Beberapa Saat Kemudian
Di dalam mobil hitam yang berhenti di ujung jalan menuju paviliun, Raline duduk sambil menatap lurus. Matanya menyipit melihat tampilan Nadine yang terlihat lebih cantik dan bugar dari terakhir kali mereka bertemu. Wajahnya memerah menahan amarah. Kehidupan Nadine di luar ekspektasinya. Bahkan yang membuat Raline sakit hati, sepupunya itu tinggal di paviliun milik Rayhan. "Aku pengen kasih kejutan buat Rayhan. Justru aku yang dibuat terkejut sama wanita tak tahu diri ini. Aku gak menyangka, dia tinggal di paviliun. Dasar jalang! Berlagak kayak nyonya besar lagi," gumam Raline geram. Jemarinya mengepal. "Jangan sebut namaku, Raline ... kalo gak bisa bikin hidupmu lebih hancur!" Ia membuka tas kecil, mengeluarkan sebatang rokok elektronik, mengisapnya dalam-dalam, lalu tertawa sinis. "Aku akan datang lagi. Saat itu, gak cuma buat ketemu Rayhan. Tapi juga ngasih pelajaran buat kamu, Nadine." --- Sementara Itu, di Kantor Rayhan baru saja keluar dari ruang rapat ketika telepon dari Nadine masuk. "Ya, Sayang?" sapanya dengan nada hangat. “Ada yang cari kamu di rumah,” kata Nadine langsung, tanpa basa-basi. “Seorang perempuan. Nyaris maksa masuk.” Rayhan langsung menegang. “Siapa?” “Aku lihat wajahnya di CCTV. Raline.” Hening sejenak di sisi Rayhan. Ia menutup pintu ruangannya perlahan. “Dia sempat bilang sesuatu?” tanya Rayhan, menahan nada khawatir. “Cuma ketemu sekuriti dan baby sitter. Tapi kamu tahu betul, Raline bukan tipe yang datang bawa bunga. Dia datang bawa masalah,” ucap Nadine dingin. “Laporkan polisi saja, jika merasa terganggu,” tegas Rayhan. Nadine mendesah. “Aku gak apa-apa. Kamu yang harus hati-hati. Aku punya firasat buruk. Dan aku tahu betul pola pikir licik dia.” "Aku akan bereskan ini," ucap Rayhan tegas. “Jangan khawatir! Raline tidak akan bisa menyentuh kita.” --- Malam Hari Di sebuah bar mewah di tengah kota, Raline duduk dengan segelas wine. Seorang pria paruh baya dengan jas mahal mendekatinya. "Kau yakin ini langkahmu?" tanya pria itu. "Aku tak ingin namaku terseret dalam konflik pribadi." Raline menoleh lambat-lambat, senyum sinis kembali terpampang. "Rayhan pernah bilang aku bukan siapa-siapa. Aku gak rela pria incaranku jadi milik Nadine." Pria itu—yang ternyata adalah Leonardo Ananta, paman dari Rayhan—menghela napas. “Menyentuh Nadine sama artinya kamu nantangin Rayhan. Kau pun siap-siap tenggelam.” Raline menyeringai. “Lebih baik aku tenggelam, daripada melihat Nadine duduk manis di kursi yang seharusnya jadi milikku.” --- Beberapa Hari Kemudian Sebuah dokumen misterius dikirim ke meja rumah sakit, milik Rayhan. Tanpa nama pengirim dan penjelasan. Saat Rayhan membukanya. Ia mendapati beberapa foto-foto Nadine sedang berada dalam sebuah bar dan kamar hotel. Foto dalam kamar hotel, dalam keadaan bugil bersama seorang pria. Bukankah ini Arvan, mantan suaminya? Kenapa pula ada lembaran uang dalam genggaman Nadine? Meski sempat kaget. Bebarapa saat kemudian, alis Rayhan berkerut. Ia merasa ada yang tidak beres. Pada lembar belakang salah satu foto, ada sebuah catatan tangan: Apakah kamu yakin akan menikah dengan wanita jalang? Rayhan menatap foto itu satu per satu. Tubuhnya membeku. Ia membaca ulang catatan di belakang foto. Tangannya sedikit gemetar. Ia menekan interkom. "Pak, tolong kirimkan rekaman CCTV front office pada saat kurir atau siapa pun yang mengantarkan dokumen saya." Suara sekuriti menjawab dengan cepat, “Baik, Tuan.” --- Sementara Itu, di Paviliun Nadine sedang mengganti popok Arsa ketika telepon dari Rayhan masuk. Ia menjawab cepat, “Halo, Sayang. Mau makan siang di mana?" Namun, ia mendengar nada suara di ujung sana terdengar dingin dan berat. “Kita perlu bicara. Sekarang.” Nadine terdiam, instingnya langsung waspada. “Tentang apa?” “Kamu dan mantan suami kamu. Kita perlu terbuka soal hubungan kalian." --- Beberapa Jam Kemudian Rayhan pulang lebih awal. Nadine sudah menyiapkan teh di ruang tamu, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdebar. Rayhan duduk tanpa bicara. Ia mengeluarkan foto-foto itu dari map. “Ini dikirim anonim ke meja rumah sakit. Ada hal yang perlu aku tanyakan ke kamu.” Ia meletakkan semua itu di meja. Nadine seketika syok melihat foto-foto itu. Begitu sampai ke catatan tangan itu, wajahnya langsung pucat. “Kamu pikir aku wanita gak benar?” Suaranya bergetar, tetapi ia menahan air mata. “Aku gak sepicik itu mengambil kesimpulan,” balas Rayhan cepat. “Tapi aku perlu tahu lebih banyak tentang rumah tangga kalian, terutama Arvan." Nadine menarik napas dalam-dalam, lalu duduk perlahan di samping Rayhan. Matanya menatap kosong pada foto-foto di meja. Tangannya menggenggam cangkir teh yang mulai mendingin. "Terus terang ini membuka lukaku kembali. Saat itu Mas Arvan dalam kondisi mabuk berat. Di saat yang sama, aku dalam keadaan setengah tak sadar, efek dari obat dalam minuman. Raline telah menjebak aku dengan undangan pesta di bar. Mungkin dia pula yang menyuruh orang untuk memasukkan aku ke kamar hotel. Malam sial," gumam Nadine dengan kedua mata berkaca-kaca. Rayhan masih menatapnya lekat-lekat. Rasa kecewanya atas kiriman foto-foto itu berganti rasa terenyuh dengan nasib yang dialami oleh Nadine. Wanita itu mulai bicara kembali, setelah mengusap air mata yang menetes. Suaranya pelan dan tegas. “Belakangan kuketahui, yang memberi obat itu Raline. Saat aku periksa kandungan ke rumah sakit, ketahuan oleh kerabat keluarga Mas Arvan. Orang tuanya memaksa kami untuk menikah demi garis keturunan keluarga. Sementara, orang tuaku menganggap itu aib. Sejak itu gak menganggapku anak. Bagi Mas Arvan, aku ini istri sebatas status dalam akte nikah saja." Nadine semakin berurai air mata. Rayhan memeluk Nadine erat, seolah-olah ingin membalut luka yang selama ini tersembunyi di balik tatapan sendu wanita yang dicintainya itu. Ia tak menyangka, masa lalu Nadine begitu kelam—dan nama Raline ternyata telah lama menodai hidupnya. “Aku gak pernah ingin, kamu tahu semua dengan cara seperti ini,” bisik Nadine lirih di pelukannya. “Tapi semuanya udah telanjur." Rayhan mengusap punggungnya pelan. “Kamu gak sendiri sekarang. Aku di sini.” Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Kemudian Rayhan berkata pelan, “Aku akan cari tahu lebih lanjut soal orang yang mengirim foto-foto ini. Jika Arvan tahu ini pun, pasti bereaksi keras. Ini bisa menghancurkan karir dan status sosial dia. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan melepaskan kamu, Sayang.” --- Keesokan Harinya Di balkon sebuah apartemen di tengah kota, Raline duduk di kursi rotan, memandangi foto lama—Amelia, Rayhan, dan dirinya dalam satu bingkai. Ia mengusap wajah Rayhan dalam foto. "Kamu harus jadi milikku," ucap Raline lalu mengecup foto Rayhan. Ponselnya berbunyi. Ia mengangkat dengan malas. “Semua sudah dikirim?” tanyanya dingin. “Sudah. Tapi Tuan Rayhan tidak bereaksi seperti yang kita perkirakan,” jawab suara pria di seberang. “Malah terlihat makin lengket dengan Nadine.” Wajah Raline menegang. “Kalau begitu, kita naikkan level permainan. Kirimkan salinan rekaman malam itu.” Pria itu ragu. “Tapi bukti itu bisa memberatkan kamu sendiri." Raline mendesis. “Biar. Aku gak peduli. Selama itu bisa menarik Nadine jatuh lagi ke lubang yang dulu dia tinggalkan.”Yaros tertawa kecil, lalu berkata, “Aku harus ganti baju karena terkena debu. Mau lihat perut sixpack?”Nadine pun tersipu malu, begitu melihat Yaros mulai membuka pakaiannya. Ia buru-buru masuk mobil. Yaros dengan berlari ke balik pohon, lalu gegas berganti pakaian dari paperbag.Setelah berpakaian rapi, ia ulurkan paperbag kepada pria kekar. Ia pun masuk mobil lalu duduk di samping Nadine.Mobil melaju kencang menembus hutan, meninggalkan suara sirene jauh di belakang. Dari jendela gelap, Nadine hanya melihat bayangan pepohonan berkelebat.Sepanjang perjalanan, Nadine bisa merasakan tatapan Yaros. Tidak menekan, dan juga tidak bisa diabaikan. Tatapan yang sama seperti saat ia menahan lorong runtuh dengan tubuhnya—penuh ketegangan, tetapi juga keengganan untuk melepaskan.Setelah hampir satu jam, mobil berhenti di depan sebuah rumah megah bergaya klasik yang tersembunyi di balik pagar besi tinggi. Bukan kastil, melainkan rumah pribadi Yaros. Bangunan tiga lantai dengan jendela-jendel
Yaros melangkah pelan, tidak terlalu dekat, tetapi cukup untuk Nadine merasakan hawa tubuhnya. Pandangan matanya dalam, menelusuri wajah Nadine dengan campuran kagum dan cemas. Sesaat, ia hampir mengulurkan tangan untuk menyentuh pipinya. Namun hal itu berhenti di udara, lalu menurunkan tangannya lagi dengan lirih.Nadine menangkap itu. Tatapan yang tak pernah bohong. Rasa takut kehilangan yang ia lihat di mata Yaros lebih keras berbicara daripada seribu kata.Pria tua itu tiba-tiba berdeham, seolah menyela momen yang terlalu panjang. “Kalian harus sadar, ini bukan waktu untuk terhanyut. Pasukan di luar tidak akan berhenti.”Yaros menarik napas panjang, lalu menoleh pada pria tua itu. “Aku tahu. Tapi ada sesuatu yang harus kau tahu juga.” Ia kembali menatap Nadine, kali ini dengan ketegasan yang nyaris tak bisa disembunyikan. “…ketika aku mulai menyelidiki keberadaanmu, Nadine, tugasku seharusnya hanya membawa pulang seorang calon istri. Tapi ternyata yang kutemukan adalah seseorang p
Nadine merasakan gelombang marah, takut, dan jijik bercampur jadi satu. “Jadi, selama ini aku dalam masa pengejaran? Hidupku hanya eksperimen?”Yaros maju selangkah, suaranya rendah tetapi mantap. “Kau bukan eksperimen, Nadine. Kau adalah kunci. Dan sekarang, kau harus memilih—ikut dengan mereka atau ikut denganku?”Belum sempat Nadine menjawab, dentuman keras menggema dari luar kastil. Jendela bergetar, dan cahaya lampu sorot menembus kabut. Pasukan bersenjata sudah mengepung.Yaros menatap Nadine dalam-dalam. “Mereka sudah datang. Kau putuskan, bebas di dunia luar dalam pengejaran mereka atau tinggal dengan aku dalam kastil sementara waktu, sampai situasi tenang?”Nadine menelan ludah, dadanya sesak oleh pilihan yang mustahil. Napas Cindy tersengal, menggenggam lengannya erat-erat, sementara pria tua itu hanya menunduk, seolah tahu keputusan ini tak bisa ditunda lagi.Di luar, suara perintah militer bergema. Lampu sorot menyorot dinding kastil, menimbulkan bayangan panjang yang men
Pria tua itu menoleh cepat. “Ikuti dia! Jalan ini punya jalur keluar, tapi hanya dia yang tahu kode keamanan.”Tanpa waktu berpikir, pria muda itu menarik lengan Nadine menuju tangga darurat di belakang ruangan. Baru saja mereka melangkah, pintu baja di belakang akhirnya jebol—sekelompok pria bertopeng masuk dengan senjata tajam dan senter.“Cepat!” seru pria muda itu. Ia menendang pintu darurat, lalu mendorong Nadine dan Cindy menuruni tangga berkarat yang berderit tiap pijakan.Suara langkah para pengejar bergema keras dari atas. Nadine nyaris terjatuh karena tumit sepatunya. Akan tetapi pria muda itu dengan cekatan memeluknya erat, menahannya. Sekejap, tubuh Nadine merasakan degupan jantungnya yang kuat, hangat, meski di tengah kepanikan.“Fokus sama aku. Jangan lepasin tanganku,” bisiknya lirih, tepat di telinganya. Suaranya dalam dan lembut, membuat darah Nadine berdesir sesaat.Mereka berlari terus, menuruni lantai demi lantai. Cindy terengah-engah di belakang, hampir kehabisan
Setelah berbincang dengan Cindy, Nadine merasa semakin cemas. Ia tahu bahwa foto dan pesan itu adalah kunci dari masa lalunya yang terpendam. Ia pun memutuskan untuk pergi ke kantor lebih cepat, berharap Cindy bisa membantunya menyelidiki siapa yang mengirimkan amplop itu.Setibanya di kantor, Nadine langsung menghampiri meja Cindy. “Kita harus cari tahu siapa yang mengirim ini, Cin,” katanya dengan nada tegas.Cindy mengangguk dan segera membuka amplop itu lagi, memeriksa setiap detailnya dengan teliti. Tiba-tiba, ia menemukan sebuah alamat lama yang ternyata masih aktif di pusat kota.“Bu, sepertinya kita harus ke alamat ini. Saya yakin ini petunjuk penting,” ujar Cindy.Nadine pun setuju, dan mereka berdua bergegas keluar dari kantor. Di tengah perjalanan, Nadine tak henti-hentinya memikirkan masa lalunya, dan perasaan khawatir semakin mencekik lehernya, hingga rasa sesak penyergap ulu hati.Ketika mereka sampai di alamat tersebut, sebuah bangunan tua yang terlihat sepi menyambut m
Pagi itu, matahari baru menyembul dari balik gedung-gedung tinggi. Nadine terbangun dengan kepala berat, sisa alkohol masih berputar dalam pikirannya. Matanya terbuka perlahan, menyadari dirinya terbaring di ranjang hotel mewah dengan selimut putih. Di sisi lain ranjang, Alejandro masih terlelap, napasnya tenang. Pemandangan itu membuat dada Nadine sesak. Bagian dirinya merasa bersalah, tetapi bagian lain … merasakan ketenangan yang sudah lama hilang. Tiba-tiba ponselnya bergetar di atas meja samping ranjang. Nama Shen muncul di layar. Nadine menelan ludah, ragu untuk mengangkat. Jemarinya bergetar, tetapi akhirnya ia menekan tombol decline. Air matanya menetes tanpa sadar. “Kenapa harus dia yang selalu menahanku?” bisiknya lirih. Alejandro terbangun perlahan, lalu duduk sambil merapikan rambutnya. Tatapannya langsung jatuh pada Nadine yang tengah menggenggam ponsel dengan mata merah. “Apa kau menyesal?” tanya Alejandro, suaranya datar dan penuh rasa ingin tahu. Nadine meno