Home / Romansa / DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER / 8. Nilai Yang Kurang Sempurna

Share

8. Nilai Yang Kurang Sempurna

last update Last Updated: 2025-08-14 17:10:11

Antonio mencapai klimaks pertamanya, tapi tak butuh waktu lama baginya untuk mengambil kembali kendali. Dengan gerakan cepat, ia membalikkan tubuh Liana, membuat wanita itu terkejut hingga berteriak.

"Kamu kira aku akan pasrah diam?" Suara Antonio rendah, penuh janji bahaya. Tangannya yang terampil mengusap milik Liana, lalu dengan mahir memasukkan jarinya—lembut tapi tegas.

"Ah—!" Liana menjerit, tubuhnya melengkung menanggapi sentuhannya.

"Bagus," bisik Antonio, napasnya berat di telinganya. "Ini baru wanitaku. Selamanya, jadilah wanitaku."

Liana, meski terbakar hasrat, masih mencoba melawan. "Yakin? Kamu terkenal doyan bermain wanita," godanya, suara terengah.

Antonio menggeram, menggigit lembut bahu Liana. "Mulai sekarang tidak lagi!"

"Bagaimana aku bisa bermain wanita," desisnya, menekankan setiap kata sambil memperdalam sentuhannya, "jika aku hanya bisa berdiri bersamamu saja? Hah?"

Tangan Antonio tak berhenti bergerak, tapi kali ini tubuhnya merosot lebih rendah—dan lidahnya yang mengambil alih.

Dengan mahir, ia menjelajahi setiap lekuk sensitif yang membuat Liana menggigit bibir, lalu menjerit saat sensasi itu meledak di sekujur tubuhnya.

"An—Antonio, aku—!" Teriakannya pecah, tangan mencengkram rambut pria itu, tapi Antonio tak berhenti.

Belum selesai Liana mencapai puncak, wajah Antonio sudah basah—campuran keringat dan hasil dari kenikmatan yang ia berikan. Ia mengangkat kepala, mata gelap penuh kemenangan menatap Liana yang masih terengah.

"Kurang?" Suaranya serak, sambil mengusap dagu yang masih lembap. "Atau mau bukti lagi kalau hanya kamu yang bisa bikin aku seperti ini?"

Liana tak sempat menjawab. Antonio sudah kembali menyelam, lebih dalam, lebih liar—seolah ingin menghabiskan setiap detik malam ini untuk membakar ingatannya.

Setelah ronde pertama yang intens, Antonio merebahkan tubuhnya di sebelah Liana, menariknya dalam dekapan erat. Udara kamar masih berbau panas, napas mereka perlahan mulai teratur kembali.

"Terima kasih," bisik Antonio, mengecup puncak kepala Liana dengan kelembutan yang jarang ia tunjukkan.

Liana, dengan mata setengah tertutup karena kelelahan, mengeluarkan kata-kata yang tak terduga: "Mimpi apa bisa jatuh di pelukanmu..."

Antonio diam, hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tubuh Liana semakin berat di pelukannya, tanda bahwa ia mulai terlelap. "Tidurlah," gumamnya, merapikan rambut Liana yang basah oleh keringat.

Satu jam bukan waktu yang singkat—dan Antonio tahu, Liana telah memberikan segalanya malam ini.

Pukul 3 pagi, saat dunia masih terlelap dalam gelap, Antonio sudah tak sabar untuk ronde kedua.

Liana terbangun dengan terkejut saat sensasi panas dan basah menyergapnya tiba-tiba. "Ah! Antonio—!" keluhnya, suara serak karena tidur yang terpotong.

Tapi pria itu tak peduli. Tangannya yang kuat membelah paha Liana lebih lebar, menahannya di tempat sambil lidahnya menyambar dengan ganas—seperti orang kelaparan yang baru menemukan oasis.

"Kamu pikir aku akan membiarkanmu tidur nyenyak setelah menggoda seperti tadi?" suaranya bergema di antara paha Liana, panas dan menggigit.

Liana menjambak rambut Antonio, antara ingin mendorong atau menariknya lebih dalam. "Dasar—! Ah... setan—!" teriaknya, tapi tubuhnya sudah melengkung menyerah pada kenikmatan yang ditawarkan Antonio dengan begitu mahir.

Dunia mungkin masih gelap di luar jendela, tapi di dalam kamar itu—api mereka membakar lebih terang dari mentari manapun.

"Ah, ya... Aku belum menemukan G-spotmu," geram Antonio dengan suara serak, sementara jari-jarinya yang terlatih mulai menjelajah lebih dalam—menekan, mengusap, dan mengorek setiap sudut sensitif dengan presisi mematikan.

Liana menggeliat liar, tubuhnya melengkung seperti busur yang tegang, "Nngh—! An-Antonio, sana—ah! " Suaranya terputus-putus, bagai cacing kepanasan yang terjepit antara gelombang nikmat dan siksaan.

Antonio mengamatinya dengan kepuasan sadis, "Di sini, ya?" ujarnya saat jarinya menekan titik tertentu—dan Liana menjerit, kukunya mencakar sprei, kaki gemetar tak terkendali.

"Ternyata dokternya lebih sensitif dari yang kukira," godanya, mempermainkan tempo sentuhannya—kadang lambat dan menggoda, kadang cepat dan menghancurkan.

Liana tak bisa berpikir. Dunia menyempit jadi hanya Antonio, sentuhannya, dan gelombang panas yang siap meledak.

Liana mencapai klimaks dengan gemuruh, tubuhnya bergetar hebat di bawah permainan lidah Antonio yang tak kenal ampun.

Antonio mengangkat wajahnya—basah, angkuh, dan puas. "Sekarang kamu di atasku, Sayang," bisiknya, suara serak penuh janji.

Liana, masih limbung dan napas tersengal, mengerutkan kening. "Di atas... bagaimana? Jujur, untuk urusan ranjang, aku—"

Antonio menyeringai, tangannya menarik pinggul Liana dengan gerakan tegas. "Kamu benar-benar perawan dalam hal ini, ya?" godanya, tapi sorot matanya hangat—anehnya, tidak mengejek. "Santai saja. Ikuti tubuhmu... dan ikuti aku."

Liana merasa seperti dihantam bola—bagaimana mungkin seorang pemain ulung seperti Antonio bisa sabar membimbingnya?

Tapi ketika tubuhnya pelan-pelan menuruti gerakan Antonio, ketika mereka menemukan ritme, Liana sadar satu hal:

Ini bukan sekadar bercinta.

Ini pelajaran—dan Antonio, entah kenapa, sangat bersedia menjadi gurunya.

Liana kini berada di atas Antonio, yang duduk bersandar di kepala ranjang, tangannya erat menggenggam pinggulnya untuk memandu gerakannya. "Semakin masuk, semakin enak, kan, Sayang?" goda Antonio, suara beratnya menggetarkan telinga Liana.

"Ah! An—Antonio, kenapa... nikmat sekali—! Rasanya masih kurang dalam—!" desah Liana, tubuhnya mulai bergerak liar, mencoba mencari titik yang sempurna.

Antonio menggeram, jarinya menekan lebih dalam ke pinggulnya, mengarahkannya. "Kalau begitu, lebih ditekan lagi— begini," bisiknya, mendorong Liana ke posisi yang lebih intens.

"Ah—! Seperti ini?" tanya Liana, napasnya tersengal.

Antonio tertawa rendah, matanya berbinar seperti guru yang puas melihat muridnya mulai paham. "Sudah lumayan. Tapi nilainya masih C."

"Ish! Kamu pikir ini kuliah?!" protes Liana, tapi terpotong oleh sensasi yang tiba-tiba membuatnya melengkung ke belakang.

"Makanya, biar dapat A, kita ulangi setiap hari," balas Antonio, suaranya seperti janji sekaligus ancaman.

"Dasar mesum!" Liana menjerit, tapi gerakannya semakin tak terkendali—seolah Antonio benar-benar berhasil memicu sisi liar yang selama ini terpendam dalam dirinya.

Matahari pagi menyelinap lewat tirai, menyinari tubuh Liana yang masih lemas tergeletak di atas ranjang. Seluruh badan pegal. Ingatannya langsung melayang pada "pelajaran intens" pagi tadi—Antonio yang tak kenal lelah, lidahnya yang bikin gila, dan gerakan-gerakan "ulangan" yang membuatnya sampai menjerit minta ampun.

Tiba-tiba, bayangan tinggi menghalangi cahaya.

"Sayang, bangun. Kamu harus ke rumah sakit, kan?" Suara Antonio—dalam, tegas, tapi anehnya lembut.

Liana mengerang, menyelimuti diri lebih dalam. "Capek…" rengeknya, suara serak karena semalam terlalu banyak berteriak.

Tapi Antonio bukan tipe yang menyerah.

Dengan gerakan cepat, dia membopong Liana seperti anak kecil, mengangkatnya dari kasur. "A—Antonio! Aku bisa jalan sendiri—!"

"Diam saja," godanya sambil mencium keningnya. "Kamu semalam sudah terlalu banyak kerja keras."

Liana merah padam.

Di kamar mandi, bak air hangat sudah menanti. Antonio menurunkan pelan tubuh Liana, tapi saat jari pria itu mulai menyentuh pinggangnya, Liana langsung menggeliat.

"Jangan minta lagi…" rengeknya, muka memelas. "Nanti aku pingsan di rumah sakit…"

Antonio tertawa pendek, tapi matanya berkilat puas. "Tenang, Sayang. Hari ini aku kasih istirahat." —tapi senyumnya licik. "Besok kita lanjut ulangan. A-nya masih kurang sempurna. "

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER   15. Gara-Gara Emilia

    Emilia masih terduduk lemas di ranjangnya, tubuhnya pegal dan hanya terbungkus selimut tipis yang tak mampu menyembunyikan kelelahan dan rasa malu. Bau parfum murah dan keringat pria asing masih menempel di kulitnya. Baru saja ia menyelesaikan layanan terakhirnya malam ini, dan yang ia inginkan hanyalah tidur dan melupakan segalanya.Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka tanpa suara, dan Antonio muncul, berdiri dengan sikap santai namun tatapannya jelas membuat siapa saja takut, bersandar di bingkai pintu. Matanya yang gelap menyapu ruangan yang sempit dan kotor ini, seolah menghakimi setiap debu dan noda yang ada.

  • DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER   14. Strategi Gail

    "Karena Tuan Antonio terikat janji untuk menjaga seorang wanita, dan kelak dia akan menjadi istrinya—penerus darah keturunan Brams," jawab Armano, suaranya datar tapi mengandung arti yang dalam.Liana terdiam.Janji?Penerus darah keturunan?Istri?Pikirannya berputar kencang. "Mana mungkin aku kan?" ujarnya, tawa kecil yang gugup meluncur dari bibirnya. "Pertemuanku dengan dia dari hal yang tidak direncanakan."Armano tersenyum, tapi kali ini senyumnya tidak seperti biasanya—lebih hangat, lebih manusiawi. "Sayangnya, setelah beberapa waktu ini, Tuan Antonio mencari informasi tentang Anda. Andalah orangnya.""Hah?!" Liana nyaris menjatuhkan gelas di tangannya, matanya membelalak."Soal itu nanti anda tanyakan sendiri pada Tuan Antonio pulang," kata Armano, tiba-tiba berhati-hati. "Saya tidak punya hak untuk menjelaskannya."Dia menunjuk sekeliling ruangan dengan gerakan halus. "Dan lagi pula, tempat ini terpasang CCTV ya

  • DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER   13. Sisi Lain Antonio

    Akhirnya, mereka duduk bersama di meja makan kecil yang diterangi cahaya lilin. Steak yang sudah sedikit dingin ternyata tetap nikmat, kentang panggangnya renyah di luar namun lembut di dalam, dan sayuran segarnya memberikan sentuhan ringan di antara rasa gurih daging.Antonio memotong steak dengan pisau tajamnya, matanya sesekali mengangkat untuk menatap Liana. "Enak," pujinya singkat sebelum menyuap daging ke mulutnya.Liana tersenyum kecil, hatinya berbunga-bunga meski berusaha tak menunjukkan kesenangannya.

  • DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER   12. Dia Bukan Laki-Laki Sembarangan

    Sepanjang shift pagi di departemen Neurologi, Liana bekerja dengan setengah pikiran melayang. Jarum suntik di tangannya masuk ke pembuluh darah pasien dengan presisi, catatan medis ditulis rapi, tapi di benaknya, satu kalimat terus berputar-putar seperti rekaman rusak:"Sampai hari pernikahan kita.""Aduh!" Gerutunya tak sengaja keluar saat ia salah memasukkan data ke komputer."Kenapa dari tadi mengomel melulu?" Dokter Lincard menyandar di pintu ruangannya, segelas kopi di tangan dan senyum menyebalkan di bibir.Liana menatapnya dengan mata setengah menyipit. "Kenapa Anda perhatian sekali?"Lincard tertawa, masuk tanpa diundang. "Apa ini soal Antonio Valentino Brams?"Liana mengatupkan mulutnya. Tapi Lincard sudah duduk di hadapannya, meletakkan berkas tebal di meja—rekam medis dengan nama Antonio di sampulnya."Dia pria 33 tahun," Lincard membuka berkas, "Kecelakaan tahun lalu, seharusnya sudah sembuh total menurut Dokter Deva

  • DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER   11. Kapan Kita Bahas Pernikahan !?

    Matahari baru saja mengintip dari balik ujung gedung-gedung kota, menyapu langit dengan warna jingga pucat. Kamar tidur utama apartemen Antonio masih diselimuti kehangatan sepi, hanya diterangi cahaya redup yang menyelinap lewat tirai semi-tertutup.Di tengah ranjang besar yang berantakan, Liana masih terlelap dalam pelukan Antonio, wajahnya yang biasanya tegar kini terlihat begitu lelah—dan puas. Rambut cokelatnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, beberapa helai menempel di pipinya yang masih kemerahan.

  • DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER   10. Aku Tidak Hyper tapi Aku addicted

    "Jadi selama ini... kamu yang terjebak hasratmu sendiri, ya?" godanya, sengaja memainkan 'stetoskop' di dadanya.Antonio menggeram, lalu langsung membanting Liana ke bahunya seperti karung gandum, berjalan menuju pintu keluar."KAU MENANG, SAYANG. SEKARANG TUTUP MULUTMU SEBELUM AKU MENUTUPNYA DENGAN CARA LAIN!"Liana tertawa lepas, meski wajahnya merah padam.Dia baru saja menemukan senjata baru melawan Antonio—dan itu... jauh lebih efektif dari yang dibayangkan.Begitu tiba di rumah, Liana langsung bergegas menuju kamar mandi, ingin segera membersihkan diri setelah seharian yang melelahkan. Namun, Antonio menahan pergelangan tangannya dengan gerakan tegas."Pakai yang dokter tadi ya," bisiknya, suara rendah namun penuh arahan yang tak bisa ditolak.Liana tersenyum kecut, tapi matanya berbinar penuh tantangan. "Siap, Tuan Valentino," jawabnya dengan nada sarkastik, sambil memberikan hormat palsu ala tentara.Antonio menge

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status