Home / Romansa / DOKTER SETAN / Tulisan Itu

Share

Tulisan Itu

Author: Reez
last update Last Updated: 2025-05-27 16:09:46

“Aku tidak menulis itu...”

Aku mengangkat kepala. Suara itu lirih, pelan seperti desir angin melewati celah pintu, tetapi cukup jelas untuk membuatku menahan napas. Ibu Sri, wanita tua yang tadi siang kutolong dari kematian, duduk lemah di ranjangnya, matanya menatap kosong ke jendela.

“Tapi tulisan itu ada di tangan Anda. Kami semua lihat,” ujar perawat di sampingku, setengah berbisik, masih kebingungan.

“Aku tidak bisa menulis sejak seminggu lalu,” Ibu Sri menjawab, kali ini dengan suara sedikit lebih kuat. “Tangan kananku lumpuh.”

Aku memalingkan wajah ke perawat yang tadi memberiku kertas. Dia mengangguk ragu, lalu menyodorkan tablet medis. Di sana, tercatat catatan klinis terakhir: paresis lengan kanan akibat stroke ringan tiga bulan lalu. Belum pulih total.

Aku kembali menatap Ibu Sri. Kertas kecil itu masih dalam genggamanku. Tinta di permukaannya belum kering betul, huruf-hurufnya tampak seperti goresan terburu-buru, seolah ditulis dengan gemetar. Tapi anehnya... sangat presisi.

“Kalau bukan Ibu yang menulis ini, siapa?”

Ibu Sri tidak menjawab. Ia memejamkan mata, pelan, lalu bersandar pada bantal. Napasnya berat. Jari-jarinya yang kurus dan layu menggenggam selimut seperti anak kecil yang kedinginan. Hening kembali mengisi ruangan, dan aku merasa ada sesuatu yang lebih dingin dari AC menyelusup ke balik kulitku.

Malam itu aku tidak bisa tidur. Di kamar kontrakan yang remang-remang, suara hujan di luar mengalun seperti gumaman yang tak bisa dimengerti. Aku duduk di meja kecil tempat biasa menulis laporan shift, menatap kertas kecil itu untuk kesekian kali.

"Bukan kau yang menyembuhkan aku. Tapi sesuatu yang menunggu untuk keluar dari dalam dirimu."

Kalimat itu terngiang lebih menyerupai peringatan daripada ucapan terima kasih. Kata "sesuatu" membuatku tidak nyaman. Bukan karena aku takut... tapi karena aku tahu, di dalam diriku memang ada sesuatu yang mulai bergerak, perlahan, tak bisa dihentikan.

Aku menyandarkan kepala ke dinding. Cermin kecil di seberang tempat tidur memantulkan bayangan diriku. Mata yang dulu biasa-biasa saja kini tampak sedikit berbeda—terlalu tajam, terlalu tenang. Dan ada masa-masa ketika aku merasa... itu bukan lagi milikku sepenuhnya.

Pagi berikutnya, aku kembali ke rumah sakit. Jadwal jaga tetap berjalan, meski pikiranku belum berhenti memikirkan kejadian malam sebelumnya. Aku memilih shift ruang rawat biasa, berharap jauh dari IGD yang belakangan terlalu banyak menyimpan misteri.

Di ruang 5A, aku menemui pasien bernama Pak Maman—seorang pensiunan guru dengan keluhan nyeri dada. Usianya tujuh puluh, berbicara pelan, dan selalu membawa buku kumpulan puisi Chairil Anwar.

“Kalau boleh tahu, kenapa Bapak selalu bawa buku itu?” tanyaku saat memeriksa nadinya.

“Karena puisi tidak pernah mengkhianati. Tidak seperti manusia.”

Aku tersenyum kecil. “Benar juga.”

Detak nadinya tidak teratur. Aku tahu dari rekam medisnya bahwa ia mengidap aritmia. Tapi saat aku menyentuh pergelangan tangannya, sesuatu muncul lagi—visualisasi samar dalam pikiranku. Gumpalan kecil berwarna gelap bergerak di sekitar katup jantungnya. Bukan hanya aritmia. Ada gumpalan darah, kecil tapi berbahaya.

Aku mengangkat tangan.

“Pak Maman, saya akan rekomendasikan tes tambahan. Ada kemungkinan kecil... sesuatu menghalangi aliran darah ke jantung.”

Wajah Pak Maman menegang. “Jadi saya akan mati?”

“Belum tentu. Tapi lebih baik dicek.”

Hasil tes keluar malam itu. Gumpalan itu memang nyata. Hanya beberapa milimeter lagi bergerak ke arteri utama, dan Pak Maman akan mengalami serangan jantung hebat.

Aku duduk sendirian di ruang arsip, memandangi hasil ekokardiogram-nya.

“Aku tidak hanya melihat gejala... aku melihat apa yang belum terjadi.”

Itu bukan lagi diagnosis. Itu semacam… penglihatan. Dan semakin sering aku ‘melihat’, semakin aku sadar bahwa aku tidak menggunakan ilmu kedokteran seperti biasa. Aku menggunakan sesuatu yang lebih dalam, lebih purba.

Sekitar pukul sembilan malam, aku memutuskan pulang lebih awal. Di lorong belakang rumah sakit, lampu mati sebagian. Biasanya lorong ini dipakai sebagai akses barang, tapi sejak renovasi, menjadi jalan pintas menuju area parkir timur.

Aku melangkah pelan di antara bayangan tembok dan pintu-pintu gudang tertutup. Lantai basah oleh hujan, dan satu lampu gantung berkedip seperti senter sekarat. Saat aku hampir mencapai ujung lorong, aku mendengar langkah kaki lain di belakangku.

“Mas Radit?”

Aku menoleh cepat. Seorang perempuan muda berdiri di ujung lorong. Rambutnya dikuncir kuda, jas praktiknya sedikit kebesaran, dan wajahnya tampak familiar.

“Intan, ya?” tanyaku, mencoba mengingat. “Koas baru dari UIN?”

Dia mengangguk. “Maaf, saya tahu ini aneh. Tapi saya perlu bicara.”

Aku mengangguk pelan, memberi isyarat agar ia bicara.

“Saya melihat Anda di IGD dua hari lalu. Saat Ibu Sri kembali hidup.” Suaranya pelan, tapi matanya penuh tekad. “Dan saya tahu... Anda tidak biasa.”

Aku terdiam. Lorong menjadi lebih sunyi. Intan melangkah maju.

“Saya juga... pernah mengalaminya.”

Kata-kata itu menggetarkan perutku lebih dari yang seharusnya. Ada tekanan tiba-tiba di tenggorokanku, dan rasa dingin menjalari punggungku.

“Kau lihat... apa?”

“Bayangan. Saat aku memegang tangan pasien koma tiga tahun lalu. Dia sekarat, tapi... aku melihat sesuatu dari tubuhnya masuk ke tubuhku. Sejak itu, aku bisa merasakan rasa sakit orang lain. Tapi... aku takut. Jadi aku berhenti.”

Dia berhenti bicara. Matanya berkaca-kaca.

“Aku merasa... apa yang ada dalam diriku... bukan aku.”

Aku menatapnya lekat-lekat. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sendirian.

“Kalau begitu... kenapa sekarang kamu datang padaku?”

Dia menarik napas dalam.

“Karena aku melihat sesuatu dalam mimpiku semalam.”

“Dan itu... apa?”

Dia menjawab dengan suara gemetar.

“Seseorang... atau sesuatu... yang menyerupai dirimu. Tapi matanya... bukan mata manusia.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOKTER SETAN   Kulit yang Bergerak

    “Radit… kulitmu. Itu… bergerak.”Suara Intan terdengar pelan, tapi nadanya jelas menahan ketakutan. Aku menoleh, matanya menatap lenganku dengan ekspresi tak biasa. Tangannya mengarah ke bagian dalam lengan kiriku yang terangkat separuh karena baru saja kutarik dari balik selimut.Aku menunduk. Yang kulihat membuatku membeku.Ada bekas lebam samar berbentuk simbol yang nyaris identik dengan yang digambar Ragil—tiga mata tersusun vertikal, masing-masing dengan garis pusaran tipis di tengahnya. Namun yang membuatku menggigil… simbol itu bergerak. Perlahan. Seperti tinta basah yang ditarik di balik kulit.Aku mencoba menyentuhnya. Kulitku panas. Bukan demam. Bukan luka. Tapi seperti ada sesuatu yang hidup di bawah permukaan daging, menggeliat dengan ritme yang tidak manusiawi.“Aku rasa ini muncul tadi pagi,” gumamku. “Tapi aku baru benar-benar menyadarinya sekarang.”Intan mendekat, meraih lengan itu. Jemarinya menyentuh dengan ragu. “Ini bukan hanya lebam. Ini… seperti diukir dari dala

  • DOKTER SETAN   Angin Malam

    "Aku rasa dia menunjuk kita," bisik Intan tanpa menoleh.Aku menahan napas. Suara angin malam menyusup di antara dedaunan, memecah keheningan di depan rumah Dr. Nurdin. Sosok itu masih berdiri di ujung jalan tanah, tidak bergeming, seolah menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri. Tiga pasang mata menyala redup—bukan terang, bukan pula pantulan. Cahaya mereka seperti hidup dari dalam.Aku tak menjawab. Kakiku berat, seolah tanah menahan langkahku sendiri. Tapi aku tahu kami tidak bisa berdiam lebih lama."Ayo," kataku pelan. "Kita dekati."Kami berjalan perlahan, menyusuri jalan tanah sempit dengan pepohonan di sisi kanan dan pagar bambu reyot di sisi kiri. Setiap langkah terasa seperti menyusup ke sesuatu yang tak seharusnya disentuh. Intan menggenggam lenganku, dingin, namun menggigil bukan karena udara.Saat kami sudah separuh jalan, sosok itu masih diam. Tak ada tanda gerak, bahkan tak tampak napas. Tapi semakin dekat kami melangkah, semakin asing dunia di sekitar kami terasa—udar

  • DOKTER SETAN   Sosok Misterius

    “Kau lihat juga, kan?” bisik Intan, nyaris tanpa suara.Aku tak menjawab. Tubuhku sudah setengah beku di ambang pintu kamar Ragil, menatap ke ujung lorong yang gelap. Sosok itu masih berdiri di sana—tinggi, kurus, tak bergerak. Bayangannya menjalar panjang ke lantai, menyatu dengan dinding seperti kabut kental. Tiga pasang mata bercahaya samar, tapi tak menyilaukan. Mereka diam, menunggu. Menilai.Langkah kecil terdengar dari arah dalam kamar. Ragil berdiri, merapat ke belakangku. Nafasnya tercekat.“Itu... yang ada di mimpiku,” katanya. “Tapi dia tak pernah muncul di dunia nyata.”Sosok di ujung lorong tak menunjukkan niat mendekat, tapi atmosfer sekitarnya berubah drastis. Suhu ruangan turun. Kulit lenganku merinding, bukan karena takut—melainkan karena tubuh ini tahu, secara naluriah, bahwa yang berdiri di sana bukan manusia. Dan apa pun bentuknya, ia tidak tunduk pada hukum dunia ini.“Masuk,” bisikku pada Intan dan Ragil. “Kunci pintunya.”Kami bertiga mundur pelan, lalu Intan me

  • DOKTER SETAN   Dia yang Ada di Dalam Diriku

    “Apa yang kau lihat... bukan dari kaca. Tapi dari dalam dirimu sendiri.”Suara itu menghantam kesadaranku sebelum aku bisa benar-benar memahami dari mana datangnya. Aku terduduk, napas terengah, tubuh basah oleh keringat meski malam tak begitu panas. Lilin yang tadi menyala di sudut meja telah padam, meninggalkan bekas lelehan di atas kertas-kertas yang berserakan.Cermin di depanku tidak lagi menunjukkan apa-apa. Hanya pantulan pucat wajahku sendiri yang masih terguncang.Aku mencoba berdiri. Lututku lemas. Seluruh tubuh seolah tertarik oleh sesuatu yang berat dari dalam perut, seperti beban yang tak bisa dijelaskan. Langkahku pelan menuju jendela, membuka sedikit tirai untuk membiarkan cahaya dari lampu jalan masuk.Jalanan kosong. Pohon trembesi di seberang kontrakan bergoyang ringan. Tak ada yang mencurigakan. Tapi bagian belakang leherku masih merinding, seolah ada mata tak kasatmata yang belum berhenti memperhatikanku.Aku memutar keran wastafel, mencipratkan air ke wajah. Dingi

  • DOKTER SETAN   Ketika Harus Memilih

    “Kau sudah melihatku, Radit. Sekarang kau harus memilih.”Suaranya tak terdengar melalui udara. Tapi muncul dari dalam dada, bergema seperti bisikan dari ruang sempit. Dalam gelap, mata itu tetap menatapku tanpa berkedip. Tak ada wajah, tak ada tubuh—hanya sepasang mata yang diam, namun membuat kulit leherku menegang.Aku bergeming. Napasku terasa pendek. Jari-jari kakiku mencengkeram lantai dingin, tapi rasanya aku tak menyentuh apa pun. Dunia seperti menguap di sekitar cermin. Hanya suara denyut jantung yang terdengar jelas di telingaku.“Pilih apa?” tanyaku pelan. Bahkan suaraku sendiri terasa asing.Mata itu bergerak sedikit, lalu menyipit seperti sedang tersenyum—atau menghina. Sinar samar dari luar jendela menyingkap bayangan wajah samar, tapi setiap detailnya kabur, seperti lukisan minyak yang setengah terhapus.“Pilih siapa yang akan tetap tinggal... dan siapa yang akan menghilang.”Aku mencoba mundur, tapi kakiku seperti menancap di lantai. Cermin itu memantulkan lebih dari b

  • DOKTER SETAN   Mata Misterius

    “Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi aku tidak sedang mengada-ada.”Aku menatap Intan dalam diam. Kata-katanya barusan masih bergema dalam kepala—bahwa dalam mimpinya, dia melihat sosok menyerupai diriku… dengan mata yang bukan milik manusia.Lorong tempat kami berdiri terasa makin sunyi. Bahkan suara hujan di luar terdengar seolah berasal dari dunia lain.“Apa maksudmu ‘bukan mata manusia’?” tanyaku pelan.“Mata itu... hitam, tapi dalamnya ada pusaran. Seperti lubang tak berujung,” katanya, suaranya nyaris bergetar. “Dan dia bukan hanya melihatku. Dia masuk ke pikiranku. Seolah sedang mencari... sesuatu.”Aku menyentuh pelipisku perlahan. Kepala ini memang terasa sedikit berat sejak kejadian dengan pasien pertama. Tapi aku tak pernah memikirkan bahwa seseorang, bahkan dalam mimpi, bisa melihat ‘sesuatu’ yang menyamar jadi aku.Intan melangkah lebih dekat. Bayangan tubuhnya menempel di dinding yang lembap. Bau besi tua dari pipa bocor menyatu dengan udara dingin malam.“Aku pikir... mu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status