Share

DONATUR ASI

last update Last Updated: 2025-06-08 19:24:28

Hujan mengguyur kota sejak sore. Di atas rooftop rumah sakit, seorang wanita berdiri mematung di tepi pembatas. Matanya menatap kosong ke arah kota yang kelam. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar menahan dingin dan kelelahan. Nadine bahkan tidak sadar saat seseorang menarik tubuhnya menjauh dari tepian.

“Jangan di sini kalau ingin mati!” teriak seorang pria semakin mengagetkan Nadine.

Wanita berambut ikal panjang itu mendongak perlahan. Di hadapannya berdiri pria tinggi dengan rahang kokoh, tubuhnya dibalut mantel gelap yang sudah setengah basah. Wajah tampannya tampak berkarisma.

“Aku cuma .…” Nadine tercekat. Tenggorokannya terasa perih. Suaranya nyaris tidak terdengar.

“Kalau mati ingin sendiri, lakukan di tempat yang tidak membuat orang lain repot,” katanya lagi. “Aku baru saja mengantar anakku ke NICU. Aku tidak mau besok masuk berita karena ada wanita bodoh yang mati bunuh diri di rumah sakit ini.”

Nadine menggigit bibir, malu sekaligus terluka oleh kata-kata pria itu. Ia ingin menjawab, tetapi tangis lebih dulu pecah dari matanya. Tangis yang selama berbulan-bulan dia pendam sendiri.

Melihat itu, pria itu menghela napas. “Sudah, masuk! Basah semua bajumu.”

Dia melepas mantelnya dan meletakkannya di bahu Nadine. Wanita berpiyama rumah sakit itu memeluk kain hangat itu erat-erat, seperti anak kecil mencari kehangatan.

Belum sempat Nadine mengucapkan terima kasih, seorang pria berbaju hitam muncul dari pintu rooftop.

“Dokter meminta tanda tangan Anda, Tuan Rayhan. Ini soal bayi Anda.”

Rayhan mengangguk singkat, dan berbalik meninggalkan Nadine tanpa sepatah kata pun.

---

Dorongan rasa ingin tahu membuat Nadine mengikuti Rayhan dari jauh. Ia berhenti di balik dinding lorong, menguping percakapan Rayhan dengan dokter.

"Bayi Anda mengalami gangguan pernapasan. Selain itu, dia alergi susu sapi,” ujar dokter.

Rayhan menahan napas. “Lalu solusinya?”

“Kami menyarankan mencari ibu susu, Tuan. ASI adalah yang terbaik bagi bayi dengan kondisi ini.”

Rayhan mendengus. “Ibunya sudah pergi. Jadi sekarang semua ini urusan saya?”

Dokter hanya bisa menunduk.

Saat Nadine mendengar itu, hatinya tercekat. Dia tahu rasa ditinggalkan. Dia tahu rasa kehilangan. Sekarang di tempat yang sama ada seorang bayi yang menderita karena tidak ada ibu yang memberinya susu.

Tanpa berpikir panjang, Nadine keluar dari balik dinding.

“Aku bisa jadi ibu susunya.”

Rayhan menoleh dengan ekspresi tidak percaya. “Kau? Yang tadi hampir lompat dari rooftop?”

Nadine menegakkan tubuh. “Aku sehat. Aku baru kehilangan anakku tiga minggu lalu. ASI-ku masih ada. Aku bisa bantu anakmu.”

Dokter tampak mempertimbangkan. Rayhan hanya menatap Nadine seperti sedang mengukur apakah wanita ini bisa dipercaya.

"Kau bisa berhenti besok. Bisa gila. Bisa kabur,” katanya datar.

“Aku tidak akan kabur,” jawab Nadine tegas.

---

Tak lama, Nadine dibawa ke NICU. Dia duduk di kursi menyusui, mengenakan pakaian steril. Seorang suster menggendong keluar bayi mungil yang tubuhnya penuh kabel dan alat bantu napas.

Nadine menahan napas saat memeluk bayi itu. Si mungil yang tak tahu apa-apa, yang hanya ingin hidup. Ia menyusui dengan perlahan, dan bayi itu tampak nyaman. Tidak menolak. Ia hanya mengisap dengan lahap. Bibirnya tersenyum.

Air mata Nadine jatuh tanpa bisa dicegah. Untuk pertama kali sejak kematian putranya, ia merasa berguna.

Rayhan memperhatikan dari balik kaca. Untuk pertama kali, ekspresi dinginnya sedikit mencair.

---

Saat kembali ke bangsal, seorang suster mendatangi Nadine dengan wajah cemas. “Nona Nadine, tagihan rumah sakit Anda masih menunggak. Pihak keluarga sudah berusaha, tapi masih kurang.”

Nadine mengangguk pelan, menahan rasa malu.

Tiba-tiba suara berat terdengar dari pintu. “Aku yang akan membayar semuanya.”

Nadine menoleh, melihat Rayhan berdiri di sana.

"Sebagai gantinya,” ucap pria itu, “kau harus tetap menjadi ibu susu untuk anakku.”

---

Sejak hari itu, Nadine resmi tinggal di paviliun kecil milik Rayhan yang terhubung langsung ke rumah sakit. Ia menjadi ibu susu untuk bayi laki-laki mungil yang belakangan ia tahu bernama Arsa.

“Arsa Darian,” ujar Rayhan suatu sore sambil mengamati Nadine yang tengah menyusui bayi itu. “Itu namanya. Aku yang memilih.”

Nadine tersenyum, meski tidak berani menatap mata Rayhan langsung. “Arsa. Artinya kuat, ya?”

Rayhan mengangguk pelan. “Dia harus kuat. Karena ibunya memilih pergi sesaat setelah melahirkannya.”

Nadine tidak berkomentar. Namun diam-diam hatinya bertanya-tanya. Siapa perempuan yang tega meninggalkan bayi selembut ini?

Rayhan tidak pernah menjelaskan, dan Nadine tidak ingin bertanya.

Semakin hari, kehadiran Nadine justru seperti menjinakkan sisi dingin dari pria itu.

Ia mulai memperhatikan Nadine—dalam diam. Ia selalu memastikan makanan Nadine bergizi, membayar suster pribadi untuk berjaga, bahkan mengganti pakaian tidur Nadine dengan bahan yang lebih nyaman.

“Susu yang baik datang dari ibu yang cukup tidur,” katanya saat Nadine protes karena merasa terlalu diperlakukan seperti pasien VIP.

“Kalau begitu kau juga harus tidur cukup,” sahut Nadine balik.

Entah sejak kapan, obrolan mereka tak lagi hanya seputar bayi.

---

Suatu malam, Arsa rewel. Nadine mencoba menenangkan, tetapi bayi itu menolak menyusu. Suara tangisannya keras. Tubuh mungilnya panas.

Rayhan langsung datang dari ruangan kerja. Wajahnya tegang. “Bawa ke dokter. Sekarang!"

Mereka berdua berlari ke NICU. Dokter mengambil alih, dan Nadine menangis tanpa suara di pojok ruangan. Tangan Rayhan menepuk bahunya pelan.

“Aku takut kehilangannya,” bisik Nadine dengan terisak-isak.

Rayhan memandangnya. “Kau bukan ibu kandungnya. Tapi kau menangis seolah-olah kehilangan anak sendiri.”

Nadine mengangkat wajah. “Karena aku tahu rasanya. Tiga minggu lalu aku menguburkan anakku. Hari ini, aku merasa seperti diberi kesempatan kedua.”

Rayhan diam. Lama. Kemudian ia berkata dengan suara rendah, “Dan aku kehilangan istri ... dua bulan lalu. Dia menyerah. Kanker stadium akhir. Dia melahirkan Arsa, lalu bilang... sudah tidak sanggup hidup hanya untuk menyaksikan anaknya menderita.”

Nadine tercekat. “Jadi ... dia tidak pergi karena tidak peduli?”

Rayhan menoleh. Tatapannya tajam dan terluka. “Dia terlalu takut mencintai sesuatu yang akan segera ia tinggalkan.”

---

Sejak malam itu, ikatan di antara mereka menguat—dalam sunyi yang tidak pernah didefinisikan. Mereka saling menjaga tanpa kata. Saling menatap lebih lama dari seharusnya. Saling mengisi kekosongan masing-masing.

Nadine mulai belajar bahwa Rayhan bukan hanya pria dingin yang kaya raya. Ia ayah yang remuk dan tidak tahu cara mencintai tanpa takut kehilangan. Rayhan pun belajar bahwa Nadine bukan wanita putus asa, tetapi ibu yang patah karena kehilangan cahaya hidupnya.

---

Suatu sore di taman rumah sakit, Nadine mendekap Arsa yang mulai tumbuh sehat.

“Kau yakin masih ingin aku jadi ibu susunya?” tanya Nadine pelan, meski sangat berharap.

Rayhan memandangi mereka berdua. Angin menerpa wajahnya. Sorot mata dinaungi alis tebal itu menatap Nadine, bukan lagi sebagai perawat atau relawan.

“Kau bukan hanya ibu susu, Nadine. Kau cahaya kecil yang menghidupkan rumah ini kembali.”

Nadine menunduk, jantungnya berdetak tak karuan.

Rayhan perlahan duduk di sampingnya, menyentuh tangan Nadine yang menggenggam jemari Arsa.

"Dan aku ... mungkin juga sedang belajar mencintai seseorang lagi.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DONATUR ASI JADI CINTA CEO    TITIK TERANG

    Beberapa Jam Kemudian – Di Gudang KosongUdara di dalam gudang tua itu terasa lembap dan dingin. Bau besi karat, oli, dan debu memenuhi hidung. Di tengah ruangan, Nadine duduk di kursi besi, tangannya terikat di belakang. Di depannya ada seorang wanita berambut pirang dan berkacamata hitam. Ia bukan orang asing.Raline.“Apa kabar, Nadine?” tanya Raline dengan senyum sinis. “Kamu terlalu banyak berharap dari posisi yang hanya bersifat kontrak. Kamu pikir kamu siapa? Hanya pendonor. Hanya proyek sosial.”“Proyek?” Suara Nadine serak.“Iya, dong! Emang kamu, kasih ASI gratisan? Selama ini Rayhan membayar mahal setiap tetes susu yang dinikmati anaknya, di luar biaya pelunasan pengobatan kamu.” “Kau ?! Manusia macam apa kamu …?”Raline mendekat, menepuk pipinya pelan. “Aku wanita yang tahu apa yang pantas dimiliki. Dan kamu ... sayangnya bukan bagian dari dunia kami.”Kemudian Raline menyodorkan sebuah laptop. Pada layar tertera aplikasi email.“Buat surat pengunduran diri! Ketik dan kir

  • DONATUR ASI JADI CINTA CEO    KECURIGAAN RAYHAN

    Rayhan mengatupkan rahangnya. Ia menutup laptop dengan kasar, lalu bangkit berdiri."Ke mana kamu pergi, Nadine?” gumamnya penuh frustrasi.Ia berjalan mondar-mandir di ruang kerja seperti orang panik. Tak ada satu pun pesan Nadine masuk ke ponselnya. Ia mencoba menelepon, tetapi nadanya langsung tidak aktif. Bahkan kontak WhatsApp-nya pun hilang—diblokir.“Pak?” Suara Santi, sekretaris pribadi Rayhan, muncul dari balik pintu. “Semua barang Bu Nadine sudah benar-benar diambil. Rumah dinas juga sudah dikembalikan kuncinya pagi tadi.”Rayhan hanya mengangguk pelan. Ia tak sanggup menjawab.Ketika Santi keluar, Rayhan berjalan menuju kamar bayi. Arsa sedang tertidur lelap di dalam boksnya. Pria itu duduk di kursi goyang di samping anak itu, memandangi wajah mungil yang tak tahu apa-apa.“Maafin Papa, Nak,” bisiknya lirih. “Mama Nadine sudah pergi.”Tangannya mengusap lembut kepala Arsa yang penuh rambut halus. Ingatannya kembali ke malam terakhir, ke aroma tubuh Nadine, ke bisikan-bisika

  • DONATUR ASI JADI CINTA CEO    HABISKAN MALAM

    Sebelum pintu kamar tertutup rapat, Nadine yang baru datang, buru-buru masuk. Rayhan tersenyum melihat kehadirannya. Ia menarik tangan wanita itu dengan kasar. Gerakan spontan itu membuat tubuh mereka bersamaan terempas ke atas ranjang empuk hotel bintang lima ini.Nadine meringis sejenak, bukan karena sakit semata, tetapi karena kejutan atas betapa buasnya sisi Rayhan yang baru saja dilihatnya.“Enggak bisakah kau sedikit lebih lembut?” bisik Nadine, setengah protes. Sisi kelakian Rayhan semakin tertantang karenanya.Rahyan tak menjawab. Tatapannya yang gelap penuh nafsu seakan-akan menelan semua protes dari Nadine. Tubuh Nadine dibalik dengan mudah, seolah-olah wanita itu tak lebih dari boneka di tangannya. Helaan napas Nadine tercekat ketika Rayhan membuka pahanya, memperjelas jarak di antara mereka yang semakin menguap—tak ada lagi ruang bagi logika, hanya letupan yang semakin membakar.Rayhan membungkuk, mencengkeram pinggang Nadine dengan kuat. Mata pria itu menatap wanitanya da

  • DONATUR ASI JADI CINTA CEO    SAAT BERSAMA

    Sore itu, setelah memastikan baby sitter pergi, Nadine berdiri di balik jendela sambil menatap wanita yang masih mondar-mandir di gerbang paviliun. Meski penampilannya lebih glamor dari terakhir kali mereka bertemu, Nadine sangat mengenali wanita itu—Raline.Matanya membulat penuh emosi. Wajah yang sama yang pernah merenggut suaminya, yang bahkan berkonspirasi dalam kematian Elio. Nadine menutup tirai perlahan, berusaha mengatur napas yang mulai memburu.Ponselnya bergetar. Panggilan dari Rayhan.“Sayang, aku baru selesai rapat. Mau kutemani pemeriksaan Arsa di rumah sakit?” tanya Rayhan.Nadine menjawab dengan nada datar, “Nggak usah, Arsa lagi tidur. Aku ada hal penting yang harus kubereskan di rumah. Nanti aku kabari.”“Ada masalah?” Rayhan bertanya pelan, tanggap pada nada Nadine.“Belum tentu … tapi kemungkinan iya.”Selesai menutup telepon, Nadine langsung menghubungi security paviliun.“Pak, minta tolong. Jangan sampai perempuan di depan gerbang itu masuk! Saya tidak izinkan di

  • DONATUR ASI JADI CINTA CEO    RALINE SAKIT

    “Ini cukup untuk memutarbalikkan kenyataan,” gumamnya sambil tersenyum sinis.Tak lama, ponselnya berdering. Tampak Leonardo sedang menghubunginya.“Sudah siap untuk konferensi pers?” tanya suara di seberang.Raline mengangguk, meski ia tahu Leonardo tak melihat itu. “Setelah ini, Nadine akan terlihat seperti wanita yang menjebak dua pria demi harta. Kita hanya perlu satu ledakan terakhir.” Leonardo tertawa pelan. “Dan saat ledakan itu terjadi, tak ada yang bisa menyelamatkannya. Apalagi ketika polisi menemukan ‘barang bukti’ di tempatnya.” **Sejak Rayhan merasa keselamatan Nadine dan Arsa terancam, ia mengajak mereka pindah ke rumah mewahnya. Keamanan mereka lebih terjamin di rumah pribadi dengan pengawasan ekstra.Nadine baru akan menyusui Arsa, ketika terdengar suara mobil berhenti di luar pagar. Interkom dari pos jaga menghubunginya."Ada kurir mencari Anda, Nyonya."Nadine segera menatap layar pengawas. Seorang kurir berdiri di depan gerbang."Amati dia! Benar kurir atau bukan

  • DONATUR ASI JADI CINTA CEO    KELUARGA TOXIC

    Rayhan menerima kiriman email dari pengirim anonim. Kali ini, bukan dokumen medis—melainkan sebuah rekaman CCTV buram, dari lorong hotel di malam yang sama yang diceritakan Nadine.Dalam rekaman itu, terlihat Arvan yang setengah mabuk berjalan sempoyongan ke sebuah kamar hotel. Tak lama, seorang wanita muncul—bergaun gelap, membawa gelas minuman. Wajahnya hanya terlihat sebagian, tetapi Rayhan mengenali gaya berjalan dan siluet rambutnya, Raline.Ia menonton video itu dengan pandangan tajam. Kemudian di video kedua, yang membuat kedua matanya hampir terlepas, tampak seorang wanita dengan penampilan berantakan keluar dari kamar yang dimasuki oleh Arvan semalam.Detik demi detik terasa menusuk hati Rayhan. Tidak hanya karena kemungkinan jebakan itu nyata—tetapi juga karena bagaimana kehidupan Nadine telah dihancurkan oleh orang yang mengaku “keluarga”.***Beberapa Hari KemudianDi ruang kerjanya, Rayhan menatap layar komputer dengan tatapan kosong. Video dari email anonim itu terus ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status