Home / Romansa / DOKTER SETAN / Aku yang Tidak Lagi Sama

Share

Aku yang Tidak Lagi Sama

Author: Reez
last update Last Updated: 2025-05-27 16:09:15

“Dok, pasien di ruang 3... dia enggak bernapas!”

Aku baru saja mengganti baju jaga ketika suara panik itu menghantam telingaku. Seorang perawat muda dengan wajah pucat nyaris tersandung saat masuk ke ruang staf. Nadanya gemetar, dan tangan yang memegang tablet digitalnya berkeringat.

Aku tak menjawab. Kakiku bergerak lebih dulu dari otakku, seolah ada sesuatu di dalam diriku yang menarikku menuju ruang 3 tanpa perlu berpikir.

Lorong rumah sakit pagi itu masih lengang. Lampu neon di langit-langit berkedip samar, dan aroma antiseptik terasa lebih menyengat dari biasanya. Tapi yang paling mencolok adalah keheningan. Tak ada suara—hanya desing samar seperti dengung listrik di kepala.

Langkahku mempercepat, lalu berhenti di depan ruang 3.

Di dalam, seorang wanita tua terbaring lemas. Selang oksigen terpasang, tapi dadanya tak naik-turun. Monitor detak jantung menunjukkan garis lurus. Wajahnya pucat kebiruan. Seorang dokter residen dan dua perawat sudah mencoba CPR, tapi tidak ada respons.

“Apa sudah diberi adrenalin?” tanyaku cepat.

“Sudah, 1 miligram. Tak ada reaksi,” jawab dokter residen sambil menekan dada pasien dengan ritme yang makin terburu.

Aku menatap tubuh wanita itu. Tak ada detak. Tak ada napas.

Tapi ada sesuatu.

Aku mendekat, perlahan. Mengangkat kedua tanganku, lalu menempatkan telapak tangan kanan di atas kening pasien.

Tidak untuk CPR. Bukan untuk menekan. Hanya menyentuh.

Dan saat itu terjadi, dunia menjadi diam total.

Semua cahaya di ruangan itu meredup. Suara teredam. Dan aku kembali berada di tempat itu—gelap, hening, kosong.

Tapi kali ini, aku tidak sendirian.

Di depanku, samar-samar, muncul sosok anak kecil dengan wajah pucat. Matanya besar, tak berkedip. Ia duduk bersila di udara, seperti melayang di ruang kosong. Tangannya menunjuk ke arahku.

“Dia belum mau pergi. Tapi tubuhnya... hampir menutup jalur pulang.”

Suaranya bukan seperti suara anak-anak biasa. Ia seperti gema yang menggema dari dalam dadaku. Seolah aku yang berbicara, tapi dengan lidah orang lain.

“Apa yang harus kulakukan?” tanyaku—atau berpikir? Aku bahkan tak tahu apakah aku benar-benar mengeluarkan suara.

Anak itu tersenyum.

“Buka gerbangnya. Dengan napasmu.”

Dan seperti itu, semua kembali.

Aku tersentak. Ruangan 3 kembali seperti semula—lampu menyala, mesin berbunyi, perawat menjerit. Tapi dadaku terasa berat, seperti ada batu besar yang mengendap di dalam paru-paruku. Napasku memburu.

“Aku butuh waktu,” kataku pelan.

Lalu, entah kenapa, aku membungkuk. Wajahku mendekat ke wajah wanita tua itu. Dan aku mengembuskan napas, sekali—pelan dan panjang—tepat di atas mulutnya.

Perawat di sebelahku melotot. Dokter residen berhenti menekan dada pasien.

Dan tiba-tiba...

Detak.

Satu garis lurus berubah menjadi dentuman tunggal.

Detak. Detak. Detak.

Mesin monitor kembali hidup. Paru-paru wanita itu mengembang. Dadanya bergerak.

Suara napas pertama seperti ledakan di telingaku. Perawat menjerit pelan, tak percaya. Dokter residen mundur dua langkah, matanya penuh ketakutan.

“A-apa... barusan... kau—”

“Aku enggak tahu,” potongku cepat. “Tapi dia hidup.”

Beberapa menit kemudian, ruangan dipenuhi dengan dokter dan kepala departemen. Aku duduk di sudut, menatap lantai. Tanganku masih gemetar. Bukan karena takut—tapi karena rasa asing yang mengalir dalam tubuhku seperti arus listrik halus.

Seorang perawat senior mendekatiku.

“Kau tadi... menarik napas pasien dengan... napasmu?” tanyanya hati-hati.

“Tidak. Aku hanya—” Aku terdiam. Bahkan aku tak yakin bagaimana menjelaskannya. Rasanya bukan seperti sihir, bukan juga ilmu kedokteran. Tapi nyata. Sangat nyata.

Kepala IGD, Dr. Wira, memanggilku ke kantornya.

“Apa yang sebenarnya terjadi tadi?” tanyanya, menatapku dari balik meja kerjanya yang berantakan.

Aku menunduk. “Saya hanya... menyentuhnya. Lalu merasa seperti... masuk ke tempat gelap. Saya melihat sosok. Anak kecil. Dia bilang tubuh pasien hampir menutup jalur pulang. Lalu saya... mengembuskan napas.”

“Dan dia hidup kembali?” Wira menyipitkan mata.

“Ya.”

Dia terdiam lama, lalu mengangguk. “Kau istirahat dulu hari ini. Jangan cerita ini ke siapa pun. Kalau perlu, anggap ini tidak pernah terjadi.”

Aku mengangguk, lalu berdiri. Tapi di ambang pintu, aku menoleh.

“Pak... kalau ini terjadi lagi, apa yang harus saya lakukan?”

Wira tak menjawab. Ia hanya menatapku lama, lalu berbalik menghadap jendela.

Sore hari, aku kembali ke kamar kontrakan.

Langit mendung. Aroma hujan masih tertinggal di udara. Aku duduk di kasur sambil menatap telapak tanganku.

“Apa kau bagian dari tubuhku sekarang?” bisikku lirih. “Atau kau... sesuatu yang lain?”

Tak ada jawaban.

Tapi di ujung kuku jariku—aku melihat satu garis halus berwarna keperakan. Nyaris tak terlihat jika tak diperhatikan.

Aku memejamkan mata, mencoba memanggil kembali sosok anak kecil yang tadi kulihat. Tapi yang muncul hanya gelap biasa. Tidak ada yang spesial.

Mungkin ini hanya efek trauma. Atau... mungkin tidak.

Saat malam mulai turun, aku mendapat pesan dari rumah sakit.

"Mas Raditya, pasien ibu Sri tadi siang tiba-tiba mencari Anda. Dia ingin bicara. Sekarang. Katanya... dia mimpi sesuatu.”

Aku menatap layar ponsel cukup lama sebelum akhirnya bangkit dan mengambil jaket.

Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya.

Langkahku pelan tapi pasti, meninggalkan kamar kontrakan menuju tempat yang mulai terasa asing: rumah sakit.

Tapi saat aku sampai di IGD, perawat di depan ruangan menghampiriku dengan ekspresi bingung.

“Maaf, Mas Radit... Ibu Sri, pasien yang tadi hidup kembali... dia barusan—”

Dia terhenti. Lalu menunduk.

“Dia sempat pingsan lagi, nyaris meninggal... tapi sebelumnya dia menulis sesuatu. Untuk Anda.”

Aku terdiam.

Perawat itu menyerahkan selembar kertas kecil. Kertas yang terasa panas di tanganku, meski jari-jari ini sedingin batu.

Aku membuka lipatan kertas itu perlahan.

Di dalamnya, hanya ada satu kalimat, ditulis dengan tangan yang gemetar:

"Bukan kau yang menyembuhkan aku. Tapi sesuatu yang menunggu untuk keluar dari dalam dirimu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOKTER SETAN   Kulit yang Bergerak

    “Radit… kulitmu. Itu… bergerak.”Suara Intan terdengar pelan, tapi nadanya jelas menahan ketakutan. Aku menoleh, matanya menatap lenganku dengan ekspresi tak biasa. Tangannya mengarah ke bagian dalam lengan kiriku yang terangkat separuh karena baru saja kutarik dari balik selimut.Aku menunduk. Yang kulihat membuatku membeku.Ada bekas lebam samar berbentuk simbol yang nyaris identik dengan yang digambar Ragil—tiga mata tersusun vertikal, masing-masing dengan garis pusaran tipis di tengahnya. Namun yang membuatku menggigil… simbol itu bergerak. Perlahan. Seperti tinta basah yang ditarik di balik kulit.Aku mencoba menyentuhnya. Kulitku panas. Bukan demam. Bukan luka. Tapi seperti ada sesuatu yang hidup di bawah permukaan daging, menggeliat dengan ritme yang tidak manusiawi.“Aku rasa ini muncul tadi pagi,” gumamku. “Tapi aku baru benar-benar menyadarinya sekarang.”Intan mendekat, meraih lengan itu. Jemarinya menyentuh dengan ragu. “Ini bukan hanya lebam. Ini… seperti diukir dari dala

  • DOKTER SETAN   Angin Malam

    "Aku rasa dia menunjuk kita," bisik Intan tanpa menoleh.Aku menahan napas. Suara angin malam menyusup di antara dedaunan, memecah keheningan di depan rumah Dr. Nurdin. Sosok itu masih berdiri di ujung jalan tanah, tidak bergeming, seolah menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri. Tiga pasang mata menyala redup—bukan terang, bukan pula pantulan. Cahaya mereka seperti hidup dari dalam.Aku tak menjawab. Kakiku berat, seolah tanah menahan langkahku sendiri. Tapi aku tahu kami tidak bisa berdiam lebih lama."Ayo," kataku pelan. "Kita dekati."Kami berjalan perlahan, menyusuri jalan tanah sempit dengan pepohonan di sisi kanan dan pagar bambu reyot di sisi kiri. Setiap langkah terasa seperti menyusup ke sesuatu yang tak seharusnya disentuh. Intan menggenggam lenganku, dingin, namun menggigil bukan karena udara.Saat kami sudah separuh jalan, sosok itu masih diam. Tak ada tanda gerak, bahkan tak tampak napas. Tapi semakin dekat kami melangkah, semakin asing dunia di sekitar kami terasa—udar

  • DOKTER SETAN   Sosok Misterius

    “Kau lihat juga, kan?” bisik Intan, nyaris tanpa suara.Aku tak menjawab. Tubuhku sudah setengah beku di ambang pintu kamar Ragil, menatap ke ujung lorong yang gelap. Sosok itu masih berdiri di sana—tinggi, kurus, tak bergerak. Bayangannya menjalar panjang ke lantai, menyatu dengan dinding seperti kabut kental. Tiga pasang mata bercahaya samar, tapi tak menyilaukan. Mereka diam, menunggu. Menilai.Langkah kecil terdengar dari arah dalam kamar. Ragil berdiri, merapat ke belakangku. Nafasnya tercekat.“Itu... yang ada di mimpiku,” katanya. “Tapi dia tak pernah muncul di dunia nyata.”Sosok di ujung lorong tak menunjukkan niat mendekat, tapi atmosfer sekitarnya berubah drastis. Suhu ruangan turun. Kulit lenganku merinding, bukan karena takut—melainkan karena tubuh ini tahu, secara naluriah, bahwa yang berdiri di sana bukan manusia. Dan apa pun bentuknya, ia tidak tunduk pada hukum dunia ini.“Masuk,” bisikku pada Intan dan Ragil. “Kunci pintunya.”Kami bertiga mundur pelan, lalu Intan me

  • DOKTER SETAN   Dia yang Ada di Dalam Diriku

    “Apa yang kau lihat... bukan dari kaca. Tapi dari dalam dirimu sendiri.”Suara itu menghantam kesadaranku sebelum aku bisa benar-benar memahami dari mana datangnya. Aku terduduk, napas terengah, tubuh basah oleh keringat meski malam tak begitu panas. Lilin yang tadi menyala di sudut meja telah padam, meninggalkan bekas lelehan di atas kertas-kertas yang berserakan.Cermin di depanku tidak lagi menunjukkan apa-apa. Hanya pantulan pucat wajahku sendiri yang masih terguncang.Aku mencoba berdiri. Lututku lemas. Seluruh tubuh seolah tertarik oleh sesuatu yang berat dari dalam perut, seperti beban yang tak bisa dijelaskan. Langkahku pelan menuju jendela, membuka sedikit tirai untuk membiarkan cahaya dari lampu jalan masuk.Jalanan kosong. Pohon trembesi di seberang kontrakan bergoyang ringan. Tak ada yang mencurigakan. Tapi bagian belakang leherku masih merinding, seolah ada mata tak kasatmata yang belum berhenti memperhatikanku.Aku memutar keran wastafel, mencipratkan air ke wajah. Dingi

  • DOKTER SETAN   Ketika Harus Memilih

    “Kau sudah melihatku, Radit. Sekarang kau harus memilih.”Suaranya tak terdengar melalui udara. Tapi muncul dari dalam dada, bergema seperti bisikan dari ruang sempit. Dalam gelap, mata itu tetap menatapku tanpa berkedip. Tak ada wajah, tak ada tubuh—hanya sepasang mata yang diam, namun membuat kulit leherku menegang.Aku bergeming. Napasku terasa pendek. Jari-jari kakiku mencengkeram lantai dingin, tapi rasanya aku tak menyentuh apa pun. Dunia seperti menguap di sekitar cermin. Hanya suara denyut jantung yang terdengar jelas di telingaku.“Pilih apa?” tanyaku pelan. Bahkan suaraku sendiri terasa asing.Mata itu bergerak sedikit, lalu menyipit seperti sedang tersenyum—atau menghina. Sinar samar dari luar jendela menyingkap bayangan wajah samar, tapi setiap detailnya kabur, seperti lukisan minyak yang setengah terhapus.“Pilih siapa yang akan tetap tinggal... dan siapa yang akan menghilang.”Aku mencoba mundur, tapi kakiku seperti menancap di lantai. Cermin itu memantulkan lebih dari b

  • DOKTER SETAN   Mata Misterius

    “Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi aku tidak sedang mengada-ada.”Aku menatap Intan dalam diam. Kata-katanya barusan masih bergema dalam kepala—bahwa dalam mimpinya, dia melihat sosok menyerupai diriku… dengan mata yang bukan milik manusia.Lorong tempat kami berdiri terasa makin sunyi. Bahkan suara hujan di luar terdengar seolah berasal dari dunia lain.“Apa maksudmu ‘bukan mata manusia’?” tanyaku pelan.“Mata itu... hitam, tapi dalamnya ada pusaran. Seperti lubang tak berujung,” katanya, suaranya nyaris bergetar. “Dan dia bukan hanya melihatku. Dia masuk ke pikiranku. Seolah sedang mencari... sesuatu.”Aku menyentuh pelipisku perlahan. Kepala ini memang terasa sedikit berat sejak kejadian dengan pasien pertama. Tapi aku tak pernah memikirkan bahwa seseorang, bahkan dalam mimpi, bisa melihat ‘sesuatu’ yang menyamar jadi aku.Intan melangkah lebih dekat. Bayangan tubuhnya menempel di dinding yang lembap. Bau besi tua dari pipa bocor menyatu dengan udara dingin malam.“Aku pikir... mu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status