“Aku tidak menulis itu...”
Aku mengangkat kepala. Suara itu lirih, pelan seperti desir angin melewati celah pintu, tetapi cukup jelas untuk membuatku menahan napas. Ibu Sri, wanita tua yang tadi siang kutolong dari kematian, duduk lemah di ranjangnya, matanya menatap kosong ke jendela.
“Tapi tulisan itu ada di tangan Anda. Kami semua lihat,” ujar perawat di sampingku, setengah berbisik, masih kebingungan.
“Aku tidak bisa menulis sejak seminggu lalu,” Ibu Sri menjawab, kali ini dengan suara sedikit lebih kuat. “Tangan kananku lumpuh.”
Aku memalingkan wajah ke perawat yang tadi memberiku kertas. Dia mengangguk ragu, lalu menyodorkan tablet medis. Di sana, tercatat catatan klinis terakhir: paresis lengan kanan akibat stroke ringan tiga bulan lalu. Belum pulih total.
Aku kembali menatap Ibu Sri. Kertas kecil itu masih dalam genggamanku. Tinta di permukaannya belum kering betul, huruf-hurufnya tampak seperti goresan terburu-buru, seolah ditulis dengan gemetar. Tapi anehnya... sangat presisi.
“Kalau bukan Ibu yang menulis ini, siapa?”
Ibu Sri tidak menjawab. Ia memejamkan mata, pelan, lalu bersandar pada bantal. Napasnya berat. Jari-jarinya yang kurus dan layu menggenggam selimut seperti anak kecil yang kedinginan. Hening kembali mengisi ruangan, dan aku merasa ada sesuatu yang lebih dingin dari AC menyelusup ke balik kulitku.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Di kamar kontrakan yang remang-remang, suara hujan di luar mengalun seperti gumaman yang tak bisa dimengerti. Aku duduk di meja kecil tempat biasa menulis laporan shift, menatap kertas kecil itu untuk kesekian kali.
"Bukan kau yang menyembuhkan aku. Tapi sesuatu yang menunggu untuk keluar dari dalam dirimu."
Kalimat itu terngiang lebih menyerupai peringatan daripada ucapan terima kasih. Kata "sesuatu" membuatku tidak nyaman. Bukan karena aku takut... tapi karena aku tahu, di dalam diriku memang ada sesuatu yang mulai bergerak, perlahan, tak bisa dihentikan.
Aku menyandarkan kepala ke dinding. Cermin kecil di seberang tempat tidur memantulkan bayangan diriku. Mata yang dulu biasa-biasa saja kini tampak sedikit berbeda—terlalu tajam, terlalu tenang. Dan ada masa-masa ketika aku merasa... itu bukan lagi milikku sepenuhnya.
Pagi berikutnya, aku kembali ke rumah sakit. Jadwal jaga tetap berjalan, meski pikiranku belum berhenti memikirkan kejadian malam sebelumnya. Aku memilih shift ruang rawat biasa, berharap jauh dari IGD yang belakangan terlalu banyak menyimpan misteri.
Di ruang 5A, aku menemui pasien bernama Pak Maman—seorang pensiunan guru dengan keluhan nyeri dada. Usianya tujuh puluh, berbicara pelan, dan selalu membawa buku kumpulan puisi Chairil Anwar.
“Kalau boleh tahu, kenapa Bapak selalu bawa buku itu?” tanyaku saat memeriksa nadinya.
“Karena puisi tidak pernah mengkhianati. Tidak seperti manusia.”
Aku tersenyum kecil. “Benar juga.”
Detak nadinya tidak teratur. Aku tahu dari rekam medisnya bahwa ia mengidap aritmia. Tapi saat aku menyentuh pergelangan tangannya, sesuatu muncul lagi—visualisasi samar dalam pikiranku. Gumpalan kecil berwarna gelap bergerak di sekitar katup jantungnya. Bukan hanya aritmia. Ada gumpalan darah, kecil tapi berbahaya.
Aku mengangkat tangan.
“Pak Maman, saya akan rekomendasikan tes tambahan. Ada kemungkinan kecil... sesuatu menghalangi aliran darah ke jantung.”
Wajah Pak Maman menegang. “Jadi saya akan mati?”
“Belum tentu. Tapi lebih baik dicek.”
Hasil tes keluar malam itu. Gumpalan itu memang nyata. Hanya beberapa milimeter lagi bergerak ke arteri utama, dan Pak Maman akan mengalami serangan jantung hebat.
Aku duduk sendirian di ruang arsip, memandangi hasil ekokardiogram-nya.
“Aku tidak hanya melihat gejala... aku melihat apa yang belum terjadi.”
Itu bukan lagi diagnosis. Itu semacam… penglihatan. Dan semakin sering aku ‘melihat’, semakin aku sadar bahwa aku tidak menggunakan ilmu kedokteran seperti biasa. Aku menggunakan sesuatu yang lebih dalam, lebih purba.
Sekitar pukul sembilan malam, aku memutuskan pulang lebih awal. Di lorong belakang rumah sakit, lampu mati sebagian. Biasanya lorong ini dipakai sebagai akses barang, tapi sejak renovasi, menjadi jalan pintas menuju area parkir timur.
Aku melangkah pelan di antara bayangan tembok dan pintu-pintu gudang tertutup. Lantai basah oleh hujan, dan satu lampu gantung berkedip seperti senter sekarat. Saat aku hampir mencapai ujung lorong, aku mendengar langkah kaki lain di belakangku.
“Mas Radit?”
Aku menoleh cepat. Seorang perempuan muda berdiri di ujung lorong. Rambutnya dikuncir kuda, jas praktiknya sedikit kebesaran, dan wajahnya tampak familiar.
“Intan, ya?” tanyaku, mencoba mengingat. “Koas baru dari UIN?”
Dia mengangguk. “Maaf, saya tahu ini aneh. Tapi saya perlu bicara.”
Aku mengangguk pelan, memberi isyarat agar ia bicara.
“Saya melihat Anda di IGD dua hari lalu. Saat Ibu Sri kembali hidup.” Suaranya pelan, tapi matanya penuh tekad. “Dan saya tahu... Anda tidak biasa.”
Aku terdiam. Lorong menjadi lebih sunyi. Intan melangkah maju.
“Saya juga... pernah mengalaminya.”
Kata-kata itu menggetarkan perutku lebih dari yang seharusnya. Ada tekanan tiba-tiba di tenggorokanku, dan rasa dingin menjalari punggungku.
“Kau lihat... apa?”
“Bayangan. Saat aku memegang tangan pasien koma tiga tahun lalu. Dia sekarat, tapi... aku melihat sesuatu dari tubuhnya masuk ke tubuhku. Sejak itu, aku bisa merasakan rasa sakit orang lain. Tapi... aku takut. Jadi aku berhenti.”
Dia berhenti bicara. Matanya berkaca-kaca.
“Aku merasa... apa yang ada dalam diriku... bukan aku.”
Aku menatapnya lekat-lekat. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sendirian.
“Kalau begitu... kenapa sekarang kamu datang padaku?”
Dia menarik napas dalam.
“Karena aku melihat sesuatu dalam mimpiku semalam.”
“Dan itu... apa?”
Dia menjawab dengan suara gemetar.
“Seseorang... atau sesuatu... yang menyerupai dirimu. Tapi matanya... bukan mata manusia.”
"Radit..."Suara Intan terdengar samar, seperti melintasi lapisan-lapisan kaca tebal. Tubuhku yang berbaring di ranjang tampak tenang. Tapi aku, entah siapa versi aku yang sedang berdiri di sini, hanya bisa memandang tanpa mampu menyentuh.Aku mencoba mendekat.Tapi ruangan itu seperti menolakku.Setiap kali aku mengambil langkah, jaraknya tak berubah. Seolah ada jarak tetap antara aku yang berdiri dan tubuhku yang terbaring."Kenapa aku tidak bisa kembali?" tanyaku pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri.Anak kecil itu muncul lagi di sampingku, kali ini duduk di lantai putih, memainkan serpihan kaca kecil yang memantulkan cahaya redup.“Karena dia belum selesai menggunakanmu,” katanya.Aku menoleh cepat. “Siapa?”“Yang memanggil semua ini jadi mungkin.”Kata-kata itu menggantung di udara. Sunyi. Lalu bergema, seperti bayangan dari tempat lain.“Siapa yang memanggil?”Anak kecil itu berhenti bermain, memandangku dengan mata kosong.“Kamu.”Segalanya kembali runtuh.Ruang rumah
Cahaya.Itu hal pertama yang menyambutku saat aku membuka mata. Bukan cahaya matahari, bukan pula lampu ruang rawat yang biasa. Ini lebih seperti semburat putih susu yang melingkupi segalanya. Datar. Tak ada arah. Tak ada bayangan.Aku terbaring di atas ranjang besi, tangan dan kakiku tidak diikat, tapi aku juga tidak bisa bergerak.Rasanya… seperti tubuhku tidak sepenuhnya milikku.“Radit.”Suara itu memanggilku, tenang dan lembut, seperti suara yang sudah lama kukenal tapi tak bisa kuingat.Aku menoleh pelan. Seseorang duduk di sudut ruangan yang kini mulai terlihat. Ia mengenakan pakaian putih sederhana. Matanya menatapku, lekat, tapi tidak menghakimi.“Siapa kamu?” tanyaku.“Nama tidak penting di sini,” jawabnya. “Yang penting adalah kamu akhirnya bangun.”Aku mencoba duduk. Leherku berat. Suaraku serak.“Di mana ini?”Ia tersenyum. “Di antara semua kemungkinan.”Kalimat itu langsung membangkitkan ingatanku akan suara terakhir yang kudengar sebelum semuanya padam.“Kami baru saja
“Apakah semua ini benar-benar pernah terjadi?”Itu pertanyaan pertama yang muncul di kepalaku begitu pintu terbuka.Di baliknya tidak ada cahaya. Tidak pula kegelapan. Ruang itu kosong… atau mungkin terlalu penuh hingga tak mampu diindra.Aku melangkah masuk.Lantai di bawahku tidak menimbulkan suara. Langit-langit di atas tak terlihat. Dinding? Tidak ada.Hanya satu hal yang berdiri di tengah ruangan.Meja kayu kecil.Dan di atasnya—pena tua, tinta, dan kertas kosong.Aku mendekat perlahan. Setiap langkah seperti menarik satu bagian dari diriku yang lama—seperti merobek kulit yang telah mengering. Ingatanku… mulai meleleh. Apa yang pernah kujalani—apakah itu fiksi? Atau aku?Tiba-tiba, suara langkah kaki lain terdengar dari arah belakang.Aku berbalik. Sosok itu mendekat. Wajahnya samar, tapi gerak tubuhnya… familiar.“Intan?” tanyaku ragu.Ia menggeleng.“Aku bukan tokohmu. Aku penutup kisah ini.”“Penutup?”Ia tidak menjawab. Ia hanya menunjuk pena dan kertas itu.“Kau sudah membac
“Hari ini… adalah Selasa,” gumam Intan pelan, seolah mengingatkan dirinya sendiri.Aku tidak menjawab. Aku masih memandangi halte kosong yang tampak menggantung di antara dua dunia. Di kejauhan, kendaraan melintas, tapi tanpa suara. Bahkan jejak ban pun tak tampak di jalan basah. Hanya ilusi. Atau semacamnya.“Sudah berapa lama kita di sini?” tanyaku akhirnya.Ia menghela napas. “Terlalu lama. Atau belum pernah sama sekali.”Aku memalingkan wajah dan menatap papan pengumuman di belakang kami. Hanya ada satu lembar kertas menempel di sana. Kusam, sobek, seolah sudah bertahun-tahun tertempel. Tapi tulisannya baru:“Penghuni Simulasi Terakhir, harap bersiap ke dalam Pemusnahan Narasi.”Aku membacanya berulang kali, merasa perutku berputar.“Kau lihat itu?” tanyaku.Intan menatap papan itu sekilas. “Sudah muncul.”“Maksudmu?
“Lepaskan,” bisikku tanpa menoleh. Tapi genggaman tangan kecil itu semakin erat. Dingin. Terlalu dingin untuk tangan manusia.“Kau tak boleh ke bawah,” ucap suara itu lagi. Pelan, namun seperti menggema di seluruh pori tubuhku.Aku menoleh perlahan.Seorang anak perempuan berdiri di belakangku. Ia mengenakan gaun putih yang kusam, ujungnya sobek-sobek. Wajahnya familiar… tapi entah kenapa, pikiranku menolak mengingat dari mana aku pernah melihatnya. Matanya besar, gelap seperti sumur yang dalam. Ia tidak tersenyum. Tidak berkedip. Hanya menatapku dengan ekspresi seperti... iba.“Kenapa aku tidak boleh ke bawah?” tanyaku.“Karena jika kau turun…” Ia memiringkan kepalanya sedikit. “…kau takkan bisa kembali. Dan apa yang akan kau temukan di bawah, bukan sesuatu yang ingin kau ketahui.”Aku mencoba melepaskan tangannya, tapi cengkeramannya tak bergeser. Bukan sepert
“Radit.”Suara itu menyebut namaku lagi. Tapi kali ini, ia tidak terdengar jauh seperti gema, atau berbisik seperti makhluk dalam mimpi. Suara itu... jelas. Dekat. Seperti seseorang yang berdiri tepat di belakang telingaku.Aku berbalik cepat.Kosong.Tidak ada siapa-siapa di ruangan itu, hanya aku dan bayangan retak dari cermin yang masih meneteskan tinta. Tapi aroma ruangan berubah. Bukan lagi bau besi dan antiseptik seperti rumah sakit.Kini, baunya seperti lem kayu tua. Seperti... bengkel.Lantai berubah. Dinding-dinding yang tadinya abu-abu perlahan berganti menjadi papan-papan kayu gelap yang melengkung, seolah bangunan ini terlalu lama berdiri tanpa direnovasi. Cahaya yang tadi berasal dari langit-langit kini datang dari lentera gantung—berayun, seolah baru saja dilewati seseorang.Dan di tengah ruangan itu, muncul sesuatu yang membuat seluruh napasku berhenti.Meja kayu panjang. Di atasnya, tersusun rapi lebih dari dua puluh cermin—semuanya berbeda bentuk dan ukuran. Ada yang