibirku. Ngelunjak memang. "Iya, Van, iya. Puas?" Gak peduli Cici akan terbangun atau enggak. Aku berteriak dan mungkin gendang telinga Evan pecah kali ini. Dia menggosok-gosok daun telinganya dan ngedumel gak jelas. Rasakan! Siapa suruh iseng. Namun itu gak berlangsung lama, aku menyaksikan sebuah selebrasi menggelikan setelahnya. Laki-laki yang baru saja kuterima cintanya melompat-lompat sambil mengepalkan tangan. Berkali-kali mengucap yes-yes. "Tapi aku belum puas kalau belum sah, Mbak," ucapnya, di sela mengatur napas yang ngos-ngosan sehabis jejingkrakan. "Tapi awas ya, kalau sampai kamu sebarluaskan berita ini. Termasuk ke Vanya. Dan jangan sekali-kali posting status apapun di sosmed tentang ini." "Kenapa?" "Kamu udah tahu jawabannya." Pancaran tegas dan kadang meneduhkan itu sedikit meredup. Kedua tangannya mencengkeram besi pembatas balkon. Bukannya aku gak mau mengakuinya, tapi aku takut j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status