"Mungkin saya bisa membohongi Mama juga Papa. Tapi di depan kamu saya gak bisa. Semakin saya ingin merahasiakannya, semakin besar rasa bersalah saya. Dan saya gak mau ada kebohongan dalam pernikahan kita ke depannya. Untuk itulah kali ini saya berusaha jujur sama kamu. Apapun resikonya saya sudah siap." Genggaman Om Bas kian erat, seakan memohon supaya aku tetap tinggal. Namun, aku sama sekali gak kepengin menatap wajahnya, terlebih matanya. Pikiranku benar-benar buntu sekarang. Pernikahan seumur jagung udah diuji dengan badai sebesar ini. Siapa yang gak shock? Tentang kutukan, tentang aib masa kecilku, hanya alasan Om Bas semata demi menutupi ketakutan dalam dirinya. Namun dia menyerah saat Mama dan Papa memaksa untuk segera mengakhiri kesendirian lantas menikah denganku. Ini adalah jalan jodoh yang gak pernah kusangka-sangka jika arahnya datang dari seseorang di masa lalu. Seseorang yang juga membawa kisah pilu dari masa lalu. Lantas menyakiti hati wanita yang jadi pendamping hid
"Buk, pernah gak, Bapak melakukan kesalahan besar yang susah banget untuk dimaafkan?" Aku menyandarkan kepala di pundak wanita yang tengah membelai rambut ini. "Ya, pernahlah," jawab Ibuk antusias. "Kesalahan apa?" Setahuku mereka jarang sekali bertengkar, kecuali ribut berebutan remote TV. Satu ingin menonton berita, sedangkan satunya lagi gandrung dengan sinetron. Namun, Bapak lebih sering mengalah dengan menonton tayangan favoritnya di pos ronda. "Pernah tergoda janda muda yang ngontrak di rumah sebelah." "Kapan? Sisy gak pernah dengar." "Waktu kamu masih kecil, belum bisa jalan. Dulu, kan, Bapakmu itu hitam-hitam Kereta Api. Biar hitam banyak yang mengintil." Ibuk tersenyum, tapi hanya sebentar. Setelah itu mengepalkan tangan geram lagi mengingat kelakuan Bapak dulu. "Memang sekuat itu pesona Bapak?" "Entahlah. Mungkin pakai ilmu pelet, buktinya ibuk langsung mau saja waktu dilamar." Lagi-lagi Ibuk menertawakan diri sendiri, sambil menerawang jauh. Mungkin mengingat bagaim
Aku mengayun kaki setengah ragu, bingung bagaimana harus menghadapi pemilik mobil yang tahu-tahu udah berada di depan rumah Bapak. Sayup-sayup terdengar beberapa orang mengobrol di dalam. "Assalamualaikum!" sapaku pada seluruh penghuni ruang tamu. Namun, gak kutemukan sosok Om Bas di sana saat netra ini menyapu sekeliling. Selain Bapak dan Ibuk, hanya ada Om Jatmiko. "Wa'alaikum salam, Nduk. Untung kamu sudah pulang. Buruan siap-siap berangkat ke Surabaya! Ibu mertuamu masuk rumah sakit. Kenapa HP-mu dimatikan segala? Punya temanmu juga sama." Ibuk terlihat panik. "Mama masuk rumah sakit? Kapan, Om?" tanyaku setengah panik. Terrnyata Om Jatmiko yang membawa mobil Om Bas ke sini. "Tadi pagi. Kamu ditelepon Bas gak aktif. Bapak sama Ibukmu juga entah ketiduran, atau entah ke mana, jadi gak dengar HP-nya bunyi. Papa mertuamu masih dalam perjalanan dari Madiun, makanya Bas suruh om buat jemput kamu. Untung saja pas om lagi cuti." "Mama sakit apa, Om?" Bukankah selama ini wanita ber
Kalau kalian pikir semalam aku udah ngapa-ngapain tau diapa-apain, itu salah. Kan udah kubilang Om Bas belum sepenuhnya pulih dari traumanya. Selow gak papa, asal nanti hilang permanen dan cuma ada Sisy dalam dunianya. Sejak awal nikah, Om Bas udah konseling ke beberapa psikiater. Sayangnya belum ada perubahan signifikan. Terakhir dia bertemu dengan hipnoterapis bernama Lidya. Wanita cantik yang pernah kupergokin lagi nongkrong bareng suamiku di kafe. Pelan tapi pasti, ya seperti yang kalian semua ketahui. Om Bas berusaha untuk memberanikan diri kontak fisik denganku. Dimulai dari pegangan tangan, kecup kening, kelonin, peluk, terus ehem ... berani kecup bibir. Nah, kalau ngaca mungkin sekarang bibirku udah dower kali, ya, sisa semalam. Gak usah tanya kenapa dan jangan pernah bayangin yang iya-iya. Khususnya para jomblo. Bahaya! Karena penasaran, beberapa kali aku ikut mendampingi Om Bas waktu melakukan hipnoterapi. Waktu itu, aku melihat secara langsung bagaimana pria tampanku
"Loh, kok tumben gak mau dipeluk." Tangan Om Bas yang terlanjur terulur cuma tertahan di udara. Aku kabur duluan setelah cium tangan dan ambil tas kerjanya. "Takut Om Bas khilaf terus kebablasan." Aku berkelit ke sana sini saat lelaki itu berusaha menangkap tubuhku. "Ayolah, kok jadi gini sekarang? Bukannya dulu kepengin nempel terus setiap saat." "Ya, beda. Itu kan dulu sebelum ...." Sebelum kepenasaranku terjawab. Setelah tahu bahwa anuan itu ... ya ternyata begitulah pokoknya. Jangan minta aku buat jelasin, pasti emak-emak udah paham luar kepala. Ya. Harusnya aku senang Om Bas berhasil menang telak melawan traumanya. Lantas menobatkan Sisy sebagai istri seutuhnya. Namun, sekali sakit tetap sakit. Giliranku yang takut sekarang. "Ya, sudah. Bikinkan saya kopi, ya!" "Ahsiyaaap!" Aku balik haluan secepat kilat, lumayan bisa menghindar sebentar. Kemarin-kemarin, pelukan Om Bas itu seperti candu. Pokoknya mau lagi dan lagi. Sekarang kok beda, kaya sebuah ancaman. Rasanya kaya mau
"Makasih, ya!" Om Bas memiringkan tubuh sambil belai-belai pipiku. Biar baru bangun tidur dan kucel, kalau dari sananya udah tampan, bau asem pun tetap tercium seperti pewangi pakaian. Apalagi pas senyum bahagia kaya gini. Bahagia lahir batin pokoknya. Tahu kenapa? Semalam pakaian sport-ku ternyata gak guna. Dia malah paksa aku pakai baju kelambu anti nyamuk yang dulu pernah dibencinya. Pokoknya jaman dia pasif dulu, aku gak boleh memakai baju itu di depannya. Lantas sekarang kenapa hukumnya jadi wajib? Aturan macam apa ini? Diberlakukan tiap malam pula. Baru boleh libur kalau tanggal merah, eh palang merah bulanan. "Hmmm." Aku mengangguk, jauh lebih lemah. Mungkin sebentar lagi meredup dan padam. Butuh re-charge tenaga setelah semalam terkuras habis. Om Bas berhasil menerobos pertahananku dengan tehnik barunya. Jadi paham, kan! Kenapa pagi ini dia bahagia banget? Gol kemenangan pertama telah berhasil dicetaknya. Segel Sisy sudah terbuka. Hiks! "Welcome, Nyonya Baskara!" ucapnya
Demi kebahagiaan lelaki ganteng maksimalku, Sisy mendadak jadi robot yang tugasnya kudu ngangguk-angguk aja untuk keinginan besar Tuan Baskara Abimana. Apa itu? Bereproduksi, Saudara. Demi mewujudkan itu dan biar cepat ada hasil, Om Bas sampai mengagendakan kami untuk mengikuti program hamil. Seniat itu, padahal aku selow. Nanti kalau sudah waktunya pasti bakalan hamil juga. Baik aku sama Om Bas, toh gak pasang pelindung apapun. Aku juga udah pasrah seandainya segera dapet label bunda Sisy. "Lapar?" tanyanya, saat menyusuri lorong rumah sakit. "Banget," jawabku. "Ya udah. Kita cari makan dulu." Sekarang aku gak bakalan ketinggalan atau takut gak bisa mengimbangi langkah panjang Om Bas. Karena dia selalu merangkul pundak atau gandeng tangan ini ke manapun kami jalan berdua. Bodo amat sama orang-orang yang lihatin melulu, entah karena iri atau barangkali lagi ketawa dalam hati ada bocil unyu mesra sama om-om. Hari ini suamiku sengaja ambil cuti untuk check up awal ke dokter kandun
"Kenapa sih, Mel? Jawab telepon aja sampai suruh aku ngumpet-ngumpet kaya gini." Berasa kurang kerjaan pagi-pagi udah mojok di toilet. Leader genk gesrek gak ada akhlak memang. Masa mau telepon pakai chat dulu, suruh ngumpet di tempat tersembunyi. Di mana aja, asal gak terdeteksi sama Om Bas. Kalau perlu masuk lubang semut. "Tau, nggak? Semalam Om Bas ngomel-ngomel sama aku, Sy." "Hah! Serius? Kok, bisa." "Iya. Pakai wanti-wanti segala. 'Lain kali jangan menakut-nakuti istri saya, atau saya akan bikin perhitungan sama kamu!' Kaya gitu, Sy. Serem amat laki kamu kalau marah." Mau gak mau aku ngakak dengar Amel niruin gaya marahnya Om Bas. Untung lelaki itu lagi ngopi di depan, gak mungkin kebrisikan sama semburan tawa kerasku. Pantesan Amel minta aku ngumpet, pasti takut ketangkap basah lagi kaya kemarin. "Ya, salah kamu sendiri kenapa pakai cerita di bagian yang serem-serem. Wajar aja aku langsung takut." "Kan kamu yang minta share pengalamanku waktu hamil. Aku kasih tahu fakta