Mag-log inBeberapa Hari Kemudian
Pagi itu, langit cerah untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu hujan. Cahaya matahari menembus jendela paviliun, membingkai siluet Nadine yang tengah menimang Arsa di kursi goyang. Rayhan berdiri di ambang pintu. Tanpa sadar ia tersenyum melihat pemandangan itu—sebuah ketenangan yang selama ini terasa asing. Nadine tidak menyadari kehadirannya sampai pria itu berdehem pelan. "Kau tahu,” ujar Rayhan, menyandarkan tubuh di kusen pintu, “aku pernah membayangkan momen seperti ini, saat bersama istriku.” Nadine terdiam, jadi canggung dan tak tahu harus merespon apa. Matanya hanya tertuju pada Arsa yang telah lelap dalam pelukan. "Aku tidurkan Arsa dulu," ucap Nadine sambil beranjak menuju ranjang bayi. Setelah menaruh si mungil, ia balik badan. Rayhan masih berdiri mematung di ambang pintu. Pria tampan ini tersenyum samar dan itu membuat Nadine jadi semakin salah tingkah. Bagaimanapun, dirinya wanita dewasa dan sudah pernah mengarungi hidup berumah tangga. Ia merasa interaksi Rayhan terhadap dirinya, telah lebih dari seorang sahabat, seperti pengakuan pria itu. Nadine tidak mau dijadikan pelampiasan rasa kesepian Rayhan. Apalagi pria itu masih terbelenggu kisah masa lalu dengan mantan istri. “Maaf,” kata Nadine akhirnya. “Kalau kehadiranku membuatmu merasa bersalah.” Rayhan mendekat, duduk di tepi tempat tidur. “Bukan bersalah. Hanya ... aneh. Dulu aku takut membayangkan rumah ini sepi. Namun ternyata, aku lebih takut saat rumah ini mulai terasa hangat kembali.” Nadine menoleh. Ada sesuatu di mata Rayhan yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat. “Aku tidak ingin menggantikan siapa pun,” bisik Nadine. “Aku hanya ingin berada di sini. Untuk Arsa sampai ...," Ucapan Nadine belum selesai, saat Rayhan mendaratkan kecupan lembut pada bibirnya. Jantung Nadine bagai mau terlepas, mendapat serangan mendadak barusan. Kedua pipi merona merah seketika. Rayhan tersenyum dan sebelum berlalu berucap, “Sudah saatnya kita berdua belajar mencintai sebagai pasangan." --- Malam Hari Mereka makan malam di dapur terbuka paviliun, dengan cahaya lampu redup dan suara halus musik klasik dari MP3 player. Nadine tertawa saat Rayhan dengan canggung mencoba membuat mie instan. “Seorang CEO rumah sakit, tapi tidak bisa memasak bahan instan?” goda Nadine. "Hey, aku bisa menyelamatkan hidup bayi, bukan merebus mi instan,” sahut Rayhan sambil menyerahkannya ke Nadine yang tertawa geli. Malam itu terasa ringan. Seperti luka mereka diberi izin untuk bernapas sejenak. Tak ada tangis, tak ada kenangan pahit—hanya dua hati yang mulai saling membuka. Namun, Nadine masih jaga jarak karena tak ingin hubungan asmara dalam bayang-bayang mantan istri Rayhan. --- Beberapa Minggu Kemudian Hubungan mereka semakin erat. Rayhan mulai mengantar dan menjemput Nadine ke sesi konseling. Nadine juga sering membawakan makanan kecil ke ruang kerja Rayhan. Namun, tidak semua berjalan mulus. Suatu hari, Nadine menemukan selembar foto lama di laci kerja Rayhan—foto Rayhan bersama teman-temannya, termasuk almarhumah istrinya dan juga Raline. Di balik foto itu tertulis: Untuk Rayhan, masih ingat moment ini? Jangan takut mencintai lagi setelah istrimu pergi. With love, Raline. Nadine terdiam lama. Ia tahu, dalam hatinya sedang tumbuh benih cinta. Dia pun juga tahu bahwa kenangan tentang perempuan itu masih hidup dalam hati Rayhan. Namun, tulisan dari Raline menyiratkan sesuatu. Ada hubungan apa antara Rayhan dengan selingkuhan suaminya itu? Tanya Nadine dalam hati. --- Sore Itu Di bawah pohon flamboyan di taman rumah sakit, Rayhan datang menghampiri Nadine yang duduk sendiri. Nadine mengembalikan foto itu tanpa berkata apa-apa. "Dia akan selalu ada dalam hidupku,” ucap Rayhan tenang. “Tapi bukan berarti aku tidak punya ruang untuk cinta yang baru.” Nadine menatapnya, menunggu. "Dan kau, Nadine... kau adalah ruang itu.” Rayhan meraih tangan Nadine dan disingkirkan secara halus oleh Nadine. "Aku tahu soal itu. Tolong jelaskan maksud dari kata-kata yang tertulis itu? Kayaknya istimewa banget. Perlu kamu tahu, Raline itu sepupu aku, yang sekaligus sebagai wanita ketiga dalam rumah tangga kami." Rayhan terdiam beberapa saat untuk mencerna penjelasan dari wanita di sebelahnya. Kemudian ia tersenyum tipis lalu berkata, "Raline itu soulmate mendiang istriku. Memang beberapa bulan ini sedang mendekatiku. Aku telah menolaknya." "Kenapa pula foto itu ada dalam laci kerja kamu?" "Aku dapat surat dari Raline. Suratnya sudah aku robek. Foto itu, sengaja aku simpan untuk Arsa." "Ya, sudah kalo gitu. Kirain kamu ada hubungan khusus dengan Raline." Rayhan tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Nadine. "Mana ada? Aku sudah tahu gimana gaya hidup Raline. Dulu aku berteman dengan dia, demi menghargai persahabatan mereka." "Aku hanya inginkan kamu, Nadine. Kapan kita bisa menikah?" "Kita pikirkan sambil jalan, ya," balas Nadine. Wanita ini secara diam-diam akan mengamati perkembangan dari gerakan licik Raline. Dia berpikir, wanita culas itu selalu punya cara buat mencari uang dari para pria tajir. Arvan mau di kemanain? Nadine hanya bisa geleng-geleng kepala. --- Beberapa Bulan Kemudian Arsa tumbuh sehat. Tawa bayi itu memenuhi setiap sudut paviliun. Nadine sudah kembali mengajar paruh waktu di sekolah anak-anak. Rayhan, perlahan, membuka kembali dirinya terhadap dunia. Suatu sore, Nadine kembali dari mengajar, mendapati ruangan tengah dipenuhi kelopak bunga matahari. Di meja kecil, secarik kertas dengan tulisan tangan Rayhan. "Untuk Nadine, yang membawa matahari di tengah hujan hidupku. Jika kau bersedia, tetaplah di sini. Bukan hanya sebagai ibu susu. Tapi sebagai ibu—dan cinta—untuk kami berdua." Nadine menatap Arsa yang tertidur di buaian, lalu tersenyum. Air matanya mengalir. Bukan karena kehilangan. Namun pada akhirnya, ia menemukan rumah. Dalam euforia hati oleh perilaku manis Rayhan, tanpa disadari oleh Nadine, telah ada seorang baby sitter berdiri di ambang pintu. Saat Nadine memang menuju depan dengan maksud menuju beranda untuk menikmati senja. "Oh! Sejak kapan di sini?" tanya Nadine dengan ekspresi kaget. "Maaf, Nyonya Nadine. Dari tadi saya panggil-panggil gak ada sahutan," jawab baby sitter. "Mbak tadi belum jadi pulang?" "Saya sudah sampe pos jaga. Dikasih tahu sekuriti, ada yang cari Tuan Rayhan. Barangkali Nyonya kenal." "Cowok apa cewek?" "Cewek, Nyonya," balas baby sitter dengan tak enak hati. Ia tahu betul, saat ini Rayhan sedang menjalani hubungan serius dengan Nadine. "Tapi, maaf, Nyonya. Kayak cewek kaga bener. Ini tadi kalo gak dihadang sekuriti, sudah mau nerobos kemari." Seketika kening Nadine berkerut. "Dia ada sebut nama?" "Enggak. Cuma bilang kalo dia datang mau kasih surprise buat Tuan," jawab baby sitter. "Lebih baik, bilang Tuan gak ada saja, ya? Kebetulan juga Tuan sedang keluar rapat dengan klien." "Tadi sekuriti sempat bilang soal saya sama dia?" "Kayaknya sih, iya. Soalnya cewek itu bilang ke saya, suruh panggil Nyonya." "Siapa, sih?" tanya Nadine yang gegas melihat rekaman CCTV dari layar ponsel. Saat tahu penampakan wanita itu, Nadine terkejut bukan main. "Ya, sudah. Tolong bilang ke dia, saya sedang keluar dengan Arsa. Tuan Rayhan sedang rapat." "Baik, Nyonya. Saya pamit pulang juga." "Ya, terima kasih, ya. Hati-hati di jalan." "Sama-sama, Nyonya."“Mereka datang lebih cepat. Kita percepat rencana!”teriak Alma.Baik Nadine maupun Caleste terkejut. Nadine menggenggam lengan Celeste, sambil menggerutu,"Bagaimana bisa mereka dapat informasi secepat itu?"Celeste tersenyum penuh arti, lalu mengelus punggung kekasihnya. Ia berkata, "Yang penting kita bisa keluar dari sini."*-*Helikopter itu masih jauh, tetapi suaranya sudah cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Alma langsung menutup pintu gudang dan menyalakan EMP portabel kecil, cukup untuk mengacaukan sinyal drone atau tracker dalam radius setengah kilometer.“Brandon pakai kontraktor swasta sekarang,” geram Alma sambil mengecek magasin senapinya. “Bukan polisi. Lebih berbahaya.”Celeste menarik Nadine ke sudut ruang kontrol. “Kita nggak tunggu lagi. Hack dimulai sekarang juga.”Nadine sudah duduk di depan laptop kedua, jari-jarinya menari di keyboard. “IP server utama Hongkong ketemu. Aku masuk lewat VPN ganda. Alma, kirim payload ke Jakarta sekarang.”Alma mengangguk, menek
Nadine mulai bergerak, pinggulnya bergoyang maju-mundur pelan dulu, seperti menikmati setiap gesekan. Matanya tak lepas dari mata Celeste, penuh cinta, dan gairah.Celeste mengangkat pinggulnya menyambut, tangannya meremas bokong Nadine, membantu ritme yang mulai mempercepat.Suara kasur lipat berderit pelan, bercampur suara basah kecil dari tempat mereka bersatu. Napas mereka kembali berat, keringat baru mulai menetes dari pelipis.Nadine mencondongkan tubuh, payudaranya menempel di dada Celeste, putingnya bergesekan dengan kulit yang panas. Ia mencium bibir Celeste dalam-dalam, lidah mereka saling mengejar, saling menjilat sisa rasa satu sama lain.“Aku mau kamu keluar di dalam lagi,” bisik Nadine di sela ciuman. Suaranya terputus-putus karena gerakan pinggulnya yang semakin cepat.Celeste hanya bisa mengangguk, matanya setengah terpejam. Pinggulnya mulai menghentak lebih keras, mengejar klimaks yang sudah dekat.Beberapa detik lagi .… Nadine menegang lebih dulu, tubuhnya kejang,
Pintu triplek ditutup rapat. Lampu LED kecil di sudut ruangan hanya menyala separuh. Cahaya kuning pucat jatuh miring di kulit mereka. Hal itu membuat bayangan payudara Nadine terlihat lebih penuh, lebih berat dari biasanya."Sakit banget, Celes," rintih Nadine sambil meringis."Sabar, Sayang," balas Celeste.Ilmuwan tampan itu berlutut di depan Nadine. Deru napasnya sudah panas di kulit leher Nadine sebelum bibirnya menyentuh. Ia mulai dari bawah telinga, ciuman kecil yang basah. Lidahnya menelusuri garis rahang, turun ke lekuk leher yang selalu membuat Nadine menggigil."Aah ... Gak nyangka, kamu semakin mahir," ucap lirih Nadine."Dari kamu aku belajar," balas Celeste.Jaket kulit Nadine sudah terlepas, kemeja flanel terbuka kancing demi kancing hingga terlihat bra olahraga hitam yang ketat. Bagian depannya basah dua lingkaran besar.Cairan putih kental merembes perlahan, menetes satu-satu ke perutnya yang rata. Celeste menatapnya sebentar, mata gelap, napas berat.“Cantik banget k
“Kabar buruk,” katanya. “Ada tiga sinyal masuk radar portabel. Mereka bukan cuma tim ini.”Celeste menghela napas pendek. “Brandon all-in.”Nadine menatap wajah Celeste, kegentaran bercampur tekad.“Celes, kalau keadaan makin buruk—”“Kita bisa lolos,” potong Celeste cepat.Ia menatap Nadine dengan pandangan teduh. Kali ini tak sekadar protektif, tetapi intim dan penuh makna.“Kalau harus jatuh, kita jatuh bareng. Tapi bukan hari ini.”Pintu baja terbuka. Hujan malam menyambut mereka, dingin dan gelap. Di kejauhan, siluet kendaraan lain sudah menunggu di jalan akses lama.Celeste menyipitkan mata. “Kontak jam dua belas,” desisnya.Lampu kendaraan di ujung jalan akses utama, tiba-tiba menyala terang. Sinarnya menyorot langsung tubuh mereka. Dari balik semak di sisi kanan terowongan keluar, tiga siluet muncul nyaris bersamaan. Mereka bergerak terbuka dan cepat, tak bisa dihindari tanpa perlawanan.Alma langsung menarik pistol dari balik jaket.“TIARAP!" teriaknya sambil meloncat ke sis
Celeste menarik Nadine lebih dekat. Dalam situasi genting itu, jarak mereka terasa lebih intim dari sebelumnya. Bukan romantis yang manis, tetapi romantis yang dibumbui ketakutan kehilangan.“Kalau keadaan buruk,” bisik Celeste di telinga Nadine, “kau lari lewat lorong belakang. Aku dan Alma nutup.”Nadine menggeleng keras. “Sudah janji. Aku nggak ninggalin kamu.”Tatapan Celeste mengeras, tetapi hangat. “Keras kepala.”“Anda jatuh cinta pada cewek keras kepala, ingat?” balas Nadine setengah berani.Seketika langkah kaki terdengar mendekat dari luar pagar. Bukan satu atau dua, tetapi empat. Kemudian ada suara gesekan logam, seperti seseorang sedang memotong sesuatu.“Shit, mereka masuk lewat sisi utara,” laporan salah satu polisi akhirnya terdengar tersendat lewat radio cadangan.Namun itu sudah terlambat. Lampu ruang tamu tiba-tiba mati. Safe house tenggelam dalam gelap.Alma spontan menarik pistol dari tas pinggang. “Celes, mata barat.”Celeste mendorong Nadine ke balik sofa besar.
Beberapa menit kemudianPolisi mulai mengamankan perimeter. Garis polisi membentang di pagar yang hangus. Lampu strobo memantul di jendela safe house.Alma berdiri dekat pintu, mengusap wajah lelah. “Celes, mereka percaya sementara. Tapi berita ini nggak bakal berhenti di sini.”“Aku tahu,” jawab Celeste. “Bernard hanya pion. Orang yang benar-benar memesan kontrak Nadine masih bebas.”Nadine meneguk napas. “Yaros bilang dia hampir mengungkap sesuatu tentang kontrak itu, sebelum teleponnya terputus.”Rahang Celeste mengeras. “Itu yang menggangguku. Yaros tahu lebih banyak dari yang dia katakan.”“Dia mau melindungiku juga,” Nadine membela lirih.“Aku tahu,” sahut Celeste datar. “Itulah sebabnya aku tidak menyentuhnya.”Ada jeda canggung. Perasaan yang saling bertabrakan mengambang di udara.*-*Tiba-tiba radio polisi berderak keras.“Unit dua, kami kehilangan sinyal tahanan sementara di ambulans. Ada dugaan intervensi pihak ketiga.”Semua kepala menoleh.“Apa maksudnya ‘kehilangan’?” t







