LOGINHujan mengguyur kota sejak sore. Di atas rooftop rumah sakit, seorang wanita berdiri mematung di tepi pembatas. Matanya menatap kosong ke arah kota yang kelam. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar menahan dingin dan kelelahan. Nadine bahkan tidak sadar saat seseorang menarik tubuhnya menjauh dari tepian.
“Jangan di sini kalau ingin mati!” teriak seorang pria semakin mengagetkan Nadine. Wanita berambut ikal panjang itu mendongak perlahan. Di hadapannya berdiri pria tinggi dengan rahang kokoh, tubuhnya dibalut mantel gelap yang sudah setengah basah. Wajah tampannya tampak berkarisma. “Aku cuma .…” Nadine tercekat. Tenggorokannya terasa perih. Suaranya nyaris tidak terdengar. “Kalau mati ingin sendiri, lakukan di tempat yang tidak membuat orang lain repot,” katanya lagi. “Aku baru saja mengantar anakku ke NICU. Aku tidak mau besok masuk berita karena ada wanita bodoh yang mati bunuh diri di rumah sakit ini.” Nadine menggigit bibir, malu sekaligus terluka oleh kata-kata pria itu. Ia ingin menjawab, tetapi tangis lebih dulu pecah dari matanya. Tangis yang selama berbulan-bulan dia pendam sendiri. Melihat itu, pria itu menghela napas. “Sudah, masuk! Basah semua bajumu.” Dia melepas mantelnya dan meletakkannya di bahu Nadine. Wanita berpiyama rumah sakit itu memeluk kain hangat itu erat-erat, seperti anak kecil mencari kehangatan. Belum sempat Nadine mengucapkan terima kasih, seorang pria berbaju hitam muncul dari pintu rooftop. “Dokter meminta tanda tangan Anda, Tuan Rayhan. Ini soal bayi Anda.” Rayhan mengangguk singkat, dan berbalik meninggalkan Nadine tanpa sepatah kata pun. --- Dorongan rasa ingin tahu membuat Nadine mengikuti Rayhan dari jauh. Ia berhenti di balik dinding lorong, menguping percakapan Rayhan dengan dokter. "Bayi Anda mengalami gangguan pernapasan. Selain itu, dia alergi susu sapi,” ujar dokter. Rayhan menahan napas. “Lalu solusinya?” “Kami menyarankan mencari ibu susu, Tuan. ASI adalah yang terbaik bagi bayi dengan kondisi ini.” Rayhan mendengus. “Ibunya sudah pergi. Jadi sekarang semua ini urusan saya?” Dokter hanya bisa menunduk. Saat Nadine mendengar itu, hatinya tercekat. Dia tahu rasa ditinggalkan. Dia tahu rasa kehilangan. Sekarang di tempat yang sama ada seorang bayi yang menderita karena tidak ada ibu yang memberinya susu. Tanpa berpikir panjang, Nadine keluar dari balik dinding. “Aku bisa jadi ibu susunya.” Rayhan menoleh dengan ekspresi tidak percaya. “Kau? Yang tadi hampir lompat dari rooftop?” Nadine menegakkan tubuh. “Aku sehat. Aku baru kehilangan anakku tiga minggu lalu. ASI-ku masih ada. Aku bisa bantu anakmu.” Dokter tampak mempertimbangkan. Rayhan hanya menatap Nadine seperti sedang mengukur apakah wanita ini bisa dipercaya. "Kau bisa berhenti besok. Bisa gila. Bisa kabur,” katanya datar. “Aku tidak akan kabur,” jawab Nadine tegas. --- Tak lama, Nadine dibawa ke NICU. Dia duduk di kursi menyusui, mengenakan pakaian steril. Seorang suster menggendong keluar bayi mungil yang tubuhnya penuh kabel dan alat bantu napas. Nadine menahan napas saat memeluk bayi itu. Si mungil yang tak tahu apa-apa, yang hanya ingin hidup. Ia menyusui dengan perlahan, dan bayi itu tampak nyaman. Tidak menolak. Ia hanya mengisap dengan lahap. Bibirnya tersenyum. Air mata Nadine jatuh tanpa bisa dicegah. Untuk pertama kali sejak kematian putranya, ia merasa berguna. Rayhan memperhatikan dari balik kaca. Untuk pertama kali, ekspresi dinginnya sedikit mencair. --- Saat kembali ke bangsal, seorang suster mendatangi Nadine dengan wajah cemas. “Nona Nadine, tagihan rumah sakit Anda masih menunggak. Pihak keluarga sudah berusaha, tapi masih kurang.” Nadine mengangguk pelan, menahan rasa malu. Tiba-tiba suara berat terdengar dari pintu. “Aku yang akan membayar semuanya.” Nadine menoleh, melihat Rayhan berdiri di sana. "Sebagai gantinya,” ucap pria itu, “kau harus tetap menjadi ibu susu untuk anakku.” --- Sejak hari itu, Nadine resmi tinggal di paviliun kecil milik Rayhan yang terhubung langsung ke rumah sakit. Ia menjadi ibu susu untuk bayi laki-laki mungil yang belakangan ia tahu bernama Arsa. “Arsa Darian,” ujar Rayhan suatu sore sambil mengamati Nadine yang tengah menyusui bayi itu. “Itu namanya. Aku yang memilih.” Nadine tersenyum, meski tidak berani menatap mata Rayhan langsung. “Arsa. Artinya kuat, ya?” Rayhan mengangguk pelan. “Dia harus kuat. Karena ibunya memilih pergi sesaat setelah melahirkannya.” Nadine tidak berkomentar. Namun diam-diam hatinya bertanya-tanya. Siapa perempuan yang tega meninggalkan bayi selembut ini? Rayhan tidak pernah menjelaskan, dan Nadine tidak ingin bertanya. Semakin hari, kehadiran Nadine justru seperti menjinakkan sisi dingin dari pria itu. Ia mulai memperhatikan Nadine—dalam diam. Ia selalu memastikan makanan Nadine bergizi, membayar suster pribadi untuk berjaga, bahkan mengganti pakaian tidur Nadine dengan bahan yang lebih nyaman. “Susu yang baik datang dari ibu yang cukup tidur,” katanya saat Nadine protes karena merasa terlalu diperlakukan seperti pasien VIP. “Kalau begitu kau juga harus tidur cukup,” sahut Nadine balik. Entah sejak kapan, obrolan mereka tak lagi hanya seputar bayi. --- Suatu malam, Arsa rewel. Nadine mencoba menenangkan, tetapi bayi itu menolak menyusu. Suara tangisannya keras. Tubuh mungilnya panas. Rayhan langsung datang dari ruangan kerja. Wajahnya tegang. “Bawa ke dokter. Sekarang!" Mereka berdua berlari ke NICU. Dokter mengambil alih, dan Nadine menangis tanpa suara di pojok ruangan. Tangan Rayhan menepuk bahunya pelan. “Aku takut kehilangannya,” bisik Nadine dengan terisak-isak. Rayhan memandangnya. “Kau bukan ibu kandungnya. Tapi kau menangis seolah-olah kehilangan anak sendiri.” Nadine mengangkat wajah. “Karena aku tahu rasanya. Tiga minggu lalu aku menguburkan anakku. Hari ini, aku merasa seperti diberi kesempatan kedua.” Rayhan diam. Lama. Kemudian ia berkata dengan suara rendah, “Dan aku kehilangan istri ... dua bulan lalu. Dia menyerah. Kanker stadium akhir. Dia melahirkan Arsa, lalu bilang... sudah tidak sanggup hidup hanya untuk menyaksikan anaknya menderita.” Nadine tercekat. “Jadi ... dia tidak pergi karena tidak peduli?” Rayhan menoleh. Tatapannya tajam dan terluka. “Dia terlalu takut mencintai sesuatu yang akan segera ia tinggalkan.” --- Sejak malam itu, ikatan di antara mereka menguat—dalam sunyi yang tidak pernah didefinisikan. Mereka saling menjaga tanpa kata. Saling menatap lebih lama dari seharusnya. Saling mengisi kekosongan masing-masing. Nadine mulai belajar bahwa Rayhan bukan hanya pria dingin yang kaya raya. Ia ayah yang remuk dan tidak tahu cara mencintai tanpa takut kehilangan. Rayhan pun belajar bahwa Nadine bukan wanita putus asa, tetapi ibu yang patah karena kehilangan cahaya hidupnya. --- Suatu sore di taman rumah sakit, Nadine mendekap Arsa yang mulai tumbuh sehat. “Kau yakin masih ingin aku jadi ibu susunya?” tanya Nadine pelan, meski sangat berharap. Rayhan memandangi mereka berdua. Angin menerpa wajahnya. Sorot mata dinaungi alis tebal itu menatap Nadine, bukan lagi sebagai perawat atau relawan. “Kau bukan hanya ibu susu, Nadine. Kau cahaya kecil yang menghidupkan rumah ini kembali.” Nadine menunduk, jantungnya berdetak tak karuan. Rayhan perlahan duduk di sampingnya, menyentuh tangan Nadine yang menggenggam jemari Arsa. "Dan aku ... mungkin juga sedang belajar mencintai seseorang lagi.”Cahaya biru dari tubuh mereka saling berpantulan di permukaan logam, membentuk pola yang samar menyerupai simbol tak terpecahkan: ∞Nadine menatap simbol itu lama, lalu berbisik, “Apa ini hukuman atau takdir?”Yaros menatapnya, dan untuk pertama kalinya ia tak punya jawaban.Namun dalam keheningan itu, ia hanya tahu satu hal bahwa apa pun yang terjadi, jika salah satu dari mereka mati, dunia yang lain ikut berakhir.*-*Tiga hari berlalu sejak keterikatan Kairos disadari.Di ruang bawah tanah fasilitas persembunyian—bekas bunker medis Soviet yang kini menjadi laboratorium darurat—Yaros belum tidur.Kabel optik bersinar redup di sepanjang dinding logam, menyalurkan data biometrik yang terus berfluktuasi.Nadine terbaring lemah di ranjang medis. Tubuhnya gemetar setiap kali arus bio-listrik melonjak di dalam sistem sarafnya.“Stabilisasi masih gagal,” gumam Yaros dengan suara serak. “Kairos bereaksi seperti organisme tanpa pusat kendali.”Celeste berdiri di sisi lain meja kerja, mata
Tiba-tiba, sistem pengunci pintu otomatis terbuka. Celeste yang memantau jarak jauh mendeteksi lonjakan bioenergi ekstrem.“Tenang, Nadine. Aku melihat data tubuhmu. Jangan melawan alirannya! Biarkan kadar hormon menurun perlahan,” suara Celeste terdengar dari interkom.Akan tetapi Nadine sudah kehilangan sebagian kendali.Ia menggenggam tepi meja, matanya berkaca-kaca menahan sensasi yang seperti badai.“Dia … harus di sini,” katanya putus asa.Cahaya di ruangan redup.Satu tetes air hujan jatuh dari atap ke lantai, bersamaan dengan tubuh Nadine yang akhirnya terjatuh, kehilangan kesadaran.Beberapa jam kemudian, Yaros tiba dan menemukan ruangan dipenuhi aroma ozon samar. Itu pertanda sisa pelepasan energi bioelektrik.Ia berlari mendekat, memeluk tubuh Nadine yang terkulai di lantai.Monitor di samping ranjang menampilkan data baru: Resonansi Stabil — Sinkronisasi Diperlukan.Yaros menatap layar itu, napasnya tercekat. Kairos bukan hanya mengubah biologi mereka.Ia telah menciptakan
Yaros langsung menyentuh bagian sensitif Nadine, hingga membuat gairah wanita itu terpancing. Yaros mulai mencerup bagian sensitif tersebut secara bergantian dan sedikit bermain di sana, hingga Nadine mendesah lirih, “Ah, Sayang. Habiskan semua! Biar kamu semakin perkasa.” Cairan kental berwarna putih dari ujung aset Nadine semakin deras mengalir dan Yaros begitu menikmati minuman favoritnya.“Sayang, aku tidak kuat lagi,” ujar Yaros. Ia sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Ia langsung meloloskan bagian bawah pakaian Nadine lalu membuka kedua kakinya.“Ahh,” lenguh Yaros memulai penyatuan.“Emmmh, ahhh. Yaros ...,” desah Nadine dengan sengaja menyebut nama suaminya, membuat darah Yaros semakin bergejolak. “Emhhh, iya, Sayang. Sebut namaku.” Yaros terus memompa tubuh Nadine semakin kuat.Ia mempercepat hentakannya, hingga Nadine semakin menjerit.Keduanya memejamkan matanya dan .... “Akhhh ..., “ Erangan panjang mulai terdengar dari mulut keduanya, akhirnya sama-sama lungl
Ivan menyiapkan suntikan berisi cairan transparan yang berpendar samar.“Kau seharusnya berterima kasih,” lanjut Ivan, matanya berkilat fanatik. “Dengan tubuhmu, aku akan menulis ulang genetika manusia. Tak ada lagi alergi, tak ada lagi kelemahan. Dunia baru akan lahir.”Nadine mencoba melawan, suaranya serak, “Kau bukan ilmuwan. Kau monster!”Ivan tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi monster yang akan diingat sejarah.”Di balik kaca satu arah, Celeste dan Yaros menyaksikan dengan ngeri dari ruang pengawasan yang berhasil mereka retas.“Dia akan membunuhnya,” bisik Yaros dengan rahang menegang. Celeste menatap layar sambil menyiapkan pengendali pintu. “Tidak, kalau kita lebih cepat.”Sistem keamanan berderit. Lampu di ruang Ivan padam sesaat.Dalam kegelapan itu, Nadine mendengar langkah tergesa, lalu suara keras logam terhantam.Yaros menerobos masuk, tubuhnya penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah.“Ivan!” teriaknya. “Lepaskan dia!”Cahaya berkedip. Dua pria itu saling berhada
Ivan berjalan keluar, tetapi sebelum pintu tertutup, ia berkata pelan, hampir seperti bisikan, “Kau mengingat ibumu, bukan? Jangan ulangi kesalahannya.”Pintu menutup otomatis dengan bunyi klik. Celeste berdiri terpaku, tubuhnya gemetar halus. Di dada kirinya, detak jantung berdebar cepat, bukan karena takut, tetapi karena tahu satu hal, bahwa Ivan sudah mulai tahu.Malamnya, di ruang karantina, Nadine memperhatikan Celeste yang tampak gelisah.“Ada apa?” tanyanya perlahan.Celeste menggeleng, tetapi matanya kosong. “Ivan tahu sesuatu. Aku hanya tak tahu seberapa banyak.”Yaros mendekat, berdiri di sisi tempat tidur. “Berapa lama kita punya waktu sebelum dia bertindak?”Celeste menatap mereka bergantian. “Mungkin dua puluh empat jam. Setelah itu, aku akan dipindahkan ke sektor bawah. Dan kalian akan punya pengawas baru. Seseorang yang tak akan ragu membunuh.”Nadine menelan ludah. “Lalu apa yang akan kita lakukan?”Celeste menatap jam digital di dinding; jarum jam menunjukkan 21:32.M
Celeste tidak langsung menjawab. Ia menatap monitor yang kini menampilkan rekaman semu. Kemudian dengan suara rendah, ia berkata, “Karena aku pernah menjadi seperti kalian. Dulu aku bekerja di bawah Ivan. Kupikir aku menyelamatkan manusia dari penyakit genetik. Tapi yang sebenarnya kulakukan adalah menciptakan produk manusia. Versi-versi baru dari spesies yang bisa dijual kepada mereka yang kaya dan takut mati.”Ia menarik napas dalam. “Aku menandatangani kontrak itu karena ibuku sakit. Ivan menjanjikan pengobatan gratis. Tapi dia bohong. Dia menggunakan DNA-nya sebagai bahan percobaan.”Nadine memejamkan mata, merasakan empati yang berat di dadanya. “Jadi ini balasanmu.”Celeste menatap Nadine. “Bisa dibilang begitu. Tapi lebih dari itu, aku ingin Ivan gagal. Dan untuk itu, aku butuh kalian berdua tetap hidup.”Keheningan melingkupi mereka. Yaros memperhatikan Celeste lama, mencoba mencari kebohongan di balik matanya. Namun yang ia temukan hanyalah kelelahan, dan sebersit tekad.“Apa







