Share

Chapter 04 : Suspicious

“Omong kosong apa ini?”

Ascian sama sekali tidak bisa mencerna apa yang gadis di hadapannya katakan. Pagi yang begitu normal baginya, berakhir di ranjang rumah sakit seperti ini. Kejadian tak terduga yang masih membuatnya kebingungan, kemudian ditambah dengan pernyataan tak masuk akal dari pihak musuh yang ingin bernegosiasi dengannya? Itu semua membuat Ascian pusing.

Tapi tak berbeda jauh dengannya, Naniana juga merasakan hal yang sama. Tekanan besar atas tanggung jawabnya sebagai orang yang paling bisa dipercaya untuk mengatasi perang itu, semunya seperti bertengger di atas kepalanya. Andai saja Ascian tahu betapa malunya Naniana saat ini, apakah dia akan sedikit saja bisa bersikap kooperatif dengan tak perlu mengeluarkan ekspresi jijik seperti itu?

Naniana muak melihatnya.

Gadis itu menghela napas panjang, lalu kembali menatap Ascian. “Kita hanya berpura-pura, kau mengerti, ‘kan? Aku juga tidak bermaksud untuk melakukannya, tapi penasihatku berkata kalau ini adalah jalan paling baik untuk kedua pihak.”

“Yang kau maksud adalah pihak The Heatens dan Little Boy?”

“Iya.”

“Maaf, tapi aku sama sekali tidak tertarik dengan negosiasi ini,” ujar Ascian kemudian bergerak untuk turun dari kasurnya. Badannya tentu saja lemas dan belum pulih sepenuhnya, karena itu Ascian langsung limbung begitu ia mencoba untuk berdiri dengan kedua kakinya. Untunglah Naniana yang berada paling dekat dengannya, segera menahan tubuhnya agar tak jatuh ke tanah.

Gadis dengan surai hitam legam itu berdecah, tampak kesal sebab jawaban Ascian terang-terangan menyulitkannya. “Jika kau tidak mau melakukannya, hal seperti ini akan terus terjadi untuk kedepannya,” ucap Naniana, memperingati Ascian dengan maksud meluluhkan pemuda itu.

Tapi tampaknya itu tak seberapa berpengaruh melihat Ascian yang dengan dinginnya menampis tangan Naniana dari tubuhnya.

Naniana amat geram, ingin sekali dia hajar Ascian saat ini juga jika saja Jay tidak melihatnya dan segera menegurnya dengan satu panggilan.

“Aku sudah bertekad untuk tidak berurusan dengan para mafia seperti kalian seumur hidupku, jadi tolong hargai keputusanku,” kata Ascian, kembali duduk di ranjangnya sejenak sampai sekiranya ia sudah cukup kuat untuk pergi. “Aku tidak mau terlibat sama sekali.”

Ucapannya membuat Naniana sangat geram. “Apa kau tetap akan berkata seperti ini saat satu kakimu sudah hilang nanti?” tanya Naniana dengan sarkas, membuat Ascian seketika meliriknya dengan tatapan tajam. “Katakan kau tidak mau terlibat sekali lagi nanti, saat kau sudah kehilangan satu bagian dari tubuhmu.”

“Apa maksudmu mengatakan itu!?”

“Aku sudah memintamu dengan baik-baik tapi kau masih saja berpikiran kolot. Kesampingkan prinsip konyolmu itu untuk sejenak dan kooperatiflah! Kita melakukannya hanya untuk bertahan hidup saja!” Jay yang berusaha menenangkan agaknya tak lagi mempan, Naniana semakin maju untuk menyerang Ascian dengan kata-katanya. “Aku sudah bilang kalau pihak kita sedang dalam ketegangan! Hal seperti pagi tadi, percobaan pembunuhan yang kau alami hari ini baru sekali kau alami. Kau tahu sudah berapa kali aku hampir mati karena orang-orangmu? Aku sudah melaluinya belasan kali! Aku hampir mati karena kelompokmu tanpa aku tahu apa kesalahanku!”

Naniana pada dasarnya bukanlah pribadi yang penyabar. Gadis itu sedari kecil dididik keras oleh kedua orang tuanya dengan cara hidup seorang mafia. Jika dia tidak bisa mendapatkan sesuatu dengan cara baik-baik, maka berlaku keras adalah satu-satunya pilihan terakhir.

Naniana merasa sudah cukup baginya untuk bersabar. Dia sungguh geram melihat kelakuan Ascian yang susah sekali diajak bekerja sama, padahal Naniana sudah menjelaskan maksudnya dengan lembut. Kalau ini diteruskan, lama-lama Naniana bisa merasa kalau Ascian hanya bersikap sok berkuasa saja sampai menganggap Naniana harus terus membujuknya seperti seorang pelayan.

Itu tidak adil.

“Aku hanya memintamu untuk sementara saja bersandiwara dan bersikap selayaknya anak dari pemimpin Little Boy, apa itu sangat sulit bagimu?” Naniana masih melanjutkan cercaannya, sementara Ascian hanya diam dan memendam kesal. “Apa itu masih juga sulit kalau aku berkata kita melakukan semua ini untuk menyelamatkan banyak orang?”

“Menyelamatkan banyak orang?” potong Ascian dengan nada terheran, “kalian para mafia berbicara tentang menyelamatkan orang banyak? Aku tidak salah dengar? Bukannya kalian yang mengeksploitasi kota dengan kejam dan berlindung dalam gelapnya malam? Kalian yang sudah akrab dengan bau darah saudara sendiri ini berbicara tentang menyelamatkan banyak orang? Nona, ucapanmu membuatku mual!”

“Hei, jaga bicaramu!” Jake yang sejak tadi hanya diam dan menahan kesal, kini tak mampu lagi menahan mulutnya untuk tetap diam. Dengan kepalan tangan yang kuat, ia hendak pergi dan menghajar Ascian dengan tangannya sendiri. Namun, Jay tentu saja tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

“Biarkan saja, Jake,” ujarnya dengan tenang, tampak sama sekali tak mau ikut campur kendati adik kesayangannya tengah beradu argumen yang alot dengan pihak musuh.

Hal itu membuat Jake jadi lebih kesal. “Apa kau tidak dengar apa yang tikus itu katakan pada Niana kita!? Bahkan aku saja tidak berani mengkritik penampilannya dan dia dengan lancangnya mengejek Niana!?”

“Jika itu adalah urusan Niana, maka biarkan dia yang menyelesaikannya.” Sekali lagi diberi nasihat oleh Jay, dan Jake pun mundur dengan berat hati. Tapi itu bukan berarti rasa kesalnya reda. Dia masih menatap Ascian dengan mata menyala.

Ascian kini perlahan berdiri, tanpa dibantu siapa pun yang ada di sana. Dia yang masih memakai pakaian sekolahnya itu, kini berjalan keluar ruangan.

“Hei, tikus!” Naniana memanggil. Gadis itu tampak lebih tenang dari sebelumnya setelah menghela napas beberapa kali. Ascian perlahan berbalik kembali menghadapnya. “Setidaknya kau harus mendengar pengakuan dari pelaku yang sengaja menabrakmu hari ini. Datanglah ke rumah sakit ini besok pagi dan dengarkan pengakuannya.”

Ascian masih terlihat tak mau peduli. “Kalau aku tidak datang?” tanyanya, menantang.

“Aku akan membunuh kucingmu.” Mendengar ucapan itu, Ascian lantas mengeluarkan ekspresi. Dia pasti terkejut, kesal dan tentu saja cemas. Naniana tertawa dalam hati, dia tidak menyangka cara ini akan berhasil.

“Jangan sentuh kucingku, dasar mafia!”

Naniana menertawai ucapan Ascian. “Oh, lihatlah ... kau seperti seekor zebra yang sedang mengejek kulit hitam putihku,” tuturnya menyindir.

“Aku akan datang. Tapi begitu aku selesai melakukan apa yang kalian mau, kembalikan kucingku dan pergilah.” Ascian seperti tak punya pilihan lain selain menuruti kemauan gadis mafia di hadapannya. Dia kemudian pergi dari sana dan Naniana hanya menertawainya dari belakang.

Jake dan Jay menghampiri Naniana, gadis itu tampak masih kesal tapi dia juga ingin menertawai sikap Ascian yang langsung meluluh begitu menyangkut masalah peliharaan kesayangannya. “Benar-benar makhluk yang penuh dengan afeksi,” cibir Naniana lalu berbalik pada kedua kakaknya. “Kita menginap di sini malam ini,” lanjutnya, langsung dipatuhi oleh Jay dan Jake.

Ketika mereka semua sudah meninggalkan ruang rawat itu, tak berselang lama datanglah Litch yang tampak terburu-buru. Dia langsung berhenti ketika berpapasang langsung dengan Naniana, Jay dan Jake di persimpangan koridor.

“Nona,” ujarnya, menyebut panggilan Naniana.

“Oh, Litch. Bagaimana?” Litch sejak tadi tidak terlihat sebab Naniana memberinya tugas untuk mengawasi tempat penyerangan terjadi juga kalau bisa, dia kembali dengan membawa informasi mengenai sumber penyerangan itu.

“Aku tidak menemukan petunjuk, Nona,” ujar Litch dengan tatapan cemas, dia tentu tahu kalau Naniana adalah gadis yang agak tempramental. Tapi kali ini, Naniana menghela napas panjang. Tampaknya dia sudah malas untuk membentak setelah perdebatan alotnya tadi dengan Ascian.

Naniana menatap Litch dengan matanya yang sayu dan dingin, menambah kesan ngeri. “Tidak masalah jika tidak menemukan apa-apa, Litch. Tampaknya dia memang datang seorang diri ... berani sekali.” Ia membuang muka sembari tertawa konyol. “Kau jagalah anak itu, keadaannya tidak seberapa parah karena dia tidak menabrakkan diri dengan keras, ‘kan?”

“Iya, Nona. Aku akan menjaganya di sini.” Litch mengangguk patuh dengan kepala tertunduk.

“Dia pasti akan terbangun besok pagi.” Setelah itu, Naniana dan kedua kakaknya pergi dari hadapan, meninggalkan Litch yang kini kembali untuk melaksanakan tugas yang diberikan padanya.

Naniana, Jay dan Jake bergegas mencari penginapan terdekat. Mereka pun menginap di New Orleans malam itu kemudian menghabiskan malam yang melelahkan.

Tampaknya itu hanya berlaku pada Naniana saja. Sebab dirinya mengalami kecelakaan, kendati ringan pun pasti akan ada efek yang terjadi pada tubuhnya. Semalaman dia merasa sangat pegal, pagi harinya pun masih terasa sama. Tapi terlepas dari semua itu, hal paling melelahkan yang dia rasakan adalah harus menelan segala afeksi yang diberikan kakak laki-lakinya secara berlebihan.

Tentu saja itu adalah ulah Jake. Pemuda itu sejak semalam selalu menempel pada Naniana, terus menanyakan apakah Naniana membutuhkan ini dan itu, apakah Naniana ingin sesuatu untuk membuatnya bisa tidur dengan nyenyak. Jake bahkan sempat akan menyakiti dokter yang merawat Naniana karena gadis itu tak kunjung sembuh. Terkadang Naniana tak habis pikir dengan apa yang ada di dalam kepala Jake, apakah itu memang hanya dirinya saja?

“Selamat pagi, Naniana ....” Sapaan itu langsung menyambut pagi Naniana yang baru saja keluar dari kamarnya dalam balutan piyama putih. “Kau baru saja mandi? Ah, wangimu enak sekali.”

“Hentikan, Jake ...! Menjauhlah!” Naniana langsung bergerak menjauh ketika Jake lagi-lagi mencari kesempatan untuk menempel padanya. Pemuda itu beralibi bau tubuh Naniana sangat enak sehingga dia bisa memeluk tubuhnya. Naniana sudah sangat hafal dengan trik seperti itu.

Jake pun berhenti dengan raut merengut, kecewa dengan respons Naniana yang kali ini lagi-lagi menolak afeksi darinya.

Naniana bergulir menatap Jay yang sedang menyiapkan hidangan di meja makan. “Kau memasak di sini?” tanya Naniana, mendekati Jay.

“Duduklah dan makan,” ucap Jay singkat.

Naniana mengambil tempat duduk, bersiap menikmati sarapannya. Memiliki Jay memang lebih banyak memberinya keuntungan selain sebagai partner kerja. Keahlian kecil pemuda itu kadang menjadi hal yang paling Naniana sukai dalam situasi tertentu, contohnya saat ini.

Jay memang orang yang dingin dan bengis di medan tempur, tapi siapa sangka pemuda dengan aura pekat yang mencekik itu akrab sekali dengan dapur? Dia pintar memasak, juga merupakan orang yang disiplin.

Naniana tersenyum seringai sambil memandangi Jay yang masih menata piring makannya, sementara Jake ikut duduk berseberangan dengan Naniana masih dengan wajah yang cemberut.

“Berhenti tersenyum dan habiskan makananmu.” Rupanya Jay menyadari kalau Naniana tersenyum ke arahnya, maka dari itu dia berkata demikian.

“Aku hanya membayangkan kalau kau bukan anak mafia, kau pasti sudah memiliki banyak penggemar wanita sekarang.”

“Kau mengatakan hal seperti itu pada anak 19 tahun sepertiku?”

Naniana merotasi bola matanya. “Ayolah, usiamu bukan penghalang untukmu memiliki banyak kekasih. Lagipula kau ini seorang mafia, ‘kan?” Naniana hanya bermaksud menggoda dengan hal yang lumrah terjadi pada mafia seperti dirinya dan Jay. Mafia yang terkenal dengan kehidupan bebasnya, tentu saja memiliki kekasih lebih dari satu bukanlah hal yang aneh. Itu berlaku rata bagi laki-laki dan perempuan, asalkan ada kemauan.

Namun, tampaknya Jay tidak menyukai apa yang Naniana katakan. Dia tidak tertarik dengan topik itu dan tak menanggapinya. Mereka kemudian memulai sarapan dengan tenang, sebelum di tengah acara menyantap, Jake membuka suara.

“Hei, apa kalian yakin kalau anak itu akan datang?” ujar Jake, bertanya pada kedua saudaranya. Naniana dan Jay sempat saling menatap sebelum akhirnya salah satu dari mereka menjawab.

“Tentu saja. Kau tidak lihat tatapannya padaku kemarin? Dia berani menatapku seakan dia akan mencelakaiku jika aku menyentuh kucingnya.” Naniana mengunyah sarapannya dengan sedikit kesal. Pasalnya, perilaku Ascian kemarin bukanlah hal yang bisa ia relakan dengan tenang. Dia masih menyimpan amarah pada pemuda itu.

“Membayangkan kau harus menjalin hubungan dengan pemuda seperti itu membuatku sakit kepala, Niana,” balas Jake, memasukkan potongan besar daging ke mulutnya.

Naniana melirik kakak laki-lakinya itu dengan dahi berkerut. “Kau berkata seperti seorang ayah saja,” cibirnya.

“Aku mencemaskanmu, Niana! Kau bahkan aku perlakukan seperti Dewi, tapi dia bahkan berani mengejekmu di depan mataku seperti kemarin. Kalau saja Jay tidak menahanku, aku pasti sudah mematahkan rahangnya!” tutur Jake dengan kekesalan menggebu, tak lupa juga menyalahkan Jay di akhir kalimatnya.

“Aku bersyukur karena Jay ada untuk menahanmu, Jake.”

“Kau membela Jay!?”

“Sudahlah, berhenti mengajakku beradu mulut. Kau tidak perlu mencemaskanku dengan berlebihan seperti itu, aku hanya berpura-pura menjadi kekasihnya, bukan berniat untuk benar-benar menikahinya.”

Jake menutup rapat mulutnya, kendati kerutannya sampai bisa membentuk kurva yang tajam ke bawah. “Kata-katamu yang terakhir itu membuatku semakin kesal,” gumamnya samar, makin kuat menggenggam garpu dan pisau yang berada di masing-masing tangannya. Baik Jay maupun Naniana tentu saja mendengar ucapan Jake, tapi mereka kompak memilih tak meladeni karena sudah terbiasa dengan sifat Jake yang sedikit posesif itu.

Hingga tak terasa tandas sudah hidangan yang semula menghiasi piring keramik mereka. Jay yang paling pertama beranjak dari sana dan membereskan bekas makannya, disusul Jake kemudian Naniana.

Setelah itu, dua laki-laki pergi lebih dulu menuju parkiran. Sementara Naniana yang harus mengganti baju, tiba 20 menit lebih lama dari pada kedua kakaknya. Mereka meninggalkan hotel berbintang lima itu pukul 7 pagi, berkendara dengan santai menuju rumah sakit tempat Naniana dan pemuda Bellion sudah saling sepakat untuk bertemu kembali.

Ketiganya tiba di rumah sakit, dan kebetulan bertemu dengan Ascian di area lobi. Sepertinya bukan sebuah kebetulan.

“Selamat pagi, Tuan Muda Bellion,” sapa Naniana dengan ekspresi angkuhnya. Ascian tak menunjukkan ekspresi apa-apa, tapi tatapan mata tajamnya itu sudah bisa menjelaskan bagaimana perasaannya saat bertemu Naniana. “Apa kau tidak akan membalas sapaanku?” Naniana bertanya, tatapannya perlahan menajam tanda tak suka.

“Kita tidak bertemu untuk hal yang sebaik itu sampai harus saling menyapa dengan manis, Nona Mafia.”

Naniana tertawa kecil mendengar ucapan Ascian. “Kau masih membenciku yang sudah menyelamatkan nyawamu? Harusnya kau tidak pilih-pilih dalam memberi sedikit perasaan simpati, Ascian. Aku juga manusia.”

“Sudahlah, ayo pergi. Aku harus berangkat ke sekolah setelah ini.” Ucapan Naniana tidak dibalas oleh Ascian, malah pemuda dengan surai pirang terang itu memunggungi Naniana dan berlalu lebih dulu.

Napas gadis itu seketika terdengar berat, tanda ia sedang menahan kesal. Jay yang ada di belakangnya lantas maju, menggenggam tangan adik perempuannya tanpa peduli dengan tatapan cemburu dari Jake yang dua langkah di belakang mereka.

Ascian, Naniana, Jay dan Jake tiba di ruang rawat tersangka tabrakan kemarin. Ruangannya dijaga oleh dua polisi setempat, juga Litch yang terduduk lesu di kursi tunggu. Dia pasti sedikit mengantuk.

“Nona, kau sudah datang,” ujar Litch, lantas mendekati Naniana dan dua tuan muda lainnya.

“Kau sudah bekerja dengan baik, Litch?” tanya Naniana, diangguki oleh Litch, “kalau begitu pergilah cari angin segar dan sarapan.”

“Tidak, Nona. Aku ingin mendengar langsung dari orang itu, siapa tuannya.”

Mendengar itu, Naniana tak serta merta mencegah. Dia tidak terlalu memedulikan kondisi tubuh Litch yang sudah menua. Jika lelaki itu mau mengikutinya, maka biarlah. “Terserahmu saja,” begitu ucap Naniana sebelum berjalan maju. Tapi sebelum dia mencapai pintu, sempat berhenti tungkainya kala melihat polisi yang tak terlihat akan bergerak menahan. Dia menoleh pada Litch, “Apa dua orang ini tidak akan menahanku?” tanyanya sambil menunjuk dua polisi itu.

“Aku sudah memberi tahu mereka kalau kau adalah tuan dari orang itu, Nona.” Naniana tersenyum simpul, puas dengan pekerjaan Litch.

“Baguslah kalau begitu,” ucapnya, lalu dengan leluasa melangkahkan kaki memasuki ruangan, tak peduli dengan tatapan dingin dari Ascian. Dia benar-benar mencerminkan seorang penguasa di kelompok mafia, begitu tutur Ascian dalam hati, mencibir Naniana.

Tapi tetap saja ia melangkah masuk bersama rombongan mafia, dan melihat wajah dari orang yang hampir membunuhnya kemarin pagi.

Dia seorang lelaki, usianya mungkin kisaran 20 tahun-an dan terlihat masih sangat muda ... juga amatir.

Begitu melihat Naniana datang dan mendekat ke arahnya, dia seperti beringsut dan berusaha untuk kabur. Tapi tak mungkin sebab kakinya yang patah akibat kecelakaan kemarin.

“Hei, kau kenal aku?” tanya Naniana dengan raut kejam yang mencerminkan dirinya. Dia tersenyum, tapi ada banyak pikiran jahat yang tersembunyi di baliknya. Itu adalah cara lumrah yang digunakannya untuk menjatuhkan mental lawan. “Bukankah kau yang waktu itu membawakan makan siangku?”

“No-Nona ...,” ujarnya dengan suara gemetar. Naniana dan seluruh orang yang ada di ruangan itu bisa merasakan ketakutannya, termasuk Ascian yang hendak menghentikan intimidasi Naniana terhadap tersangka.

“Hentikan, Nona Mafia. Kau bisa bertanya baik-baik padanya tanpa membuatnya ketakutan seperti itu,” ujar Ascian membuat Naniana meliriknya sinis.

Gadis itu kemudian tertawa kecil, lalu menghadap Ascian. “Dalam dunia para mafia, kami tidak pernah memberi makan anjing liar, Tuan Muda Ascian. Kau tahu kenapa? Karena jika kami mengulurkan sepotong daging dengan lembut pada anjing liar itu, yang nantinya akan digigit adalah tangan kami.” Naniana menarik kursi lalu duduk di samping ranjang, menatap targetnya dengan mata setengah membeliak. “Aku tidak suka memberi makan anjing liar, apalagi harus bersikap lembut padanya yang jelas-jelas sudah menajamkan taring untuk menggigitku.”

Laki-laki itu makin merasa tertekan dan terpojokkan mendengar apa yang dikatakan Naniana. Rasanya sudah tak ada lagi kesempatan untuknya selamat, dan sayang sekali jika makanan rumah sakit harus menjadi santapan terakhirnya sebelum dia dikirim menuju neraka oleh Naniana.

“Nona Muda, maafkan aku~” Lelaki itu tiba-tiba saja memohon dengan isak, mengemis belas kasih untuk nyawanya pada Naniana. Hal itu membuat Naniana merotasi matanya dengan muak, sudah dia duga hal menyedihkan seperti ini akan dilakukan pada akhirnya.

“Apa kau pikir aku akan mengampunimu?” tanya Naniana dengan dingin dan angkuh. “Kau adalah orang yang berusaha untuk mengadu domba The Heatens dan Little Boy. Kau membuatku harus melakukan hal yang sangat merepotkan dan kau dengan tidak tahu malunya mengemis maaf dariku!?”

“Tolong ampuni aku, Nona Muda ... aku tidak berniat untuk melakukannya! Seseorang telah menyuruhku untuk melakukan itu!”

“Oh iya?” Naniana berhasil memancing lelaki itu untuk mengatakan yang sebenarnya. Sekarang tinggal sedikit lagi, dan mereka akan langsung mendengar kebenaran. “Kalau begitu katakan siapa yang menmenyuruhmu.”

“Tapi jika aku mengatakannya, apa kau mau melepaskanku?” Naniana mengalihkan tatapannya dengan sinis, melirik Jay yang berdiri di belakangnya. Itu seperti isyarat bertanya, apakah Naniana harus mengiyakannya atau tidak? Jay mengedipkan matanya sekali dan itu berarti jawabannya adalah iya.

Naniana kembali menatap lawan bicaranya. “Baiklah, kau akan hidup. Tapi tolong jujur karena kebohonganmu tidak akan mempan padaku.”

Lelaki itu terdiam, masih dengan pandangan yang menatap cemas dan tangan yang gemetaran. Dia menelan ludah, memantapkan diri untuk buka suara. “Sebenarnya, aku adalah orang Little Boy.” Fakta pertama yang dia ucapkan langsung membuat Naniana dan yang lainnya terkejut. “Aku diperintahkan untuk melaksanakan tugas pertamaku sebagai anggota Little Boy dan dikirim ke suatu tempat. Tapi ketika aku sadar, aku sudah berada di tempat hiburan milik The Heatens.”

Meski terkejut, Naniana masih berusaha untuk tetap tenang dan menunggu cerita tuntas. “Lanjutkan,” katanya dan lelaki itu lanjut bicara.

“Aku tidak tahu pimpinan mana di Little Boy yang memerintahku, aku hanya diperintahkan lewat sebuah surat dengan tanda tangan kaki tangan dari salah satu eksekutif. Tapi ketika kau sampai di tempat The Heatens, ada seseorang yang terus menelponku dan memberiku perintah. Aku pikir dialah orangnya, jadi aku melakukan apa yang dia inginkan.”

“Apa orang itu memperkenalkan dirinya padamu?” tanya Naniana, masih mendengarkan dengan saksama.

Lelaki itu menggeleng pelan. “Dia tidak memperkenalkan diri lebih dulu, tapi setiap panggilan tersambung, dia terus mengucap satu kata. Jadi aku pikir, itulah namanya.”

“Siapa namanya?”

“Namanya—” Lelaki itu tiba-tiba berhenti, seakan baru menyadari satu hal kemudian dia menatap Naniana dengan mata sedikit membesar. Dia terdiam cukup lama dengan tatapan yang membuat Naniana bingung. Mereka semua yang ada di sana sangat menunggu untuk mendengar nama dari sumber kekacauan.

Namun, lelaki itu masih saja diam sampai Naniana hampir hilang kesabaran. Naniana berdecak kesal, lalu menarik kursi lebih dekat dengan ranjang. “Cepat katakan siapa na—”

Belum sampai dia mendengar kebenaran, dirinya lebih dulu dikejutkan dengan darah segar yang menyembur tak rata menodai wajahnya.

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status