Antonio menyudutkannya lebih dalam, bibirnya yang dingin tiba-tara menyapu lembut bibir Liana yang gemetar. Liana tak melawan—tahu betul perlawanan hanya akan membuat pria ini semakin brutal.
"Sudah aku bilang tadi," bisik Antonio saat menarik sesaat, nafasnya bercampur anggur dan nafsu, "Tak usah pakai baju sekalian."
"An-antonio, aku—"
Tapi protesnya terpotong saat tangan besar Antonio menggenggam pinggangnya, membopong tubuhnya dengan mudah seperti boneka kain. Kemeja putih yang kebesaran terbuka sebagian, memperlihatkan kulit pucatnya yang masih memar.
Dia dilempar dengan lembut ke atas ranjang hitam yang berkelambu sutra—tempat yang terlalu megah untuk sebuah pemaksaan.
Liana memejamkan mata, tubuhnya menegang menanti kekerasan yang tak kunjung datang. Tapi yang terjadi justru—
Sebuah pelukan.
Antonio menariknya ke dalam dekapan dari belakang, dagunya bersandar di pundak Liana. Napasnya hangat di telinganya, tapi kali ini tanpa nafsu, hanya sebuah kelelahan yang tersimpan rapat.
"Aku ingin cerita sesuatu dulu," bisiknya, suaranya tiba-tiba sangat manusiawi.
Liana terkejut. "Apa?"
Antonio menarik napas dalam. "Hampir setahun kemarin, aku tidak bisa ereksi karena kecelakaan."
Liana membeku.
"Kamu dokter, pasti tahu kenapa, kan?"
Liana terdiam terlalu lama. Di balik sosok penguasa kejam yang menerornya sepanjang malam, ternyata ada luka yang lebih dalam—luka yang bahkan tak bisa disembuhkan dengan kekuasaan atau uang.
"Sudah banyak wanita mencoba membangkitkannya," Antonio tertawa getir, "Tapi nihil."
Tapi kemudian, suaranya berubah—lebih gelap, lebih dalam.
"Tapi malam itu... kamu justru bisa membangkitkannya."
Liana merinding. Malam yang dia maksud—
Antonio mengusap rambut Liana yang masih sedikit basah. "Jadi kamu sekarang tahu kan alasanku kenapa ingin memilikimu seutuhnya?"
Liana terdiam.
"Tapi aku tak pantas untukmu," kata Liana, suaranya hampir tak terdengar.
"Siapa bilang?"
"Apa artinya ini? Aku harus bersamamu selamanya?" tanya Liana, akhirnya memberanikan diri membalikkan badan dan menatap Antonio langsung. Matanya penuh pertanyaan, tapi juga ada sesuatu yang lain—ketakutan? Atau justru harapan yang tak ingin diakuinya sendiri?
Antonio menatapnya tanpa ragu. "Ya, harus," jawabnya dingin. "Aku tidak suka dibantah."
Liana mengerutkan kening. "Tapi aku dokter. Aku bekerja—"
"Siapa yang melarangmu bekerja?" potong Antonio, suaranya tiba-tiba lebih lunak. "Bekerjalah. Karena aku tahu kamu menyukai duniamu. Aku tak akan melarang apapun."
Liana terkejut. Ini bukan Antonio yang dia kenal—pria yang selalu memaksakan kehendaknya tanpa kompromi.
"Hanya satu pintaku," lanjutnya, suaranya tiba-tiba berat, seperti ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya. "Jadi milikku selamanya."
Liana menelan ludah. "Apa artinya itu? Kamu akan menikahiku?"
Antonio menghela napas, matanya gelap. "Kamu tahu siapa aku. Laki-laki berbahaya. Aku tak mau membahayakan orang yang aku sayangi dalam dunia bisnisku."
Liana terdiam. Dia mengerti maksudnya. Pernikahan bukanlah opsi bagi Antonio—dia tak ingin ada nama yang tercatat, tak ingin ada jejak yang bisa dimanfaatkan musuhnya.
Tapi di sisi lain... "Jadi, aku hanya akan jadi rahasia tersembunyimu?" tanyanya, suaranya bergetar.
Antonio mendekat, tangannya mengangkat dagu Liana dengan lembut tapi penuh kuasa. "Kamu akan jadi satu-satunya yang punya akses ke kelemahanku. Satu-satunya yang aku izinkan melihatku seperti ini."
Liana merinding. Dia tahu ini bukan sekadar tentang nafsu atau kebutuhan fisik. Ini tentang kepercayaan—sesuatu yang Antonio tak pernah berikan kepada siapa pun.
"Ingatlah, di luar sana, keluargamu masih seperti predator. Ayahmu sendiri, pamanmu, bahkan adikmu..."
Kata-kata Antonio itu mengguncang Liana. Bukan karena dia terkejut—tapi karena itu benar.
Dia terlahir dari keluarga Hart, sebuah nama yang ironisnya sama sekali tidak mencerminkan "hati". Ayahnya, seorang pengusaha kaya yang lebih sering mabuk dan berjudi daripada mengasuh anak. Pamannya, lelaki licik yang selalu mengincar warisan. Dan adiknya? Seorang manipulator ulung yang sejak kecil sudah belajar menjerat orang demi keuntungan.
Liana bahkan tidak tahu siapa ibu kandungnya. Kabarnya, seorang wanita Indonesia yang hilang begitu saja setelah melahirkannya. Itu menjelaskan wajahnya—perpaduan sempurna antara garis tajam Eropa dan kelembutan Asia. Tapi itu juga berarti dia tumbuh tanpa pernah merasakan pelukan seorang ibu.
Keluarga Hart bukanlah rumah. Itu adalah medan perang.
Tapi Liana berhasil lolos.
Dengan otak encer dan tekad baja, dia meraih beasiswa kedokteran. Lulus dengan pujian. Memilih hidup sendiri, jauh dari racun keluarga Hart.
"Bagaimana kamu tahu semua tentang keluargaku?" tanya Liana, suaranya bergetar antara rasa ingin tahu dan kekhawatiran yang menggerogoti.
Antonio terkekeh, suaranya seperti baja yang diasah—dingin dan tajam. "Kamu tahu siapa aku. Aku memang pebisnis, tapi dunia gelapku jauh lebih mengerikan." Matanya menyala dengan kilatan bahaya, seolah mengundang Liana untuk menyelami lebih dalam jurang yang tak berujung. "Bisnis senjata ilegal, obat bius, ekspedisi gelap... Apa yang tidak bisa aku ketahui?"
Liana menelan ludah. Setiap kata yang meluncur dari bibir Antonio seperti pisau yang mengiris ilusinya tentang keselamatan. Dia sudah menduga Antonio bukan pria biasa, tapi mendengar pengakuannya secara langsung membuat dadanya sesak.
"Jadi... keluargaku adalah bagian dari bisnismu?"
Antonio mendekat, napasnya hangat di kulit Liana. "Tidak. Mereka terlalu kecil untuk jadi bagian dari permainanku. Tapi..." Jarinya menelusuri garis rahang Liana dengan gerakan posesif. "Aku selalu mempelajari setiap sudut kehidupan orang yang aku inginkan. Dan kamu, Liana Hart, adalah satu-satunya yang berhasil membuatku... tertarik."
Liana merinding. Dia terjebak dalam jaring Antonio—seorang pria yang bahkan bisa menghancurkan hidupnya tanpa harus mengangkat tangan.
"Sekarang tidurlah, aku tahu kamu lelah sekali," kata Antonio, suaranya berat namun lembut saat mendekap tubuh Liana yang lelah.
Liana terdiam sejenak, merasakan kehangatan tubuh pria itu bersatu dengan detak jantungnya yang masih berdegup kencang. Namun, sensasi lain segera menarik perhatiannya—tekanan keras yang tak bisa disangkal dari tubuh Antonio menempel di pinggulnya.
"Bagaimana aku bisa tidur kalau 'milikmu' saja sudah menegang!" serunya, suara setengah kesal setengah menggoda.
Blusss...
Antonio mengerang, wajahnya mendadak merah, seperti remaja yang ketahuan sedang berhasrat. Reaksi tak terduga dari pria yang biasanya selalu mengendalikan segalanya ini membuat Liana tak bisa menahan tawa kecil.
Dengan gerakan penuh keyakinan, jemari Liana menelusuri dada bidang Antonio, menggambar pola di atas kulit yang hangat dan berotot. "Biarkan aku menuntaskannya malam ini," bisiknya, napasnya berbaur dengan udara di antara mereka.
Antonio menatapnya dalam-dalam, matanya seperti api yang siap melahap. "Kamu yakin?"
Liana tidak menjawab dengan kata-kata. Tindakannya lebih berbicara—sebuah sentuhan, sebuah izin, sebuah awal dari sesuatu yang lebih panas dari sekadar nafsu...
Antonio membiarkan Liana menjelajahi setiap lekuk tubuhnya dengan penuh kepuasan. Tangannya yang biasanya begitu berkuasa kini pasrah di atas bantal, otot-ototnya tegang namun tak melawan saat Liana dengan perlahan melepas kemeja mewahnya, kancing demi kancing terbuka.
"Sudah aku bilang tadi kan, tak usah pakai baju saja," desis Antonio, suaranya serak, tapi Liana sudah terlalu asyik untuk mendengarkan.
Jari-jemarinya menelusuri setiap garis otot yang terpahat sempurna di tubuh Antonio, seolah ingin menghafalnya. Namun, saat bibirnya menemukan "lolipop" yang sudah mengeras menantang, Antonio tak kuasa menahan diri.
"Ah—! Liana...!" Teriakannya pecah dalam desahan panjang, tangannya refleks mencengkeram rambut Liana, tapi tidak mendorong—hanya menahan, seolah takut kehilangan sensasi yang membakar itu.
Liana tak memberi ampun. Setiap gerakannya penuh tekad, seolah ingin membuktikan sesuatu—bahwa di antara mereka, malam ini, dialah yang memegang kendali.
Emilia masih terduduk lemas di ranjangnya, tubuhnya pegal dan hanya terbungkus selimut tipis yang tak mampu menyembunyikan kelelahan dan rasa malu. Bau parfum murah dan keringat pria asing masih menempel di kulitnya. Baru saja ia menyelesaikan layanan terakhirnya malam ini, dan yang ia inginkan hanyalah tidur dan melupakan segalanya.Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka tanpa suara, dan Antonio muncul, berdiri dengan sikap santai namun tatapannya jelas membuat siapa saja takut, bersandar di bingkai pintu. Matanya yang gelap menyapu ruangan yang sempit dan kotor ini, seolah menghakimi setiap debu dan noda yang ada.
"Karena Tuan Antonio terikat janji untuk menjaga seorang wanita, dan kelak dia akan menjadi istrinya—penerus darah keturunan Brams," jawab Armano, suaranya datar tapi mengandung arti yang dalam.Liana terdiam.Janji?Penerus darah keturunan?Istri?Pikirannya berputar kencang. "Mana mungkin aku kan?" ujarnya, tawa kecil yang gugup meluncur dari bibirnya. "Pertemuanku dengan dia dari hal yang tidak direncanakan."Armano tersenyum, tapi kali ini senyumnya tidak seperti biasanya—lebih hangat, lebih manusiawi. "Sayangnya, setelah beberapa waktu ini, Tuan Antonio mencari informasi tentang Anda. Andalah orangnya.""Hah?!" Liana nyaris menjatuhkan gelas di tangannya, matanya membelalak."Soal itu nanti anda tanyakan sendiri pada Tuan Antonio pulang," kata Armano, tiba-tiba berhati-hati. "Saya tidak punya hak untuk menjelaskannya."Dia menunjuk sekeliling ruangan dengan gerakan halus. "Dan lagi pula, tempat ini terpasang CCTV ya
Akhirnya, mereka duduk bersama di meja makan kecil yang diterangi cahaya lilin. Steak yang sudah sedikit dingin ternyata tetap nikmat, kentang panggangnya renyah di luar namun lembut di dalam, dan sayuran segarnya memberikan sentuhan ringan di antara rasa gurih daging.Antonio memotong steak dengan pisau tajamnya, matanya sesekali mengangkat untuk menatap Liana. "Enak," pujinya singkat sebelum menyuap daging ke mulutnya.Liana tersenyum kecil, hatinya berbunga-bunga meski berusaha tak menunjukkan kesenangannya.
Sepanjang shift pagi di departemen Neurologi, Liana bekerja dengan setengah pikiran melayang. Jarum suntik di tangannya masuk ke pembuluh darah pasien dengan presisi, catatan medis ditulis rapi, tapi di benaknya, satu kalimat terus berputar-putar seperti rekaman rusak:"Sampai hari pernikahan kita.""Aduh!" Gerutunya tak sengaja keluar saat ia salah memasukkan data ke komputer."Kenapa dari tadi mengomel melulu?" Dokter Lincard menyandar di pintu ruangannya, segelas kopi di tangan dan senyum menyebalkan di bibir.Liana menatapnya dengan mata setengah menyipit. "Kenapa Anda perhatian sekali?"Lincard tertawa, masuk tanpa diundang. "Apa ini soal Antonio Valentino Brams?"Liana mengatupkan mulutnya. Tapi Lincard sudah duduk di hadapannya, meletakkan berkas tebal di meja—rekam medis dengan nama Antonio di sampulnya."Dia pria 33 tahun," Lincard membuka berkas, "Kecelakaan tahun lalu, seharusnya sudah sembuh total menurut Dokter Deva
Matahari baru saja mengintip dari balik ujung gedung-gedung kota, menyapu langit dengan warna jingga pucat. Kamar tidur utama apartemen Antonio masih diselimuti kehangatan sepi, hanya diterangi cahaya redup yang menyelinap lewat tirai semi-tertutup.Di tengah ranjang besar yang berantakan, Liana masih terlelap dalam pelukan Antonio, wajahnya yang biasanya tegar kini terlihat begitu lelah—dan puas. Rambut cokelatnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, beberapa helai menempel di pipinya yang masih kemerahan.
"Jadi selama ini... kamu yang terjebak hasratmu sendiri, ya?" godanya, sengaja memainkan 'stetoskop' di dadanya.Antonio menggeram, lalu langsung membanting Liana ke bahunya seperti karung gandum, berjalan menuju pintu keluar."KAU MENANG, SAYANG. SEKARANG TUTUP MULUTMU SEBELUM AKU MENUTUPNYA DENGAN CARA LAIN!"Liana tertawa lepas, meski wajahnya merah padam.Dia baru saja menemukan senjata baru melawan Antonio—dan itu... jauh lebih efektif dari yang dibayangkan.Begitu tiba di rumah, Liana langsung bergegas menuju kamar mandi, ingin segera membersihkan diri setelah seharian yang melelahkan. Namun, Antonio menahan pergelangan tangannya dengan gerakan tegas."Pakai yang dokter tadi ya," bisiknya, suara rendah namun penuh arahan yang tak bisa ditolak.Liana tersenyum kecut, tapi matanya berbinar penuh tantangan. "Siap, Tuan Valentino," jawabnya dengan nada sarkastik, sambil memberikan hormat palsu ala tentara.Antonio menge