”Keluarganya menutup rapat berita itu karena malu. Dan kau, Raline … hanya boneka ciptaanku. Aku yang memberimu wajahnya, identitasnya, bahkan caramu tertawa. Semua agar kau bisa masuk ke hidup Shen, lalu merebutnya dari Nadine.”Shen terenyak. Tubuhnya gemetar, campuran marah, sedih, dan jijik mendapati kenyataan pahit tersebut. Jadi, wanita yang selama ini ia selamatkan, ia cintai dengan setengah hati, bukanlah Alexia yang dikenalnya dulu. Wanita itu hanyalah bayangan dari masa lalu, bentukan rekayasa dendam seorang ‘teman lama'.“Tidak! Tidak! Aku Alexia! Shen mencintaiku!” teriak Raline histeris, meronta dari genggaman Adrian.Adrian mendorongnya hingga jatuh tersungkur ke lantai gudang. “Kau hanya pion. Tanpa aku, kau bukan siapa-siapa. Ingat itu!”Shen menggertakkan gigi, tinjunya mengepal kuat. “Adrian, kau sudah melangkah terlalu jauh,” desis Shen geram.Dalam hatinya, ia tahu, permainan ini bukan lagi sekadar rebutan cinta. Ini perang dendam yang berakar dari masa lalu, dan i
Pintu kamar terbanting keras menghantam dinding. Shen sontak menoleh, matanya melebar kaget. Nadine yang semula terbaring lemah mencoba mengangkat kepala, wajahnya pucat pasi.“Alexia?!” suara Shen tercekat, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Alexia berdiri di ambang pintu, tubuhnya basah kuyup, rambut menempel di wajah, dan pisau di tangannya berkilat terkena pantulan cahaya petir. Senyum miringnya membuat suasana kamar langsung membeku.“Jangan dekat-dekat, Shen!” suaranya parau, bergetar antara tangis dan tawa. “Malam ini, aku yang akan menentukan siapa yang pantas hidup di sisimu.”Shen berdiri cepat, tubuhnya masih setengah telanjang, berusaha melindungi Nadine yang ketakutan. “Alexia, letakkan pisau itu! Kau sudah gila! Aku—aku bisa jelaskan semuanya.”Namun Alexia tertawa, tawanya terdengar getir, nyaring, seperti orang yang kehilangan kendali. “Jelaskan? Jelaskan apa, hah?! Aku melihatnya sendiri! Kau memeluk dia! Kau mencium dia! Semua alasanmu tak berarti lagi!”Nadine
Mobil Alexia berhenti mendadak di depan apartemen Shen. Hujan masih mengguyur deras, menampar kaca depan dengan suara berisik. Nafasnya terengah, ia buru-buru turun, tumit sepatunya memercikkan air genangan di halaman parkir.Tangannya bergetar membuka kunci pintu apartemen dengan kode yang sudah ia hafal. Begitu pintu terbuka—Gelap.Lampu mati, hanya cahaya samar dari jalanan yang menembus tirai tipis. Ruangan itu terasa dingin dan kosong. Meja rapi, sofa tak berpenghuni, dan aroma khas Shen sama sekali tak terasa.“Tidak mungkin …,” bisik Alexia, suaranya bergetar menahan amarah.Ia melangkah cepat, membuka satu per satu pintu kamar, menyalakan ponselnya sebagai penerang. Kosong. Tempat tidur tertata, tidak ada tanda Shen pernah berada di sana malam ini.Alexia menghela napas keras, kepalanya mendongak, rahangnya mengeras. “Jadi benar … dia sama perempuan itu.”Tanpa pikir panjang, ia berbalik. Tumitnya mengentak keras lantai apartemen. Pintu ditutup kasar di belakangnya hingga men
Malam itu, hujan turun deras, membasahi jalanan sepi di depan rumah Nadine. Lampu teras berkelip beberapa kali, seolah-olah hendak padam. Nadine baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, dan tubuhnya hanya diselimuti handuk tipis. Ia berjalan santai menuju dapur, hendak menuang air hangat.Tiba-tiba—TOK! TOK! TOK!Ketukan keras terdengar dari pintu depan. Nadine mengerutkan dahi, jantungnya berdegup tak karuan. Dengan langkah pelan, ia mendekati pintu, menempelkan telinga.“Siapa …?” suaranya gemetar.Nadine mempertajam pendengaran. Tak ada jawaban. Hanya suara hujan yang mengguyur deras.Nadine dengan hati-hati membuka pintu sedikit—SRET!Sebuah bayangan tinggi menyelinap cepat. Tangannya menutup mulut Nadine rapat-rapat.“Mmmhh!” Nadine menjerit tertahan, matanya melebar. Ia melihat jelas wajah itu dalam remang lampu—Shen.“Diamlah!” desis Shen, suaranya serak penuh obsesi. “Kau membuatku tak punya pilihan, Nadine.”Ia mendorong tubuh Nadine yang berbalut bathrobe
Shen masih berlutut di samping Nadine, napasnya tersengal. Tangannya gemetar memeluk tubuh rapuh itu. Namun tiba-tiba—DORRR!Peluru menyalak, menghantam lantai beton hanya beberapa senti dari kaki Shen. Debu beterbangan.Anak buah Alfandi yang tersisa langsung mengokang senjata. Moncong senapan diarahkan ke dada Shen. Nadine terlonjak lemah, suaranya pecah, “Jangan …! Shen … lari …!”Namun Shen tidak bergerak sedikit pun. Ia justru menatap tajam ke arah Alfandi, wajahnya keras, rahang mengeras.“Aku tidak akan pergi tanpa dia.”Alfandi menyeringai puas, menyalakan cerutunya sekali lagi. Asap pekat mengepul di udara. “Begitulah yang kutunggu. Kau sudah masuk ke dalam perangkapku, Shen. Malam ini, bukan hanya dia—kau pun akan berakhir di sini.”Shen berdiri perlahan, tubuhnya bergetar menahan amarah. “Kalau kau ingin aku, lepaskan Nadine! Biarkan aku yang kau hancurkan.”Alfandi mendekat, wajahnya hanya beberapa langkah dari Shen. Matanya tajam menusuk. “Kau pikir aku ingin membunuhmu?
Beberapa menit kemudian, Shen tiba di lorong belakang klub. Napasnya memburu, pandangan mata liar menyapu sekitar. Ia menemukan botol pecah berserakan, bercak darah di lantai, dan ponsel informan yang tergeletak dengan layar retak.“Tidak mungkin …,” desis Shen, berlari ke ujung lorong. Namun yang tersisa hanyalah bau knalpot yang masih hangat. Mobil misterius itu sudah lenyap.Shen mengepalkan tangan, memukul dinding bata dengan keras hingga kulit tangannya memerah. “Nadine!” teriaknya penuh frustrasi.Di telinganya, suara Alexia masih terngiang—“Shen, tolong aku! Perutku kejang.” Kata-kata itu kini terasa seperti jerat licik yang menjebaknya, membuat ia telat hanya beberapa menit, cukup bagi Nadine diseret pergi.Shen merogoh ponsel, menekan nomor cepat seseorang.“Aktifkan jejak CCTV sekitar klub Malika! Aku butuh arah ke mana mobil van hitam itu pergi! Sekarang!”*-*Sementara itu, di dalam van yang melaju di jalan tol, Nadine setengah sadar. Kelopak matanya berat, tetapi samar ia